At first I thought no one can break the wall I built for my self long time ago. Nagagalit ako na walang dahilan, naiinis kahit sa kunting pagkakamali lang. I secretly date different woman in and out of the country. I'm cold. Heartless. Emotionless. But everything changed when I realized something. She's my secretary for a long time. I used to shout at her face every mistake she did. I usually put things hard on her. I made her cry every single day. But as if she doesn't care at all. She's still my secretary even I showed my darkest side to her. And that's how our story started. I fell in love and vice versa. But she left me. And now I believed, she's my karma.
View MoreIstriku digilir banyak laki-laki di saat aku pergi bekerja!!
________________ Jakarta 2010 Brak! "Enyah kalian dari rumah saya!" "Tolong kasih saya kesempatan lagi, Bu! Paling tidak tunggu suami saya pulang dulu ..." "Alaaa ... ngapain mesti nunggu suami kamu yang kere itu? Paling juga si Bagas mau minta tempo lagi! Nggak sudi saya!" Laras menangis sambil duduk di teras rumah kontrakan yang sudah ia tempati bersama suaminya selama lima bulan. Perempuan pemilik kontrakan marah besar karena mereka menunggak lagi. Mau bagaimana lagi? Laras tidak punya uang simpanan sepeser pun. Sementara suaminya, Bagas belum dapat kerjaan sejak mereka meninggalkan Solo. Laras tidak menyalahkan sikap kasar pemilik rumah kontrakan yang mengusirnya. Wajar saja dia marah, karena mereka belum membayar hingga dua bulan terakhir. Adzan Magrib terdengar berkumandang dari toa mesjid. Bagas baru saja tiba di pelataran rumah. Dia terkejut setengah mati melihat istrinya yang sedang menangis. Juga pemilik rumah kontrakan yang sedang melempar semua barang-barang mereka dari ambang pintu. Segera laki-laki itu menepikan motor bututnya. Bergegas langkah panjang Bagas menghampiri Laras. "Mas Bagas," lirih istrinya. Dengan mata basah Laras melihat suaminya datang. Bagas menatap sendu wajah Laras. Sang istri masih terisak-isak. Lantas ia menoleh ke arah perempuan bertubuh gemuk yang sedang memasang wajah sinis melihatnya. "Bu, tolong jangan usir kami. Insyaallah besok saya akan membayar uang kontrakan," kata Bagas tidak yakin. Bu Rina, pemilik rumah kontrakan tersenyum miring mendengarnya. "Besok kata mu? Emang besok kamu punya duit mau bayar? Minggu lalu juga kamu bilang besok mau bayar, tapi apa? Tai kucing!" Bagas tertunduk lesu mendengar penuturan Bu Rina. Benar, dia tidak tahu apa besok bisa dapat uang buat bayar kontrakan atau tidak. Seharian ini saja dia belum dapat kerjaan. Meski sudah kesana-kemari mencarinya. Melihat Bagas yang kebingungan, Bu Rina berdecak jengah. "Kalian ini bikin saya pusing saja! Lebih baik cepat enyah dari hadapan saya! Rumah ini udah ada yang mau tempati!" katanya lantas pergi. Melihat hal itu, Laras putus asa. Sementara Bagas segera menyusul langkah Bu Rina. "Bu, saya mohon ... tolong kasih kamu tempo sampai Minggu depan. Saya janji akan bayar. Tapi tolong jangan usir kami sekarang. Saya bingung mau kemana malam-malam begini," lirih Bagas dengan muka memelas. Bu Rina menatap bosan. "Tadi kamu bilang besok, sekarang Minggu depan. Saya tahu sebenarnya kamu memang nggak mampu bayar! Jadi, sudahlah! Saya muak dengarnya." Bagas terdiam sejenak. Dia berpikir keras sampai jemarinya gemetaran. Dia bingung harus pergi kemana kalau mereka benar-benar di usir dari kontrakan. Sejak menikahi Laras enam bulan yang lalu, orang tuanya tak sudi lagi menerimanya di rumah besar mereka. Bahkan, Bagas dilarang kembali ke kota asalnya, Solo. "Bu, saya mungkin tidak punya apa-apa buat dijadikan jaminan, tapi saya bersedia menjadi pelayan Bu Rina, kalau saya tidak bisa bayar Minggu depan." Mendengar penuturan Bagas, Bu Rina cukup terkejut. Dia menoleh langsung ke arah laki-laki muda yang berdiri di sampingnya. Bagas menundukkan kepalanya dalam keputusasaan. Minggu lalu sewaktu Bu Rina akan mengusirnya dari kontrakan, saat itu Laras belum pulang. Cuma ada Bagas di rumah. "Saya tahu kamu nggak punya duit buat bayar, tapi ... saya punya tawaran buat kamu." "Tawaran? Apa itu, Bu Rina?" Perempuan berusia 45 tahun itu tersenyum smirk, lantas menjawab dengan mencondongkan wajahnya ke depan Bagas. "Kamu masih muda dan gagah. Kamu bisa jadi pelayan saya." Bagas terkejut. Wajahnya berbinar. "Jadi pelayan di rumah makan Bu Rina maksudnya? Saya mau, Bu!" Bu Rina tersenyum miring lalu menggeleng. "Bukan. Di rumah makan sudah ada tiga pelayan, saya nggak mau tambah lagi." "Lantas?" "Kamu bisa jadi pelayan pribadi saya. Tugas kamu cuma bikin saya seneng. Kamu mau, kan?" Bagas tercengang. Dia lantas mundur dengan wajah tidak percaya. Gila! Bisa-bisanya perempuan tua itu ingin dia menjadi piaraannya. "Saya nggak mau, Bu." Bu Rina langsung naik pitam. "Yasudah kalo kamu ndak mau, cepet bayar uang kontrakan!" Bagas memalingkan wajahnya seraya memejamkan mata. Terpaksa ia menerima tawaran itu. Bu Rina langsung berbinar mendengar penuturan Bagas. Laki-laki asal Solo itu memiliki paras yang tampan dan kulit yang sao matang, serta postur tubuh yang ideal. Dia segera mendekat pada Bagas. "Kamu bener mau jadi pelayan saya selama satu bulan?" ucapnya setengah berbisik. Dia tidak mau dua orang laki-laki yang mengawalnya itu mendengar ucapannya kepada Bagas. Bagas mengangguk pelan. "Saya terpaksa, Bu." Persetan dengan jawaban laki-laki itu, Bu Rina tersenyum puas mendengarnya. "Oke kalo gitu. Besok sore saya jemput kamu di tepi jalan besar seberang mall. Saya nggak suka menunggu, loh!" katanya sambil menatap Bagas dalam-dalam. Laki-laki itu cuma mengangguk pelan. Dan Bu Rina segera pergi bersama dua orang antek-anteknya. Fuuh ... Dihela napas panjang oleh Bagas. Setelah bayangan Bu Rina menghilang di balik pintu pagar, ia bergegas menghampiri Laras. "Gimana, Mas?" tanya sang istri dengan wajah khawatir. Bagas tersenyum tipis. "Kamu nggak usah kuatir, Bu Rina mau kasih tempo buat kita sampai Minggu depan." Laras lega mendengarnya. "Masuk yuk! Udah malam, nggak baik terus berada di luar," kata Bagas lagi. Laras mengangguk. Perempuan muda itu segera bangkit dibantu oleh Bagas. Setelah membenahi barang-barang yang berserakan di depan pintu, mereka segera masuk rumah. "Mas Bagas pasti capek sudah cari kerjaan seharian. Aku buatin kopi dulu, ya?" Laras bicara sambil melipat beberapa pakaian di sofa. Bagas sedang termenung sambil berdiri di ambang jendela kamar. Laras menyipit heran melihat suaminya diam saja. "Mas Bagas?" Bagas terkejut saat sentuhan hangat menyentuh bahunya dari arah belakang. Ia menoleh. Wajah heran Laras menyambutnya. "Kok melamun? Pasti Mas Bagas masih mikirin uang kontrakan, ya? Laras minta maaf, karena nggak bisa bantuin Mas Bagas. Sejak kita menikah, Laras cuma jadi beban buat kamu, Mas! Bahkan, Mas Bagas di usir dari rumah karena Laras!" Bagas buru-buru menggeleng. Lantas ia merangkum wajah putih Laras yang sedang bersedih. Dia menatapnya dengan lembut. "Ini bukan salah kamu. Sudah tanggung jawab aku sebagai suami untuk bahagiakan kamu! Aku yang mestinya minta maaf, karena sebagai suami aku belum bisa membuatmu bahagia ..." Laras menangis terharu. Dan Bagas segera meraih sang istri ke dalam pelukannya. 'Saya tunggu kamu di tepi jalan besar seberang mall. Saya nggak suka menunggu loh!' Malam ini Bagas tak bisa tidur. Ucapan Bu Rina terus terngiang-ngiang. Rasanya jijik sekali kalau dibayangkan. Mustahil dia harus menuruti keinginan perempuan tua itu! Namun apa daya, dia kebingungan sudah seperti cacing yang terjebak di tengah lingkaran garam. Bagas putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa. "Kopinya sudah habis, Mas. Laras mau ke warung dulu." Laras bicara pada laki-laki berkemeja kotak-kotak lengan pendek yang sedang termenung sambil duduk di teras rumah. Bagas pasti masih memikirkan dari mana ia dapat uang buat bayar kontrakan. Meski sangat sedih, Laras tidak bisa membantunya. Laki-laki yang sedang duduk di teras belakang rumah cuma melirik ke punggung Laras. Dilihatnya sang istri yang sedang berjalan menuju pintu pagar rumah. Entah apa yang harus dia katakan pada Laras. Tidak mungkin istrinya mengizinkan dia menemui Bu Rina untuk melakukan hal yang menjijikan. "Nggak bisa! Utang kemarin aja belum dibayar, kamu mau utang lagi?! Kamu pikir saya belanja nggak pake duit?!" Laras menunduk malu saat pemilik toko sembako marah-marah padanya. Pagi itu dia jadi pusat perhatian orang-orang yang sedang berbelanja di toko tersebut. "Maafkan saya, Bu. Permisi." Dengan wajah merah Laras memutuskan segera meninggalkan toko sembako. Orang-orang menoleh serempak ke arahnya saat perempuan muda berparas cantik itu melintas. "Enak aja mau utang! Dikira ini toko sembako bapak dia apa?!" Pemilik toko masih marah-marah. Laras jadi nelangsa mendengarnya. Air mata yang berjatuhan menghalangi pandangan. Hingga tak sengaja ia menabrak seseorang. "Maaf!" "Eh, nggak pa-pa kok!" Suara seorang laki-laki. Laras mengangkat sepasang matanya guna melihat rupa orang tersebut. Benar, laki-laki. Usianya sekitaran 27 tahun. Lebih tua dua tahun dari Mas Bagas. "Mbak nggak pa-pa?" tanya laki-laki itu sambil membuka kacamata hitamnya. Ia tersenyum amat manis saat mata sembab Laras menatap.C H E L O Kinuha ko ng mabilis ang panyo sa bulsa ng pantalon ko.Pinunasan ko ang namumuong pawis sa noo ko patungong pisngi. Marahan kong kinamot ang nangangati ko ding ilong.Urg! Bakit kasi ako pa ang nautusan na gawin to?Nililinis ko lang naman ang nakatambak na papeles dito sa vacant room na tabi ng office ko. Kainis nga eh. Parang sisipunin pa ako dahil sa mga alikabok na nakatipon sa bawat gilid ng mga papel.Maingat kong inangat ang bawat papel na napaka-kapal. Mabuti na lang at may tali na ito kaya hindi na ako mahirapan. Nilapag ko sila sa bakanteng area atsaka pinunasan ang kinalalagyan nila kanina.*Bzzzzzzzt*Kainis naman oh! Kitang may ginagawa ako eh.Kinuha ko ang cellphone na nakapatong sa isang mesa at kinailangan ko pang tumayo para makuha lan
A L T O N "Congratulations Mr. Parkyel I hope we can build a good partnership this coming project that we talked." I smiled and nakipagkamay kay Mr.Mariano, one of my business partners."Thank you," sabat ko naman at tumalikod na.I immediately went to the table that was assigned to us. I'm looking at them intently. He's smiling and it's obvious Jon's enjoying Chelo's company. Assh*le.I flashed my devilish smile and seat beside Chelo. I immediately drink the wine infront of me to ease the irritation inside my body.Kinuha ko ang itinunghol na tissue ni Chelo at binalik ulit sa kaniya pagkatapos. I managed to smile despite of what I really feel."Thanks," ani ko.
C H E L O Kasalukuyan akong naglilinis ng loob ng bahay nang may narinig akong nag dingdong. It's my day off today kaya naglilinis ako dahil inaalikabok na ang ibang sulok ng bahay ko. Oo sa akin 'to,dahil binili ko 'to gamit ang sarili kong pera.Lumabas ako ng bahay at tinungo ang gate."Andiyan na!" sigaw ko. Sino naman kaya 'to at di makapaghintay na buksan ko ang gate?"Sino iyan?" Pagkabukas ko pa lang ng gate ay natigilan ako dahil sa taong nasa harapan ko ngayon."Alton, what are you doing here?" kunot noo kong tanong sabay sandal sa gilid ng gate.Pinasadahan ko siya ng tingin, naka three piece suit siya at nakasandal sa kotse. Tinaasan ko siya ng kilay para maitago ang pagkamangha sa kaniya. Walangya ang hot niya."Paano mo nalaman ang address ko?" tanong ko.&
C H E L O Nagising ako dahil sa sikat ng araw na tumatama sa pisngi ko. Ito ang pinakagusto ko tuwing umaga, iyong pumapasok sa bintana ang sikat, nakakagaan sa pakiramdam.Naligo na ako at nagbihis. Sinuot ko ang formal attire ng isang secretary and ofcourse black sandals. Pinusod ko rin ang black na black kong buhok atsaka nagsuot rin ako ng jacket, umuulan-ulan kasi sa labas. I received a text from Sir Alton or Alton nalang daw at pinapapunta niya ako sa isang coffee shop na malapit lang naman sa'min.I locked the door and opened my umbrella. It's raining hard at mukhang mas dumilim pa ang langit kahit pasado alas 8 y media na.I started the engine of the car at pinaharurot iyon papunta sa nasabing coffee shop na sabi ni Alton.I parked my car at after kong buksan ang pinto, binuklat ko palabas ang pay
C H E L O "Chelo, can you close your mouth? Can't you see? I'm busy here," he yelled at me sabay himas ng sintido niya.I frowned. Eto na naman tayo, sa pagiging mainitin ng ulo niya. I scanned his face. Perfect jawline, red thin lips, a pair of deep cold eyes and his pointed nose that made him more attractive. At kahit nakakunot ang noo at magulo ang buhok ay gwapo pa rin siya. Nakaramdaman naman ako ng hiya dahil doon."Staring is rude, Ms. Salmonte." He then turned his gaze at me and smirked.Para akong naubusan ng salita nang magtama ang tingin namin. Sinasabi ko lang naman sa kaniya ang natitirang schedule niya for today. Pero dahil sa malamig na titig niya, para kong nalimutan lahat at hindi alam ang gagawin."It's just that.. I'm waiting for your response Sir," I murmured.He just 'tsk' and started
"I'm sorry, I need to resign. Hindi na ako pwede sa kumpanyang ito," I said confidently, but slowly breaking my heart into pieces. I saw how his lively eyes turned into pain and despair. I once wished to make him happy and alive in every minute of his existence. But now, I'm the reason why he's in pain. "Did I do something wrong?" he whispered. Marahan kong nilunok ang laway ko dahil nanunuyo na ang lalamunan ko. Tumingala ako upang pigilan ang nagbabadyang luha sa mga mata. Ilang sandali pa, pilit kong sinalubong ang mga tingin niya. Pero mali ang desisyong iyon dahil kita ko ang lito at pangungulila sa mga mata niya. I stepped forward and held his left hand. "I'm so sorry, Alton. I'm not as strong as you think. Kung kasing
Comments