Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan

last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-31
Oleh:  SafiiaaTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
9 Peringkat. 9 Ulasan-ulasan
70Bab
45.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Ujian kehidupannya datang di saat usia pernikahannya menginjak sepuluh tahun. Dewi harus berjuang sendirian untuk bertahan hidup juga merawat suaminya yang tengah lumpuh. Ujian bertambah dengan kecelakaan yang menimpa anaknya yang membutuhkan biaya hingga ia terpaksa menjadi pemandu karaoke. Dan disinilah Dewi kembali bertemu dengan kisah masa lalunya yang sejatinya masih mengharapkannya. Akankah keduanya bersatu? Yuk ikuti kisahnya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Harta Satu-satunya

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan

"Miring dulu ya, Mas," ucapku pada suamiku yang tengah terbaring tak berdaya di ranjang. Lalu aku seka punggungnya dengan waslap dan air hangat agar tubuhnya lebih segar. 

Mas Bima hanya tersenyum saat badannya kubersihkan. Tampak bibirnya ingin bergerak namun tak bisa. 

"Apa Mas? Badannya segar ya?"

Mas Bima tak menjawab, hanya gerakan bulu matanya yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan ucapanku. 

Kupakaikan baju yang bersih juga harum agar ia bisa kembali tidur dengan nyaman. Setelah baju kupaikan, tak lupa kusisir rambut bagaian depan agar terlihat rapi. Meskipun ia hanya tidur di atas ranjang tanpa bisa kemanapun, aku tetap memperhatikan penampilannya. 

"Bu, sudah selesai mandikan ayah?" tanya Danisa, putriku. 

"Kenapa, Mbak?" tanyaku balik tanpa menghadap wajahnya, karena aku sedang merapikan nakas di samping ranjang tempat ayahnya berbaring. 

"Adik ee'."

"Iya, tunggu sebentar."

Segera kuselesaikan aktivitasku di dalam kamar tidur suamiku yang sedang terkena stroke ini. Suami yang menikahiku sepuluh tahun lalu setelah berjuang meyakinkan orang tuaku bahwa ia mampu memberikan kebahagiaan. Kini ia terbaring lemah tak berdaya setelah tiba-tiba tak sadarkan diri enam bulan yang lalu. 

Cinta yang besar membuatku sanggup bertahan untuk merawatnya. Cinta juga yang membuatku bertahan disisinya untuk membantunya berjuang meraih kesembuhan. Menelan segala pil pahit kehidupan seorang diri demi menjaga keutuhan keluarga kami.

"Dek Rani sudah ee'nya?" tanya Danisa yang terdengar hingga luar kamar mandi. 

"Udah Mbak," jawab si bungsu. 

"Buuu, ini adek sudah selesai," teriak Danisa memanggilku. 

"Iya, Mbak, nggak usah teriak nanti ayah kebangun." Kuhampiri Rani dalam kamar mandi dan kubantu untuk membersihkan kotorannya.

"Ibu sudah mandiin ayahnya?" tanya Rani saat aku sudah berada di depannya. 

"Sudah adek," jawabku sambil tersenyum.

"Yaaa padahal tadi adek mau bantu-bantu ibu," jawabnya bersedih. 

Mendapati wajah mungil di depanku yang sedang cemberut ini membuatku gemas. Kuusap lembut rambut tipisnya lalu kucium sekilas. Dua gadis inilah yang membuatku kuat menghadapi segala macam ujian kehidupan. 

"Nggak apa-apa, adek bantu ibu masak mau?" tanyaku berusaha menghiburnya. 

"Ibu mau masak?"

"Iya, mau bantu ibu? Yuk?" ajakku setelah selesai memakaikan kembali celana dalamnya. Kami berdua lantas berjalan ke arah dapur. Kugandeng tangan mungil Rani, kemudian tautan tangan kami ia ayun-ayunkan hingga kami sampai di depan pintu dapur. 

"Ibu mau masak apa?" tanyanya saat tangan kami terurai. Aku sedang membuka rak tempat kami menyimpan makanan, biasanya kuletakkan telur dan mie instan di dalamnya. 

"Ibu mau goreng telur aja, adek mau?" tanyaku memastikan. 

"Mau mau, adek ke mbak dulu ya, Bu," ucapnya seraya berlalu pergi tanpa menunggu jawabanku.

Kubuka kembali rak yang ada di sudut dapur ini, tampaknya beberapa stok makanan pemberian mertua sudah banyak yang habis. Telur hanya tinggal dua butir, beras hanya tinggal seliter, hanya cukup untuk makan hingga esok pagi. Sementara uang pesangon juga hasil dari jual motor sudah hampir habis untuk pengobatan Mas Bima juga biaya hidup kami sehari-hari. 

Selesai makan Danisa kembali melanjutkan mengerjakan tugas sekolahnya. Sedangkan Kirani menemaniku menjaga ayahnya di dalam kamar. Kupijat dengan lembut kaki Mas Bima agar badannya tidak terasa pegal. Namun aku tersenyum manakala Rani tertidur pulas sambil memeluk tubuh ayahnya. 

"Mas kenapa? " tanyaku saat air mata Mas Bima tiba-tiba menetes. 

Tanpa mendengar jawabannya aku tahu bahwa Mas Bima merasa bersalah, merasa tak berdaya atas keadaannya. Bagaimana tidak, semasa hidupnya tak ia biarkan aku turut bekerja membantu perekonomian keluarga. Baginya mencari nafkah adalah tanggung jawab suami, sedang istri hanya membantu dengan doa juga merawat buah hatinya. 

