Sebuah napas panjang dan lega Gemi hembuskan, setelah menyatakan semua hal mengenai dirinya. Gemi mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang wanita baik, seperti yang ada di pikiran Lee saat ini. Ia pernah jatuh ke sebuah kubangan dosa, yang membuat Gemi tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.
Degup jantung yang Gemi rasakan, memang sama dengan apa yang Lee rasakan. Keduanya memang memiliki sebuah rasa yang sama. Namun, sebelum rasa itu terlanjur berjalan jauh, Gemi harus menguak sebuah aib diri, sebelum ada masalah yang terjadi di kemudian hari.
Lee sangat menghargai kejujuran Gemi, yang telah mengatakan semua hal dengan terbuka kepadanya. Meskipun sempat syok, tapi perasaannya terlalu kolot, jika harus menilai seseorang dari masa lalunya yang kelam.
Diantara keterdiaman Lee, Gemi memutar stool barnya menghadap meja. Menunduk dan menyuapkan bubur ayam dengan hati tersayat. Tidak mudah untuk Gemi mengakui segalanya, tapi itu semua harus ia lakukan.
Apapun keputusan Lee nanti, Gemi akan siap menerimanya.
Gemi baru saja mengangkat kembali tangannya untuk menyuapkan bubur ke dalam mulut, tapi tangan besar Lee mencegahnya.
Pria itu memegang tangan Gemi dan mengarahkan sendok yang berisi satu sendok bubur itu ke dalam mulutnya sendiri. Menelannya dengan cepat lalu berkata, “Katanya semangkuk berdua.”
Gemi tertegun melihat senyuman tulus Lee kepadanya. Pria itu lalu mengambil alih sendok yang ada di genggaman Gemi. Menyendokkan satu suap bubur yang baru saja diambilnya ke mulut Gemi.
“Aak … masa’ kalah sama Chandie, harus disuapin segala.”
Ragu, namun Gemi tetap membuka bibirnya. Menerima suapan demi suapan yang Lee beri kepadanya. Sesekali, pria itu menyuapkan satu sendok bubur ke mulutnya sendiri. Namun lebih banyak untuk Gemi, karena Lee sudah sarapan di rumah sebelumnya.
“Jadi, Bapak—”
“Berhenti panggil saya Bapak, mulai sekarang,” sela Lee memperhatikan bibir Gemi dengan seksama. Meneliti apakah ada sisa bubur yang tertaut di sudut bibir, tapi nihil. Bibir polos yang tampak menggoda itu bersih, dan tidak menyisakan apapun di atasnya. Membuat Lee tidak memiliki alasan untuk sekedar menyentuhnya.
“Terus … saya harus panggil apa?” tanya Gemi berlagak bodoh. Ingin memperjelas hubungan yang terjalin dengan Lee saat ini. Apakah pria itu menerima segala kekurangannya?
Jika iya, Gemi butuh kepastian untuk hal itu. Sebuah ikrar yang menyatakan bahwa mereka adalah sepasang kekasih atau … bukan.
“Hahhh!” Lee menghela panjang seraya pura-pura berpikir. Menunggu inisiatif dari Gemi.
Sementara itu, Gemi turun dari stool bar, untuk mengambil dua botol air mineral di lemari pendingin. Meletakkannya di meja, kemudian duduk kembali di tempatnya semula. Gemi membuka tutup botol lalu meminumnya sebentar untuk melegakan tenggorokan setelah sarapan. Menatap Lee yang memperlihatkan wajah serius.
“Mas … Lee?”
Pria itu tersenyum lebar, menarik stool bar yang diduduki Gemi ke arahnya. Hingga jarak mereka kini terkikis rapat. Tangan Lee terangkat untuk merapikan juntaian surai Gemi yang sedikit tergerai pada wajah cantiknya. Menyangga kedua sisi wajah wanita itu dan menemukan tatapan mereka.
“Saya mau ke rumahmu besok.”
Mata Gemi membeliak, degup jantungnya kian menghentak berat. “Ke—ke ru-mah sa—ya?” tanyanya tergagap gugup. “Bapak mau nga—pain?”
Lee terkekeh masih menyangga wajah Gemi. Menyentak satu alisnya ke atas. “Bapak lagi?”
“Eh, iya, Mas,” cengir Gemi sembari mengerjab polos. “Sorry, belum biasa.”
“Dibiasain mulai sekarang.”
Gemi mengangguk. Masih tidak melepas tatapannya. “Mas Lee, mau ngapain ke rumah saya?”
“Mau ngelamar kamu,” jelasnya dengan gamblang, Lee tidak ingin lagi menunda-nunda semua hal. Dirinya dan Gemi bukan lah remaja lagi. Keduanya sudah sangat-sangat dewasa dalam mengambil keputusan dan memikirkannya matang-matang.
Lagi pula, Lee sudah membicarakan semuanya dengan Chandie. Tanggapan sang putri sangat lah positif dan berharap Gemi bisa segera pindah dan tinggal bersama mereka. Chandie memang membutuhkan sosok mama di dekatnya.
“Mas, serius?” manik Gemi kembali membeliak lebar, ketika menatap Lee yang tersenyum hangat kepadanya. Seperti mimpi, itu lah yang ada dipikiran Gemi saat ini. Jika Lee ingin melamarnya, itu berarti, pria itu sanggup menerima Gemi apa adanya.
“Kalau nggak serius, nggak mungkin, kan, saya dat—”
“Terlalu mendadak, Mas.” Gemi menyela seraya menurunkan tangan Lee dari wajahnya dan menggenggamnya erat di atas paha. “Apa nggak terlalu cepat, kita baru—”
“Sshh …” Lee menggeleng dengan mendesis untuk menyela Gemi. Juga menggenggam erat tangan wanita itu. “Biar saya yang minta izin ke Rudi untuk besok malam. Kabari ayah sama ibumu hari ini.”
“Tapi Pak, tapi kenap …”
Pertahanan Lee runtuh. Berdekatan dengan Gemi seperti ini sungguh membuatnya gila. Terlebih, ia sudah menyecap rasa bibir manis itu tadi malam, dan Lee kembali menginginkannya. Membungkam bibir Gemi dan menikmati semua rasa yang belum sempat ia sesap tadi malam.
Lalu, saat gayung bersambut, Lee tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Meraih tengkuk wanita itu dan memperdalam pagutannya. Lagi dan lagi.
“Jadi …” Gemi terengah menggantung kalimatnya sejenak. Melipat bibirnya yang terasa kebas dan tersipu melihat wajah tampan Lee yang tepat berada di depannya tanpa jarak. Hidung mereka bahkan masih bersentuhan hangat. “Mas, bisa nerima aku dengan semua masa laluku?”
“Hm.” Lee mengecup bibir manis itu sekilas. “Semua orang punya masa lalu, Gem. Seburuk-buruknya masa lalu seseorang, mereka berhak diberi kesempatan di masa depan untuk hidup lebih baik lagi.”
Gemi tidak tahan untuk tidak mengalungkan kedua tangannya pada tubuh atletis Lee. Turun dari stool bar dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam pelukan pria itu. Sungguh sebuah kesempatan luar biasa, yang diberikan Tuhan kepadanya. Gemi berjanji di dalam hati, jika memang berjodoh dengan Lee, ia akan menjadi istri yang berbakti pada pria itu. Menyayangi Lee dan putrinya dengan segenap jiwa.
“Makasih, Mas,” lirihnya terharu. Hampir menitikkan air mata namun Gemi mengerjab-ngerjab dengan cepat. Tidak ingin semua kebahagiaan yang ada dihiasi tangis sedikitpun.
“Sampai kapan kita mau berpelukan gini, Gem?” kekeh Lee, tapi, juga tidak ingin melepas pelukannya dengan Gemi.
Gemi menghentak kakinya dengan manja. Merasa kembali seperti remaja dengan hati berbunga-bunga. Semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Lee, hingga membuat pria itu tertawa geli.
Ternyata, Gemi bisa bertingkah seperti layaknya Chandie jika bermanja kepadanya.
“Emang aku nggak boleh meluk lama-lama?” Gemi langsung mengubah panggilannya menjadi ‘aku’. Panggilan formal yang selalu ia sematkan selama ini seketika berubah.
“Jadi … sekarang kita manggilnya pake aku dan kamu.” Lee lebih menegaskan lagi mengenai hubungan yang ada di antara mereka.
Lantas, anggukan pasti Gemi di dadanya adalah jawab dari semua hal. Mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih.
“Kalau begitu, kita langsung nikah aja bulan depan."
Audi masuk ke dalam ruang keluarga, setelah mendengar maksud kedatangan Lee yang didampingi oleh Asri dan Riko. Kedua orang tua Lee dan Asri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Oleh sebab itu, Lee hanya di dampingi oleh kakak perempuan serta iparnya untuk mendatangi rumah Gemi.“Gemiii …” Audi memeluk erat sang putri yang sedari tadi hanya berada di dalam. Tidak diperkenankan keluar hingga kedua orang tuanya berbicara dengan keluarga Lee. “Akhirnya anakku laku juga!” ujarnya terkekeh geli dengan ucapan sendiri.“Anaknya dianggap sembako, gini,” cebik Gemi menampilkan eskpresi dramatis.Audi mengurai pelukannya, kemudian merapikan juntaian rambut Gemi yang berada di depan wajah. Tangan Audi terjatuh pada pundak sang putri, kemudian turun, merosot pada lengan Gemi.“Bulan depan, kami sudah nentuin tanggal pernikahanmu, Gem!” seru Audi dengan manik berbinar-binar.Sudah Gemi duga, Lee tidak
Gemi mendorong tubuh Aries yang merengkuhnya, dengan sekuat tenaga. “Ar … lepas … in,” pinta Gemi masih berusaha mengumpulkan seluruh akalnya. “Brengmm …” Gemi pasrah ketika Aries sudah meraup bibirnya dengan rakus. Lebih tepatnya, tubuh Gemi lah yang pasrah, meski akal sehatnya menjerit tidak terima dengan semua sentuhan Aries yang menjalar di tubuhnya. Semakin Aries menyentuhnya, semakin Gemi menginginkan hal yang lebih dari pria itu. Lenguhan demi lenguhan pun sudah tidak dapat lagi terelakkan. “Ar … kamu … brengSEK!” Gemi masih sempat memaki pria itu ketika Aries mulai membuka satu persatu kancing seragam kerja yang dikenakannya. Aries berseringai tajam. Maniknya menatap dengan rasa lapar pada lekuk tubuh Gemi, yang menurutnya terlampau seksi dan menghanyutkan. Semua terlihat sangat proporsional. “Ayolah, Gem, kita bisa seperti dulu. Bersenang-senang sampai pagi.” “AR!” di sisa-sisa kesadarannya, Gemi menendang perut Aries
"Kamu mau nikah?" Aries meraih tangan Gemi dan sedikit mencengkramnya. "Bulan depan?” lanjutnya seolah tidak percaya."Hm!" gumam Gemi mengangkat dagu dengan tinggi. Tidak gentar sedikit pun saat berhadapan dengan Aries seperti ini.Ada seringai kecil yang terlukis di wajah Aries. "Bagaimana kalau calon suamimu tahu, semalam kit—"Plak!Gemi membungkam mulut Aries dengan satu buah tamparan dengan tangannya yang bebas. "Berani kamu cari masalah denganku, aku bersumpah, bakal nyari semua kebusukanmu sama partaimu sampai ke akar-akarnya! Kamu tahu, kan, kalau gak ada yang namanya teman dalam politik? Aku bisa buat kamu jatuh, sejatuh-jatuhnya!"Satu kelemahan Aries yang Gemi sangat pahami. Pria itu sangat gila dengan jabatan dan kedudukan yang ada. Aries senang menjadi terkenal, dihormati, serta disegani oleh khalayak ramai. Image santun dan ramah selalu saja Aries sematkan di mana pun ia berada. Andai pun memang pada nyatanya Aries bersih
Gemi benar-benar merasa bersalah kepada Lee. Kalau begini terus-terusan, ia akan dilanda frustasi sendiri, karena tidak jujur dengan calon suaminya. Namun, tidak mungkin rasanya jika Gemi harus berkata jujur tentang kejadian malam itu kepada Lee.Lantas, dengan satu kali tarikan napas yang begitu dalam, Gemi meyakinkan diri untuk menjauh dan membatalkan pernikahannya dengan Lee. Dimulai dari tidak mengangkat telepon, atau pun membalas chat dari Lee sama sekali.Keputusan Gemi kali ini sudah bulat, ia akan menghindari pria itu. Gemi pun sudah mengatur strategi sebaik mungkin untuk menghindari, kalau-kalau mereka bertemu kantor.Lantas, untuk dua hari ini semua rencana yang telah disusunnya pun berhasil. Gemi selalu berangkat lebih pagi dari apartemennya. Tidak langsung ke kantor, ia lebih memilih berkeliling sembari mencari sesuatu yang menarik untuk diberitakan. Yang mungkin bisa Gemi tulis menjadi tulisan feature.Sedangkan malamnya, Gemi melakukan peker
Lee mengantarkan Gemi kembali ke apartemennya dalam diam. Pria itu bahkan tetap menemani Gemi hingga sampai ke unit tempat tinggalnya. Padahal, Gemi sudah menolaknya berulang kali, tapi Lee hanya memberi jawaban singkat kepada wanita itu.Rasa-rasanya, Lee masih tidak bisa menerima, kalau Gemi tiba-tiba ingin membatalkan pernikahan mereka secara sepihak. Terlebih, Chandie pun sudah sering bertanya, kapan Gemi akan tinggal bersama mereka.Otak Lee masih belum bisa diajak berpikir kalau seperti ini. Ia harus menenangkan diri terlebih dahulu, sembari mencari jalan keluar yang terbaik.“Aku tinggal ke Glory, nanti jam setengsh sepuluh aku ke sini lagi,” ujar Lee ketika sudah sampai di depan pintu unit Gemi.“Ke sini lagi?” tanya Gemi ragu, ingin memastikan sesuatu.“Ya, bukannya kamu sudah janji mau jemput Chandie di sekolah?” Sepertinya, menyodorkan Chandie pada Gemi adalah senjata terakhir yang akan digunakan oleh
Hari itu, Gemi benar-benar menghabiskan sisa hari liburnya bersama Chandie di rumah Lee. Seusai menjemput Chandie di sekolah, lalu mengantarkan pulang ke rumah, Lee langsung pergi kembali ke kantor. Dengan sengaja meninggalkan Gemi dan Chandie, hanya berdua di rumah.Lee berharap, dengan menghabiskan waktu berdua, Gemi dan putrinya bisa semakin akrab dan lengket. Jika sudah seperti itu, Gemi pasti tidak akan tega untuk membatalkan pernikahan mereka nantinya. Semoga apa yang direncanakan oleh Lee kali ini berjalan lancar.Di satu sisi, Gemi sendiri merasa serba salah. Ingin menolak Chandie, tapi rasanya benar-benar tidak tega. Gadis cantik yang cerewet itu, benar-benar terus menempel dan bersikap manja kepadanya. Panggilan ‘mama’ yang terus disematkan lewat bibir mungilnya itu membuat hati Gemi terenyuh.Gemi pun tahu, kalau Lee memang sengaja untuk melakukan semua ini. Jelas sudah, kalau pria itu masih menginginkan pernikahan mereka, tetap berjalan s
“Pakai ini.” Lee menyodorkan satu buah dress kepada Gemi untuk di kenakan wanita itu. Sedari siang, Gemi masih berada di rumah Lee bersama Chandie untuk menghabiskan waktu bersama. Dari bermain, makan siang bersama sembari menyuapi gadis kecil itu, tidur siang bersama, hingga memandikan dan benar-benar melakukan semua hal yang dilakukan seorang ibu kepada putrinya. Yang aneh adalah, Gemi menikmati itu semua. Diusia Gemi yang memang sudah pantas menjadi seorang ibu, wanita itu dengan sangat telaten mengurusi Chandie. Lantas, ketika Lee pulang ke rumah pada sora harinya, hatinya merasa hangat melihat putrinya yang tengah bercanda lepas dengan Gemi di ruang keluarga. Kedua wanita itu tengah bermain ular tangga jumbo yang sempat dibelikan beberapa waktu lalu. Chandie seketika langsung berlari dan melompat ke arah Lee ketika gadis kecil itu melihatnya memasuki ruang keluarga. Dari situ Chandie berceletuk dan meminta Lee mengajaknya untuk makan malam di lua
Menurut Gemi, Chandie merupakan gadis kecil yang sangat mandiri di usianya. Mungkin, karena situasi dan kondisilah, yang membuat Chandie bisa seperti itu. Lee mendidiknya penuh kasih sayang, tapi dengan ketegasan yang terkadang tidak bisa di tawar. “Chandie, gak papa ditinggal sendirian, Mas?” Pertanyaan itu terlontar, ketika Lee baru saja memasuki mobil, untuk mengantarkan Gemi pulang ke apartemen. Setelah mengantarkan Chandie pulang dan menemani gadis kecil itu membersihkan diri dan mengganti pakaian untuk tidur. Sekarang, giliran Gemilah yang akan diantar pulang oleh Lee. “Sudah biasa, dan sudah ada bik Sari yang nemenin kalau aku masih di luar.” Lee menstarter mobilnya dan berjalan pelan keluar dari gerbang. “Mau mampir? Ke mana, mungkin?” tanyanya kemudian. “Langsung pulang aja, kasihan Chandie ditinggal sendirian.” Kalau seperti ini, Gemi jadi memikirkan keadaan gadis kecil itu. Gemi tahu kalau ada yang menemani Chandie saat ini, tapi tetap saja terasa