Share

Terima Saja

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2024-10-09 13:38:49

Bab 3

Dengan hati-hati Mas Fandy memboncengku menuju kafe tempat kami janjian. Laila, bukan gadis sembarangan sebab dia anak dari Tuan Tanah di kampung kami. Sedangkan aku, hanya anak seorang pensiunan guru yang hanya bekerja sebagai karyawan di butik tempat Ibu bekerja dulu.

Mas Fandy juga demikian. Ia hanya sopir pribadi Pak Hartono yang sepertinya menjadi anak buah kesayangan bosnya itu.

Rasanya sulit untuk kami mempertahankan hubungan ini mengingat mereka orang-orang yang berkuasa di kampung. Tapi, tidak ada salahnya kami berusaha. Bukankah diatas langit masih ada langit?

"Waah, serasi sekali kalian," ucap Laila menyambut kedatangan kami. Senyum miring yang terukir di wajahnya itu menunjukkan keangkuhan dirinya.

Perlahan aku menggandeng tangan Mas Fandy untuk mendekat. Meskipun aku tahu apa yang kulakukan ini bisa menambah murka hati Laila tapi aku tak peduli. Cinta kami suci dan utuh meskipun aku tak tahu akan bertahan seberapa lama lagi.

"Sebaiknya lepas pegangan tangan kamu itu karena sebentar lagi dia bukan lagi kekasihmu," ucap Laila dengan tangan terlipat di depan dada. Tatapan matanya tajam, seolah sedang berusaha mencongkel tanganku yang melingkar di lengan Mas Fandy.

"Tidak Laila. Kami datang untuk memohon kebesaran hatimu," ucapku memohon. Tak apa merendahkan diri di hadapan Laila asal kami bisa tetap bersama.

Mata Laila memicing menatapku hingga di dahinya terbentuk banyak lipatan. "Kebesaran hati?" ulang Laila yang setelahnya diiringi senyum miring.

"Kumohon, lihatlah cinta yang tumbuh diantara kami. Apakah kamu tak bisa melihat betapa kami saling mencintai?"

"Aku tak peduli!" sentak Laila keras. Rahangnya mengeras. Tatapan yang semula tajam itu berubah menusuk, bahkan menguliti wajahku yang sedang memohon padanya.

"Sudah sekian tahun aku memendam rasa ini pada Mas Fandy. Kubiarkan kalian bersenang-senang diatas perasaanku yang sedang tercabik-cabik atas perintah Bapak. Dan sekarang, tiba saatnya aku siap membina hubungan yang serius, beraninya kamu berkata seperti itu padaku?"

"Bukankah kamu lulusan sarjana? Kamu bisa saja mencari lelaki yang lebih dari Mas Fandy, yang hanya seorang sopir pribadi," rayuku berusaha menunjukkan bahwa dirinya bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Mas Fandy.

"Mas Fandy itu punya daya tarik tersendiri. Dia lelaki cerdas dan berkharisma, terlebih dia menawan. Dia juga cocok menjadi penerus usaha Bapak yang sudah lama digelutinya. Apa urusanmu soal jodohku? Mau menikah dengan siapa itu urusanku," balas Laila dengan dagu yang terangkat.

Astaghfirullah. Aku meremas ujung baju yang kupakai. Alasan yang diberikan Laila cukup masuk akal sebab Mas Fandy memang sudah lama bekerja pada keluarganya. Yang sedikit banyak tahu bagaimana aktivitas bapaknya.

"Apa kamu tidak melihat betapa kami saling mencintai?" lirihku hati-hati.

"Aku tidak peduli. Cinta itu bisa tumbuh di hati siapapun jika mereka sudah tinggal bersama. Begitu juga dengan kami nanti. Cinta Mas Fandy untukmu bisa saja mati perlahan ketika dia sudah berada dalam pelukanku," balas Laila dengan yakinnya.

Seketika tangan Mas Fandy menggenggam tanganku dengan eratnya. Seolah ia sedang bicara bahwa hatinya hanya untukku. Akan tetapi, wanita di depan kami ini tak bisa dilawan. Dia punya segalanya, yang dapat memudahkan apapun yang ingin dia dapatkan.

Memang benar uang bukan segalanya tapi bukankah segalanya terasa mudah jika memiliki uang?

Aku kalah telak jika yang menjadi patokan adalah uang.

"Bagaimana jika kami mencicil hutang itu?" tanyaku masih berusaha mencari jalan.

Laila terkekeh. Ia membuang pandangannya dari hadapanku, lalu kembali ke arahku saat kekehannya itu terhenti.

"Mencicil? Bapak memberi pinjaman itu secara cash. Bagaimana mungkin dikembalikan secara dicicil? Kami bukan bank kredit yang bisa memberikan pinjaman yang pengembaliannya dengan cara dicicil. Jika kami memberi pinjaman itu cash, seharusnya kembalinya juga cash." Seulas senyum miring mengakhiri kalimat Laila itu.

Seketika aku menghela napas berat. Usapan tangan Mas Fandy di punggungku membuat dadaku terasa makin sesak.

