Bu Anya dan Masna bertemu dengan pemilik ruko jelang siang. Pemilik ruko itu bernama Pak Suganda. Ia datang dari kota kecil ibu kota kabupaten pagi tadi. Sejak lima tahun yang lalu, Pak Suganda tinggal di kota kecil karena dia buka toko kelontong di sana. Pak Suganda terlihat duduk menunggu Bu Anya dan Masna di depan ruko.“Selamat siang, Bu Anya,” sapa Pak Suganda saat Bu Anya terlihat berjalan ke arahnya.“Selamat siang Pak. Nah ini orangnya, adek saya yang akan menyewa ruko ini,” kata Bu Anya.“Iya, Pak. Saya mau sewa tempat ini untuk jualan dan sekaligus tempat tinggal,” kata Masna dengan tersenyum.“Boleh, ruko ini baru selesai direhab dua hari yang lalu,” kata Pak Suganda. “Kalau mau lihat di dalam juga boleh.”Bu Anya dan Masna masuk ke dalam ruko setelah Pak Suganda membuka rolling door nya. Di dalam ada tangga menuju lantai dua. Terdapat satu kamar mandi di lantai satu dan satu kamar mandi di lantai dua.“Kalau boleh tahu berapa harga sewanya Pak?” tanya Masna pada Pak Sugand
Jelang senja itu Jayadi mengendarai mobilnya menuju desa wisata pantai. Ia hanya sendiri seperti yang sudah direncanakannya. Ia telah menyiapkan pakaian dalam sebuah tas besar dan satu tas kecil yang berisi berapa barang-barang yang dibutuhkannya. Jayadi meninggalkan Jakarta yang hanya diketahui oleh dua orang, Jefri dan Lena.Jayadi sampai di kota kecil dekat desa wisata pantai sudah lewat tengah malam. Ia menginap malam itu di sebuah hotel di kota kecil itu. Jayadi bermaksud melanjutkan perjalanannya besok pagi. Ia sudah berjanji bertemu Pak Gugun di fila kosong itu jelang siang besok. Pak Gugun mengatakan pada Jayadi, hari ini ia kembali dari Bogor.Jayadi langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu. Dalam tidurnya Jayadi bermimpi, ia duduk sendirian di tepi pantai. Memandang jingga warna senja dan matahari yang sudah separoh terbenam di garis laut. Hati Jayadi begitu sedih dalam sepinya sendiri. Pemandangan di pinggir laut itu berganti dengan lintasan masa kecil Jayadi sedang berma
Jayadi datang di kantor pukul sepuluh pagi. Ia duduk termenung di kursi eksekutifnya. Ia memandang foto dirinya dan pak Sudarmaji. “Terimakasih Pa, atas semua yang telah engkau ajarkan padaku. Darimu aku belajar tangguh dan pantang menyerah.” la berbisik sendiri. Jayadi mencoba tersenyum walau hatinya kini sedang dilanda gelisah.“Lena bisa ke ruangan saya.” Jayadi menelpon Lena.Lena yang sedang bicara dengan Wika segera bergegas masuk ruangan Jayadi. Ia duduk di hadapan Jayadi.“Jefri sudah datang?”“Sudah, Pak. Beberapa menit setelah Bapak masuk ruangan ini, Pak Jefri sudah tiba.”“Lena, mulai saat ini saya minta kamu banyak berbicara dan melaporkan perkembangan perusahaan dan semua bisnis kita pada Jefri.”Lena terdiam sejenak dan menjawab pelan,” baik, Pak.” Ada sedikit kegelisahan di hati Lena. Ia tak tahu rencana apa yang sedang dipikirkan Jayadi.“Saya minta kamu membantu dia, agar dia bisa memahami dan menguasai seluk beluk perusahaan dan proyek. Termasuk orang-orang dalam pe
Bu Masna dan kedua putrinya sampai di terminal kota kecil jelang senja. Saat turun di terminal bus di kota kecil, mereka melanjutkan perjalanan naik angkutan pedesaan. Ada perasaan rindu suasana desa saat Natasya melihat pemandangan desa-desa pinggir pantai yang dilewati. Rindu pada pantai tempat dia berlarian dengan Nela belasan tahun lalu. Saat itu Natasya menginjak usia remaja sedang Nela baru tamat SD. Natasya tersenyum pada Nela. Rambut Nela tertiup angin karena jendela kaca mobil angkutan desa yang ada di belakang Nela terbuka.“Aku rindu suasana pantai di desa kita,” kata Natasya pada Nela.“Aku juga rindu, kak,” tanggap Nela dengan senyuman dan anggukan. Bu Masna yang mendengar percakapan putrinya ikut tersenyum. Bu Masna pun merindukan desa kelahirannya. Hanya Bu Masna sedikit merasa sedih bila mengingat kepulangannya kini tak lagi bersama suaminya. Kini mereka kembali ke desa itu hanya bertiga.Dalam angkutan desa ada beberapa penumpang lainnya. Nampaknya mereka warga desa-
"Minum teh ini, biar lebih tenang,” kata Bu Masna sambil memberikan segelas teh ke tangan Natasya.“Nah kalau sudah mulai tenang, ayo cerita pada Ibu dan Nela apa yang terjadi.”Natasya mengangguk dan mengatur nafasnya.“Aku barusan diculik orang, Bu.”“Haah! Diculik?” Wajah Bu Masna berubah pucat. Nela ikut ketakutan.“Iya, Bu. Sebaiknya kita meninggalkan kota ini, Bu. Kota ini sudah tidak aman lagi buat kita. Terutama buat aku.” Natasya memandang ibunya dengan wajah sedih.“Mengapa mereka menculik kamu?” Bu Masna bertanya karena tak mengerti alasan putrinya diculik. Bu Masna terpikir apa yang diharapkan para penculik itu dari putrinya yang cuma gadis biasa. Kelebihan Natasya cuma cantik, itupun banyak perempuan bahkan lebih cantik dari putrinya, pikir Bu Masna.“Yang jelas mereka minta aku meninggalkan kota ini. Aku juga tak tahu alasan mereka menyuruhku pergi dari kota ini.”“Mengapa ya mereka menyuruh kamu meninggalkan kota ini?”“Entah lah Bu. Aku juga tak mengerti. Mereka juga t
Natasya bersiap pulang dari kantor pukul enam belas tiga puluh. Seperti biasa Natasya sebelum pulang melapor dan minta izin pada Pak Kasrin. Lelaki yang memasuki usia tua itu tersenyum memandang Natasya. Ia memang sudah menganggap Natasya seperti anaknya sendiri.Pak Kasrin punya putri seusia Natasya yang saat ini bekerja sebagai pegawai negeri di salah satu daerah. Putri Pak Kasrin itu bernama Rania yang merupakan anak sulungnya. Rania baru menikah tujuh bulan yang lalu. Sejak lulus jadi pegawai negeri dua tahun yang lalu Rania tidak tinggal bersama Pak Kasrin. Selain Rania, Pak Kasrin mempunyai dua orang anak laki-laki.“Hati-hati di jalan,” kata Pak Kasrin selalu diucapkannya pada para pegawai cleaning service yang melapor untuk pulang.“Iya, Pak,” kata Natasya sambil mencium tangan Pak Kasrin. Natasya muncul di lobi kantor dan menyapa Sapuro. Sapuro menyapa balik Natasya.“Saya pamit pulang dulu, Pak Sapuro,” kata Natasya.“Baik, Nat. Hati-hati di jalan.”Natasya melangkah menur