Semenjak kehadiran Puti Bungo Satangkai di pulau di mana Inyiak Mudo tinggal, maka semenjak itu pula ia selalu bisa menghindari pertarungannya dengan Inyiak Gadih. Selalu saja ada alasan yang bisa ia kemukakan untuk menghindari pertikaiannya dengan istrinya tersebut.
Pendek kata, Puti Bungo Satangkai menjadi penengah di antara Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih.
Terhitung sudah tiga kali pertarungan itu dibatalkan. Yang pertama tepat ketika Puti Bungo Satangkai berusia lima tahun, lalu yang kedua ketika ia berusia lima belas tahun, dan yang ketiga ketika Puti Bungo Satangkai telah berusia 25 tahun.
Usaha Inyiak Gadih untuk memulihkan kebisuan dan pendengaran telinga kiri sang gadis tidak membuahkan hasil. Puti Bungo Satangkai memang mengalami kecacatan semenjak di dalam kandungan ibunya, imbas dari terjatuhnya sang ibu ketika itu ke dasar ngarai.
Tapi semua kekurangan itu bukanlah penghalang bagi Puti Bungo Satangkai untuk melakukan banyak hal sebagaimana manusia lainnya. Ia belajar menulis, membaca, bersilat, bahkan mempelajari ilmu kesaktian.
Tidak tanggung-tanggung, Puti Bungo Satangkai bahkan mewarisi kesaktian baik dari Inyiak Mudo, juga dari Inyiak Gadih.
Gabungan dua tenaga dalam dengan inti berbeda, yang satu berinti sangat panas. Lainnya pula berinti sangat dingin. Kedua jenis tenaga dalam itu telah menjadi bagian di dalam diri sang gadis.
Itulah yang terjadi. Setiap kali hari pertarungan itu tiba, baik Inyiak Mudo maupun Inyiak Gadih justru mengalihkan pertikaian itu dengan menyalurkan perhatian masing-masing juga tenaga dalam mereka ke dalam tubuh Puti Bungo Satangkai.
Jika Inyiak Mudo selalu melakukan hal yang sama hampir setiap hari sebab sang gadis tinggal bersamanya di Pulau Sinaka. Maka kesempatan bagi Inyiak Gadih hanyalah ketika gadis itu mengunjunginya ke Bukik Siriah. Dan ya, tentu Inyiak Gadih melakukannya secara diam-diam. Meskipun sesungguhnya, Inyiak Mudo sedari awal sudah mengetahui itu.
Diusianya yang 25 tahun, Puti Bungo Satangkai telah menguasai seluruh kesaktian dari dari Tinju Penghancur Sukma milik Inyiak Mudo, dan Telapak Penghancur Raga milik Inyiak Gadih.
Dan lima tahun berikutnya ia hanya tinggal memperhalus segala jurus silat dan kesaktian yang telah ia dapat dari kedua sesepuh tersebut. Terutama, sang gadis mencoba mencapai tingkatan lebih tinggi dalam jurus halimunan yang dimiliki oleh Inyiak Mudo, Kabut Kahyangan.
Hanya saja, seberapa keras pun dalam lima tahun terakhir ia berlatih, tetap saja ia tidak bisa mencapai taraf seperti yang dimiliki oleh Inyiak Mudo.
Yah, Puti Bungo Satangkai menyadari hal ini. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun menempa diri, juga tentunya dengan semadi dan penenangan dirinya, barulah memungkinkan ia bisa memiliki kesempurnaan kesaktian sebagaimana yang dimiliki oleh Inyiak Mudo maupun Inyiak Gadih.
Akan tetapi, dengan sebegitu saja, Puti Bungo Satangkai sudah merasa cukup puas. Ia menguasai ilmu meringankan tubuh yang bahkan dalam hal ini ia jauh lebih cepat dari Inyiak Mudo sendiri. Sedangkan untuk Kabut Kahyangan, ia hanya mampu sampai di tahap ketiga saja, kurang empat tahap dari apa yang dikuasai oleh Inyiak Mudo. Dengan kata lain, ilmu halimunan itu mungkin hanya bisa ia gunakan sebagai jalan untuk melarikan diri saja di saat-saat tertentu.
Selama hidup di bawah asuhan dan perlindungan Inyiak Mudo di Pulau Sinaka itu, Puti Bungo Satangkai sama sekali tidak pernah menginjak daratan utama Andalas—kecuali di saat mengunjungi Inyiak Gadih saja.
Hal ini disebabkan oleh Inyiak Mudo yang melarang sang gadis untuk naik ke daratan utama. Bagaimanapun, kekurangan dari lahir sang gadis bisa saja berakibat tidak baik nantinya. Yang ditakutkan oleh Inyiak Mudo adalah olok-olokan atau ejekan orang-orang terhadap Puti Bungo Satangkai sendiri.
