LOGINGelora, seorang wanita yang apapun dia inginkan harus tercapai. Tidak ada satupun yang bisa menolak pesona nya yang seksi, semua orang ingin tidur dengannya, ingin menjadi bagian hidupnya. Tapi tidak dengan Delon.. Seorang pria pekerja keras, terancam kehilangan pekerjaan hanya karena menolak Gelora. Dan tidak hanya itu. Gelora juga tidak membiarkan satupun perusahaan yang menampung Delon. Ia sebisa mungkin membuat Delon benar-benar di blacklist dari semua lowongan pekerjaan yang ia datangi. Tujuannya cuman satu. Agar ia bisa menggaet Delon menjadi suaminya. Karena hanya dengan begitu ia bisa menerima warisan keluarganya. Dan bonusnya bisa bersenang-senang dengan pria lain. Mengingat Delon pria kampung yang bisa ia atur seenaknya. Tapi siapa bisa menduga. Kalau Gelora ternyata benar-benar jatuh cinta ke Delon. Tepat saat perjanjian kerjasama itu berakhir. Pertanyaannya, bisakah keduanya bersama kembali? Setelah keduanya menyadari akan cinta di hati mereka berdua.
View MoreDi bawah cahaya neon yang berpendar lembut dan dentuman bass yang menggetarkan lantai, Club Aurora malam itu tampak seperti semesta kecil yang berputar dalam ritmenya sendiri. Lampu-lampu berwarna ungu dan biru menari di antara kabut tipis yang dihembuskan mesin asap, sementara aroma campuran parfum dan koktail memenuhi udara. Suasana hangat, bising, dan penuh tawa—tempat di mana waktu seolah melebur.
Di tengah keramaian itu, Glora melangkah dengan percaya diri. Gaunnya memantulkan cahaya lampu, dan rambutnya tergerai sempurna. Ia ditemani beberapa sahabat yang sama riuh dan glamornya. Mereka duduk di VIP lounge, menatap kerumunan sambil sesekali saling menilai lelaki yang lalu-lalang. Beberapa pria mencoba datang mendekat—ada yang menawarkan minuman, ada yang berusaha memulai percakapan. Tapi tidak ada satu pun yang mampu menembus dinding di hati Glora. Senyumnya ramah, namun matanya tak tertarik. Pesona lelaki-lelaki itu memudar begitu saja sebelum sempat mendekat lebih jauh. Hingga tiba-tiba, sesuatu membuat Glora menghentikan gerakannya. Di dekat pintu masuk, berdiri seorang pria mengenakan kemeja kerja yang masih rapi, lengan sedikit tergulung, seakan ia datang langsung dari kantor. Ia sedang berbicara lewat telepon, wajahnya serius namun tenang, berbeda sekali dari riuh dunia di sekelilingnya. Seolah ia adalah satu-satunya orang yang tidak berusaha menjadi pusat perhatian—dan justru itulah yang membuatnya menonjol. Pandangan Glora terpaku. Tanpa menunggu lama, ia bangkit dan berjalan menghampirinya. Ada kepercayaan diri dalam langkahnya, seperti seorang ratu yang sedang memilih takdirnya sendiri. “Hey,” ucapnya dengan senyum menggoda ketika pria itu menutup telepon. “Kau sendirian? Maukah kau menemaniku malam ini?” Pria itu menatapnya sejenak. Tatapannya jujur, tidak terintimidasi, dan tak ada sedikit pun kekaguman berlebihan seperti yang biasa diterima Glora. “Maaf,” katanya singkat, suaranya datar namun sopan. “Aku tidak sedang mencari teman kencan. Selamat malam.” Tanpa menunggu respons, ia melangkah pergi, meninggalkan Glora yang terpaku dalam campuran kaget dan tidak percaya. Beberapa detik kemudian, Glora akhirnya bersuara pelan—lebih pada dirinya sendiri daripada siapa pun. “Serius? Baru kali ini ada pria yang berani menolak aku…” Ia mengumpat lirih, bukan karena marah, tapi karena hatinya—untuk pertama kalinya—tersengat oleh rasa penasaran yang tajam. Dalam dentuman musik yang kembali mendominasi, satu hal menjadi jelas: pria itu tidak tertarik dengannya. “Hah, dia berani ….” Sebelum Glora sempat marah, temannya Viola mendekat dan berkata, “Ada apa, Gelora?” Mata Glora seakan bicara, ia menoleh ke arah si pria yang memilih untuk keluar. “Pria itu?” tanya Viola ulang. “Hmmm, dia berani menolak ku.” Viola memandangi sahabatnya itu dengan dahi berkerut. “Menolakmu? Yang bener aja? Dia mabuk?” “Dia sangat sadar,” jawab Glora dengan nada getir. Ia memutar arah duduknya, menatap pintu masuk yang kini hanya menyisakan bayang-bayang kepergian pria itu. “Dan dia sama sekali tidak terpesona padaku.” Viola terkekeh pendek. “Mungkin dia sedang buru-buru. Atau orangnya terlalu kaku. Kau kan tahu, ada saja pria aneh di luar sana.” Gelora menggeleng pelan. “No, Vi. Itu bukan alasan. Dia… benar-benar tidak tertarik.” Ada sesuatu dalam nada itu—sesuatu yang membuat Viola berhenti membuat candaan. Sebab ia tahu, sahabatnya ini bukan hanya cantik. Ia menawan. Ia magnetik dan yang terpenting tidak ada seorang pria pun yang berani menolaknya karena dia anak seorang pengusaha kaya raya. Ia—dalam istilah sederhana—selalu bisa mendapatkan apapun yang ia mau. Dan malam itu, ada sesuatu yang ia inginkan. Seseorang. “Sialan itu cowok,” katanya tiba-tiba. “Tapi aku tidak akan tinggal diam, akan aku buat dia datang padaku.” “Itu baru Gelora yang aku kenal.” Musik menggema kembali, orang-orang menari dan tertawa tanpa peduli dunia. Tapi Gelora berdiri membeku, seolah seluruh energi klub mengalir melewati dirinya tanpa menyentuh. Viola menepuk lengannya. “Sudahlah, ayo duduk lagi. Kita cari yang lain.” Namun Glora tidak bergerak. Matanya seperti terikat pada bayangan di balik pintu kaca. “Aku ingin dia kembali,” bisiknya, suara rendah namun penuh keputusan. Viola sontak terdiam. “Gelora… apa maksudmu?” Gelora menatapnya, mata itu berkilat dengan campuran gengsi yang terluka dan penasaran yang membara. “Aku ingin dia kembali,” ulangnya. “Aku ingin tahu kenapa dia menolak. Tidak mungkin aku membiarkan hal seperti itu terjadi begitu saja.” Viola menggigit bibir. “Jangan bilang kau mau—” “Minta tolong seseorang,” potong Gelora sambil tersenyum tipis. Viola langsung menggeleng cepat. “Gelora! Astaga, jangan buat masalah—” Tapi sudah terlambat. Gelora melambaikan tangan memanggil Gekor, petugas keamanan yang sudah lama mengenalnya. Gekor bukan sekadar bodyguard klub; ia juga seseorang yang diam-diam menyukai Gelora, dan selalu bersedia memenuhi permintaannya. Pria bertubuh besar itu mendekat. “Ada apa, Mbak Gelora?” Ia menyebut nama Gelora dengan hormat, namun sorot matanya langsung siap siaga. Gelora menunjuk pintu keluar dengan dagu. “Pria yang baru keluar tadi. Yang pakai kemeja kerja warna abu itu. Kau lihat?” “Sempat,” jawab Gekor. “Aku ingin dia dibawa kembali ke sini.” Viola tersentak. “Gelora!” Gekor memandang keduanya, ragu. “Mbak… maksudnya saya suruh manggil saja? Atau…?” “Panggil. Ajak. Seret. Bebas,” jawab Gelora santai, seakan ia hanya meminta diambilkan minuman. “Pokoknya aku ingin dia kembali ke sini.” Gekor menelan ludah. “Baik.” --- Udara malam di luar klub lebih sejuk daripada di dalam. Pria berkemeja kerja itu—yang nanti baru Glora tahu bernama Delon—baru saja menyelesaikan teleponnya yang kedua saat ia mendengar langkah-langkah berat mendekat. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan ketika Gekor muncul di dekatnya. Gekor tidak suka kerumitan. “Mbak Gelora minta kamu balik.” Delon mengerutkan kening. “Mbak Gelora,” jawabnya keheranan. “Maaf, aku tidak mengenalnya.” Gekor menyentuh lengannya, sedikit memaksa. “Ayo. Jangan bikin susah.” Delon menepis tangannya, tidak kasar, tapi tegas. “Apa-apaan sih ah,” decak kesalnya. “Aku juga tidak mengenal mbak Gelora mu!” Gekor memajukan badan. “Jangan membantah, ayo ikut saja!” Delon balas menatap. Ia bukan tipe yang mudah takut, meski jelas kalah ukuran. “Dan kau jangan memaksa saya.” Ketegangan menggantung. Lampu-lampu klub berkilat di balik mereka. Gekor, entah didorong kecemburuan atau semata menjalankan perintah Glora, akhirnya mendorong bahu Arven dengan cukup keras. Arven tersentak mundur, hampir kehilangan keseimbangan. Ia memijak mundur, menahan diri agar tidak terpeleset. “Jangan lakukan itu lagi,” katanya, napasnya mulai berat. “Kalau begitu ikut saya masuk.” “Tidak.” Kata itu memicu letupan kecil dalam diri Gekor. Ia memegang kerah Arven, menariknya mendekat. Arven menepis, dan dalam gerakan spontan, ia melepaskan diri. Gekor tidak menyukainya. Sama sekali tidak. Ia bukan memukul keras, tapi cukup untuk menyentakkan Delon ke arah dinding. Delon terbatuk, menahan sakit yang mengalir di sisi tubuhnya. Namun bahkan dalam keadaan itu, ia kembali berdiri tegak. “Sekali lagi,” katanya pelan. “Saya tidak. Akan. Masuk.” Kata-kata itu, teguh dan tidak goyah, justru membuat Gekor terhenti. Pria ini… tidak takut? Tidak gentar? Bahkan setelah diperlakukan seperti itu? Ada sesuatu pada tatapan Delon—bukan keberanian kosong, tapi keyakinan. Integritas. Sesuatu yang tidak dimiliki kebanyakan orang yang datang ke klub itu. Dan itulah yang membuat Gekor perlahan menurunkan tangannya. “Baik,” katanya dengan suara berat. “Kalau itu pilihan lo.” Pilihan yang menyakiti, itu maksud Gekor, sebab dia langsung melakukan baku hantam dengan Delon. Membuat Delon kalah telak. “Jangan sekali-kali berani menolak keinginan Mbak Gelora!” ujarnya dengan suara keras, membuat beberapa orang justru menoleh ke arahnya. Dan saat itu juga, Delon di tarik paksa masuk ke dalam menghadap Gelora. “Apa maumu sih?”Bab 5 — Delon sempat berpikir bahwa pagi itu adalah awal dari tawaran pekerjaan yang memalukan, atau mungkin sebuah permintaan untuk kembali menyerahkan dirinya pada posisi tawar yang rendah. Tapi ia salah. Justru lebih parah dari itu.Mobil mulai melambat saat memasuki kawasan villa keluarga yang terlalu megah untuk ukuran orang biasa. Halaman luas dengan air mancur, dinding putih pualam, taman yang ditata seperti karya seni, dan aroma kemewahan yang menyesakkan. Delon bahkan belum sempat merasa rendah diri ketika suara di sampingnya sudah lebih dulu menjatuhkannya ke realita:“Delon.” Suara itu rendah. Gelora menatapnya tajam tanpa kedipan. “Begitu kita masuk, kamu jangan bantah ucapan ku sedikitpun, kamu cukup menganggukkan kepala, apa pun yang aku bilang. Angguk. Senyum. Bicara seperlunya. Menurut.”Delon menelan ludah. “G—Gelora, aku…”“Menurut,” ulangnya, memotong dengan nada final seperti pintu besi yang dikunci. “Kalau kamu berpikir ibumu penting, kamu akan ikut permainan ini
Bab 4 Delon menatap layar ponselnya cukup lama, seolah pesan itu bisa berubah kalau ia menunggu. Tapi tetap sama. "Jam tujuh pagi kamu sudah harus tiba di villa ku." “Villa? Villa mana lagi…” gumam Delon kesal, mulutnya mencebik, napasnya berat. “Cewek itu makin hari makin aneh… ngatur-ngatur seenaknya.” Belum sempat rasa kesalnya hilang, ponselnya kembali berbunyi. "Besok pagi kamu tunggu di depan rumahmu. Akan ada yang jemput." Delon menutup matanya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik kemudian ponselnya sudah melayang ke sofa. “Sialan…” geramnya. “Seenaknya banget dia atur hidup orang.” Ia ingin marah, ingin teriak, ingin bilang “tidak”—tapi bahkan itu pun tidak bisa. Bukan sekarang. Bukan ketika biaya obat-obatan ibunya sudah hampir tidak bisa ia tutupi. Delon memijit batang hidungnya, mencoba menekan perasaan yang muncul. Marah, kecewa, takut… bercampur jadi satu. Ia tahu persis kondisi dirinya sekarang: dia tidak punya ruang untuk memilih. “Demi ibu… a
Bab 3. Tawaran gila Gelora. “Menurutku,” suara Gelora lembut tapi dingin, “kau sedang main api, Delon.”Delon mencengkeram ujung meja kecil di lorong itu, wajahnya tegang dan merah karena marah. “Aku nggak peduli. Kamu yang bikin hidupku berantakan semalam.”Gelora memiringkan kepala, senyumnya tipis. “Berantakan? Baru semalam, Delon. Masa hidupmu rapuh begitu?”Suara langkah para staf tertahan di belakang, tak berani bergerak. Mereka seperti menonton bom waktu yang sebentar lagi meledak.Delon menggeram pelan. “Kamu tenang banget setelah aku bilang kamu cewek gila?”“Ah.” Gelora tertawa kecil, mencolek dagunya sendiri seolah sedang berpikir. “Aku sudah sering dipanggil banyak hal lebih… menarik dari itu.”Ia mendekat.Delon refleks mundur satu langkah.Aura Gelora begitu mendominasi, seperti seseorang yang tahu persis cara membuat orang lain merasa kecil.Gelora menatap ke mata Delon, tidak berkedip. “Tapi jarang ada yang berani mengatakannya di depan wajahku.”Delon melirik kanan-
BAB 2 — JEBAKAN AURORATubuh Delon masih oleng ketika Gekor menariknya masuk kembali ke dalam Club Aurora. Musik berdentum, cahaya neon berpendar, dan aroma alkohol bercampur parfum pekat menusuk hidungnya. Keributan tipis muncul—beberapa pengunjung menoleh, penasaran melihat seorang pria dengan kemeja kerja kusut diseret petugas keamanan.Di tengah VIP lounge, Gelora berdiri menunggu.Tatapannya menyapu tubuh Delon dari atas ke bawah—bukan dengan ketertarikan, melainkan kepuasan atas sebuah kemenangan.“Bagus,” katanya pelan saat Gekor melepaskan Delon di hadapannya. “Akhirnya kau kembali.”Delon mengusap sudut bibirnya yang perih. “Apa maumu sebenarnya?”Gelora melangkah mendekat, tumit stilettonya mengetuk lantai dalam ritme pelan tapi mengancam. Wajahnya mendekat sedekat beberapa sentimeter.“Mauku?” ia menghela napas seolah benar-benar mempertimbangkannya. “Hanya… kejujuran. Kau membuatku penasaran. Dan aku tidak suka merasa penasaran.”Ia menjentikkan jarinya.Seorang pelayan da
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.