LOGINDemi menyelamatkan perusahaan sang ayah, Marlina menjual dirinya pada seorang CEO tampan, perusahaan ternama. Kevin Andreas. Dia membantu perusahaan saingannya, dengan Marlina sebagai imbalan. Berpikir akan hidup bahagia dengan pernikahannya. Wanita itu malah mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Marlina dianggap sampah tak berguna, karena tidak bisa memberi Kevin keturunan. Bisakah dia bertahan dengan pernikahan ini? Karena meluluhkan seorang CEO arogan, bukanlah sesuatu yang mudah.
View More"Jadi, kapan kalian punya anak?"
Seorang wanita paruh baya, menatap sepasang suami istri yang duduk di hadapannya. Dia nampak gelisah, menunggu jawaban dari anak dan menantunya. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dia berharap, jika akan ada sesuatu yang menarik. "Maaf, aku belum bisa memberi Kevin keturunan." Marlina Navasya, dia adalah menantu keluarga Davidson grup. Kepuarga terpandang, yang disegani banyak orang. Sudah hampir dua tahun dia menikah, namun belum bisa memberi suaminya keturunan. Marlina merasa malu, karena belum mampu menjadi istri yang sempurna. Setiap ada acara keluarga besar, beribu pertanyaan selalu menyerangnya tanpa ampun. "Memiliki anak bukan sesuatu yang utama. Bukankah begitu, sayang?" Kevin Andreas, dia adalah putra sulung keluarga Davidson. Pewaris syah, yang kini menguasai perusahaan pusat sang ayah. Dia memiliki seorang adik tiri, yang menjadi pesaing di keluarga ini. Semua orang berusaha mencari kelemahan Kevin, untuk menggulingkan kedudukannya. Namun dia bukan lelaki yang gampang kalah, oleh sekumpulan kecoak. "Apa kau sudah membawa istrimu ke dokter? Atau mungkin..." Wanita itu tersenyum mengejek. "Kau yang bermasalah?" Tanya wanita paruh baya itu. Tatapanya seolah merendahkan, anak tiri yang begitu dia benci. Rahang lelaki itu mengeras, mata hanzelnya menatap dengan tajam. Selama ini dia sudah sangat bersabar, menghadapi nenek lampir itu. Namun menyinggung masalah seperti ini di acara keluarga, membuatnya murka. Kevin memukul meja di hadapannya hingga pecah, membuat semua orang menatap ke arahnya. Lelaki itu berbisik pelan, "Bukankah Ibu juga tidak memiliki rahim sekarang. Kenapa sibuk mengurusi hidup kami?" Wanita paruh baya itu berteriak kencang, "Anak sialan!" Bibirnya gemetar menahan marah. Kevin hanya tersenyum, melihat ibunya mengamuk. Lelaki itu dilempari begitu banyak barang ke wajahnya, namun dia tetap diam. Hingga tak lama sang ayah datang, lalu menampar wajahnya begitu keras. Plak! "Apa yang kau katakan pada Ibumu?!" Kevin memegang pipinya, lalu menatap tajam sang ayah. Rasanya sangat menyenangkan, melihat semua orang menatap ke arahnya. Apalagi wanita itu, dia nampak sangat kacau. Pesta ulang tahun yang sangat berkesan. Lelaki paruh baya itu mengusap wajahnya, "Lebih baik kau pulang. Semua jadi berantakan seperti ini." David, dia adalah ayah kandung Kevin. Lelaki itu merasa, tidak ada gunanya berdebat dengan sang anak. Hubungan Kevin dengan istri barunya memang tidak pernah akur. "Sayang..." Kevin meremas tangan istrinya. "Ayo kita pulang!" Lelaki itu tersenyum puas, meninggalkan rumah orang tuanya. Hari ini dia mendapatkan kemenangan, berdebat dengan nenek lampir itu. Sementara Marlina, dia sangat gelisah. Sebuah senyuman di wajah suaminya, bukanlah pertanda yang baik. Kevin menatap sekilas sang istri, "Bagaimana menurutmu? Apa wanita tua itu pantas menerimanya?" "Menurutku itu terlalu berlebihan, Kevin. Kehilangan rahim, bukan sesuatu yang harus ditertawakan," ucap Marlina lembut. Merasa tidak puas dengan jawaban sang istri, Kevin menghentikan mobilnya di tepi jalan. Dengan tawa jahat, dia menatap tajam Marlina. Lengan kekar penuh urat itu, meremas rambut sang istri. Kevin menariknya ke belakang, hingga wanita itu menjerit kesakitan. Dia memohon ampun, namun Kevin tak menggubrisnya. "Jadi kau lebih senang, jika wanita tua itu mengejekku?" Tanya Kevin. Suaranya meninggi, bahkan hampir berteriak. Marlina menggelengkan kepalanya cepat, "Tidak." Dia memejamkan matanya karena takut. "Aku memang mandul, dan aku yang bermasalah. Kau puas?!" Bentak Kevin. Dia melepaskan istrinya, lalu kembali berkendara. Wanita itu hanya bisa menangis, memegangi kepalanya yang sakit. Ini bukan pertama kalinya Kevin bersikap kasar, tapi untuk kesekian kalinya. Dia tidak bisa berbuat apapun, karena pernikahan ini. Sebuah pernikahan, yang sudah menyelamatkan keluarganya dari kemiskinan. Walaupun Kevin sangat kasar, dan tidak berperasaan. Bagi Marlina, dia adalah malaikat tak bersayap untuk keluarganya. Brakk! Kevin menendang pintu rumah dengan keras. Semua pelayan sampai tertunduk ketakutan. Mereka juga melihat, Marlina berjalan di belakang menyusul suaminya. Wajah wanita itu nampak muram, dengan rambut yang berantakan. "Nyonya baik-baik