MasukApa yang ditunggu dan di harapkan dalam pernikahan? Anak. Evan dan Zola menunggu rejekinya itu dari Tuhannya. Tapi tak kunjung diberi. Beberapa kali keguguran membuat pernikahan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Saling menyalahkan. Hingga akhirnya Danar—mantan kekasih Zola kembali, bersamaan dengan kehamilan Zola. Hal itu membuat Evan mencurigai istrinya. Dia meragukan janin yang dikandung sang istri bukan anaknya melainkan anak Danar. Dapatkah Zola meluruskan kesalahpahaman dan meyakinkan Evan kalau yang dia kandung saat ini adalah buah cinta Evan dan Zola yang selama ini mereka tunggu-tunggu?
Lihat lebih banyak"Apa kamu memang sudah kehilangan marwahmu, Zola?" ucap Evan tajam.
"Apa?" tanya Zola dengan hati teriris mendengar nada suara itu di telinganya.
Evan mengeratkan rahangnya, wajahnya merah padam menahan amarah dengan mata berkaca-kaca.
"Apa benar kamu hamil?" tanya Evan.
Zola tertegun, "Darimana kamu tahu, Mas?" tanyanya bingung. Seharusnya dia senang karena Evan sudah tahu dia sedang mengandung anaknya. Tapi wajah lelaki itu menyiratkan hal lain yang menurut Zola sangat mengerikan.
Evan mendenguskan tawa sinis, dan itu semakin membuat Zola takut.
"Kalau begitu selamat!" kata Evan dengan nada sindiran yang tajam.
"A-apa maksud kamu, Mas?" tanya Zola lagi dengan tangan mulai gemetar.
Evan menatapnya, "Selamat atas kehamilanmu, anaknya Danar!"
"MAS!" teriak Zola histeris. Tangisnya pecah seketika. Sakit hatinya tak terperi.
"Teganya kamu menuduhku dengan fitnah kejam seperti ini! Ini anak kita, Mas!" raung Zola terduduk di lantai.
Evan membiarkan air matanya mengalir, "Maaf aku harus melakukan ini, Zola," ucapnya.
Zola tertegun dan menggeleng, mengerti dengan apa yang akan dikatakan oleh Evan.
"Tidak, Mas! Jangan!" pintanya memohon di kaki Evan, "aku istrimu! Aku tidak pernah membiarkan tubuhku dijamah pria lain! Demi Allah, Mas!"
Evan memejamkan mata, tangannya mengepal erat.
"Reeda Zola, aku menjatuhkan talak satu padamu!"
"TIDAK!"
Tangis Zola pun pecah dan dia meraung pilu di kakinya.
===
“Shhh ...!”
Erangan pelan keluar dari mulut Zola, sudah dapat dipastikan dia merasa perubahan signifikan dalam tubuhnya. Meski dalam keadaannya yang lemah, perempuan itu tetap mencoba memaksakan diri. Tetapi, takdir berkata lain. Meski Zola telah berhasil memegang lipstik yang hendak digunakannya, kini kekuatannya seperti yang hilang. Belum sempat menarik tangannya untuk menggunakan lipstik tersebut, genggaman tangan Zola terlepas dengan sendirinya, menyebabkan lipstik tersebut terjatuh.
“Nghhh ... sebenarnya, apa yang —”
Dalam sisa kesadarannya, Zola dapat melihat dirinya sendiri di kaca yang berada di depannya. Wanita itu hampir terjatuh karena tidak memiliki kekuatan untuk menopang tubuhnya sendiri. Namun, sebagai wanita yang tidak kenal menyerah, Zola masih berusaha mempertahankan tubuhnya. Ia berusaha memegang apa pun pada benda yang dipikirnya dapat menjadi topangan.
Namun, dalam waktu yang singkat, Zola tidak dapat menemukannya. Hal tersebut menyebabkan tangannya yang lemas menyenggol seluruh make up yang tertata rapi di atas meja langsung berjatuhan hingga menyebabkan suara barang jatuh yang keras.
Saat itulah Evan yang sedang di walking-closed mempersiapkan diri untuk berangkat kerja menangkap suara yang aneh. Spontan dia langsung menoleh ke asal suara tadi, dan mata Evan pun langsung membola , terkejut.
Pasalnya, dalam mimpi buruknya sekali pun Evan tidak pernah membayangkan akan menemukan sang istri tercinta akan jatuh tergeletak tak berdaya.
“ZOLA!”
Dengan sigap, Evan langsung berlari dari lemari baju menuju posisi Zola berada. Kali ini, perempuan itu benar-benar kehilangan kesadaran. Ia tidak lagi dapat menggerakkan tubuhnya.
“Zola! Ada apa denganmu, Sayang. Zola, sadarlah!”
Tangan Evan menahan tubuh lemas Zola dalam dekapan, dia berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri. Pria itu sesekali menepuk pelan pipi Zola dengan tangan kiri, berharap dapat menemukan kesadaran sang istri yang kini masih memejamkan mata erat.
Setelah beberapa detik usahanya membangunkan Zola, saat itulah Evan sadar jika usahanya tidak akan memberikan hasil apa pun. Karenanya, Evan langsung mengangkat tubuh Zola dalam pelukannya.
“Mbok Titi! Cepat kemari!”
Teriakan panik Evan untungnya langsung mendapat respons cepat dari Mbok Titi yang ternyata sedang mengawasi beberapa pelayan dalam membersihkan ruangan. Kepala pelayan itu memasuki kamar Evan dengan tergopoh-gopoh, cemas memikirkan apa yang sedang terjadi hingga Evan berteriak memanggilnya seperti meminta tolong.
“Ada apa—”
“Mbok, cepat minta sopir untuk sediakan mobil secepat mungkin. Kita harus ke rumah sakit sekarang juga!”
Tanpa membiarkan Mbok Titi menyelesaikan pertanyaannya, Evan dalam kegugupannya langsung mengeluarkan titah. Untungnya wanita bertubuh tambun itu juga dapat bersikap cepat. Langsung mengangguk, lalu segera berlari, melakukan apa yang diperintahkan sang majikan. Sedangkan Evan, pria itu menatap ke arah Zola yang kian lama semakin terlihat pucat. Pria itu tahu benar jika wajah Zola yang sekarang bukan karena hasil make up yang berlebih, melainkan karena kondisi tubuh yang dialaminya.
“Tunggulah sebentar lagi, Sayang. Setelah ini kita akan pergi ke rumah sakit, dan kamu akan mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan. Bertahanlah untuk sementara waktu,” ucap Evan sembari mendekatkan wajahnya kepada Zola, lalu menanamkan kecupan singkat di keningnya.
Setelah itu, Evan langsung berlari ke luar dengan menggendong Zola, berharap mobil yang diinginkannya telah tersedia sehingga mereka dapat langsung berangkat.
"Pak Awan, kita ke rumah sakit sekarang, cepat!" titah Evan.
Wajah Awan gak kalah kagetnya saat melihat majikannya menggendong tubuh nyonya rumah itu dan memasukannya ke dalam mobil.
Awan langsung melajukan mobilnya setelah dia memastikan Evan dan Zola sudah benar-benar di dalam.
***
Setelah berusaha keras melewati keadaan jalan raya yang sangat macet, akhirnya mobil yang membawa Zola berhasil sampai tujuannya, di rumah sakit.
“Tolong, siapa pun! Istriku sedang membutuhkan bantuan medis secepat mungkin!” teriak Evan dengan suara keras, berusaha menarik perhatian para petugas kesehatan agar Zola dapat menerima perawatan sesegera mungkin.
Untungnya para petugas yang berjaga di sana langsung bergerak cepat. Beberapa pria berpakaian medis langsung membawakan brangkar di hadapan Evan.
“Mohon letakkan istri Anda di sini, Pak! Biar kami bawa dia ke dalam!” ujar salah satu petugas kesehatan kepada Evan.
Tanpa membuang waktu, Evan menurut. Dengan berat hati, ia meletakkan Zola yang lemas di atas brangkar. Setelah itu, dua petugas laki-laki mendorong brangkar tersebut masuk lebih dalam ke rumah sakit, dan diikuti Evan yang senantiasa diselimuti kekhawatiran.
Evan bisa merasakan kakinya yang semakin lama semakin berat. Hal tersebut dikarenakan hatinya yang gundah, tidak tenang. Kepalanya kacau, pikirannya tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang, takut terjadi hal buruk kepada Zola. Fokusnya yang hanya tertuju kepada keadaan Zola, mengabaikan keberadaan Awan yang berusaha mengikuti larinya dengan napas tersengal karena faktor usia.
Tepat di depan ruangan yang memiliki tanda tulisan IGD, Zola dibawa masuk ke dalam. Kala Evan berniat tetap mengikuti, tubuhnya langsung ditahan oleh perawat pria yang sebelumnya mendorong brangkar Zola.
“Maaf, Pak, tapi pendamping hanya bisa sampai di sini.”
“Tidak, lepaskan saya! Biarkan saya masuk ke dalam menemani istri saya!”
Mendapati perlawanan keras Evan yang memaksa ingin masuk, dua petugas pria lainnya dikerahkan agar Evan tidak masuk ke dalam IGD. Dengan keributan yang terjadi, penanganan Zola pun terhambat, dan Evan tidak menyadari dampak dari keegoisannya itu.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkan Zola sendirian di dalam sana. Aku akan menemaninya!”
“Tidak bisa, Pak. Jika Anda memaksa masuk ke dalam, kami tidak dapat melakukan pekerjaan kami. Tolong Anda mengerti, kami akan melakukan usaha yang terbaik untuk menyelamatkan istri Anda.” Seorang dokter mencoba memberi penjelasan pada Evan.
“Tuan, Istighfar.” Tangan Awan menepuk pelan pundak Evan guna menarik perhatian sang pria.
Evan pun langsung menoleh ke belakang, menatap Awan dengan kerutan menghiasi keningnya.
“Memaksa seperti ini tidak akan memberikan hasil apa pun, Tuan. Sebaliknya, Anda justru mengganggu keberlangsungan perawatan Nyonya Zola. Bukankah Anda ingin beliau mendapatkan penanganan secepat mungkin?” sambungnya
Bak mantra ajaib, ucapan Awan menyadarkan Evan dari pikirannya yang kacau. Terlihat bagaimana pria itu mengerjap beberapa kali, menandakan dirinya yang terkejut dari kekhawatiran tanpa akhirnya.
Mengerti maksud ucapan Awan, akhirnya Evan menarik diri dari ruangan IGD.
“Kumohon ... selamatkan istriku ....”
“Kami akan melakukan yang terbaik, Pak.”
***
Baru beberapa bulan menikah Evan selalu melihat Zola dalam kondisi baik-baik saja, baru kali ini istri tercintanya langsung drop.
Seorang dokter keluar. Sontak mereka langsung berdiri, mengerti jika dokter tersebut berniat memberi kabar tentang pasiennya.
“Dengan keluarga pasien atas nama Ibu Zola?”
"Sa-saya suaminya, dok. Dan ini ayahnya," sahut Evan.
Dokter mengangguk paham.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan, maaf sekali janin dalam kandungan Ibu Zola tidak dapat di selamatkan dan harus di keluarkan, dengan begitu kami meminta persetujuan dari Anda sebagai suaminya," ucap dokter itu. Dan Seorang suster menyusul dengan membawa beberapa berkas kemudian menyerahkan kepada Evan untuk di tanda tangani.
"Ja-janin?" ucap Evan, Surendra dan Awan bersamaan. Berapa juga saling lempar tatapan bingung. Pasalnya tidak seorang pun dari mereka yang tahu soal kehamilan Zola.
"Kalian tidak tahu kalau —"
"Tidak, dok, saya rasa istri saya sendiri tidak menyadari kehamilannya," potong Evan cepat.
Abraham mengumpulkan semua bawahan dan anak buahnya di aula kediamannya yang luas. Jika ada orang biasa yang melihat mereka, mungkin dia akan terkesima dengan banyaknya orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.Abraham duduk di depan sana, di atas kursi kebesarannya, didampingi oleh jajaran para tangan kanan dan juga asistennya. Yang mana semuanya memiliki visual yang tidak main-main, hanya saja semuanya tampak berwajah dingin dan kejam.Mungkin anak buahnya hanya sebagian yang datang dari berbagai perwakilan mereka, dan itu semua sudah berjumlah ratusan. Tidak terbayang jika semuanya hadir, mungkin akan menimbulkan kepanikan tersendiri bagi masyarakat yang melihat.Suasana terasa dingin dan hening, tidak ada yang berani bersuara atau bahkan bergerak dari tempat mereka berdiri.Abraham melayangkan pandangan ke seluruh ruangan."Aku mengumpulkan kalian semua di sini dengan tujuan yang pastinya sudah kalian dengar sebelumnya," ucapnya membuka pertemuan itu. Suara tenang dan dala
Kevin terkejut dengan perkataan Abraham."Apa maksudmu?" tanyanya dengan mata menatap lurus pada ayah mertuanya itu.Abraham menarik nafas panjang, "Kevin, aku sadar jika duniaku ini tidak tepat dimasuki oleh Nathan, buktinya sudah jelas. Aku membahayakannya dan sekali aku mendengar namanya disebut oleh musuhku, aku tidak bisa tinggal diam!" ucapnya.Kevin mengeratkan rahangnya, "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada sedikit emosi."Hal yang seharusnya sudah menjadi sangat wajar bagi kami, tapi untuk sekarang itu menjadi hal yang fatal bagiku!" ucap Abraham menatap kosong ke arah lantai."Mereka mengancam akan mengusik cucuku jika kami tidak berhenti ikut campur dengan urusan perebutan wilayah yang terjadi kemarin," tuturnya.Kevin pun sontak naik pitam, tangannya mengepal dengan erat."Lalu sekarang di mana anakku?" geramnya, kecemasan seketika merayapi pikirannya.Abraham tersenyum, "Tidak usah khawatir, Nathan sudah berada di tempat yang aman, aku mengan
Abraham menghela nafas panjang, perlahan tangannya bergerak mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah segar. Matanya menatap dengan dingin pada mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya. Suasana hening yang menegangkan itu selesai, hanya saja di depan sana, Mark masih asik menginjak-injak wajah orang yang disebut sebagai pimpinan musuh. Orang itu bahkan sudah menjadi mayat dengan puluhan peluru di tubuhnya, tapi Mark masih saja menyiksanya. Dan yang lebih menyeramkan adalah ekspresi wajahnya yang dingin dan kosong."Mark, sudah!" kata Abraham dengan suaranya yang dalam. Laki-laki yang menjadi tangan kanannya itu memang memiliki sedikit kelebihan mengenai emosi dan nafsu membunuhnya.Mark yang mendengar suara Abraham seolah tersadar. Bak anak anjing yang menuruti perintah majikannya, dia menghentikan perbuatannya dan kembali berjalan mendekati Abraham. Anak buah yang menjadi bawahannya tampak ngeri dan menelan saliva melihat sisi gelap laki-laki itu, tak terbayang jika mereka m
Zola berlari menyambut kedatangan Nathan dengan gembira, kedua tangannya terbuka lebar tak sabar ingin segera memeluk anak itu. Dan begitu keduanya bertemu, langsung saja dia memeluknya."Assalaamu'alaikum, Bunda!" kata Nathan seraya tertawa riang melihat sambutan ibu angkatnya itu."Waalaikum salaam, Nak!" balas Zola mencium kepala Nathan dengan penuh rindu. Evan dan dan Surendra ikut tertawa melihatnya, begitu juga dengan Abraham."Kamu apa kabar? Kamu sehat 'kan?" tanya Zola seraya memutar tubuh Nathan melihat keadaanya."Alhamdulillah sehat, Bunda!" jawab Nathan tak berhenti tertawa geli dengan perlakuan Zola.Menyadari kelakuannya, Zola pun kemudian tertawa geli sendiri, lalu merangkul Nathan dengan lebih kalem."Maaf, Bunda sudah sangat rindu sama kamu soalnya!" ujarnya terkekeh.Nathan tersenyum, "Bunda sendiri bagaimana kabarnya?" tanyanya."Alhamdulillah kami juga sehat," jawab Zola dengan raut wajah terlihat cerah.Nathan lalu menyalami Evan dan Surendra."Hanya beberapa min
Pagi menjelang, suasana rumah Abraham terlihat tenang. Para pelayan dan penjaga bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.Mark, tangan kanan Abraham baru saja tiba di sana. Dia mencari keberadaan bosnya itu di kamar, namun dia tidak mendapati Abraham di sana. Mark pun terlihat kebingungan lalu keluar dari kamar untuk mencari Abraham.Saat dia menyusuri lorong, alisnya terangkat ketika melihat melihat Abraham keluar dari kamar Nathan bersama anak itu.Mark pun segera menghampirinya dengan wajah cemas."Bos!" sapanya seraya mengangguk hormat, matanya menyorot dengan penuh tanda tanya menatap Abraham dan Nathan.Abraham menoleh pada Mark lalu tersenyum ringan, "Apa kamu mencariku? Maaf semalam kami ketiduran setelah shalat," tutur Abraham seraya merangkul bahu Nathan.Nathan tersenyum tipis mengiyakan.Mark yang mendengar itu semakin terheran-heran, dia merasa asing dengan apa yang dilakukan oleh Abraham. Tapi untuk saat ini dia tidak berani bertanya, biarlah.Karena nanti Abraham ju
Malam pun turun dengan lambat, angin berdesir pelan menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Sepertinya malam ini akan turun hujan karena langit pun tampak gelap gulita.Zola keluar dari kamar si kembar, dia baru saja menidurkan mereka. "Mereka sudah tidur?" tanya Evan yang tiba-tiba muncul di sampingnya.Zola pun melompat kaget karenanya, dia menoleh dengan wajah cemberut."Bisa nggak jangan membuat aku kaget begitu, Mas!" ujarnya menggerutu pelan.Evan terkekeh merasa gemas melihat wajah Zola yang terlihat terkejut barusan."Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan mu!" katanya seraya merangkul bahu Zola. Zola pun hanya menarik sudut bibirnya, kemudian mereka berjalan bersama menuju ke ruangan belakang untuk bersantai sejenak di sana. Tampak Surendra pun masih duduk di sana seraya membaca sebuah buku hadits di tangannya, dengan kacamata baca bertengger di hidungnya."Papa belum tidur?" sapa Zola seraya duduk di samping Surendra, menggelayut manja di bahu ayahnya itu.Sejenak S
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen