“Kamu sudah melakukan itu denganku!”
Glass menggeleng, dia bahkan tidak mengingat apa-apa semalam jadi bagaimana bisa dia melakukan itu.
Bening menunjukkan ponsel milik Glass dengan tangan kiri lalu melemparnya ke ranjang. "Aku sudah tahu di mana kamu tinggal, aku menyalin kontak pentingmu. Tidak aku sangka ternyata kamu mahasiswa teknik dan baru semester awal. Asal kamu tahu kampusmu itu milik kakekku, jadi jangan macam-macam."
Glass menelan saliva, dia benar-benar anak baik-baik. Saat SMA saja dia tidak pernah berani membolos, lalu apa-apaan ini? meniduri wanita?
“Kamu sudah melakukan perbuatan itu, aku bisa saja menyeretmu ke penjara karena sudah merudapaksa.”
“Me-me-merudapaksa? Aku tidak mungkin melakukannya?” Glass menggeleng, dan kepalanya malah semakin pening.
Bening membuang muka, hingga mengancam kembali. “Jangan berani-berani kabur! ke lubang semut pun kamu akan aku kejar, aku tidak akan pernah mau mengingkari kejadian semalam. Jadi-“ Bening menjeda kata. “Aku akan datang meminta pertanggungjawabanmu!”
“A-a-a-apa?”
Glass megap-megap, dia tak bisa menyangkal ucapan Bening, gadis itu seperti seorang diktator. Ia bahkan tidak bisa membalas ucapan atau pun mengelak.
***
Rea dan Arkan yang masih mengenakan piyama dibuat geleng-geleng kepala melihat penampilan putrinya. Setelah kabur dari acara pertunangannya, Bening pulang pagi dengan kondisi acak-acakan.
Menenggak air minum yang diberikan pembantunya, Bening pun duduk di ruang tamu dan membenarkan tatanan rambutnya yang berantakan. Ia baru saja akan membuka mulut saat sebuah tamparan keras mendarat di pipinya dari Rea-sang mama.
Arkan-papanya sontak terkejut, sedangkan Bening hanya bisa memegangi pipinya yang terasa panas. Ia memang merasa pantas menerimanya. Gadis itu sadar sejak kecil selalu dimanja oleh Rea dan ini untuk kali pertamanya wanita itu menampar dan semurka ini padanya.
“Apa yang kamu lakukan Be? Apa kamu puas mempermalukan Mama dan keluarga?” bentak Rea, wajahnya sudah memerah menunujukkan kemarahannya sudah mencapai ubun kepala.
“Sabar, Ma!” bujuk Arkan mendapati istrinya begitu emosi.
“Dari mana saja kamu sampai tidak pulang semalaman?” Rea masih menatap tajam putri kesayangannya. “Apa kamu bisu? Jawab Mama!”
“Sudah, tidak ada gunanya memarahi bahkan memukulnya seperti ini. Yang penting dia sudah pulang dengan kondisi baik.” Arkan menahan Rea dan menarik istrinya itu masuk ke dalam. Berbicara dengan emosi seperti ini hanya akan membuat situasi semakin kusut.
“Minta maaf pada keluarga Rain! tanggung jawab atas apa yang kamu lakukan, Mama tidak akan pernah mau membantu dan membelamu!” bentak Rea. “Jika tidak mau bertunangan seharusnya kamu bilang sejak awal, kamu benar-benar keterlaluan.”Arkan meminta Bening masuk ke kamarnya, dia tahan Rea yang masih saja murka. Namun, Bening masih terpaku sambil memikirkan sesuatu, jika sampai dia mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya sekarang. Mungkin Rea akan langsung membunuhnya.
🥛🥛🥛Pulang ke rumahnya, Glass yang masih bingung dengan apa yang baru saja dialami mendapat pertanyaan sedikit ketus dari kakak laki-lakinya yang bernama Roy.“Beginikah kelakukanmu? Menjadi mahasiswa membuatmu bertingkah sok jadi anak orang kaya.”
Glass memilih diam, dia masuk ke dalam dan mencari keberadaan ibunya. Glass hanya anak orang biasa, ayahnya sudah meninggal sejak dia bayi sedangkan ibunya membuka warung nasi di sebuah pasar. Karena sakit, sudah dua hari ini ibunya tidak berjualan.
“Bagaimana kondisi Ibu? Kenapa Ibu sudah menggiling bumbu?” tanya Glass melihat Fitria sang ibunda yang berada di dapur menyiapkan bumbu untuk berjualan.”Seharusnya Ibu istirahat.”
“Kamu dari mana saja semalam tidak pulang?”
Glass terdiam, dia tidak mungkin berkata pergi ke klub malam lalu tidur dengan seorang wanita tak dikenal ke Ibunya. Meskipun acara semalam sebenarnya perayaan karena tim basketnya menang turnamen amatiran, tapi pergi ke klub jelas akan membuat ibunya syok. Ia bahkan tidak merokok meski semua temannya melakukan itu.
“Menginap di rumah teman Bu, maaf ya tidak izin. Ponselku mati.”
Fitria menerima penjelasan putra bungsunya, hingga dengan penuh perhatian wanita itu bertanya apakah Glass sudah makan atau belum.
“Sudah makan atau belum biarkan saja Bu, untuk apa ibu pikirkan? Dia sudah besar, jangan sampai karena hal sepele seperti makan jadi menyusahkan, cukup dia menyusahkan hidup kita selama ini,” ketus Roy.
Satu hal yang tidak dimengerti Glass sampai sekarang, satu-satunya kakak yang dia miliki selama ini menganggapnya benalu. Roy memang tidak pernah memukulnya tapi secara verbal, pria yang umurnya terpaut tiga belas tahun dengannya itu selalu saja menghina bahkan berkata jahat padanya. Sering kali Roy berkata bahwa Glass adalah anak pungut, anak yang dibuang di tempat sampah yang ada di pasar dan dipungut ibunya.
“Sudah Roy! Sana berangkat kerja!” titah Fitria.
Hal ini juga yang membuat Roy sangat membenci sang adik, ibunya seolah selalu membela. Apa-apa untuk Glass. Ia dulu kuliah dengan biaya sendiri sedangkan sang adik berkuliah di kampus ternama.
Glass memilih diam, baginya membalas ucapan orang yang membenci hanya membuang waktu dan tenaga, karena orang yang membenci tidak akan pernah melihat sebesar apapun kebaikan pada diri kita. Glass hanya ingin menunjukkan bahwa dia bisa menjadi orang sukses dan membuat ibunya bahagia.
“Aku mandi dulu ya Bu,” pamit Glass. Ia masuk ke dalam kamar dan duduk di tepian ranjang. Glass kembali memikirkan sosok Bening yang membuatnya cemas.
“Bagaimana jika dia melaporkanku ke polisi? Apa yang harus aku lakukan? Bodoh! kenapa aku ikut ke klub?” Glass menyugar rambutnya. Bukannya mandi seperti apa yang dia katakan ke ibunya, dia malah merebahkan tubuh dan memandang langit-langit kamar.
Cukup lama Glass terdiam hingga ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk ke dalamnya dari nomor yang tidak dia kenal.
[ Jangan coba-coba memblokir nomorku, aku tahu di mana kamu tinggal. Aku juga tahu apa pekerjaan orangtuamu ]
Glass baru akan membalas pesan itu ketika sebuah pesan masuk kembali.
[Simpan nomorku agar aku bisa melihat status di aplikasi berbalas pesan milikmu]
Mengembuskan napas, Glass akhirnya membalas pesan Bening itu.
[Aku harus memberi nama kontakmu apa? ]
[ Terserah, kamu boleh memberi nama cinta satu malam atau apa, yang jelas jangan berani-berani menghilang atau aku akan datang ke kampusmu dan membuatmu malu ]
Ancaman Bening cukup membuat Glass takut dan benar-benar menyimpan nomor gadis itu. Sementara Glass masih berbaring di ranjang kamarnya. Bening sedang duduk di depan meja rias, dia pandangi telunjuk tangan kanannya yang sengaja dia sayat.
Sebelum sengaja tidur di kamar yang sama dengan Glass, Bening sengaja keluar, dia meminta plaster ke pihak klub, secara diam-diam dia memecahkan gelas dan melukai tangannya sendiri.
"Aku harus melakukan ini, harus!" Gumamnya🍷Selamat Membaca🍷Seperti yang Glass bilang, setibanya kembali dari Jogja dia langsung menemui Gama untuk membujuk pria itu mengunduh aplikasi yang dia lihat iklannya tempo hari. Glass sesekali melirik Bening yang bercanda dengan Maha dan Olla. Wanitanya itu datang membawakan oleh-oleh sekaligus ingin melepas rindu.“Kenapa? jika aku mau aku pasti akan mengunduhnya, Aplikasi itu sudah ada saat umurku masih belasan tahun.” Gama mengembalikan ponsel milik Glass ke atas meja dan mendorongnya ke arah lawan bicaranya itu pelan.“Bening juga sudah bercerita, aplikasi itu pernah ada, lalu hilang dan sekarang muncul lagi dengan fitur yang lebih canggih, ayolah! Carikan Maha ibu, jangan sampai dia menjadi pebinor di antara aku dan Bening.” Glass tetap pada pendiriannya, dia ingin Maha jauh-jauh dari istrinya.“Ya Tuhan Glass, bagaimana bisa kamu berpikir bocah sekecil itu menjadi perebut laki orang.” Gama geleng-geleng kepala. Ia menyesap kopi yang sudah agak dingin karena mereka keasyikan
🍷Selamat Membaca🍷Sudah lebih dari setengah jam, tapi Glass masih belum juga masuk kamar, entah pria itu sudah kembali dari warung atau masih berada di dalam kamar mandi, yang jelas Bening uring-uringan dan memilih untuk tidak keluar kamar. Ia berbaring di ranjang lalu bangun, berbaring lagi lalu bangun lagi. Gelisah sendiri seperti wanita yang tak pernah dijatah suami. Bening yang dongkol pun sampai menggigiti kuku jarinya sendiri karena terlalu gemas. Ia meremas sprei ranjang dan langsung berdiri saat Glass akhirnya masuk ke dalam kamar.“Sudah selesai?” ketus Bening, dia menyindir tapi yang disindir tidak peka juga.“Sudah,” jawab Glass dengan santai. “Kamu nggak mau makan sate kambing, enak lho,” imbuhnya dengan nada santai tak merasa bersalah sama sekali.Bening semakin emosi jiwa, melihat dari rambut Glass yang masih basah dan tidak ada aroma kambing yang menguar saat pria itu berbicara, dia sudah bisa menerka bahwa Glass pasti makan dulu setelah dari warung baru setelahnya ma
🍷Selamat Membaca🍷“Permisi, maaf!”Mendengar suara yang begitu sangat dia kenali, Bening pun menoleh. Ia kaget sekaligus bahagia. Ingin rasanya dia mencecar Glass dengan banyak pertanyaan. Namun, rasa penasarannya itu harus dia tahan dulu saat pramugari mendekat dan meminta Glass untuk segera duduk. Bening terus menatap heran Glass, dia bahkan memastikan dirinya tak salah lihat, suaminya itu bahkan tidak membawa koper. Glass tersenyum, dia terus memperhatikan Bening dan tak mendengarkan penjelasan dari pramugari sebelum pesawat take off. Pria itu pun duduk lurus ke depan saat pesawat hendak mengudara, setelah memastikan burung besi itu berada di atas awan, baru lah Glass menoleh. Ia tersenyum manis mendapati sang istri sudah memperhatikannya.“Glass, jangan bilang kamu berlari ke sini dan tidak membawa apa-apa.”Glass menggeleng, alih-alih memberi jawaban ke sang istri pria itu malah balik melempar pertanyaan perihal Bening yang naik pesawat, apakah sudah berkonsultasi dengan dokter
🍷Selamat Membaca🍷Bening menelepon dokter Andit, menanyakan apakah dia bisa melakukan konsultasi dadakan hari itu. Ia ingin pergi ke suatu tempat dan harus memakai pesawat. Bening pun semringah saat sang dokter memintanya datang. Tidak perlu membuat janji jika dia pasti akan dilayani dengan senang hati oleh sang dokter.Tak ingin menunggu lama, Bening pun mengemasi barang pribadinya. Wanita itu berpesan pada Zahra untuk membatalkan beberapa agendanya tiga hari ke depan karena dia ingin pergi jalan-jalan.“Anda mau ke mana?” Zahra berdiri dari kursi karena terlalu kaget. Tidak biasanya Bening seperti ini. Atasannya itu selalu merencanakan apa yang akan dia lakukan. Membatalkan agenda jelas bukan gaya wanita itu.“Aku ingin berlibur, ke Jogja? Apa mau kubawakan bakpia? Atau gudeg?” tanya Bening dengan wajah semringah. Ia melambaikan tangan ke Zahra dan berjanji akan membawakan Amar - putra wanita itu batik.“Wah … apa ada masalah? kenapa tiba-tiba ingin pergi?” gumam Zahra.__Bening
🍷Selamat Membaca🍷“Mereka pasti akan bahagia karena daddy mau menjenguk.” Bening mengedipkan mata, malu juga dia sebenarnya bertingkah agresif seperti ini, tapi apa mau dikata terkadang keinginan harus diungkapkan agar tidak menjadi penyakit di dalam hati.“Mereka yang bahagia, atau Mommy-nya yang bahagia.” Glass menyentuhkan hidungnya ke hidung Bening. Wanitanya itu tersenyum malu-malu layaknya anak perawan yang baru saja merasakan cinta.“Kalau itu tidak perlu ditanyakan lagi Glass, aku bahagia kamu pun juga pasti bahagia.” Bening melingkarkan tangan ke leher suami berondongnya. Ia memang sangat merindukan sentuhan Glass, sentuhan yang membuatnya mabuk kepayang dan merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia.“Aku akan melakukannya dengan lembut, aku tidak ingin membuat calon anak kita terganggu.”Kalimat Glass membuat Bening seolah mendapat durian runtuh, wanita itu mengangguk berkali-kali. Ia bahkan memejamkan matanya malu, saat jemari Glass mulai bergerak lincah menyentuh p
🍷Selamat Membaca🍷“Ah bocah itu, bisa saja dia mencari akal untuk membuatmu kasihan.”Glass membuang muka, entah kenapa dia yang sudah sebesar itu bisa merasa kesal dan cemburu ke anak kecil seperti Maha. Bening pun hanya bisa meliriknya dengan tatapan memelas. Hati kecilnya tidak bisa menolak permintaan Gama tadi. Mungkin karena dia juga akan menjadi seorang ibu, jadi dia lebih perasa.Dengan setengah hati, Glass memutar kemudi menuju rumah Gama. Ia juga ingin memastikan sendiri bagaimana kondisi Maha yang dia juluki sebagai pebinor cilik itu. Namun, belum juga melancarkan aksi Bening sudah menasehatinya sepanjang jalan. Glass diminta untuk tidak mengeluarkan kata yang bisa menyakiti hati Maha.Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan rumah Gama. Rumah itu memang tak terlalu besar, berlantai dua dan memiliki halaman yang lumayan luas. Sesaat setelah turun dari mobil, Gama langsung berlari sendiri membukakan pintu gerbang. Pembantunya masih sibuk membujuk Maha untuk makan di