Melihat tubuh Tukijo yang penuh dengan luka, Muhiroh berkata, "Duh Gusti, Tukijo! Nangapa awake kowe pada babak belur kaya kie? (Ya Tuhan, Tukijo! Kenapa badanmu penuh luka seperti ini?)" Tangannya yang sudah mengeriput menyentuh wajah Tukijo dengan lembut.
"Ngapurane Mbah, miki ... pitte nyong kesrempet trek, ngasi nyong mental tiba semaput (Maaf Nenek, tadi ... sepedaku terserempet truk hingga aku terpental jatuh pingsan,)" jawab Tukijo sedikit gugup.Ningsih melompong.Setelah mengobati luka Tukijo, Ningsih mendengar suara perut adiknya protes. Dia segera keluar menemui Teguh yang sedang berdiri menyandarkan punggungnya ke mobil."Teguh! Belikan lima porsi makanan, ah tidak ... beli enam porsi!" perintah Ningsih."Baik Nona," Teguh memasuki mobil dan pergi melaksanakan perintah majikannya.Beberapa saat kemudian.
"Maaf Nona, aku hanya menemukan makanan ini di jalan," ungkap Teguh memberikan dua kantong plastik yang berisi masing-masing tiga nasi bungkus."Ya sudah, seadanya saja," timpal Ningsih."Ini untukmu dua porsi." Ningsih menyodorkan dua nasi bungkus kepada Tukijo. "Kamu harus banyak makan supaya badanmu berisi.""Terima kasih, Nona!" ucap Tukijo sambil mengambil nasi bungkusnya."Hmp, panggil aku Kakak!" protes Ningsih cemberut."Ah, iya ... Kakak. Hehe," balas Tukijo meringis."Bagus!" ucap Ningsih tersenyum sambil mengusap kepala Tukijo. "Sepertinya dia anak baik dan penurut," gumamnya merasa senang.Tukijo mengambil air dalam sebuah mangkok untuk mencuci tangan. Karena lantai rumahnya yang masih berupa tanah, mereka duduk bersama di dipan kayu yang sudah sedikit keropos. Melihat cara Tukijo dan neneknya makan dengan tangan, Ningsih tertegun."Apa Kakak butuh sendok dan piring?" tanya Tukijo melihat kakaknya yang sendari tadi hanya terdiam."Oh, nggak perlu Jo ... aku bisa makan seperti cara kalian makan. Ini hanya butuh proses sebentar untuk mempelajarinya," jawab Ningsih tenang. Kemudian Ningsih membuka nasi bungkusnya dan memakannya seperti cara mereka makan. Dia makan menggunakan tangan dengan posisi kaki kiri melipat ke depan, dan kaki kanan berdiri dengan lutut berada di atas. "Bagaimana mungkin Kakak punya adik sepertiku?" tanya Tukijo tiba-tiba sembari menelan makanannya.Ningsih bercerita, "Ibumu dulunya adalah seorang pembantu yang mengasuhku. Waktu itu, aku masih berusia tujuh tahun. Demi memuaskan hasrat, Ayah memperkosanya dan menyiksanya. Kebetulan saat itu pada malam hari, aku merasa sangat haus lalu pergi ke dapur. Aku sungguh melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang telah dilakukan Ayah padanya.""Apa! Dadi bapakmu! (Apa! Jadi Ayahmu!)" teriak Muhiroh mengagetkan Tukijo. "Siki, nang endi wonge (Sekarang, dimana orangnya)?"Ningsih bingung.
