Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 26
Kembali Mengubur Rasa
"Ibu! Bapak!" teriakku melihat kedua orang tuaku datang setelah mengantar Sindy ke depan. Kondisi rumah kami yang berjauhan membuat mereka berdua tak bisa datang tepat waktu saat Mas Bima belum disemayamkan.
"Sabar ya, Nak!" ucap Ibu saat aku sudah berada dalam pelukannya. Tangisku pecah dalam pelukan wanita yang sudah melahirkanku ini. Betapa hatiku hancur mengalami beberapa musibah yang begitu menyayat hati tanpa beliau yang kukasihi di sisi. Ibu pun demikian, beliau menangis sambil memelukku.
Sedangkan bapak hanya mengusap pundakku pelan sambil menahan air mata saat melihatku terisak dalam pelukan ibu. Aku tahu mata bapak itu mengeluarkan air mata kesedihan, karena ia yang telah menerima pinangan Mas Bima yang sekarang lebih dulu meninggalkan istrinya ini. Rasa bersalah itu tersirat dari matanya yang berair. Namun
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 27Sebuah Hadiah.Selama doa bersama aku menunduk dengan khusyuk. Dengan bibir bergetar kuikuti tiap bacaan yang diucap oleh sang pemimpin tahlil. Bahkan sesekali air mataku menetes mengingat tujuan doa ini adalah untuk Mas Bimaku. Mas Bima yang sudah berjanji untuk sehidup semati denganku.Saat nama Bimantara Setya dibaca sebelum doa dibacakan, air mataku jebol dari pertahanan. Sesak kian terasa mengingat kini gelarnya sudah berganti menjadi "Almarhum". Suara riuh "Aamin" dalam ruangan ini membuat kepalaku semakin pusing seiring sesak yang kian menghimpit dada. Namun aku terus memaksa diri untuk kuat bertahan hingga acara selesai.Meskipun sudah sekian bulan aku merawat Mas Bima, tapi tetap saja ada rasa kehilangan yang menyeruak dalam dada. Kebiasaan yang sudah rutin kulakukan tiap pagi hari, jelas esok akan berubah. Suasana kamar yan
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 28Sebuah KeputusanSebesar apapun cinta yang pernah kumiliki untuknya, sekuat apapun hati untuk meraih kembali apa yang menjadi penghuninya, tetap salah jika kehadirannya menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan. Kutata kembali hati ini agar tak serakah mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Semoga bisa melalui ini semua, dan ini menjadi awal langkahku ke depannya.Belum juga aku kembali masuk ke dalam setelah kurir itu pergi, Danisa melewatiku hendak pergi ke sekolah. Tanpa pamit dan tanpa salam, ia pergi begitu saja, mengabaikanku yang berdiri mematung melihat tingkahnya.Segitunya kah dampak ucapan tetangga kemarin yang membuatnya hilang rasa hormat padaku. Padahal ia hanya mendengar tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tidakkah aku memiliki kesempatan untuk menjelaskan perihal apa yang terjadi padaku selama ini.&n
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 29Lelaki Di Pusara SuamikuRuang tamu besar dengan sofa empuk tertata rapi di dalamnya. Sebuah meja sudut dengan hiasan bunga cantik sudah berdiri dengan indahnya. Terdapat beberapa lukisan menempel di dinding di atas sofa. Beberapa bingkai foto tertata rapi di sebelah lukisan itu.Ada sedikit rasa khawatir saat melihat wajah dalam bingkai foto itu. Namun jalan sudah terlanjur dipilih, semoga tak akan terjadi hal yang buruk setelah ini. Karena niatku hanya ingin bekerja untuk menghidupi kedua putriku saja.Setelah beberapa saat menunggu, seorang lelaki paruh baya yang kukenal datang menghampiri. Ia duduk di sofa single di depan sofa yang kutempati ini."Cepat sekali kamu datang? Kukira menunggu hingga tujuh hari suamimu lebih dulu." Wajahnya tersenyum ramah. Tampak wajah berwibawa dalam raut tua itu, tapi aku tak t
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 30Damar Ar Rasyid"Mau kemana kamu? Nggak lihat bisnis Papa lagi kena masalah?" hardik papa saat aku hendak keluar kota. Aku telah membuat janji dengan kekasihku yang kusanggupi akan kunikahi di sebuah desa kecil. Dewi Saraswati namanya. Ia gadis yang baik, setia juga penuh cinta. Aku jatuh hati saat pertama kali melihatnya di taman kota. Ia sedang bercengkrama dengan beberapa temannya. Saat itu aku sedang berkunjung ke rumah saudara karena sebuah acara."Damar mau keluar, Pa!" sergahku. Aku tak ingin begitu saja mengabaikannya. Setidaknya aku akan memberi kabar bahwa aku harus membantu bisnis papa lebih dulu."Usiamu masih muda, bukan berarti kamu bisa senang-senang sesuka hati kamu! Kalau tidak belajar mulai sekarang, bagaimana kamu akan menjadi penerusnya kelak?" sahut papa. Aku sebagai anak tunggal tak mungkin bertindak ses
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 31Lamaran Kedua"Ibu punya hadiah untuk Mbak Danisa," ucapku pada Danisa sambil menyerahkan sebuah bungkusan plastik kepadanya. Dengan cepat aku berjalan dari depan gang setelah turun dari angkutan umum untuk menyerahkan ini padanya. Pasti ia senang mendapati aku membawa hadiah ini mengingat tasnya sudah tak layak pakai.Namun, tanpa suara Danisa hanya melirik sekilas bungkusan yang masih berada dalam genggaman tanganku tanpa berniat sedikitpun untuk mengambilnya. Ia hanya duduk di atas ranjang sambil memeluk boneka kesayangan pemberian sang ayah. Tak menyerah, aku pun berusaha untuk terus membujuknya."Terimalah Mbak, pasti suka. Ini hadiah buat Mbak." Aku pun duduk di sampingnya sambil mendekap tas dalam kantong plastik yang belum mau ia terima."Enggak! Itu ibu dapatkan dari hasil kerja ikut Mbak Arum ka
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 32Hari Pertama BekerjaMbak Ningsih telah membukakan pintu ruang tamu untukku yang baru datang sebagai asisten baru. Sebelum kami mulai bekerja, lebih dulu Mbak Ningsih membawaku untuk bertemu istri Tuan Bram."Jangan asal iya-iya aja dong, Pa! Gimana nama baik kita kalau Damar sampai batalin acara lamarannya? Papa ngga malu?!" Suara teriakan seorang wanita terdengar hingga tempatku dan Mbak Ningsih berdiri."Kalau anak nggak suka ya mau gimana lagi? Jangan memaksa kehendak kamu pada anak! Damar sudah dewasa, bukan anak kecil lagi!""Bukan maksa kehendak, Pa! Kemarin-kemarin sudah setuju. Bahkan sudah setuju untuk mengadakan acara lamaran. Masak sekarang gara-gara ketemu wanita di masa lalunya asal batalin semua acara yang sudah disusun? Malu dong, Pa!""Dari pada anakmu bercerai lebih
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 33Restu IbuPekerjaan di halaman belakang telah selesai kukerjakan, namun Mbak Ning lebih dulu masuk. Kukembalikan peralatan yang telah kupakai di tempatnya semula dengan rapi. Lalu aku berjalan kembali masuk ke area dapur melalui pintu yang tadi kugunakan saat keluar.Kulihat Mbak Ning lari tergopoh-gopoh menuju pintu ruang tamu. Sepertinya ada seseorang yang memencet bel sehingga membuat Mbak Ning buru-buru untuk membukakan pintu.Aku hanya mengintip dari area dapur tanpa berani keluar seperti yang Mbak Ning lakukan. Aku melihat seorang ibu paruh baya dengan rambut di urai dengan indahnya berjalan masuk menuju ruang tamu. Ia berjalan bak model dengan tas menggantung di lengannya. Pakaian yang dikenakan perempuan itu pun tampak bagus, terlihat jika yang datang itu bukan wanita rendahan sepertiku."Ib
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 34Hati Yang Mulai Terbuka"Motor siapa, Pak?" tanyaku saat aku sudah berada di hadapan bapak, ibu, dan ibu mertua. Mereka bertiga sedang duduk di ruang tamu bercengkrama bersama saat istirahat sejenak dari rutinitas persiapan acara pengajian untuk Mas Bima."Motor buatmu, Nduk. Sekarang kan kamu sudah bekerja, sengaja bapak belikan motor biar kalau berangkat kerja nggak perlu naik angkot lagi.""Bapak punya uang?" tanyaku menelisik sambil mendekat ke arah ketiganya. Kucium satu persatu tangan orang tuaku itu lalu aku duduk di sebelah mereka."Ya ada, Nduk. Kan Bapak juga kerja nggarap ladang. Sedikit demi sedikit hasilnya bapak tabung dan sekarang bisa buat belikan kamu motor ini. Bagus nggak?" Wajah bapak menunjuk motor yang terparkir di halaman rumah dengan dagunya. Sebuah motor matic keluaran terba