LOGINDemi menyelamatkan perusahaan sang ayah, Marlina menjual dirinya pada seorang CEO tampan, perusahaan ternama. Kevin Andreas. Dia membantu perusahaan saingannya, dengan Marlina sebagai imbalan. Berpikir akan hidup bahagia dengan pernikahannya. Wanita itu malah mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Marlina dianggap sampah tak berguna, karena tidak bisa memberi Kevin keturunan. Bisakah dia bertahan dengan pernikahan ini? Karena meluluhkan seorang CEO arogan, bukanlah sesuatu yang mudah.
View MoreLangit sore tampak pucat keemasan saat Marlina keluar dari lift menuju ruang kerja Kevin di lantai teratas. Dia baru saja mengantarkan makan siang untuk suaminya, yang hari-harinya kini penuh dengan rapat dan persiapan operasi besar yang dijadwalkan beberapa hari lagi. Lelaki itu terlihat lelah, tapi sempat tersenyum saat Marlina datang membawa kotak makan kesukaannya."Jangan lupa makan, Kevin," ucapnya lembut sebelum pamit pulang lebih dulu. Namun begitu mobilnya tiba di halaman depan rumah keluarga Davidson, suasana terasa berbeda. Seorang pelayan yang mengenalnya dengan baik menyambut dengan wajah gugup."Nyonya Marlina…" suara pelayan itu bergetar. "Tadi, Nyonya Kania datang. Beliau langsung masuk ke ruang pribadi Tuan Kevin."Langkah Marlina berhenti di ambang pintu, napasnya tercekat. "Apa kau bilang? Ibu Kania? Masuk ke ruang pribadi Kevin?" Pelayan itu mengangguk cepat. "Iya, Bu. Katanya beliau hanya mampir sebentar. Saya tidak berani melarang." Seketika darah Marlina ter
Hari itu langit tampak gelap meski matahari belum tenggelam. Hujan belum turun, namun udara di sekitar kantor Davidson Group terasa berat dan tegang. Di ruang kerja tertinggi gedung itu, Kevin duduk diam di balik meja besar yang penuh dengan dokumen berserakan. Tangannya menggenggam ponsel, menatap satu pesan yang baru saja dia terima dari tim audit internal."Semua bukti mengarah pada Nyonya Kania. Transaksi tersembunyi ke perusahaan shell luar negeri berasal dari cabang seni milik beliau. Dana mengalir ke rekening pribadi atas nama staf yang juga bekerja untuknya." Satu napas panjang lolos dari bibir Kevin. Tatapannya tajam, penuh amarah yang dingin. Dia akhirnya tahu siapa musuh sebenarnya, orang yang selama ini menebar benih kekacauan di balik punggungnya bukanlah pesaing bisnis, bukan investor licik, melainkan ibu tirinya sendiri. Kenyataan itu menampar batinnya keras. Dia berdiri, berjalan ke arah jendela besar, menatap kota yang berkelip di bawah sana. Suaranya bergetar ketik
Hari-hari setelah insiden di rumah utama itu terasa seperti berjalan di atas bara api bagi Kevin. Meskipun semua orang berusaha bersikap normal, ketegangan di antara keluarga Davidson masih menggantung di udara. Dingin, tebal, dan penuh rahasia. Namun badai baru muncul di tempat lain.Entah bagaimana, perusahaan mulai diguncang masalah-masalah kecil yang aneh. Beberapa klien lama tiba-tiba membatalkan kontrak tanpa alasan jelas. Salah satu proyek besar di cabang luar negeri tertunda karena laporan keuangan yang tiba-tiba “hilang”. Dan yang paling menyakitkan, investor yang sudah lama loyal tiba-tiba menarik dana mereka, membuat rapat-rapat darurat harus digelar hampir setiap hari. Kevin menatap papan presentasi di ruang rapat besar itu dengan mata lelah. Kemejanya kusut, dasinya longgar, dan wajahnya yang dulu selalu tenang kini terlihat tegang."Siapa yang tangani pengiriman dokumen ke Singapore?" tanyanya tajam. Seorang manajer keuangan gemetar menjawab, "Tim logistik, Pak. Kami
Pagi itu, langit di luar rumah utama keluarga Davidson masih tampak kelabu. Hujan semalam belum sepenuhnya berhenti, hanya sisa gerimis yang menetes pelan di antara dedaunan basah. Suasana di ruang makan utama terasa berat, terlalu hening, terlalu tegang, seolah setiap napas bisa memicu ledakan. Tuan David duduk di kursi paling ujung meja panjang itu, mengenakan kemeja putih yang sudah digulung hingga siku. Wajahnya keras dan lelah, pandangannya tajam menatap ke seberang. Di sisi kirinya, duduk Kania dengan kepala tegak namun sorot matanya menantang. Sementara di sisi kanan, Kevin duduk dengan wajah datar, rahangnya mengeras, tangannya mengepal di atas meja. Marlina duduk di sebelahnya, masih tampak gugup meski sudah berusaha menenangkan diri. Dan di sisi lain, Jeno menunduk, kedua tangannya menggenggam lutut, bimbang antara rasa bersalah dan amarah yang belum padam. Suara jam dinding menjadi satu-satunya yang terdengar, berdetak seperti menghitung waktu menuju ledakan besar. Hingg
Ada sunyi tegang di kamar tamu itu, seperti sebelum badai. Lampu kecil di meja samping menebar cahaya temaram yang membuat bayangan mereka berdua tampak rapuh, seolah dapat patah kapan saja. Kevin duduk di tepi ranjang, tangannya sibuk merapikan jasnya. Ada gerakan cepat, seperti orang yang ingin pergi sekarang juga bukan besok, bukan nanti. Mata pria itu dingin, kaku, menahan amarah yang baru saja meletup. Marlina duduk di sampingnya, masih menyisakan sisa gemetar di tubuhnya. Wajahnya pucat karena kelelahan dan ketegangan. Matanya merah karena menangis, tapi dia mencoba menenangkan dirinya. Kevin menoleh, menatapnya sejenak. Tatapan itu bukan hanya marah, ada takut, ada rasa ingin melindungi yang begitu kuat sehingga hampir membuat suaranya pecah ketika bertanya."Apa dia menyentuhmu?" Pertanyaan itu keluar kasar namun tertahan. Hanya satu kalimat, tapi seperti palu yang menghantam Marlina berkali-kali.Dia menggeleng cepat, memaksa bibirnya membentuk senyum kecil yang tidak sampa
Suasana ruang utama rumah utama keluarga Davidson malam itu terasa mencekam. Cahaya lampu gantung berpendar redup, membiaskan bayangan tegas di wajah Tuan David, yang duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi dingin dan rahang mengeras. Di depannya berdiri Kania dan Jeno, keduanya tertunduk, menyadari betapa gentingnya situasi malam ini. Laporan tentang kejadian di ruang tersembunyi itu sudah sampai ke telinganya, bahkan tuan David mendengar sendiri perdebatan kedua putra nya. Dan untuk pertama kalinya, amarah seorang ayah dan kepala keluarga benar-benar meledak."Apa yang kalian pikirkan?!" suara David menggema, berat dan bergetar. "Kalian mempermalukan nama keluarga ini! Di rumah ini pula!" Kania mencoba menenangkan suaminya, melangkah maju dengan senyum tipis yang dipaksakan."Sayang, kau salah paham. Semua ini hanya-""Diam!" bentak David, menghantam meja dengan tinjunya hingga bingkai foto keluarga berguncang. "Aku sudah cukup dengan kebohonganmu, Kania. Aku tahu semua ini idemu.






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments