Tidak pernah ada yang tahu, jika dahulu kala, Gemini Kamaniya dan Aries Gautama, pernah berbagi rasa, dan berbagi malam yang panas. Sebuah rahasia kecil yang berawal dan berakhir dalam senyap. Membuat luka dan kecewa yang tidak berkesudahan. -- "Sudah hampir delapan tahun kita putus, tapi, kamu masih single, sampai sekarang?” Aries tersenyum miring, terkesan meledek dan meremehkan. “Belum bisa bisa move on?” Gemini mendesah panjang, kemudian membalas Aries dengan senyum yang sama. “Sudah hampir delapan tahun kamu nikah, belum juga punya anak, Kamu mandul?”
View MoreGemi berdecak keras ketika memasuki ruang meeting redaksi pagi ini. Hanya terlihat lima wartawan magang dan tiga wartawan senior. Ketika hujan seperti ini, selalu saja ada alasan bagi beberapa wartawan untuk tidak pergi ke kantor mengikuti rapat redaksi pagi.
Tidak hanya wartawan sebenarnya, para redaktur juga kerap tidak hadir dan lebih memilih untuk langsung pergi ke tempat liputan yang sempat ditugaskan. Entah benar datang untuk meliput, atau hanya mewawancarai pihak terkait via telepon, sambil asyik berselonjor cantik di rumah.
“Ammar langsung pergi ke pameran berlian di Hotel Big Season, Gem,” ujar Lily sang sekretaris redaksi yang baru masuk ruang meeting dengan membawa laptop di pelukan. Wanita yang berusia sama dengan Gemi itu, langsung menarik sebuah kursi tidak jauh dari pintu ruang meeting, dan bersiap untuk menulis notulen pagi ini.
Karena hanya Gemi satu-satunya senior yang hadir, maka dirinyalah yang akan memimpin jalannya rapat redaksi untuk beberapa waktu ke depan.
“Pameran baru buka jam sepuluh, tapi dia, jam sembilan sudah pake alesan nangkring di sana. Sampaikan ke dia, suruh ngadep aku nanti sore,” decak Gemi yang juga mengeluarkan laptopnya dari tas. Meletakkan di atas meja, lalu membuka dan menyalakannya. “Siapa lagi yang izin, Ly?”
“Beni, sakit.”
“Tanyain Beni, rencana sakitnya sampai kapan, dan bilang sama dia, gak pake lama!” balas Gemi, kemudian menatap Lukman, sang wartawan magang yang baru sebulan bergabung bersama surat kabar harian Radar Post. “Man, gantiin Beni di desk hukum sementara, dan hari ini ada sidang tipiring* di pengadilan negeri, gue mau, lo buat tulisan feature* tentang liputan tersebut.”
“Siap, Mbak Gem.”
“Jangan siap-siap doang bisanya, dicatet tuh gede-gede, tulisan FEATURE bukan straight news*. Serahin ke gue dulu sebelum, lo, kirim ke EDP*, paham?”
“Paham, Mbak.” Lukman mengangguk seraya menelan ludah. Kalau sudah ditatap tajam seperti itu, siapa yang berani membantah.
“Dan, lo, Rin. Pergi temui Leonard Arkatama.”
Satu lagi wartawan magang yang bernama Rinda, sudah siap menghidupkan aplikasi perekam di ponselnya. Agar tugas yang diberikan oleh sang redaktur madya dari surat kabar harian Radar Post itu, tidak terlewat sedikitpun.
“Gue denger desas desus kalau beliau mau diangkat jadi komisaris di salah satu perusahaan BUMN, cari tahu perusahaan apa, komisaris utama atau independen, kalau bisa, eh harus bisa, sih, sebenernya, sekalian cari tahu gaji juga tunjangan jabatannya.”
“Oke, Mbak.”
Gemini Kamaniya memang selalu sedetail itu, jika sudah berhadapan dengan penugasan untuk para wartawan. Memiliki wawasan dan relasi yang sangat luas, membuat Gemi akan mengikuti uji kompetensi wartawan, untuk menjadi redaktur utama dalam waktu dekat. Tidak menutup kemungkinkan, kalau jenjang karir wanita itu, akan melesat lebih jauh lagi ke atas.
Gemi kembali beralih pada Lily karena teringat suatu hal, “Ly, setelah rapat selesai, hubungi Rio, jatah liburnya minggu ini dan minggu depan ditiadakan. Kalau dia protes, suruh datengin gue. Enak banget hidupnya nggak pernah ikut rapat pagi, jangan mentang-mentang ponakan dirut, terus bisa seenaknya!”
Peserta rapat yang lain hanya menelan ludah, hanya Gemi seoranglah yang berani bertindak seberani itu, pada keponakan Direktur Utama Radar Post. Dan, tidak ada yang berani protes, karena Gemi memang tidak suka ketidakadilan, yang bisa menimbulkan kesenjangan sosial diantara karyawan.
Setelah beberapa rancangan penugasan telah selesai dan beberapa evaluasi telah rampung. Gemi mengakhiri rapat redaksi, namun ia belum berminat untuk keluar dari ruang meeting. Karena masih ada satu berita yang harus ditulis secepat mungkin, untuk mengejar deadline sore hari nanti.
“Ly, gue tuker libur sama Ammar minggu depan, ada acara keluarga di rumah,” ucap Gemi ketika tinggal dirinya dan Lily saja di ruang meeting.
Lily tengah merapikan notulen yang baru saja dibuatnya, untuk segera dikirimkan ke e-mail redaksi Radar.
“Acara apaan? Mau dijodohin, lo?” kekeh Lily berniat meledek. Keduanya memang tidak pernah segan untuk melempar kalimat sarkas, dan saling ejek satu sama lain.
“Ihh, ogah! Amit-amit deh! hari gini masih dijodohin,” jawab Gemi sembari bergidik geli. Sebulan yang lalu, usia Gemi memang sudah memasuki kepala tiga. Namun sampai sekarang, Gemi tidak pernah tampak menggandeng siapapun ketika menghadiri sebuah acara, baik itu formal maupun non formal.
“Nggak papa kali Gem, dijodohin, kalau orangnya ganteng, tajir, seti—”
“Mbak Gem, dipanggil Pak Rudi, di ruangannya.” Seorang office boy bernama Joko menyela pembicaraan dengan terburu, hanya menyembulkan kepalanya sebentar di pintu kemudian pergi lagi secepat kilat.
Gemi langsung menutup laptop, dan memakai tas ranselnya. Menenteng benda persegi tersebut di tangan kanan dan berpamitan kepada Lily karena sang pemimpin redaksi -pemred- telah memanggilnya.
Belum sempat Gemi mengetuk pintu kaca ruang pemimpin redaksi yang tebuka lebar, Rudi sudah menyuruhnya untuk masuk dengan gestur tangannya.
“Gem, saya sudah buat janji sama Aries Gautama, dan kamu yang akan wawancara dengan beliau.”
Senyum yang sedari tadi disematkan oleh Gemi, mendadak hilang. Jika ada satu orang yang tidak ingin ditemui dan diwawancarai olehnya, orang itu adalah Aries Gautama. Pria yang sudah membuat dirinya patah dan membuat hatinya pecah berserakan.
Gemi masih berdiri statis, diam tidak berbicara.
“Aries akan mengisi halaman sosok kita bulan depan, jadi, kamu sudah tahu, harus wawancara seperti apa dengan beliau, kan?” tanya Rudi menambahkan.
“Ya, Pak.”
“Oh, ya, dan saya juga mau tulisan feature tentang Aries, untuk halaman depan,” lanjut Rudi lagi.
Tidak ada kata bantahan sama sekali yang keluar dari mulut Gemi, karena setiap tugas yang diembankan kepadanya pasti terselesaikan dengan baik.
---
“Selamat siang, Pak Aries.” Gemi berdiri dengan gestur formal, ketika melihat Aries memasuki ruang VIP yang memang sudah disiapkan khusus untuk wawancara kali ini.
Aries tampak datang seorang diri. Tidak terlihat orang lain yang menyusulnya dari belakang, hingga pria itu berhenti tepat di depan Gemi. Menyambut jabat tangan, dan juga bersikap formal. Meskipun Gemi dapat melihat sebuah seringai kecil, yang terbit di wajah mantan kekasihnya tersebut.
“Gemini Kamaniya.”
“Aries Gautama,” balas Gemi lalu menarik tangannya yang masih berada di genggaman Aries. “Bisa kita langsung saja, Pak Aries. Saya tidak suka membuang-buang waktu.”
Gemi pun menggunakan bahasa yang sangat formal untuk benar-benar menjaga jaraknya dari pria itu. Ia tidak berniat ataupun berminat untuk mengakrabkan diri, meskipun Aries merupakan salah satu nara sumber penting di ibukota.
“Nggak perlu formal, Gem,” ujar Aries. “Kita sudah saling kenal, bahkan sampai ke dalam-dalam.”
Gemi berdehem tidak suka, karena Aries telah menyinggung masa lalu diantara mereka, sungguh bukan hal yang perlu untuk diingat. Satu kebodohan dan penyesalan terbesar Gemi, karena telah menyerahkan segalanya untuk seorang pria ambisius seperti Aries.
Karena tidak perlu bersikap formal, maka Gemi dengan santai, duduk terlebih dahulu. Membuang jauh rasa sopan dan tidak mempersilakan Aries untuk duduk setelahnya.
“Sebuah kesalahan yang nggak pantas untuk diingat, apalagi dibanggakan.” Gemi mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi untuk merekam. Meletakkannya di atas meja. “Ayo kita mulai.”
Aries mengambil ponsel yang berada di atas meja dan mematikan aplikasi perekamnya, kemudian duduk di kursi yang bersebrangan dengan Gemi. “Masih betah kerja di Radar? Apa statusmu sekarang Gem?”
“Seperti yang Bapak lihat, saya masih memakai seragam Radar Post,” jawab Gemi datar, lalu mengambil ponselnya yang baru saja di letakkan Aries di atas meja. “Doakan saja, sebentar lagi saya mau ikut UKW*, kalau berhasil, yaa saya naik jadi redaktur utama.”
“Aku yakin kamu lolos.”
“Terima kasih.” Gemi kembali membuka aplikasi perekamnya dan ingin segera menyelesaikan sesi wawancara yang ada. “Baik Pak Aries, bisa ceritakan kesan Bapak selama menjabat sebagai staff ahli kepresidenan.”
“Jangan terburu-buru, kita masih punya banyak waktu.” Aries mencoba mengulur waktu, karena terus terang, Gemi terlihat semakin cantik. Terlebih, wanita itu juga semakin seksi, dengan semua pembawaannya yang semakin dewasa. “Apa kabarmu, Gem?”
“Buruk, karena saya ditugaskan untuk mewawancarai, Bapak.” Gemi tidak ingin berbasa basi dengan pria seperti Aries. Bagaimanapun juga, sakit hati itu masih ia bawa sampai sekarang.
“Kamu masih seperti dulu, nggak suka basa-basi.”
“Ya! apalagi dengan Bapak!”
Aries meluncurkan satu tawa geli dari bibirnya. Menunduk sebentar sembari menggeleng dua kali. “Come on, Gem. Apa kamu masih sakit hati? Jangan kekanakan.”
“Kekanakan?” Gemi menyematkan senyum tipisnya. “Bapak perlu kaca? saya punya di tas, kalau mau minjam.”
Aries kembali menggeleng, ternyata Gemi masih menyimpan rasa sakit di hatinya sampai saat ini. Lalu, tatapan Aries jatuh pada jemari Gemi yang saling tertaut di atas meja. Tidak ada cincin yang tersemat sama sekali di sana.
“Sudah hampir delapan tahun kita putus, tapi, kamu masih single, sampai sekarang?” Aries tersenyum miring, terkesan meledek dan meremehkan. “Belum bisa bisa move on?”
Gemi mendesah panjang, kemudian membalas Aries dengan senyum yang sama. “Sudah hampir delapan tahun kamu nikah, belum juga punya anak, kamu mandul?”
---
* Feature : Salah satu jenis tulisan jurnalistik, berisi perpaduan berita dan opini yang bersifat subjective. Serta mengandung human interest dan bergaya penulisan sastra.
* Straight news : Berita langsung yang memuat informasi terkini tentang peristiwa yang sedang hangat, aktual, dan penting
* EDP (Entry Data Processing) : Staff atau karyawan yang bertugas menginput data pada sebuah program.
* UKW : Uji Kompetensi Wartawan
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments