Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini keadaan kedai menjadi sunyi. Satu persatu pengunjung kedai berlalu pergi dari tempat itu. Bahkan dua pemuda congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal Manggala sendirian masih duduk menghadapi mejanya. Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri.
"Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua menawarkan.
"Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol" sahut Manggala. Pak Tua itu duduk di depan Manggala.
-o0o-
Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur. Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang dari gerombolan Kembang Lembah Hantu. Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan rumah terbuat dari kayu. Inilah markas gerombolan Kembang Lembah Hantu. Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka, kedua tangan Sakaw
Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika tubuhnya melontar tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap di sebuah batang pohon yang tinggi. Matanya dengan seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda. Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya."Mandrawata," desis Badil mengenali penunggang kuda itu. Badil menunggu beberapa saat sampai Mandrawata mendekat. Kemudian dia meloncat turun ketika Mandrawata tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil. Mandrawata dengan tangkas melompat dari kudanya ketika merasakan ada penyerang gelap dari atas. Pedang Badil segera membabat namun luput. Dia kecewa. Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan pecah kepalanya tersambar pedang. Yang didapati hanya tempat kosong saja."Licik!" dengus Mandrawata ketika kakinya menjejak di tanah."Kau juga lebih licik dariku, Mandrawata," balas Badil."Siapa kau?' tanya Mandrawata yang heran melihat penyerang gelapnya tahu
MATAHARI baru saja menampakkan diri. Sinarnya membias menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di atas punggung kudanya dengan lesu. Semalaman dia mencari di sekitar sungai naga, tapi tidak sedikit pun jejak kapal layar yang membawa putrinya ditemukan."Rapaksa!""Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera mendekat."Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini," kata Patih Giling Wesi."Adya Bala, istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras. Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing. Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke sungai. Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai yang berliku.Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-tiba datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya. Didekatinya Patih Giling Wesi."Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda keprajuritan di pinggir su
Prajurit Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya. Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah.Prajurit-prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka. Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi dalam tempo yang singkat.Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat, sukar diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang dingin. Dia cepat membaca gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya. Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa Medan Laga, Sakawuni jadi geram. Apalagi orang-orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar saja, dua puluh mayat sudah menggeletak."Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!"
"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus Patih Giling Wesi.Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang dengan batinnya sendiri. Daya pikat yang dipancarkan Sakawuni begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak teratur karena terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih Giling Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin berkobar-kobar."hey! Uts!"Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus gemulai itu mendadak hampir menepuk pundaknya. Untung saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan sehingga tepukan tangan Sakawuni berhasil dihindari. Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet bahunya. Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas menyebar. Seketika dia tersentak kaget."Racun...!" desisnya. Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Belum dapat dipastikan racun itu berbahaya atau tidak. Namun dari anginnya sudah dapat dirasa. Mendadak kepala
SEORANG pemuda berpakaian kulit ular berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil bersiul-siul. Dari tongkat yang ada ditangannya dapat diketahui kalau pemuda itu adalah Manggala, Si Buta dari Sungai Ular. Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Manggala terus melenggang. Kepalanya tergeleng-geleng begitu mendengar suara berkeresek. Suara siulannya berhenti. Bibirnya menyungging senyum."1... 2... 3... Ah, hanya 15," gumam Manggala menghitung. Manggala masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya telah memasuki daerah markas Kembang Lembah Hantu. Telinganya yang tajam menangkap suara gerak langkah kaki tersembunyi. Dan kini telah mengepung dirinya."Hm..., mungkin rumah itu sarangnya," kembali Manggala bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya. Rumah beratap rumbia itu bertengger di kaki lereng yang cukup terjal. Tidak terlalu sulit untuk mencapai sana. Dan, mendadak dari rimbunan semak-semak bermunculan orang-orang berpakaian serba biru dengan
Rara Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah kayu, terkejut. Wajahnya tampak berubah merah. Dia tidak kenal dengan pemuda itu. Mendengar namanya saja, baru kali ini. Tapi diam-diam Rara Kemuning tertarik juga. Lebih-lebih setelah menyaksikan sepak terjangnya yang dengan mudah merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang diulang-ulang terus.Bukan hanya Rara Kemuning yang terkejut Ternyata Bayangan Hitam pun kaget setengah mati. Tak disangka-sangka dia bertemu dengan pembunuh kakak-kakak laki-lakinya. Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan. Kalau anak muda ini dapat membunuh Bajing Ireng dan Siluman Lembah Hantu, pasti tingkat kepandaiannya tinggi sekali."Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang nyawa padaku!" ujar Bayangan Hitam."Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku berhutang nyawa padamu?""Kau membunuh kedua saudara laki-lakiku! Kau harus bayar dengan nyawamu!""Siapa saudaramu?""Bajing Ireng dan G
Sakawuni segera melompat keluar dari pertarungan ketika ada kesempatan. Dengan cepat dia berlari menggunakan ilmu peringan tubuh.Pengemis Sakti Tongkat Merah yang sejak tadi mendengar, lalu berteriak nyaring. Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di samping Patih Giling Wesi."Cepat Selamatkan putrimu!" perintah Kakek Pengemis itu. "Biar orang-orang ini aku yang hadapi!"Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di udara. Begitu kakinya menginjak tanah, langsung dikeluarkannya ilmu lari cepat. Bagaikan kilat tubuh patih itu dan kini sudah jauh meninggalkan pertempuran.Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar tongkat saktinya. Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan. Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tongkatnya seperti hidup menyambar-nyambar mencari mangsa."Cepat susul Gustimu!" teriak Aki Lungkur kepada para prajurit."Tapi,
Dari telapak tangan Manggala, meluncur sinar kuning keemasan bergulung-gulung. Inilah ajian dahsyat yang didapatnya dari Raja Siluman Ular Putih, ajian 'Batara Shiwa'Blar...!Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar kuning keemasan. Tepat saat kakinya menginjak tanah, muncul seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu mencelat bersamaan dengan hancurnya pohon itu."Paman Nambi...!" seru Sakawuni.Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba persilatan dengan nama Setan Jubah Merah. Tokoh ini beraliran hitam dan dulunya merupakan suami Bayangan Hitam. Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan. Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok. Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan status suami istri. Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.