"Hea!"
Tiba-tiba Peramal Maut menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan, membuat tubuh Ratu Adil jadi berguncang hebat. Darah segar mulai mengalir dari sudut-sudut bibirnya. Andai saja gadis ini tak menderita luka dalam akibat kelicikan Peramal Maut tadi, belum tentu ini mengalami guncangan yang demikian hebat.
Meski keadaannya amat mengkhawatirkan, namun bukan berarti Ratu Adil harus menyerah begitu saja. Apa pun yang akan terjadi, tekadnya siap menghadapi pertarungan, walau selembar nyawa taruhannya.
Melihat tubuh Ratu Adil makin berguncang hebat, diam-diam Peramal Maut tersenyum penuh kemenangan. Lelaki tua ini pun bertambah semangat untuk merobohkan lawannya. Maka dengan sekali menghentakkan kembali kedua telapak tangannya ke depan....
"Aughhh...!"
Terdengar satu jeritan amat menyayat yang diiringi terpentalnya tubuh Ratu Adil jauh ke belakang. Tampak tubuh murid Ratu Alit itu berputarputar sebentar di udara, lalu terbanting keras di tanah
Seperti pemimpinnya, ia juga memangku seorang gadis yang tampak ketakutan. Wajahnya yang cantik berbentuk lonjong pucat pasi. Matanya jelalatan ke sana kemari memperhatikan laki-laki berperangai kasar yang terus mendekapnya erat-erat. Namun dalam keadaan tertotok begitu tak mungkin si gadis bisa memberontak."Bagaimana, Ketua? Apa usulku tadi dapat diterima?" ulang lelaki bertampang bengis di samping Setan Haus Darah."Hhh...!" Setan Haus Darah mendesah, tak langsung menjawab. Rahangnya tampak mengembung dengan kedua pelipis bergerak-gerak."Tentu saja aku tak dapat melupakan penghinaan ini, Surono! Si Buta dari Sungai Ular harus mampus di tanganku. Tapi, aku juga sadar. Pemuda keparat itu bukanlah pendekar sembarangan. Meski usianya masih muda, tapi ilmunya tinggi sekali. Buktinya aku sendiri tak mampu menghentikan sepak terjangnya.""Mungkin kita harus meminta bantuan Ki Banaspati, Ketua," usul salah seorang anggota Pasukan Laskar Hijau dari belakang, s
"Syukur kalau kau masih ingat, Biang Rampok. Tapi, patut dicatat. Meski kalian mengenaliku, tetap saja aku akan membuat perhitungan dengan bajingan-bajingan kecil macam kalian. Baik ada silang sengketa secara langsung atau tidak. Kalian paham. Untuk itulah aku menghadang kalian!" sahut Pendidik Ulung, lugas."Setan alas! Kenapa jantungku jadi dagdig-dug begini? Padahal di belakang masih ada anak buahku. Hm...! Aku tak boleh gegabah. Meski ia seorang diri, aku harus tetap hati-hati...," rutuk Setan Haus Darah dalam hati."Ketua! Bagaimana ini? Apakah kita harus cepat bertindak?" bisik Surono."Hm...! Lihat saja perkembangannya nanti! Aku memang malas berbentrokkan dengan tua bangka satu ini. Tapi, kalau terpaksa, apa boleh buat," kilah Setan Haus Darah, berbisik."Hey...! Kenapa kalian malah kasak kusuk? Pasti kalian sedang menjelekkan aku. Ya! Sekarang kuminta, cepat lepaskan gadis-gadis itu! Juga, harta benda yang kalian sikat!" perintah Pendidik Ulung b
"Bagus! Tak sia-sia rupanya kau bergelar Setan Haus Darah. Ternyata kecongkakanmu ada sedikit buktinya juga. Tapi, sayang. Gelarmu sungguh tak cocok dengan sikap maupun perangaimu. Hm...! Setan Haus Darah! Sungguh satu gelar indah yang sarat akan kecongkakan...," gumam Pendidik Ulung lalu menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa maksud gelengannya."Jahanam! Aku belum kalah, Tua Bangka Keparat! Lihat serangan!" dengus Setan Haus Darah seraya membuat beberapa gerakan dengan kedua tangannya.Selang beberapa saat kedua telapak tangan Setan Haus Darah kontan berubah jadi merah menyala hingga sampai pangkal siku. Sambil menjengekkan hidungnya sebentar, kedua telapak tangan ditarik ke belakang, lalu tiba-tiba disentakkan ke depan dengan tenaga dalam penuh."Hea!"Bersama teriakan nyaringnya, dari kedua telapak tangan Setan Haus Darah meluncur dua gulungan bola api ke depan. Tak lama kemudian, mendadak dua gulungan bola api itu mengembang, memancarkan hawa panas b
Di samping itu guratan kedua telunjuk jarinya pun agak aneh. Telunjuk jari kanan menggurat dari kanan ke kiri, sedangkan telunjuk jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Pada saat kedua telunjuk jari itu menyatu, saat itu pula memancarkan sinar putih berkilauan yang cepat melesat ke depan memapak kobaran api Setan Haus Darah.Classs!Laksana baja panas yang dicelupkan dalam air, sinar putih dari kedua telunjuk jari tangan Pendidik Ulung mampu mematahkan serangan Setan Haus Darah. Seketika, lidah api yang berkobar-kobar ambyar, memporak-porandakan apa saja yang ada di tempat pertarungan!Bersamaan dengan itu...."Aaa...!"Terdengar teriakan menyayat dari beberapa orang anak buah Setan Haus Darah yang tengah duduk bersemadi dan juga beberapa orang gadis hasil jarahan. Tubuh mereka terbakar hebat begitu terkena sambaran lidah api dari kedua telapak tangan Setan Haus Darah.Bukan main murkanya hati Setan Haus Darah melihat beberapa orang anak bu
Pendidik Ulung memperhatikan Arum Sari seksama. Terutama sekali pada pakaian hijau-hijaunya yang sama persis dengan yang dikenakan anggota pasukan Laskar Hijau.Arum Sari tidak langsung menjawab. Tangannya kini mengurut dada sebentar seraya mengedarkan pandangan mata ke sekeliling. Begitu pandang matanya berbentrokan dengan mayat-mayat anggota Pasukan Laskar Hijau dan beberapa orang gadis di dalam lobang yang baru digali, matanya langsung membeliak lebar."Siapakah yang telah melakukan ini semua?" Arum Sari malah balik bertanya.Pendidik Ulung makin curiga."Aku. Memangnya kenapa?" jawabnya, tandas."Lalu? Di manakah orang yang bergelar Setan Haus Darah itu, Orang Tua?""Huh...!" Pendidik Ulung mendengus. "Jadi kau mencari manusia biang rampok itu? Kau mencari ketuamu yang pongah itu?"Pendidik Ulung merasa yakin kalau gadis cantik di hadapannya adalah salah seorang anggota Pasukan Laskar Hijau."Maksudmu...?""Jangan be
Pendidik Ulung menelan ludahnya sendiri."Siapa kau sebenarnya, Cah Ayu?""Aku hanyalah seorang gadis yatim piatu. Namaku Arum Sari.""Satu nama yang indah. Tapi, benarkah kau yatim piatu?""Benar." Arum Sari mengangguk."Hm... Sekarang setelah luka dalammu sembuh, kau hendak ke mana lagi. Arum?""Sebenarnya tujuanku hanya satu. Setelah pembunuh kedua orang tuaku tewas di tangan Raja Penyihir, sekarang aku ingin sekali mencari makam kedua orang tuaku. Apakah kau tahu, di mana makam kedua orang tuaku yang bergelar Sepasang Pendekar Garuda Emas, Orang Tua?" papar Arum Sari."Apa? Jadi.... Kau putri dari Sepasang Pendekar Garuda Emas?" Pendidik Ulung kaget bukan kepalang."Benar, Orang Tua. Kenapa kau demikian kaget?""Hhhm...!" Pendidik Ulung menghela napas sebentar. "Tak kusangka hari ini aku akan bertemu putri sahabatku.""Apakah kau mengenal mendiang kedua orang tuaku, Orang Tua?" tanya Arum Sari gembira.
"Jadi, Paman," sahut Arum Sari seraya melangkah.Si gadis memang tengah gusar sekali dengan sikap Si Buta dari Sungai Ular. Dan ia merasa tak ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu. Hatinya terasa perih apalagi bila mengingat penolakan Si Buta dari Sungai Ular atas permintaan gurunya yang bermaksud menjodohkan dengan dirinya."Tunggu, Arum!"Si Buta dari Sungai Ular cepat menghadang langkah Arum Sari dan Pendidik Ulung. Namun gadis itu malah kian menyembunyikan wajahnya dalam-dalam."Ada apa. Arum? Kenapa kau tak menyukai kedatanganku?" cecar Si Buta dari Sungai Ular masih belum mengerti."Bocah tolol! Mana ada gadis yang suka melihat kekasihnya datang menemuinya bersama gadis lain!" tukas Pendidik Ulung.Si Buta dari Sungai Ular tercenung. Ia kini tahu maksud ucapan Pendidik Ulung, namun belum tahu bagaimana harus bersikap. Pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepala."Jangan hanya garuk-garuk kepala, Bocah Tolol! Sekarang cepat ten
KETIKA BUMI mulai dikungkung kegelapan malam, satu rombongan berkuda yang semuanya mengenakan pakaian serba hijau tengah memacu tunggangannya memasuki kawasan perbukitan terjal bebatuan. Bila dilihat dari atas bukit yang lebih tinggi lagi, maka permukaan bukit yang kini dilalui oleh rombongan berkuda itu akan tampak memanjang seperti pedang. Maka tak heran kalau bukit itu dinamakan Bukit Pedang.Derap kaki kuda yang ditunggangi orang-orang berpakaian serba hijau itu terdengar mengusik keheningan malam. Dari kilauan sinar rembulan yang menggantung di angkasa tampak kalau para penunggang kuda itu semuanya lelaki bertampang kasar. Menilik pakaian yang dikenakan, jelas kalau rombongan berkuda itu tak lain adalah Setan Haus Darah dan sisa-sisa anak buahnya. Mereka semua tergabung dalam Pasukan Laskar Hijau!Jalan setapak menuju Bukit Pedang memang cukup curam. Berkelok-kelok, diapit jurang-jurang yang menganga lebar. Di sebuah tikungan tajam Setan Haus Darah terus memacu ce