Aku tahu itu hanya akal-akalan bapaknya Laila untuk mempersulit Mas Fandy lepas dari jeratannya. Pandai sekali mereka.

"Sudahlah, Sayang. Jangan begini," bisik Mas Fandy di dekat telingaku. "Mas makin sakit lihat kamu seperti ini."

"Mas aja sakit, apalagi aku?" seruku masih belum bisa menerima.

"Kita sama-sama sakit. Jangan menambah sakit dengan kamu seperti ini," sergah Mas Fandy lagi.

"Lalu aku harus bagaimana, Mas? Aku ngga mau pisah sama kamu. Aku cinta kamu," rengekku tak lagi dapat menahan rasa takut dalam dada.

"Kamu percaya jodoh di tangan Tuhan? Jika tidak sekarang, mungkin nanti."

"Nanti bagaimana? Bapak sudah terang-terangan berkata padaku akan menerima lamaran Mas Lana, Mas!"

"Sudah berdebatnya? Silahkan puas-puaskan sayang-sayangan dan saling menguatkan sebab sebentar lagi kalian harus menerima kenyataan pahit. Tapi, bisa kupastikan kalau kamu ngga akan nyesel nikah sama aku, Mas," ujar Laila dengan sombongnya. Tatapan menggoda dari mata Laila pada Mas Fandy membuatku tak lagi bisa menahan diri.

"Jaga mulutmu! Jangan mentang-mentang kamu punya uang, lalu bisa berbuat seenaknya begini!" tegasku keras.

"Kenyataannya memang begitu, kan? Kamu harus legowo menerima semua ini. Pacaran lima tahun tapi tak berjodoh, itu lebih baik dari pada sudah menikah tapi berujung perceraian."

"Sudah Laila! Jangan banyak bicara! Kalau kamu tidak mau memberikan kelonggaran pada kami sebaiknya jangan mengumbar kesombongan." Mas Fandy tak lagi dapat menahan amarahnya pada wanita di depan kami itu.

"Tidak ada maksud begitu, Mas. Bapak tidak memintamu membayar hutang kan? Bapak cuma minta kamu nikahin aku dan semua hutang dianggap lunas. Jadi kamu ngga perlu pusing mikir yang lainnya," balas Laila dengan nada manja.

"Kalau begitu terima kasih atas kedatanganmu untuk berjumpa dengan kami. Sebaiknya kami pergi," balas Mas Fandy tegas.

"Oke. Jangan lupa datang nanti malam di acara makan malam keluarga kami. Bapak akan umumkan acara pernikahan kita yang ngga akan lama lagi."

Laila melenggang pergi meninggalkan meja tempat kami duduk. Dagunya terangkat dengan langkah yang anggun sambil menenteng tas jinjing di tangannya. Siapapun yang melihat pasti tahu bahwa dia wanita berada.

"Apa tidak ada solusi lain, Mas? Kita kawin lari saja!" rengekku masih belum bisa menerima kenyataan.

"Tidak, Sayang. Uang itu jumlahnya besar. Dibayar pun butuh bertahun-tahun untuk menabung dan Pak Hartono pasti tidak membiarkanku pergi begitu saja."

"Kita kabur, Mas. Sembunyi-sembunyi biar mereka ngga tahu kita pergi."

"Jangan begitu, Sayang. Hutang itu dibawa mati. Kalau ngga dibayar sekarang akan menyulitkan kita di alam Barzah nanti. Bagaimana pun Mas harus membayarnya meskipun itu mengorbankan cinta kita."

"Hamili aku saja, Mas! Kalau mereka tahu aku hamil pasti tidak akan bisa berbuat apapun selain melihat kita menikah," ucapku spontan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita tolol dan dungu. cinta boleh tapi dungu jangan. udah tau g punya kemampuan masih sok2an menjual harga diri. dasar kimak nih
goodnovel comment avatar
widia wati
kyk nya lakinya emg suka sm laila deh...siapa yg nggak mau kekayaan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Melepasmu Pergi    Kita Pulang

    Bab 50PoV Maharani Lelaki itu mengikatku dengan tali, kencang sekali. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku segera berteriak agar siapapun yang diluaran sana mendengar suaraku."Tolong!" teriakku kencang."Hey! Diam kamu!" sengit lelaki itu sambil menatapku tajam.Tak kupedulikan tatapan lelaki itu. Aku kembali berteriak. "Tolong!" "Dasar kamu!" Lelaki itu kembali menatapku penuh emosi. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan tua ini dan kembali dengan membawa kain panjang dan diikatkan di mulutku. Aku tak lagi bisa berontak. Kedua tangan dan kakiku diikat. Entah apa yang akan dia lakukan padaku."Diam kamu kalau tidak mau aku bermain kasar denganmu!" sentak lelaki itu. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan ini.Aku hanya bisa menangis sambil berdoa dalam hati. Siapapun itu, diluaran sana, tolong aku. Aku takut di sini. Lelaki itu kembali setelah beberapa saat. Ia mendekatiku, lalu membuka ikatan tanganku tapi tetap memegangi pergelangan tanganku agar aku tak berontak."Jangan

  • Setelah Melepasmu Pergi    Jangan Ikut Campur!

    Bab 49PoV Maulana Mobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju jalan raya. Suara teriakan wanita di belakangku membuatku turut panik. Berbagai pikiran buruk terus saja muncul dalam pikiranku.Setibanya di klinik, seorang tenaga medis membantu menaikkan tubuh ibu muda itu ke atas brankar untuk dibawa ke ruangan IGD."Mas, makasih ya? Kalau ngga ada Mas saya ngga tahu lagi harus gimana. Saya ngga bisa bawa istri saya pakai motor sebab khawatir kalau dia kenapa-kenapa di jalan," ucap lelaki itu sambil berulang kali melihat brankar sang istri yang sudah didorong oleh petugas."Sama-sama, Pak. Semoga ibu dan bayinya sehat dan selamat. Saya permisi," ucapku sopan."Aamiin. Hati-hati di jalan, Mas," ucap bapak itu sambil menyelipkan amplop ke dalam tanganku saat aku berpamitan."Ngga usah, Pak. Saya senang bisa bantu Ibu. Ngga pakai ginian," ucapku seraya mengembalikan amplop itu ke dalam tangan pemiliknya."Mas beneran?" Binar di mata bapak muda itu bersinar sambil berkaca-kaca."Be

  • Setelah Melepasmu Pergi    Kamu Dimana, Mas?

    Bab 48PoV MaharaniMelihat Mas Lana ada di depan mata, rasanya aku tak percaya. Dia bisa sampai disini dan menemukanku untuk mengajaknya kembali.Sayangnya, aku masih kesal padanya sebab dia yang sudah tega menuduhku yang bukan-bukan. Harus kuberi pelajaran dulu agar dia tahu caranya menghargai pasangan.Berulang kali mendapatinya mengejarku membuatku merasa bahwa dia laki-laki yang memang bertanggung jawab. Hasutan Renata mampu membuat suamiku yang baik itu sampai tega melontarkan kata-kata yang menyakitkan padahal selama bersamaku, Mas Lana terbilang dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi.Tiga hari, adalah waktu yang kuperkirakan untuk membuat Mas Lana cukup menyesali perbuatannya. Setelah tiga hari, aku akan mulai menerima ajakannya bicara untuk memperbaiki semuanya.Mataku membelalak saat melihat Mas Fandy tiba-tiba saja ada di sini, di rumah Bulik yang jauh dari rumah kami di kota, di hadapanku dengan senyumnya yang masih sama seperti saat kita menjalin hubunga

  • Setelah Melepasmu Pergi    Rasa Bersalah

    Bab 47PoV Maulana Setelah beristirahat, badanku sedikit membaik. Perutku pun rasanya minta segera diisi. Sehari kemarin, Bulik yang memberiku makan maka sekarang, aku ingin membalas kebaikannya dengan membelikan makanan untuk seisi rumah.Ikan bakar beserta sambal dan lalapan sudah ada di tanganku. Aku ingat, di awal kehamilan Rani, ia sempat meminta dibelikan makanan ini. Kali ini aku ingin mengulang momen itu, dimana hubungan kami masih baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun."Repot-repot aja Nak Lana," ucap Bulik saat aku mengulurkan beberapa kotak berisi ikan padanya."Enggak, Bulik. Kemarin Bulik yang memberiku makan, maka sekarang izinkan Lana mentraktir kalian semua," balasku sambil mengulum senyum. Sayangnya, Rani sama sekali tak melirikku padahal ia sedang duduk di ruang tengah."Walah, rejeki ini namanya. Kebetulan aja Bulik baru mau masak buat makan malam. Sekarang ayo sini kumpul makan dulu," ajak Bulik."Pak, ayo makan dulu," teriak Bulik di ambang pintu dapur. E

  • Setelah Melepasmu Pergi    Mulai Goyah

    Bab 46Pov MaulanaMalam ini adalah malam pertama aku tidur di rumah ini. Panas sekali. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin kecil yang sudah usang. Dan itu pun tak bisa sesejuk kipas angin yang masih baru. Tak hanya itu, kipas angin itu berbunyi saat kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ah seharusnya ini kumatikan saja. Tanganku tergerak menekan tombol kipas itu. Dari pada berisik dan aku tak jadi tidur lebih baik tak usah kipas angin.Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rumah ini. Berat, tapi demi Rani aku harus rela menelan semua ini.Terpaksa kulepas bajuku agar aku bisa tidur malam ini. Badanku baru terasa sejuk saat aku hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan. Kulit punggungku menempel pada kain sprei yang meskipun warnanya sudah pudar, kain itu tetap terasa dingin.Keesokan harinya, badanku sakit semuanya. Kasurnya bukan dari springbed tapi dari kasur kapuk yang sepertinya sudah lama. Saat aku tidur tidak ada empukn

  • Setelah Melepasmu Pergi    Berjuang Untuk Rani

    Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status