saja?" Seorang pelayan mendekat, dan memandang wajah majikannya. Dia hanya berusaha menenangkan, "Lebih baik Nyonya istirahat." Baru saja hendak pergi ke kamar, suara Kevin melengking memanggilnya. Wajah wanita itu semakin pucat, dia berlari menghampiri suaminya. "Ada apa?" Kevin nampak gelisah dengan sebatang rokok ditangannya. Dia meremas rambut hitamnya beberapa kali, lalu meneguk minuman kesukaanya. Kedatangan Marlina, membuat pandangannya berpaling. Lengannya melambai, meminta wanita itu duduk. Lebih tepatnya, berlutut. "Kenapa kau lama sekali, hm?" Tanya lelaki itu dengan senyuman nakal. Tangannya membelai lembut wajah sang istri. Marlina tersenyum dengan terpaksa, "Maaf..." Lelaki itu membuka kemejanya, lalu melempar sembarang. Dia juga mematikan rokok, yang baru saja dia hisap sekali. Pandangannya kini tertuju pada sang istri, yang mulai menangis ketakutan. "Hey... Lihat aku!" Kevin memiringkan wajahnya, agar bisa saling bertatap mata. "Kenapa kau menangis sayang?" Tanya lelaki itu, dengan tawa kecil. Kevin menempelkan ibu jarinya dibibir sang istri, lalu menekannya sedikit. Tubuh wanita itu semakin gemetar. Dia tahu, hal buruk apa yang akan menimpanya sekarang. "Aku pikir, bukan aku yang bermasalah. Tapi kau! Kau yang mandul, Marlina." Suara Kevin berbisik ditelinganya, lembut namun penuh rasa benci. Marlina hanya mampu mengiyakan, tanpa bisa menentang atau menjawabnya. Namun ketika lelaki itu berusaha menciumnya, dia menolak. "Kau, berani menolakku?" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat dipipinya. Wanita itu terdiam, menahan tangis. Mata hanzelnya nampak gelisah, menatap lelaki di hadapannya. Dengan tubuh gemetar, dia berusaha menguatkan diri. Marlina tidak boleh takut lagi. "Aku lelah, tubuhku rasanya sakit. Kita sudah melakukan itu berkali-kali kemarin. Apa kau tidak pernah merasa puas?!" Senyum lelaki tampan itu melebar, tinjunya pun mengeras. Kevin mencengkram dagu sang istri, lalu meludahinya tanpa ragu. Dia tertawa puas, melihat penderitaan wanita di hadapannya. Seorang istri yang pembangkang, memang perlu diberi pelajaran. "Merasa puas katamu?" Lelaki itu menggosok dagunya sendiri. "Aku tidak akan puas sampai kau mati. Bagaimana? Kau akan melayaniku, atau.." Lelaki itu mengambil asbak di sampingnya, "Benda ini cukup berat. Dia bisa mengajari istri pembangkang sepertimu. Apa kau mau mencobanya?" "Kevin jangan, jangan lakukan itu. Aku mohon!" Lelaki itu tertawa puas, melihat istrinya ketakutan. Dia menarik Marlina lebih dekat, hingga naik ke pangkuannya. Dengan lembut Kevin membelai wajah istrinya, lalu meremas rambutnya kasar. Mata mereka saling menatap, namun tak pernah memancarkan perasaan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, yang diiringi rasa takut Lengan besarnya meremas pinggang sang istri, lalu menariknya lebih dekat. Kevin mulai memiringkan kepalanya, hingga bibir mereka saling bertemu. Sebuah ciuman penuh nafsu lelaki itu lakukan, sangat dalam dan panas. Lengannya mulai menjelajahi tubuh Marlina, dengan sedikit memaksa. "Mnggh!" "Kau menikmatinya, sayang?" Merasa sudah di ujung tanduk, Kevin merobek paksa pakaian Marlina. Dia memperdalam ciumannya, tanpa memberikan celah sedikitpun. "Sebentar! Aku kesulitan bernafas." Marlina mendorong suaminya menjauh, namun lelaki itu kembali mendapat sasaran empuk. Dia menjilat leher indah itu dengan penuh nafsu, sembari berbisik lirih. "Puaskan aku..."Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul
Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me
Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m
Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma
Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata
"Sialan!" teriak Kevin frustasi. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Ponsel di tangan Kevin nyaris jatuh ketika dia mencoba meraihnya dengan jari yang bergetar. Dunia di sekitarnya berputar warna dinding, suara keran bocor, bahkan napasnya sendiri terdengar jauh, seperti datang dari tempat yang tidak nyata. Dalam pikirannya yang kacau, dia mencari satu nama. Beberapa detik, hanya suara detak jantung yang kacau dan rasa sakit yang melumpuhkan. Dan akhirnya nama itu muncul. Marlina. Dengan sisa kesadaran, dia menekan nomor istrinya. Suaranya nyaris tidak terdengar ketika panggilan tersambung. Setelah itu semuanya kabur."Kakak! Kak bangun! Astaga.. kenapa dia?!" Jeno tidak ingat bagaimana dia mengangkat tubuh Kevin keluar dari kamar mandi. Yang dia tahu hanyalah dinginnya kulit Kevin, berat tubuhnya yang terasa seperti tidak bernyawa, dan suara Marlina yang terburu-buru memasuki kantor dengan wajah nyaris pingsan."Jeno, tolong cepat!" Mobil mereka melaju menembus kemacetan kota. Mar






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments