***
Bening duduk dengan segelas minuman di hadapannya, mata gadis itu mentap piring berisi kentang goreng yang sama sekali tidak menggugah selera. Meski begitu dia harus mengisi perut karena sejak pagi mungkin hanya air yang masuk ke dalam organ pencernaannya. Ia terlihat mendesau, lantas memasukkan kentang ke dalam mulut sambil memikirkan apa yang mungkin terjadi di acara yang baru saja dia tinggalkan.
Ya, sekitar satu jam lalu Bening nekat kabur dari acara pertunangannya dengan seorang pria. Ia mengesampingkan perasaan orangtuanya dan harga diri keluarga pria itu hanya untuk mengembalikan kepercayaan seseorang padanya, orang yang terlambat dia sadari begitu berharga.
Bening lagi-lagi mengembuskan napas panjang. Suara dentuman musik di klub yang dia datangi sama sekali tidak bisa membuat hatinya sedikit gembira. Ia menyandarkan punggung saat ponselnya bergetar, semua orang terdekatnya berusaha menghubunginya satu persatu. Hingga beberapa menit kemudian Bening berniat mematikan saja benda pipih miliknya itu.
“Apa mereka sudah menemukan solusi?” gumam Bening mendapati tak ada lagi yang menghubungi, sampai dia kaget mendapat sebuah pesan dari temannya yang juga teman Rain-calon tunangan yang dia tinggalkan.
[ Hei, semua orang tahu kamu kabur dari pertunangan dan mereka bilang pertunangan batal karena cincin hilang, lelucon macam apa ini Be?]
Bening mengernyit, padahal dia berharap sang saudara kembar lah yang akan ditarik untuk menggantikannya. Namun, dia tetap saja merasa bahagia. Kini setidaknya keluarga Rain pasti sangat membencinya, terutama wanita bernama Bianca yang tak lain adalah ibunda Rain. Masih sibuk dengan ponselnya, tanpa Bening duga seorang cowok tiba-tiba mendekat ke arah mejanya. Cowok itu dan teman-temannya ternyata sudah memperhatikan Bening sejak tadi.
“Permisi! Bisakah aku meminta nomor teleponmu?”
Bening mendongak kemudian melihat ke arah meja asal cowok itu duduk, nampak beberapa cowok lain berbisik sambil tertawa, raut muka pensaran mereka terlihat jelas. “Apa kamu sedang bermain truth or dare dengan teman-temanmu itu?”
Ketahuan, cowok yang jika dilihat masih sangat muda itu menoleh ke arah teman-temannya. Ia takut jika sampai dimarahi oleh sosok wanita yang dia sadari pasti jauh lebih tua darinya.
“Maaf, jika tidak sopan. Apa kakak bisa memberikan nomor ponsel kakak?” tanya cowok itu lagi.
“Siapa namamu?” tanya Bening dengan gaya arogan, dia lipat tangannya ke depan dada dan menyilangkan kaki.
“Glass.”
Menegakkan badan, Bening menatap pria bernama Glass itu dengan sorot mencibir. “Apa kamu mau tidur denganku?”
“Apa?” Gelagapan, Glass bingung dan lagi-lagi menoleh ke arah teman-temannya. Cowok itu terlihat gemetaran.
“Apa ini kali pertamanya kamu pergi ke klub malam?” cibir Bening. “Hati-hati, anak kecil tidak boleh masuk ke tempat seperti ini.”
Glass menelan saliva dan menggaruk kepala, akhirnya dia kembali ke meja bersama teman-temannya dengan tangan hampa. Tak berselang lama Bening melihat cowok itu menenggak minuman berwarna cokelat dari gelas yang disodorkan oleh temannya. Karena tidak bisa mendapat nomor ponsel Bening Glass diberi hukuman.
🥛🥛🥛
“Bawa dia ke kamar, aku akan membayarmu nanti!”
Bening yang baru saja keluar dari kamar mandi melihat dan mendengar seorang wanita berbicara dengan cowok yang tidak asing di matanya. Sudah berjalan agak jauh dari kedua orang itu, Bening menoleh untuk memastikan. Ia yakin bahwa cowok itu adalah teman dari laki-laki yang berniat meminta nomor ponselnya, cowok yang dia panggil anak kecil tadi.
Mencoba mengabaikan, Bening seketika heran melihat cowok bernama Glass tadi dipapah temannya dalam kondisi sempoyongan. Namun, bukannya mengarah ke pintu keluar, mereka menuju belakang klub yang Bening tahu memang ada kamar yang bisa disewakan untuk berbuat hal-hal tak senonoh.
Tak ingin mencampuri urusan orang lain, Bening memilih untuk tak peduli, hingga entah kenapa melihat wajah lugu cowok bernama Glass itu, dia menjadi tak tega.
Bening menoleh, mengejar kemana Glass dibawa. Ia mencegah saat wanita yang tadi berkata akan membayar Glass hendak masuk ke dalam kamar, bersama cowok itu yang masih berada di pelukan temannya.
“Apa kalian gila? kalian membuat dia mabuk dan ingin menjadikannya gigolo?” Bening melotot ke arah cowok yang memapah Glass. “Teman macam apa kamu?”
“Hei … tidak usah mengurusi urusan orang lain.” Dada Bening di dorong oleh si wanita yang terlihat berpenampilan norak. Ketakutan, teman Glass malah melepaskan cowok itu lalu kabur. Glass hampir saja ambruk jika Bening tidak bergegas meraih pinggangnya.“Tinggalkan dia! Aku akan memberimu lebih,” ucap Bening. Ia mengulurkan pergelangan tangannya. “Kamu bisa mencari pria lain, ambil gelangku! Harganya lebih dari dua ratus juta.”
Wanita itu menolehkan muka dan tertawa tak percaya, dia tatap Bening dengan raut muka kesal tapi sedektik kemudian, meloloskan gelang Bening dari tangan.
“Ambil lah! pakai juga kamarnya!” Wanita itu tersenyum bahagia, dia bahkan berjalan pergi sambil menimbang-nimbang gelang milik Bening.
“Apa aku sudah gila?” gerutu Bening yang kini hanya tinggal berdua dengan cowok bernama Glass tadi. Susah payah dia membuka pintu dan merebahkan cowok itu di atas ranjang. “Kamu berhutang padaku! aku sudah menyelamatkan hidupmu,” imbuhnya.
Namun, bukannya meninggalkan cowok itu. Bening malah mematung dan memandangi wajah Glass. Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di dalam otaknya. “Jika aku kembali, aku harus bisa memberikan alasan yang masuk akal agar mereka tidak memaksaku bertunangan lagi dengan Rain, haruskah aku melakukan ini?”
Bening semakin mendekat, dia meyakinkan diri sebelum berucap. “Maaf!”
**
Glass mengerjab karena cahaya matahari yang mengenai matanya, dia memijat pelipis karena kepalanya terasa pusing. Samar, dia melihat sesosok wanita duduk di tepian ranjang. Kaget, Glass langsung bangun hingga punggungnya terbentur kepala ranjang. Ia semakin kaget mendapati tubuhnya yang hanya berbalut selimut dan menariknya.Glass gemetaran, dengan terbata dia bertanya,”Si-si-siapa kamu?”
Netra cowok itu membola saat sosok wanita itu menoleh. Bening menatapnya dengan sorot aneh.
“Ka-ka-kakak!”
“Apa kamu mengingat apa yang kamu lakukan semalam?” tanya Bening.
Glass menggeleng, dia takut terlebih saat Bening tiba-tiba menyibakkan selimut. Ada bercak merah di sana, dan karena terlalu takut, cowok itu tidak melihat luka di jari telunjuk kanan Bening. “Kamu sudah melakukan itu denganku!” Glass menggeleng, dia bahkan tidak mengingat apa-apa semalam jadi bagaimana bisa dia melakukan itu. Bening menunjukkan ponsel milik Glass dengan tangan kiri lalu melemparnya ke ranjang. "Aku sudah tahu di mana kamu tinggal, aku menyalin kontak pentingmu. Tidak aku sangka ternyata kamu mahasiswa teknik dan baru semester awal. Asal kamu tahu kampusmu itu milik kakekku, jadi jangan macam-macam." Glass menelan saliva, dia benar-benar anak baik-baik. Saat SMA saja dia tidak pernah berani membolos, lalu apa-apaan ini? meniduri wanita? “Kamu sudah melakukan perbuatan itu, aku bisa saja menyeretmu ke penjara karena sudah merudapaksa.”
Bening mengetuk-ngetuk meja kerjanya, apa yang ditakutkannya benar terjadi. Mamanya berkata bahwa jika dia mau meminta maaf dan menjelaskan alasannya kabur dari pertunangan ke keluarga Rain, maka pertunangan itu bisa dilanjutkan. Memijat kening, meski masih memiliki sedikit perasaan ke Rain tapi Bening tidak yakin pria itu akan mau menerimanya, dia tidak ingin sampai menikah dan hidup seperti berada di dalam neraka karena memiliki suami yang tidak mencintainya. Menghela napas panjag, Bening memilih untuk keluar menuju rooftop gedung kantornya. Di sana dia berdiri sambil bersedekap dada, membiarkan angin meniup rambut panjangnya yang tergerai. Bening kembali mengingat pertemuannya dengan Embun sang saudara kembar yang sudah kembali ke Indonesia. Enam tahun yang lalu, Embun keluar dari sekolah yang sama dengannya dan pergi tanpa berpamitan pada orang-orang, termasuk pria bernama Rain yang merupakan pacar Embun pada s
Malam itu, Bening dan orangtuanya sepakat datang ke rumah keluarga Rain. Mereka ingin menjelaskan sekaligus meminta maaf karena tingkah Bening yang tidak bertanggungjawab kabur dari pertunangannya. Seperti tahu bagaimana gamangnya hati Bening, hujan deras turun malam itu. Duduk di kursi belakang, Bening mendesau sambil menyandarkan punggungnya, dia membuat papa dan mamanya saling pandang. “Mama mohon jaga sikapmu di depan orangtua Rain, kita harus membicarakan masalah ini baik-baik. Jangan semakin membuat Mama malu,” ucap Rea tanpa menoleh Bening. Beberapa menit kemudian mereka sampai di kediaman Bianca dan Skala yang tak lain adalah orangtua Rain. Bening merasa sedikit horor karena disambut dengan tatapan dingin dan sorot mata kecewa dari Bianca. “Tante!” panggilnya, Bening mendekat dan menyalami wanita itu. Bianca bersikap biasa, tidak ada penolakan sama sekali darinya saat gadis itu menyentuh tangannya.
Merasa tidak nyaman berada di rumah setelah mendapat murka sang mama. Bening pun memilih untuk menghubungi sang saudara kembar. Ia mengirimkan pesan ke Embun di mana dia berada, dan memohon pada sang saudara agar mau menampungnya. Setengah jam kemudian, Bening sampai di tempat Embun yang untuk sementara waktu tinggal di salah satu kamar hotel milik keluarganya. Bening mengetuk pintu, dan tak lama kepala Embun menyembul dari balik sana. “Bu, aku boleh ya menginap di sini,” ucap Bening sesaat setelah pintu dibuka lebar. Embun pun mengangguk dan mempersilahkan. Sejatinya hubungan mereka masih sedikit dingin karena perselisihan di masa lalu. Namun, sepertinya baik Bening dan Embun sadar tidak ada gunanya bermusuhan, terlebih dengan saudara kandung sendiri. Mereka mulai mau membuka hati lagi. Sementara, selain memang tidak nyaman berada di rumah setelah dimarahi, Bening sengaja datang untuk menjelaskan alasannya kab
Bening memberi kesempatan Glass untuk merayakan kemenangan timnya, dia duduk kembali dan melihat bagaimana cowok itu dipeluk bergantian dan disalami seolah menjadi bintang pertandingan itu. Bening memalingkan muka, sedikit kesal karena dia sedikit terpesona dengan berondong berumur sembilan belas tahun itu. “Apa yang mereka lakukan? Dasar murahan,” umpat Bening saat melihat beberapa gadis mendekat, memberi boneka teddy bear dan bunga ke Glass. “Apa tidak sekalian kalian beri dia cokelat?” Tepat setelah berucap seperti itu, seorang gadis terlihat memberikan Glass bucket cokelat batangan bermerek emasqueen. Lagi-lagi Bening hanya bisa terkekeh ironi. Bepikir bahwa Glass memang dari keluarga biasa tapi memiliki pesona yang luar biasa. Bening menunggu sampai cowok itu menuju bangkunya, sedangkan Glass meski sadar sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasinya, dia bersikap cuek. “Hiss … bag
Siang itu, Bening nampak duduk di meja kerjanya dan memijat kening. Selain pusing dengan masalah pekerjaan, dia juga pusing menghadapi desakan dari kedua orang tuanya yang ingin bertemu dengan pria yang menghamilinya. Meski menyesal sudah berbohong, tapi Bening juga takut jika harus jujur. Terlebih pemuda bernama Glass itu sudah membuat hatinya merasakan debaran aneh. Mungkinkah dia jatuh cinta? Ternyata berpura-pura hamil juga tak semudah yang Bening bayangkan. Ia sempat berharap orangtuanya akan memaksanya menggugurkan kandungan seperti sinetron yang ada di saluran burung berenang, tapi ternyata tidak, baik mama ataupun papanya malah menginginkan bertemu dengan Glass. Masih menunduk dan berkelahi dengan pikirannya sendiri, Bening dikejutkan dengan sapaan sekretarisnya yang ternyata sejak tadi mengetuk pintu ruang kerjanya, karena sibuk melamun Bening sampai tidak menyadarinya. “Bu Bening, ini dokumen rencana even
“Apa kamu bilang tadi? saling mencintai? Hah!” Bening memalingkan muka, ia menyambar minuman miliknya di meja tanpa menoleh. Tenggorokannya terasa kering, belum lagi dadanya yang tiba-tiba bergemuruh tak karuan. Gila, ini gila. Bagaimana bisa pemuda yang umurnya lima tahun di bawahnya ini bisa membuatnya panas dingin. “Hem, bukankah membesarkan anak harus dengan kasih sayang, bagaimana bisa memberikan cinta jika orangtuanya tidak saling mencintai?” tanya Glass. Bening terkekeh geli, untuk pemuda seusianya pemikiran Glass menurutnya sangat dewasa. Berbeda dengannya yang terkadang masih kekanak-kanakan. “Tidak ada kata saling mencintai,” tegas Bening. “Aku hanya butuh kamu untuk menyelamatkan mukaku, jadi jangan pernah berpikir untuk saling mencintai!” Bening melirik Glass dan kembali berucap, “Aku akan membiayai kuliahmu, pengobatan ibumu dan juga pernikahan kakakmu, tidak
Hari berikutnya, Bening benar-benar melakukan apa yang sudah dia ucapkan kemarin. Ia datang ke pasar tempat ibu Glass berjualan. Sejak masuk ke halaman pasar, dirinya sudah mencuri perhatian orang-orang. Sebuah mobil mewah berwarna hitam yang sangat mengilap menyilaukan mata tukang parkir, belum lagi sesosok wanita yang keluar dari dalamnya. Begitu bening sebening namanya. Menenteng tasnya dan melepas kacamata, Bening yang saat keluar begitu elegan menjadi konyol karena menaikkan celana kerjanya. Ia menggerutu karena di sana sangat becek. Gadis itu bertanya ke tukang parkir di mana letak warung Fitria. “Apa neng mau makan di sana?” tanya si tukang parkir heran. “Tidak, aku mau menemui ca-lon mer-tu-a,” ucap Bening dengan mengeja kata calon mertua serta penuh ketegasan dalam mengucapkannya. Tukang parkir itu pun menggaruk kepala, sebelum menunjukkan arah ke mana warung Fitr