Ujian kehidupannya datang di saat usia pernikahannya menginjak sepuluh tahun. Dewi harus berjuang sendirian untuk bertahan hidup juga merawat suaminya yang tengah lumpuh. Ujian bertambah dengan kecelakaan yang menimpa anaknya yang membutuhkan biaya hingga ia terpaksa menjadi pemandu karaoke. Dan disinilah Dewi kembali bertemu dengan kisah masa lalunya yang sejatinya masih mengharapkannya. Akankah keduanya bersatu? Yuk ikuti kisahnya.
Lihat lebih banyakSetelah Sepuluh Tahun Pernikahan
"Miring dulu ya, Mas," ucapku pada suamiku yang tengah terbaring tak berdaya di ranjang. Lalu aku seka punggungnya dengan waslap dan air hangat agar tubuhnya lebih segar.
Mas Bima hanya tersenyum saat badannya kubersihkan. Tampak bibirnya ingin bergerak namun tak bisa.
"Apa Mas? Badannya segar ya?"
Mas Bima tak menjawab, hanya gerakan bulu matanya yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan ucapanku.
Kupakaikan baju yang bersih juga harum agar ia bisa kembali tidur dengan nyaman. Setelah baju kupaikan, tak lupa kusisir rambut bagaian depan agar terlihat rapi. Meskipun ia hanya tidur di atas ranjang tanpa bisa kemanapun, aku tetap memperhatikan penampilannya.
"Bu, sudah selesai mandikan ayah?" tanya Danisa, putriku.
"Kenapa, Mbak?" tanyaku balik tanpa menghadap wajahnya, karena aku sedang merapikan nakas di samping ranjang tempat ayahnya berbaring.
"Adik ee'."
"Iya, tunggu sebentar."
Segera kuselesaikan aktivitasku di dalam kamar tidur suamiku yang sedang terkena stroke ini. Suami yang menikahiku sepuluh tahun lalu setelah berjuang meyakinkan orang tuaku bahwa ia mampu memberikan kebahagiaan. Kini ia terbaring lemah tak berdaya setelah tiba-tiba tak sadarkan diri enam bulan yang lalu.
Cinta yang besar membuatku sanggup bertahan untuk merawatnya. Cinta juga yang membuatku bertahan disisinya untuk membantunya berjuang meraih kesembuhan. Menelan segala pil pahit kehidupan seorang diri demi menjaga keutuhan keluarga kami.
"Dek Rani sudah ee'nya?" tanya Danisa yang terdengar hingga luar kamar mandi.
"Udah Mbak," jawab si bungsu.
"Buuu, ini adek sudah selesai," teriak Danisa memanggilku.
"Iya, Mbak, nggak usah teriak nanti ayah kebangun." Kuhampiri Rani dalam kamar mandi dan kubantu untuk membersihkan kotorannya.
"Ibu sudah mandiin ayahnya?" tanya Rani saat aku sudah berada di depannya.
"Sudah adek," jawabku sambil tersenyum.
"Yaaa padahal tadi adek mau bantu-bantu ibu," jawabnya bersedih.
Mendapati wajah mungil di depanku yang sedang cemberut ini membuatku gemas. Kuusap lembut rambut tipisnya lalu kucium sekilas. Dua gadis inilah yang membuatku kuat menghadapi segala macam ujian kehidupan.
"Nggak apa-apa, adek bantu ibu masak mau?" tanyaku berusaha menghiburnya.
"Ibu mau masak?"
"Iya, mau bantu ibu? Yuk?" ajakku setelah selesai memakaikan kembali celana dalamnya. Kami berdua lantas berjalan ke arah dapur. Kugandeng tangan mungil Rani, kemudian tautan tangan kami ia ayun-ayunkan hingga kami sampai di depan pintu dapur.
"Ibu mau masak apa?" tanyanya saat tangan kami terurai. Aku sedang membuka rak tempat kami menyimpan makanan, biasanya kuletakkan telur dan mie instan di dalamnya.
"Ibu mau goreng telur aja, adek mau?" tanyaku memastikan.
"Mau mau, adek ke mbak dulu ya, Bu," ucapnya seraya berlalu pergi tanpa menunggu jawabanku.
Kubuka kembali rak yang ada di sudut dapur ini, tampaknya beberapa stok makanan pemberian mertua sudah banyak yang habis. Telur hanya tinggal dua butir, beras hanya tinggal seliter, hanya cukup untuk makan hingga esok pagi. Sementara uang pesangon juga hasil dari jual motor sudah hampir habis untuk pengobatan Mas Bima juga biaya hidup kami sehari-hari.
Selesai makan Danisa kembali melanjutkan mengerjakan tugas sekolahnya. Sedangkan Kirani menemaniku menjaga ayahnya di dalam kamar. Kupijat dengan lembut kaki Mas Bima agar badannya tidak terasa pegal. Namun aku tersenyum manakala Rani tertidur pulas sambil memeluk tubuh ayahnya.
"Mas kenapa? " tanyaku saat air mata Mas Bima tiba-tiba menetes.
Tanpa mendengar jawabannya aku tahu bahwa Mas Bima merasa bersalah, merasa tak berdaya atas keadaannya. Bagaimana tidak, semasa hidupnya tak ia biarkan aku turut bekerja membantu perekonomian keluarga. Baginya mencari nafkah adalah tanggung jawab suami, sedang istri hanya membantu dengan doa juga merawat buah hatinya.
Sikapnya semasa sehat yang penuh kasih sayang juga bertanggung jawab membuatku dengan senang hati merawat kondisinya saat ini. Karena jelas tak mungkin kutinggalkan lelaki yang sudah bertahun-tahun memenuhi kebutuhan juga membahagiakanku ini.
"Jangan bersedih, Mas. Ini ujian yang Allah berikan, aku ikhlas menjalaninya." Wajahku tetap tersenyum sekalipun otakku berpikir keras bagaimana caranya untuk mencukupi kebutuhan esok hari juga setelahnya.
Beberapa saat kemudian Mas Bima sudah tertidur. Kuputuskan untuk melihat keadaan Danisa terlebih dulu, juga mengunci pintu ruang tamu.
"Sudah selesai Mbak belajarnya?" tanyaku setelah aku selesai memeriksa pintu dan jendela.
"Sudah, Bu."
"Ya sudah, Mbak tidur dulu ya?"
Danisa hanya menjawab dengan anggukan lalu berjalan menuju kamar di sebelah kamar utama. Tubuhnya terlihat lebih tinggal dari beberapa temannya. Ia juga turut membantu merawat ayahnya, kadang ia juga membantuku menjaga Kirana saat aku harus membawa ayahnya berobat. Ah anakku sudah besar rupanya.
Kududukkan tubuhku di atas sofa ruang tengah. Entah mengapa aku ingin sendiri malam ini. Setelah kepalaku tak bisa berhenti berpikir bagaimana mencari biaya untuk bertahan hidup, kini hati terasa tak karuan.
Kuletakkan kepala di sandaran sofa dengan tangan saling bertaut. Sambil terus berzikir semoga Allah segera memberi kami pertolongannya.
"Wi! Dewi! Cepat buka pintunya!" Suara teriakan Mas Seno-kakak Mas Bima- menyadarkanku dari lamunan.
Gegas aku keluar menghampirinya, sedang apa malam-malam teriak-teriak di rumah orang.
"Ada apa, Mas?" tanyaku pada Mas Seno yang sepertinya terburu-buru.
"Aku boleh minta tolong nggak?"
"Kalau bisa bantu pasti saya tolong, Mas."
"Aku boleh pinjam sertifikat rumah kamu? Besok hari terakhir tenggang waktu yang diberikan bank untukku bayar cicilan, namun aku belum mendapatkan uangnya. Kumohon pinjami aku sertifikat rumahmu ini, nanti kukembalikan setelah aku ada uangnya," pintanya memohon.
Aku tercekat mendengar permintaan Mas Seno, sebab ini terlalu mendadak buatku berpikir. Bagaimana mungkin memberikan pinjaman sertifikat rumah ini sementara ini adalah harta kami satu-satunya.
"Kumohon Wi, janji kukembalikan setelah ada uangnya," ucapnya lagi setelah aku tak memberikan respon apapun.
"Jangan lupa aku juga turut membantu biaya pengobatan suamimu, masak sekarang ganti aku yang butuh bantuan kamu nggak mau bantu," ucapnya lagi. Jika diungkit soal kebaikannya, aku tak bisa berkata apa-apa sebab ia juga turut membantu membiayai pengobatan Mas Bima beberapa bulan lalu.
"Ayolah, Wi! Tolong bantu masmu ini."
Tak tahu lagi aku harus bagaimana, hendak menolak juga tak mungkin karena dia sudah mengungkit kebaikannya pada kami. Ah sudah lah, biarkan saja kuberi pinjaman, toh dia juga punya usaha untuk bisa menebus kembali sertifikat ini nantinya.
"Baiklah, Mas. Tunggu sebentar."
Akhirnya dengan berat hati kuberikan sertifikat itu pada Mas Seno. Semoga saja ia kembalikan secepatnya karena hanya itu harta kami satu-satunya. Motor Mas Bima juga sudah kami jual untuk biaya hidup kami.
Kutatap punggung Mas Seno hingga ia hilang dari pandanganku. Betapa hidup ini penuh dengan ujian. Tak cukup hanya dengan ujian berupa suami yang sedang sakit, masih juga Allah uji kami dengan meminjamkan harta berharga kami pada saudara. Sungguh usia pernikahan yang menginjak angka sepuluh ini terasa begitu menyiksa kalbu.
Bersambung🥀🥀🥀
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 70Keluarga Bahagia"Maafkan Mama yang sudah emosi tanpa mengetahui alasan yang jelas," ujar Mama saat beliau baru saja datang ke tempat tinggal Ibu di kampung. Ia langsung saja memelukku begitu turun dari mobil. Ada gurat sesal yang tersirat dari wajahnya yang mulai menua. Binar kesedihan terpancar dari sinar matanya yang meredup. Mama kembali meraih tubuhku untuk direngkuhnya begitu sampai di dalam rumah. Aku terharu dengan sikap Mama. Beliau yang kusangka enggan untuk datang, nyatanya kini benar-benar ada di hadapanku dan meminta untukku agar kembali mendampingi putranya di kota. "Maafkan Mama, Nak. Mama salah. Mama terlalu percaya omongan teman yang kusangka baik ternyata punya niat jahat denganmu." Air mata Mama menganak sungai. Perlahan aku meminta Mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Ia yang terlampau sedih butuh sandaran untuk menopang bobot tubuhnya karena tiba-tiba saja aku lemas. Mas Damar dan Papa hanya memandang kami sambil tersenyum.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 69Bahagia Itu Akhirnya KembaliMenangis adalah jalan satu-satunya untuk meluapkan rasa yang begitu menyesakkan dada. Tak ada lagi yang mampu melegakan hati kecuali dengan menghabiskan sisa air mata hingga ia tak lagi mau menetes. Sesaknya dada seperti udara tak lagi bersahabat denganku. Seakan ia tak mau masuk ke dalam rongga hidungku untuk sejenak saja memberikan kesegaran dalam diriku. Pada akhirnya aku tahu bahwa rasa itu sudah masuk memenuhi dinding hati yang membuatku kian berat untuk melepasnya. Aku rindu. Ibu datang menghampiri saat aku tengah duduk termenung di ruang tamu malam ini. Beliau bisa merasakan keadaan anaknya tanpa banyak bertanya padaku. Benar saja. Orangtua sudah makan asam garam kehidupan. Tanpa banyak bertanya pun, dari ekspresi wajah yang terpancar dari wajahku beliau sudah paham perasaanku saat ini. "Menangislah hingga kamu tak lagi ingin menangis." Ibu mengusap bahuku pelan. "Maafkan Dewi, Bu. Ini berat," ujarku lirih. Ta
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 68Cinta Tak Harus MemilikiMas, maaf jika aku pergi tanpa pamit. Maaf jika aku harus pergi secepat ini. Aku hanya tak ingin menjadi duri dalam keluargamu yang harmonis. Aku hanyalah wanita dari desa yang tak pantas menjadi pendamping seorang pengusaha seperti dirimu. Benar apa yang diucap Mama, jika aku adalah perempuan murahan karena aku telah membuatmu melepas Sindy begitu saja demi menikah denganku. Apapun masa lalu kita, tak seharusnya merubah masa depan yang akan kau rajut bersama dia yang sepadan. Maaf jika selama ini aku salah. Aku terlalu grusa-grusuh dalam mengambil keputusan. Maaf jika aku harus menyembunyikan masa laluku darimu juga Mama karena aku tak punya cukup nyali untuk menerima konsekuensinya. Dan sekarang terbukti, apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aku memang tak pantas untukmu. Aku tak pantas jadi bagian dari keluarga besarmu. Lebih baik aku pergi, menjauh dari dirimu meskipun aku tahu ini sulit bagiku. Berusahalah untuk
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 67Hancur. Kebahagiaan yang sudah di depan mata tiba-tiba saja menepi dari pandangan. Rasanya aku ragu untuk bisa mereguk bahagia itu kembali jika sikap mertua tak baik padaku. Sejak dulu, memiliki mertua yang baik adalah idaman bagiku, namun siapa sangka sikapnya yang semula baik tiba-tiba berubah menjadi mengerikan seperti ini. Mana berani aku berharap banyak. Bisa bertahan menikah dengan putranya tanpa mendengar sindirannya saja sudah untung. Namun tetap saja ada yang mengganjal jika masalah ini tak segera diselesaikan. Aku tahu sikap Mama berubah karena sesuatu yang ditunjukkan oleh Mama Sindy padanya kemarin saat resepsi. Namun ucapannya yang menyakitkan bak bekas paku yang sekalipun telah dicabut, bekasnya tak akan bisa hilang. Berlubang. "Dek, jangan diambil hati ucapan Mama." Mas Damar menyusulku yang tengah terduduk lemas di teras rumah. Tiang penyangga atap ini kini menjadi sandaran punggungku untuk menikmati luka yang kembali menganga. I
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 66PoV. Damar: Ucapan Mama"Sebaiknya kamu ajak istrimu ke kamar, biar istirahat. Ucapan Mamamu jangan diambil hati," ujar Papa. Kulihat Dewi tengah menunduk dengan tangan yang beberapa kali mengusap sudut matanya. Ia pasti terluka karena ucapan Mama. "Yuk ke kamar?" ajakku yang langsung disambut anggukan olehnya. Dewi lantas bangkit dari tempat duduknya dan kugandeng menuju kamar untuk istirahat. Tubuhnya sudah lelah setelah seharian menjalani resepsi pernikahan kemarin, hari ini hatinya telah terluka karena ucapan Mama. Aku kasihan pada Dewi. Meskipun sebenarnya aku juga syok mendengar kabar yang baru saja kudengar namun aku masih bisa memaklumi. Tidak emosi seperti Mama. "Maafkan aku, Mas. Aku tak pernah jujur padamu sejak dulu." Dewi terisak di bibir ranjang. Ia menunduk sambil menelungkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang basah. Istri yang baru saja sah secara negara menjadi istriku itu kini tampak merasa bersalah. Aku pun tak t
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 65Salah PahamPov Damar"Jangan hiraukan sikap Mama, biar aku yang bicara setelah di rumah besok. Malam ini milik kita, aku tak mau ucapan Mama tadi merusak malam pengantin kita." Aku berucap pada istriku saat ia menikmati sepiring sate ayam. Ia makan dengan enggan, sepertinya ucapan Mama begitu menusuk hatinya. Aku harus berbuat sesuatu besok. Tak bisa dibiarkan. Acara resepsi sudah selesai digelar. Kini semua orang tahu bahwa aku telah beristri. Dia yang kunantikan kini nyata menjadi istriku. Sungguh, aku tak pernah menyangka. Kukira, ia hanya akan menjadi angan dalam ingatanku. Kukira dia hanya akan menjadi wanita penghias masa laluku yang sangat kudambakan kehadirannya. Sungguh takdir Allah membuatku tak bisa berkata apa-apa. Wanita cantik yang selalu kusebut dalam doaku kini telah sah menjadi pendamping hidupku. Meskipun aku tahu, kehadirannya tak sendiri. Ada dua anak yatim darinya yang harus kusayangi sepenuh hati. Cinta kami satu paket. Ak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen