Share

Langsung Nikah

Sebuah napas panjang dan lega Gemi hembuskan, setelah menyatakan semua hal mengenai dirinya. Gemi mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang wanita baik, seperti yang ada di pikiran Lee saat ini. Ia pernah jatuh ke sebuah kubangan dosa, yang membuat Gemi tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.

Degup jantung yang Gemi rasakan, memang sama dengan apa yang Lee rasakan. Keduanya memang memiliki sebuah rasa yang sama. Namun, sebelum rasa itu terlanjur berjalan jauh, Gemi harus menguak sebuah aib diri, sebelum ada masalah yang terjadi di kemudian hari.

Lee sangat menghargai kejujuran Gemi, yang telah mengatakan semua hal dengan terbuka kepadanya. Meskipun sempat syok, tapi perasaannya terlalu kolot, jika harus menilai seseorang dari masa lalunya yang kelam.

Diantara keterdiaman Lee, Gemi memutar stool barnya menghadap meja. Menunduk dan menyuapkan bubur ayam dengan hati tersayat. Tidak mudah untuk Gemi mengakui segalanya, tapi itu semua harus ia lakukan.

Apapun keputusan Lee nanti, Gemi akan siap menerimanya.

Gemi baru saja mengangkat kembali tangannya untuk menyuapkan bubur ke dalam mulut, tapi tangan besar Lee mencegahnya.

Pria itu memegang tangan Gemi dan mengarahkan sendok yang berisi satu sendok bubur itu ke dalam mulutnya sendiri. Menelannya dengan cepat lalu berkata, “Katanya semangkuk berdua.”

Gemi tertegun melihat senyuman tulus Lee kepadanya. Pria itu lalu mengambil alih sendok yang ada di genggaman Gemi. Menyendokkan satu suap bubur yang baru saja diambilnya ke mulut Gemi.

“Aak … masa’ kalah sama Chandie, harus disuapin segala.”

Ragu, namun Gemi tetap membuka bibirnya. Menerima suapan demi suapan yang Lee beri kepadanya. Sesekali, pria itu menyuapkan satu sendok bubur ke mulutnya sendiri. Namun lebih banyak untuk Gemi, karena Lee sudah sarapan di rumah sebelumnya.

“Jadi, Bapak—”

“Berhenti panggil saya Bapak, mulai sekarang,” sela Lee memperhatikan bibir Gemi dengan seksama. Meneliti apakah ada sisa bubur yang tertaut di sudut bibir, tapi nihil. Bibir polos yang tampak menggoda itu bersih, dan tidak menyisakan apapun di atasnya. Membuat Lee tidak memiliki alasan untuk sekedar menyentuhnya.

“Terus … saya harus panggil apa?” tanya Gemi berlagak bodoh. Ingin memperjelas hubungan yang terjalin dengan Lee saat ini. Apakah pria itu menerima segala kekurangannya?

Jika iya, Gemi butuh kepastian untuk hal itu. Sebuah ikrar yang menyatakan bahwa mereka adalah sepasang kekasih atau … bukan.

“Hahhh!” Lee menghela panjang seraya pura-pura berpikir. Menunggu inisiatif dari Gemi.

Sementara itu, Gemi turun dari stool bar, untuk mengambil dua botol air mineral di lemari pendingin. Meletakkannya di meja, kemudian duduk kembali di tempatnya semula. Gemi membuka tutup botol lalu meminumnya sebentar untuk melegakan tenggorokan setelah sarapan. Menatap Lee yang memperlihatkan wajah serius.

“Mas … Lee?”

Pria itu tersenyum lebar, menarik stool bar yang diduduki Gemi ke arahnya. Hingga jarak mereka kini terkikis rapat. Tangan Lee terangkat untuk merapikan juntaian surai Gemi yang sedikit tergerai pada wajah cantiknya. Menyangga kedua sisi wajah wanita itu dan menemukan tatapan mereka.

“Saya mau ke rumahmu besok.”

Mata Gemi membeliak, degup jantungnya kian menghentak berat. “Ke—ke ru-mah sa—ya?” tanyanya tergagap gugup. “Bapak mau nga—pain?”

Lee terkekeh masih menyangga wajah Gemi. Menyentak satu alisnya ke atas. “Bapak lagi?”

“Eh, iya, Mas,” cengir Gemi sembari mengerjab polos. “Sorry, belum biasa.”

“Dibiasain mulai sekarang.”

Gemi mengangguk. Masih tidak melepas tatapannya. “Mas Lee, mau ngapain ke rumah saya?”

“Mau ngelamar kamu,” jelasnya dengan gamblang, Lee tidak ingin lagi menunda-nunda semua hal. Dirinya dan Gemi bukan lah remaja lagi. Keduanya sudah sangat-sangat dewasa dalam mengambil keputusan dan memikirkannya matang-matang.

Lagi pula, Lee sudah membicarakan semuanya dengan Chandie. Tanggapan sang putri sangat lah positif dan berharap Gemi bisa segera pindah dan tinggal bersama mereka. Chandie memang membutuhkan sosok mama di dekatnya.

“Mas, serius?” manik Gemi kembali membeliak lebar, ketika menatap Lee yang tersenyum hangat kepadanya. Seperti mimpi, itu lah yang ada dipikiran Gemi saat ini. Jika Lee ingin melamarnya, itu berarti, pria itu sanggup menerima Gemi apa adanya.

“Kalau nggak serius, nggak mungkin, kan, saya dat—”

“Terlalu mendadak, Mas.” Gemi menyela seraya menurunkan tangan Lee dari wajahnya dan menggenggamnya erat di atas paha. “Apa nggak terlalu cepat, kita baru—”

“Sshh …” Lee menggeleng dengan mendesis untuk menyela Gemi. Juga menggenggam erat tangan wanita itu. “Biar saya yang minta izin ke Rudi untuk besok malam. Kabari ayah sama ibumu hari ini.”

“Tapi Pak, tapi kenap …”

Pertahanan Lee runtuh. Berdekatan dengan Gemi seperti ini sungguh membuatnya gila. Terlebih, ia sudah menyecap rasa bibir manis itu tadi malam, dan Lee kembali menginginkannya. Membungkam bibir Gemi dan menikmati semua rasa yang belum sempat ia sesap tadi malam.

Lalu, saat gayung bersambut, Lee tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Meraih tengkuk wanita itu dan memperdalam pagutannya. Lagi dan lagi.

“Jadi …” Gemi terengah menggantung kalimatnya sejenak. Melipat bibirnya yang terasa kebas dan tersipu melihat wajah tampan Lee yang tepat berada di depannya tanpa jarak. Hidung mereka bahkan masih bersentuhan hangat. “Mas, bisa nerima aku dengan semua masa laluku?”

“Hm.” Lee mengecup bibir manis itu sekilas. “Semua orang punya masa lalu, Gem. Seburuk-buruknya masa lalu seseorang, mereka berhak diberi kesempatan di masa depan untuk hidup lebih baik lagi.”

Gemi tidak tahan untuk tidak mengalungkan kedua tangannya pada tubuh atletis Lee. Turun dari stool bar dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam pelukan pria itu. Sungguh sebuah kesempatan luar biasa, yang diberikan Tuhan kepadanya. Gemi berjanji di dalam hati, jika memang berjodoh dengan Lee, ia akan menjadi istri yang berbakti pada pria itu. Menyayangi Lee dan putrinya dengan segenap jiwa.

“Makasih, Mas,” lirihnya terharu. Hampir menitikkan air mata namun Gemi mengerjab-ngerjab dengan cepat. Tidak ingin semua kebahagiaan yang ada dihiasi tangis sedikitpun.

“Sampai kapan kita mau berpelukan gini, Gem?” kekeh Lee, tapi, juga tidak ingin melepas pelukannya dengan Gemi.

Gemi menghentak kakinya dengan manja. Merasa kembali seperti remaja dengan hati berbunga-bunga. Semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Lee, hingga membuat pria itu tertawa geli.

Ternyata, Gemi bisa bertingkah seperti layaknya Chandie jika bermanja kepadanya.

“Emang aku nggak boleh meluk lama-lama?” Gemi langsung mengubah panggilannya menjadi ‘aku’. Panggilan formal yang selalu ia sematkan selama ini seketika berubah.

“Jadi … sekarang kita manggilnya pake aku dan kamu.” Lee lebih menegaskan lagi mengenai hubungan yang ada di antara mereka.

Lantas, anggukan pasti Gemi di dadanya adalah jawab dari semua hal. Mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih.

“Kalau begitu, kita langsung nikah aja bulan depan."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
langsung ngajak ke KUA aja biar langsung halal ya mas Lee
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status