Sikapnya semasa sehat yang penuh kasih sayang juga bertanggung jawab membuatku dengan senang hati merawat kondisinya saat ini. Karena jelas tak mungkin kutinggalkan lelaki yang sudah bertahun-tahun memenuhi kebutuhan juga membahagiakanku ini. 

"Jangan bersedih, Mas. Ini ujian yang Allah berikan, aku ikhlas menjalaninya." Wajahku tetap tersenyum sekalipun otakku berpikir keras bagaimana caranya untuk mencukupi kebutuhan esok hari juga setelahnya. 

Beberapa saat kemudian Mas Bima sudah tertidur. Kuputuskan untuk melihat keadaan Danisa terlebih dulu, juga mengunci pintu ruang tamu. 

"Sudah selesai Mbak belajarnya?" tanyaku setelah aku selesai memeriksa pintu dan jendela.

"Sudah, Bu."

"Ya sudah, Mbak tidur dulu ya?"

Danisa hanya menjawab dengan anggukan lalu berjalan menuju kamar di sebelah kamar utama. Tubuhnya terlihat lebih tinggal dari beberapa temannya. Ia juga turut membantu merawat ayahnya, kadang ia juga membantuku menjaga Kirana saat aku harus membawa ayahnya berobat. Ah anakku sudah besar rupanya. 

Kududukkan tubuhku di atas sofa ruang tengah. Entah mengapa aku ingin sendiri malam ini. Setelah kepalaku tak bisa berhenti berpikir bagaimana mencari biaya untuk bertahan hidup, kini hati terasa tak karuan.

Kuletakkan kepala di sandaran sofa dengan tangan saling bertaut. Sambil terus berzikir semoga Allah segera memberi kami pertolongannya. 

"Wi! Dewi! Cepat buka pintunya!" Suara teriakan Mas Seno-kakak Mas Bima- menyadarkanku dari lamunan. 

Gegas aku keluar menghampirinya, sedang apa malam-malam teriak-teriak di rumah orang. 

"Ada apa, Mas?" tanyaku pada Mas Seno yang sepertinya terburu-buru. 

"Aku boleh minta tolong nggak?"

"Kalau bisa bantu pasti saya tolong, Mas."

"Aku boleh pinjam sertifikat rumah kamu? Besok hari terakhir tenggang waktu yang diberikan bank untukku bayar cicilan, namun aku belum mendapatkan uangnya. Kumohon pinjami aku sertifikat rumahmu ini, nanti kukembalikan setelah aku ada uangnya," pintanya memohon. 

Aku tercekat mendengar permintaan Mas Seno, sebab ini terlalu mendadak buatku berpikir. Bagaimana mungkin memberikan pinjaman sertifikat rumah ini sementara ini adalah harta kami satu-satunya. 

"Kumohon Wi, janji kukembalikan setelah ada uangnya," ucapnya lagi setelah aku tak memberikan respon apapun. 

"Jangan lupa aku juga turut membantu biaya pengobatan suamimu, masak sekarang ganti aku yang butuh bantuan kamu nggak mau bantu," ucapnya lagi. Jika diungkit soal kebaikannya, aku tak bisa berkata apa-apa sebab ia juga turut membantu membiayai pengobatan Mas Bima beberapa bulan lalu. 

"Ayolah, Wi! Tolong bantu masmu ini."

Tak tahu lagi aku harus bagaimana, hendak menolak juga tak mungkin karena dia sudah mengungkit kebaikannya pada kami. Ah sudah lah, biarkan saja kuberi pinjaman, toh dia juga punya usaha untuk bisa menebus kembali sertifikat ini nantinya. 

"Baiklah, Mas. Tunggu sebentar."

Akhirnya dengan berat hati kuberikan sertifikat itu pada Mas Seno. Semoga saja ia kembalikan secepatnya karena hanya itu harta kami satu-satunya. Motor Mas Bima juga sudah kami jual untuk biaya hidup kami. 

Kutatap punggung Mas Seno hingga ia hilang dari pandanganku. Betapa hidup ini penuh dengan ujian. Tak cukup hanya dengan ujian berupa suami yang sedang sakit, masih juga Allah uji kami dengan meminjamkan harta berharga kami pada saudara. Sungguh usia pernikahan yang menginjak angka sepuluh ini terasa begitu menyiksa kalbu. 

Bersambung🥀🥀🥀

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
PiMary
Bagaimana author ketika mengetik naskah ini?apakah sama spt ku yg dr awal baca terus rembes air mata??...........novel yg sangat bagus dan bisa memainkan emosional pembacanya,terima kasih thor.
2023-04-18 16:35:03
1
user avatar
Mama Kiswah
keren kak novelnya,, menginspirasi sekali..
2022-08-30 13:49:48
0
user avatar
Eka Puspita Sari
good and best
2022-07-09 02:10:22
1
user avatar
Endang Sri
semoga bab selanjutnya enggak lama lagi yaa, udah penasaran ini...
2022-05-30 08:58:56
2
user avatar
Yanti Keke
dtungg next chapterny
2022-05-29 07:12:10
2
user avatar
Nurul Chabiba Andrik Najwa
lanjut trus Kak... semangat
2022-05-21 00:33:17
2
user avatar
Maulina Fikriyah
Suka banget sama ceritanya ...️
2022-05-12 01:43:29
1
user avatar
Ni Putu Andriani
cerita yang seru, tentang perjalan
2022-05-03 10:15:36
1
user avatar
Safiia
yukk mampir......
2022-04-13 16:22:00
1
70 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status