"Maksud Mbah Muhiroh, dimana Ayah berada sekarang?" terang Tukijo menerjemahkan."Aku sudah membunuhnya karena dia ingin melakukan hal yang sama kepadaku," jawab Ningsih menggertakkan gigi."Dahulu ketika Bibi Siti (ibunya Tukijo) pergi meninggalkanku, aku menangis sejadi jadinya. Dia berkata bahwa jika suatu saat aku ingin bertemu dengannya, aku harus pergi ke Cilacap untuk mencarinya. Beberapa tahun kemudian saat aku menginjak usia remaja, aku mendengar kabarnya telah meninggal. Aku mencari-cari sanak keluarganya sampai beberapa bulan yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa beliau memiliki seorang anak laki-laki bernama Tukijo. Dia seorang anak SMA yang tidak memiliki ayah, itu membuatku semakin yakin bahwa kamu adalah adikku." lanjut Ningsih menjelaskan."Koe bener, sapet Siti bali kang Jakarta, wonge dadi nguplek bae. Ra tau crita sapa sing marakna deweke dadi kaya kue (Kamu benar, sejak Siti pulang dari Jakarta, dia selalu mengurung diri dan tidak pernah bilang siapa yang telah berbuat sekeji ini kepadanya,)" ucap Muhiroh menghela nafas."Ah, sepertinya aku harus belajar ngapak." Ningsih menepuk jidatnya dengan telapak tangan.Tukijo hanya terdiam mendengarkan penjelasan Ningsih. "Ternyata rumor tentang Kak Ningsih sebagai wanita yang kejam itu tidaklah benar," batinnya. Dia sungguh tidak menyangka bahwa ibunya memiliki hubungan dengan keluarga konglomerat ini.Setelah makan malam, Ningsih berpamitan untuk pulang. Selama mencari Tukijo dia tinggal di Hotel Dafam yang termasuk kategori hotel bintang lima di Cilacap."Hari Sabtu kamu libur sekolah?" tanya Ningsih kepada Tukijo sebelum pergi."Iya, tapi aku ada pekerjaan di Restoran Mas Agus," jawab Tukijo."Kamu kerja? Astagaaaa," ucap Ningsih mengerutkan dahinya. Dia merasa betapa menderita adiknya. "Andai aku bisa menemukanmu lebih cepat.""Kakak nggak perlu merasa bersalah. Aku senang bisa bertemu denganmu," ujar Tukijo tersenyum tulus."Ya ampuun, manis banget sih ...." Ningsih mencubit kedua pipi Tukijo."Besok kamu ikut aku, ya ... pekerjaanmu, biar Teguh atau Marno yang gantiin," pinta Ningsih.Keesokan harinya, tepat pukul 07.00 WIB Ningsih datang ke rumah Tukijo dengan mobil mewahnya bersama Teguh dan Marno. "Jo! Ayo naik!" Ningsih mengajak Tukijo yang berdiri di depan rumahnya siap untuk berangkat. Kemudian dia naik ke mobil duduk di belakang bersama kakaknya. "Di mana kamu bekerja?" tanya Ningsih. "Di Restoran Mas Agus lokasinya di Perempatan Mojing." "Meluncur ke sana!" perintah Ningsih kepada Teguh. "Baik Nona." "Marno, nanti kamu yang gantiin Tukijo ya." "Siap! Laksanakan!" jawab Marno. "Emm, Kak. Bolehkah aku meminta sesuatu?" ucap Tukijo sedikit ragu. "Apa?" timpal Ningsih. "Tolong rahasiakan bahwa aku memiliki hubungan dengan orang dari Perusahaan Gaje. Kakak sangat terkenal, Mas Agus pasti mengenalimu." Tukijo memasang wajah memelas memohon kepada kakaknya. "Kita sudah sampai di Restoran Mas Agus, Nona," sela Teguh. Melihat Ningsih tidak menjawab permintaannya, Tu
Setelah membeli handphone, Ningsih dan Tukijo pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membeli baju seragam, tas dan keperluan sekolah. "Sini Jo! Cobain ini deh!" Tangan kanan Ningsih memegang kaos putih bergaris, sedangkan tangan kirinya memegang jaket abu-abu. Tukijo yang sedang asik mencoba handphone barunya, segera menyimpannya dan menghampiri kakaknya. Setelah beberapa saat, Tukijo keluar dari ruang ganti. "Wow!" ujar Ningsih kagum. "Ini baru keren! Coba deh, kamu ngaca!" Ningsih membalikkan badan Tukijo dan mendorongnya agar mendekat ke cermin. Tukijo tercengang melihat dirinya di cermin. "Ini aku?" ujarnya. "Yeah ...," jawab Ningsih bangga. Lalu mata Tukijo tertuju pada rangkaiaan kacamata yang terletak dimeja. Melihat hal tersebut, Ningsih bertanya, "Apa kamu butuh kacamata?" "Em, mataku terasa pusing saat melihat tulisan di papan tulis dari bangku belakang," jawab Tukijo. "Oke, kita ambil beberapa," ti
"Pesen lima porsi, dibungkus dua. Nanti kamu ambil satu," ucap Ningsih kepada Marno. "O iya, sama es teh dua ya ...." Marno segera pergi menyiapkan sajiannya. Beberapa menit kemudian. "Wow ...!" ucap Tukijo takjub. Kemudian, mereka menyantapnya dengan lahap. "Jo, soal yang kamu bilang ke Mbah Muhiroh itu bohong, kan?" celetuk Ningsih. "Walaupun nggak tau artinya, tapi Kakak paham apa yang kamu maksud." Tukijo kaget hampir tersendak makanannya. "Uhuk ...." Dia meraih minumnya lalu menanggapi perkataan kakaknya, "Ehem ... iya Kak, aku cuma nggak mau simbah khawatir." Anak itu tertunduk menekuk wajah. "Jadi, apa yang membuatmu babak belur sampai terkapar di jalan seperti itu?" tanya Ningsih dengan wajah serius. "Emm, itu Kak ... anu ... aku ..." "Kamu dibullying?" potong Ningsih cepat dengan sorot mata yang tajam. Tukijo diam. "Jadi, benar?" desak Ningsih. "Iya Kak," jawab Tukijo akhirnya membuka mulut. "Sejak kapan?" tanya Ningsih lagi. "Sejak SD," balas Tukijo. "Apa! Seja
Tukijo terperanjat. Seketika pandangannya menjadi buyar. "Ah, iya Kak ... maaf," ujarnya. "Kamu kenapa, Jo? Tiba-tiba melamun. Lihat ibu-ibu ngrumpi?" canda Ningsih. Sebenarnya Ningsih mengetahui bahwa Tukijo telah terpaku melihat seorang wanita pengantar bingkisan. "Idih ... ngapain juga, aku lihat ibu-ibu ngrumpi," sanggahnya. "Terus, kamu ngelamunin apa?" tanya Ningsih pura-pura tidak tahu. "Eh ... itu ... tadi aku lihat ada teman sekelasku lewat naik motor," jawab Tukijo. "Oh, jadi cewek yang tadi itu teman sekelasmu. Cantik juga," puji Ningsih. "Iya, cantik ... tapi cuek." Tukijo mendengus. "Pfft. Kamu naksir ya?" tanya Ningsih spontan. "Si ... siapa yang naksir." Tukijo menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan berpura-pura mengelap keringat di dahinya. "Hmm ...." Ningsih mengernyitkan dahi, matanya menyelidiki tingkah Tukijo. "Ya sudah, ayo lanjut latihan." Mereka berlatih hingga matahari tepat
Hari Senin, Tukijo mulai bersekolah dengan penampilan barunya. Sebelum dia berangkat ke sekolah, Ningsih datang membawa semua barang-barangnya. "Aku bantuin ya, Kak," tawar Tukijo. "Nggak usah, Jo. Kamu berangkat sekolah aja sana! Nanti telat. Hmm, atau kamu mau diantar Teguh pake mobil?" ucap Ningsih sambil menurunkan barang-barangnya di depan rumah Tukijo. "Aku ... berangkat sekarang aja deh, makasih atas tawarannya." Tukijo segera pergi meninggalkan Ningsih. "Bisa gawat kalau satu sekolah tau aku berangkat diantar mobil," gumamnya. Setelah sampai di sekolah, Tukijo meletakan sepedanya di parkiran dekat tiang kayu. "Wah! Siapa tuh?" "Anak baru kayaknya, aku belum pernah lihat." "Ganteng bangeeeet. Dia bakalan jadi kandidat pertama ulzzangnya SMANJI nih ... (singkatan SMA N 1/SMAN Siji)." "Eh, samperin yuk ... barangkali bisa dapet nomor WA-nya. Mayan gebetan baru." "Eaaaa ... cus." Dua siswi saling berbisik melihat penampilan baru Tukijo. Ketika mereka hendak mendekati Tuki
Udin yang masih dalam posisi berlutut, melihat orang itu dari ujung kaki, hingga ujung rambut yang telah memutih sebagian. Dia adalah Hartono (ayah Markonah).Sementara Udin teralihkan oleh Hartono, Markonah mengambil gelas, lalu melangkahkan kakinya ke sebuah galon air yang bertengger di samping meja kasir. Sejak makan siang, dia belum meminum air seteguk pun sehingga merasa sangat haus."Anda ...""Aku ayahnya, kamu mau apa?" sela Hartono memotong ucapan Udin. Dia mengatupkan bibirnya dan matanya melotot."Ayah mertua!" seru Udin merangkak mendekatinya."Siapa Ayah yang mertuamu?" tampik Hartono.Udin memeluk lutut Hartono. "Ayah mertua, restuilah hubunganku dan Markonah, tolong jangan pisahkan kami! Kami tulus saling mencintai," rengeknya.Markonah tersentak menyemburkan air minum di mulutnya."Apa kau GILA!?" sergah Markonah."Iya, aku sangat tergila-gila padamu." Udin mengepalkan
Markonah tersentak, dia dikagetkan oleh pertanyaan Cecep yang dilontarkan tiba-tiba. "Ecie ... cie ... pagi-pagi udah berduaan aja. Cus Cep! Ngapain lo malah berhenti, gangguin mereka aja!" imbuh Tiyem menepuk bahu Cecep. Kemudian mereka pergi memarkirkan motor dan langsung ke kelas tanpa menghiraukan Markonah lagi. "Pffft ...." Markonah tertawa dengan menutup mulutnya. "Cowokmu? Mereka ngomong apa sih?" Tukijo menggaruk-garuk kepala tidak paham apa yang Cecep dan Tiyem katakan. "Dah lah, nggak usah dipikir. Ayo ke kelas! Mereka bakal kaget saat kamu masuk kelas," Markonah tersenyum. "Oh iya, aku mau mampir ke TU (Tata Usaha). Kamu duluan aja, Mar," ungkap Tukijo. "Ya udah, ayo bareng!" ajak Markonah. "Hah? Beneran? Kamu mau nungguin aku?" sahut Tukijo melebarkan mata. "Ya enggak lah ... kita jalan bareng, ngapain nungguin kamu yang nggak pasti. Aku temenin kamu sampe ke pertigaan karidor depan Lab. IPS." Kemudian
"Astagaaaa." Tukijo menjauhkan wajahnya dari Tuti. "Aku harus cari cara untuk kabur," gumamnya berpikir. Suara bel masuk berbunyi, tapi karena tidak dilaksanakan upacara bendera, maka satu jam pelajaran kosong. Tukijo merasa kesulitan menghadapi Tuti. Kebetulan bunyi bel bisa dijadikan alasan olehnya. Dia melihat di sebelah kanan Tuti ada celah. "Maaf, udah bel masuk. Aku mau ke kelas." Dengan cekatan Tukijo mundur selangkah lalu bergerak ke sisi kanan Tuti, menghindari Ipul yang berada di belakang Tuti. Tukijo berhasil melewati Udin dan gengnya lalu dia berlari di karidor depan ruang guru menuju jalan beraspal. Kemudian dia berbelok ke timur bermaksud ke kelas dengan jalur memutar melewati jalan beraspal yang terletak di sepanjang kelas XII IPS. "Asep! Hadang dia dari belakang ruang musik!" perintah Udin. Asep adalah yang tercepat diantara mereka. Dengan gesit dia berlari diikuti oleh Udin, Ipul dan Tuti. Tukijo samar-samar mend