“Next, saya yang traktir Bapak, ya! hari ini kenyang banget dari pagi dapet gratisan mulu.” Gemi lagi-lagi menggigit separuh bibir bawahnya yang sensual. Menenggelamkan kedua tangan di saku belakang celana jeans, sembari menatap Lee yang mengantarnya sampai depan pintu apartemen.
Beberapa saat yang lalu, setelah sampai di lobi kantor, Lee tiba-tiba mengajak Gemi untuk makan malam sebentar. Tentu saja Gemi tidak menolak, karena cacing di perutnya juga sudah bergejolak meminta untuk diisi. Mereka pun hanya mampir di kafe yang terdapat di lantai dasar. Memesan beberapa menu untuk disantap, kemudian pergi menuju gedung apartemen Gemi.
“You don’t have to.”
“Ya nggak bisa gitu, Pak. Nanti saya nggak mau diajak jalan lagi loh,” tandas Gemi dengan wajah merajuk cantik, hingga membuat Lee terkekeh melihatnya.
“Oke, kamu atur aja. Tapi Gem, bisa saya pinjam toilet sebentar?”
“Boleh, boleh!” Gemi segera berbalik. Mengambil kunci pintu di dalam tas dan membuka apartemennya. Mempersilakan pria itu masuk dan menunjukkan kamar mandi yang diperlukan.
Sementara Lee berada di kamar mandi. Gemi menyalakan pendingin ruangan dan membuka pintu balkonnya sebentar. Membuang udara pengap yang menumpuk di dalam ruang selama ditinggalkan seharian.
Gemi melemparkan tasnya begitu saja di atas ranjang, yang bersebelahan dengan kamar mandi. Memiliki unit apartemen tipe studio yang tanpa sekat, membuat Gemi menambahkan sebuah rak buku di belakang teve untuk memisahkan ruang tamunya dan tempat tidur.
“Sudah lama tinggal di sini, Gem?” sebuah pertanyaan yang sempat lupa dilontarkan oleh Lee selama dekat dengan Gemi beberapa waktu ini.
“Lima tahunan.” Gemi menegakkan tubuh setelah mengambil dua botol air mineral dari lemari pendingin. Mengikuti Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi dan berakhir duduk di sofa bed. Meletakkan kedua botol tersebut di meja kayu persegi, kemudian menekuk kedua kaki di atas sofa. Menyangga kepala, dengan siku yang bertengger pada punggung sofa, menatap Lee.
Hening.
Tiba-tiba saja ada sebuah kecanggungan yang mendera mereka berdua. Padahal, sebelumnya, selalu ada saja yang mereka bicarakan. Namun kini, kedua mulut itu seakan terkunci.
“Sebaiknya, saya pulang dulu, sudah malam. Lebih baik, kamu istirahat.”
Gemi mengangguk canggung mengiyakan. Ikut berdiri, saat Lee telah berdiri. Gemi berharap, kecanggungan seperti ini tidak akan berlanjut hingga besok. Karena suasana yang ada, benar-benar tidak menyenangkan.
Langkah Gemi terhenti ketika Lee diam, kemudian berbalik.
“Apa … ada yang ketinggalan, Pak?”
Tatapan keduanya sontak terkunci begitu saja. Sampai Lee meraih tangan Gemi dan meletakkan telapak tangan kecil itu di dadanya.
Gemi hendak menarik tangannya, tapi Lee menahannya. Detak jantung yang berpacu laju tidak seirama dari dada pria itu, membuat Gemi menelan ludah. Kembali mengangkat wajah dan mempertemukan tatapannya dengan Lee.
“Kenapa …”
Lee menggeleng, membuat Gemi tidak meneruskan kalimat yang hendak dirangkainya.
“Gemi … saya, bukan pria yang suka basa basi, mengulur atau membuang-buang waktu,” kata pria itu masih menahan telapak tangan Gemi di dadanya. “Saya yakin kamu mengerti dengan maksud saya.”
Gemi bungkam. Namun, sejurus kemudian ia mengangguk dan menunduk gugup. Menyembunyikan wajahnya dari tatapan tajam dan serius Lee kepadanya.
Untuk itu, Lee meraih dagu Gemi dan kembali mempertemukan manik mereka. “Saya akan berhenti di sini, kalau kamu memang …” Lee meneguk ludahnya sejenak, ada rasa gugup memikirkan andai dirinya ditolak. “Kalau kamu … nggak punya rasa yang sama.”
Keraguan, kecemasan, serta ketakutan Gemi tentang bayang kehidupan pernikahannya kelak, tiba-tiba menyeruak. Gemi tidak bisa menjawab pertanyaan Lee, setidaknya bukan saat ini. Meskipun, jantung Gemi juga merasakan hal yang sama dengan pria itu.
“Saya …” Gemi menggantung kalimatnya. Menggigit bibir dengan perasaan bimbang. “Apa nggak terlalu cepat, Pak? kita baru …”
Tubuh Gemi refleks menegang, ketika Lee membungkamnya dengan sebuah pagutan hangat. Sangat lembut dan tidak menuntut, tapi tetap meninggalkan jejak basah di atas bibirnya. “Bisa saya dapat jawabannya besok pagi?”
Pria ini benar-benar tidak ingin membuang waktu, hanya memberi Gemi waktu semalam untuk memikirkan semuanya. Terlebih, Lee sepertinya sengaja memberikannya sebuah ciuman, hanya untuk lebih memastikan lagi perasaan dan jawaban Gemi besok pagi.
Sungguh licik! Karena Gemi memang menginginkan bibir Lee, kembali menyapu bibirnya lebih dalam lagi. Setelah bertahun-tahun, akhirnya Gemi kembali merasakan sebuah gejolak yang berdesir di dalam darahnya. Tapi, bagaimana jika Lee tahu semua kekurangan Gemi? Apakah pria itu masih mau untuk menerimanya?
“Besok pagi?” tanya Lee sekali lagi untuk memecah lamunan Gemi dan memastikan semuanya.
Detik selanjutnya, Gemi pun mengangguk dan berujar. “Besok pagi.”
--
Gemi membuang napas panjang dengan wajah resah. Meletakkan pengering rambut yang baru saja digunakan, di atas meja rias yang bersebelahan dengan rak buku. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang sembari merenung. Memikirkan semua ucapan Lee yang hampir membuatnya tidak bisa memejamkan mata semalaman.
Haruskah Gemi jujur dan berterus terang mengenai semua hal?
Ya! Gemi mengangguk meyakinkan diri. Andai pun Lee tidak menerimanya, Gemi harus bersikap lapang dada. Karena penolakan pria itu nantinya, merupakan akibat dari kecerobohan yang harus Gemi tanggung seumur hidup.
Bel apartemen Gemi berbunyi. Membuat degup jantungnya lagi-lagi berpacu kencang. Sepertinya, pria itu benar-benar menepati kata-katanya. Datang sepagi ini hanya untuk meminta jawaban dari Gemi.
Gemi bangkit sembari menggeram. Menyugar surai ikalnya yang terurai lepas ke belakang. Menarik napas panjang untuk meyakinkan diri sekali lagi, kemudian ia beranjak untuk membukakan pintu untuk pria itu.
Senyum Lee kembali mengembang lebar, ketika melihat Gemi membukakan pintu untuknya. Tercenung sesaat, ketika melihat wajah polos dengan surai yang tergerai sempurna. Benar-benar sebuah kecantikan yang sederhana, dalam arti sesungguhnya. Gemi tidak perlu sapuan make up apapun di wajahnya, untuk menunjukkan bahwa dirinya luar biasa.
“Pagi, pak Lee.”
Lee mengerjab, hanya untuk menyadarkan diri dari keterdiamannya ketika mengagumi visual Gemi.
“Sarapan?” Lee mengangkat sebuah kantung plastik putih, yang berisi sebuah kotak yang bertuliskan bubur ayam.
Dahi Gemi sedikit mengernyit. “Cuma satu?”
“Saya sudah sarapan di rumah sama Chandie, dan saya yakin kalau kamu belum sarapan.”
Bibir Gemi mengerucut kecil. Mepersilakan pria itu masuk dan ia langsung pergi menuju kitchen bar. Mengambil sebuah mangkuk untuk memindahkan bubur yang ada di tangan Lee ke dalamnya.
Lee yang sudah duduk di stool bar, memperhatikan gerakan Gemi yang menuang bubur lamat-lamat. Lebih tertuju pada wajah wanita itu sebenarnya. Menikmati ekspresi teduh, yang selalu bisa membuat Chandie tertawa, saat mereka bermain di taman hiburan.
Gemi mengitari meja bar kemudian duduk di samping Lee.
“Bapak mau?” tawar Gemi sebelum memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.
“Semangkuk berdua?” Lee bertanya balik dan terdengar seperti menggoda Gemi.
Untuk itu, Gemi meletakkan sendoknya kemudian memutar stool bar untuk menatap langsung ke dalam manik pria itu.
“Ada yang harus saya sampaikan ke Bapak, tentang hal semalam …” Gemi menyela kalimatnya sejenak untuk menarik napas resah. “Saya …”
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
“Cobalah dipikirkan dulu,” bujuk Audi tengah membawa Arya yang tertidur dalam gendongannya. Cucu lelakinya itu baru saja menyesap ASI dan kembali terlelap puas setelah perutnya terisi. “Rumah di Jakarta itu besar, sayang kalau nggak ada yang nempatin. Gemi yang tengah tidur bertelentang lelah di karpet itu, belum menjawab. Ia sibuk menghela karena terlalu lelah mengurus Arya. Ternyata, menjadi ibu baru itu tidaklah mudah. Masih untung ada Audi dan asisten rumah tangga yang juga ikut membantunya. Jika tidak, Gemi mungkin akan benar-benar stres menghadapi semuanya. Sejak Abdi dan keluarga Asri kembali ke Jakarta lebih dulu, sang ibu kerap membujuk Gemi agar bisa pindah kembali ke ibukota. Namun, Gemi belum bisa memberi jawaban pasti akan hal tersebut. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang harus ia pikirkan. “Sudah dibicarain sama suamimu belum, Gem?” Audi kembali membuka mulutnya ketika melihat sang putri hanya berdiam diri, sembari menatap langit-langit di
Setelah pertemuan yang menegangkan siang tadi dengan Aries, sampai saat ini Gemi masih merasa bersalah kepada pria itu. Gemi bukannya ingin memisahkan Aries dengan putranya, hanya saja, ada sebuah aib masa lalu yang harus ia tutup rapat untuk selamanya. Jika nanti Aries kerap mengunjungi Arya tanpa Geeta, keluarga besar Gemi perlahan akan curiga. Terlebih, jika nantinya wajah Arya ternyata punya kemiripan dengan Aries. Oh, tidak! Gemi saat ini hanya bisa berharap, kalau wajah putranya akan didominasi oleh wajahnya. “Ngapain, Gem?” tanya Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah sakit sehabis persalinan, Lee langsung menginap satu kamar dengan dengan Gemi, untuk menghindari kecurigaan Audi yang sudah berada di rumah terlebih dahulu. Selama itu juga, mereka sudah tidur satu ranjang tapi benar-benar tidak melakukan hal apapun. Hanya saling memberi kecupan selamat tidur, dan tidak berani untuk melangkah lebih jauh l
Aries segera berdiri dari tempatnya, ketika melihat Gemi dan Lee berjalan dengan bergandengan tangan memasuki restoran. Tadinya, ia berharap sangat, kalau Gemi akan membawa buah hati mereka ke restoran. Namun, dengan tidak adanya stroller bersama mereka, pupuslah sudah harapan Aries.“Kenapa jadi seperti ini,” protes Aries pada Lee dengan melayangkan tatapan tajam. Garis bibir yang menipis dan kedua tangan yang mengepal, menunjukkan bahwa Aries tengah kesal sepenuh jiwa. “Aku bahkan nggak dikabari sama sekali kalau anakku sudah lahir. Dan sekarang, kalian dengan seenaknya buat surat perjanjian kalau aku harus tutup mulut?”Lee menarik sebuah kursi untuk Gemi duduki terlebih dahulu. Bersikap tenang dan tidak ingin terbawa emosi. Setelah Gemi dan dirinya telah duduk, barulah Lee membuka suara. Menatap Aries yang masih berdiri dengan rahang mengeras.“Itu karena Geeta sudah mengajukan gugatan cerai dan aku nggak mau ambil resiko, Ar.&r