Terlebih lagi, wajah gadis tersebut sangat-sangat jelita. Bahkan bentuk tubuhnya itu sangat sempurna sebagai seorang wanita. Tentu saja Inyiak Mudo tak ingin hal buruk terjadi pada anak asuhnya itu.
Puti Bungo Satangkai diizinkan oleh Inyiak Mudo untuk keluar dari pulau itu hanya bila sang gadis telah mampu menguasai seluruh kesaktian dan bela diri yang telah ia ajarkan. Dengan demikian, Inyiak Mudo tidak lagi akan merasa khawatir sebab Puti Bungo Satangkai akan bisa menjaga dan melindungi dirinya sendiri dari pelbagai tipu daya dan keburukan anak manusia.
Tepat di usia Puti Bungo Satangkai yang ketiga puluh tahun…
Sedari pagi hingga ke siang hari itu, Inyiak Mudo sengaja meminta Puti Bungo Satangkai untuk tidak berlatih dan mendengar apa yang ia sampaikan sembari duduk-duduk santai menikmati embusan angin laut.
Pada kesempatan itu pulalah Inyiak Mudo menceritakan semua hal terkait dengan Puti Bungo Satangkai itu sendiri.
“Aku tidak tahu siapa nama ibumu, Bungo,” ucap Inyiak Mudo dengan raut yang masygul. “Aku bahkan tidak tahu siapa anggota keluargamu. Hanya ini satu-satunya petunjuk yang mungkin bisa kau gunakan untuk mencari tahu siapa keluargamu.”
Inyiak Mudo mengeluarkan kepingan Teratai Abadi, sejenak ia mengusap kepingan tembikar yang berbentuk satu kelopak bunga teratai itu. Ingatannya kembali pada saat ia menemukan Zuraya, ibu kandung Puti Bungo Satangkai yang dalam keadaan sekarat.
“Ambillah!”
Puti Bungo Satangkai yang sepasang matanya telah berkaca-kaca itu menerima kepingan tersebut. Ia menggenggam erat kepingan itu ke dadanya dengan rasa haru yang sukar untuk ia jabarkan.
Bagaimanapun, kematian sang ibu kandung yang diceritakan oleh pria sepuh itu sangat-sangat memukul hatinya.
‘Siapa manusia yang tega memperlakukan ibuku yang tengah hamil besar seperti itu?’ batinnya.
“Kau tahu, Anakku,” kata Inyiak Mudo seraya menghela napas begitu dalam. “Kau sudah tidak mungkin lagi aku tahan-tahan untuk melihat dunia luar.‘Tapi, aku masih suka menemani Inyiak Mudo di sini.’“Aku tahu,” Inyiak Mudo tersenyum. “Terima kasih, dalam masa tiga puluh tahun ini kau telah menemaniku di sini. Kau menjadi penengah kemelut di antara aku dan Sabai Nan Manih sehingga kami berdua tidak perlu bertarung.”‘Aku merasa tidak melakukan apa-apa.’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengangguk-angguk kecil. “Kau tahu, ada sebagian orang yang patut mendapat pujian, namun lebih banyak lagi yang tidak meski sudah berusaha dengan segala cara. Kau gadis yang baik, Anakku. Kuharap, kelak kau tetaplah berpendirian seperti sekarang ini. Jangan biarkan buruknya dunia mengelabuimu.”‘Terima kasih, Inyiak. Aku pasti akan mengingat nasihat Inyiak.’“Kau harus ingat satu hal lagi, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Aku memberitahukan tentang ibumu bukan berarti aku memintamu untuk mencari penyebab semua perka
“Bungo, pergilah…!” ucap Inyiak Mudo tanpa berpaling sedikitpun kepada Puti Bungo Satangkai.Tapi sang gadis tak hendak beranjak dari sana. Bagaimanapun, ia melihat hal berbeda pada Inyiak Gadih yang masih berada jauh di depan sana, di atas sampan yang melaju sangat cepat.‘Itukah aura asli dari Inyiak Gadih?’ tanya sang gadis di dalam hati.Selama ini, Puti Bungo Satangkai tidak sekalipun melihat perubahan pada Sabai Nan Manih. Perjanjian perkelahian wanita sepuh itu dengan sang suami selalu tidak terjadi selama adanya Puti Bungo Satangkai.Lalu, apa yang membawa Inyiak Gadih mendatangi Pulau Sinaka ini? Bukankah perjanjian itu sendiri sekali dalam sepuluh tahun, dan itu terhitung masih ada lima tahun lagi? Lagi pula, bila memang mereka akan bertarung, bukankah selalu Inyiak Mudo yang datang ke Bukik Siriah?Apa pun penjelasan di balik kemunculan Sabai Nan Manih ke pulau itu, yang pasti, itu bukanlah sesuatu yang baik. Puti Bungo Satangkai dapat merasakan hawa panas yang luar biasa b
Sayangnya seribu kali disayang, Sabai Nan Manih pulih dengan membawa kepribadian lain yang muncul di dalam dirinya. Dan semenjak itulah, pertarungan selalu terjadi di antara keduanya. Sampai suatu ketika, Inyiak Mudo berhasil merayu istrinya agar mereka bertemu sekali dalam sepuluh tahun.Dengan alasan untuk saling memperkuat kesaktian masing-masing, lalu mengadu kesaktian itu pada penghujung di setiap sepuluh tahun.Dan sepertinya, untuk kali ini, Puti Bungo Satangkai tidak akan mungkin bisa mencegah pertempuran keduanya seperti di tahun-tahun sebelumnya.Kali ini semua harus berakhir di sini, pikir Inyiak Mudo. Mungkin, inilah alasannya mengapa dalam seminggu ini ia selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya. Alasan yang sama mengapa ia mengatakan bahwa kematiannya sudah semakin dekat kepada Puti Bungo Satangkai sebelumnya.Angin kencang membawa hawa panas seiring semakin dekatnya Sabai Nan Manih ke tepian pantai. Hanya belasan langkah lagi saja, ia melontarkan tubuhnya lebih tin
Setiap kali keduanya berpindah tempat dalam perkelahian mereka, setiap kali itu pula Puti Bungo Satangkai mengikuti. Tujuannya hanya satu, mengamati setiap gerakan kedua sesepuh itu agar kemampuan dan kesaktian yang telah ia warisi bisa mencapai tahap seperti keduanya.Permukaan air laut di sekitar mereka membuncah seiring pergerakan silat keduanya, seolah-olah permukaan air adalah sesuatu yang padat bagi kaki-kaki mereka sehingga dengan mudahnya mereka bergerak bebas dalam melakukan serangan demi serangan.Pertarungan di antara pasangan suami-istri itu terus terjadi, dari pagi hingga rembang petang. Dan selama itu pula Puti Bungo Satangkai setia mengawasi keduanya.Tidak ada keletihan yang terlihat oleh sang dara pada kedua sesepuh tersebut, tidak pula masing-masing mau mengalah—setidaknya, menghentikan pertarungan itu sendiri. Atau mungkin beristirahat barang sejenak sebelum melanjutkan pertarungan mengingat keduanya sudah bertarung lebih dari setengah hari.Ada kalanya Puti Bungo S
Sang dara ingin protes pada kedua sesepuh itu yang menjadikan tubuhnya sebagai sarana dalam mereka mengadu kesaktian. Hanya saja, ia yang bisu menyebabkan suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa ha-hu ha-hu saja. Sementara, ia seolah kehilangan kendali atas kedua tangannya sendiri.“Tenangkan dirimu!” ucap Inyiak Mudo terhadap Puti Bungo Satangkai. “Kosongkan pikiran. Jangan memikirkan tentang apa pun, Bungo!”Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Inyiak Mudo, ia lantas menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh sang dara dengan kekuatan penuh. Dan hal tersebut bersamaan dengan Sabai Nan Manih yang juga melakukan hal yang sama dengan Inyiak Mudo.Dalam keadaan tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba terseret menjadi sarana bagi kedua sesepuh itu, Puti Bungo Satangkai dengan cepat melakukan apa yang dikatakan oleh Inyiak Mudo, meskipun harus dengan sedikit kesulitan.Sang gadis mengernyit hebat dengan mata terpejam, hanya dalam hitungan detik keringat sebesar bulir-bulir padi telah muncul
Sang dara membuka mata setelah ia menenangkan diri dan menenangkan dua tenaga dalam yang sebelumnya berkecamuk di dalam dirinya. Ia menemukan bahwa Inyiak Mudo sedang menatap kepada Inyiak Gadih, pun begitu sebaliknya.“Sabai, istriku…” ucap Inyiak Mudo dengan begitu lirih dan lelehan darah dari sudut bibir, juga dari dua lubang hidung.“Suamiku…” sahut Inyiak Gadih dengan kondisi nyaris serupa.Dan detik selanjutnya, kedua sesepuh itu sama hening dengan kepala terkulai, menekuk. Namun yang pasti, Puti Bungo Satangkai sama menemukan satu senyuman di bibir kedua sesepuh tersebut.Ia segera bangkit, dan mendekati Inyiak Gadih, mencoba mencari tahu apakah wanita sepuh itu hanya pingsan saja, atau justru telah meninggal dunia.Meskipun tubuh wanita sepuh itu masih terasa hangat bagi Puti Bungo Satangkai, namun ia tidak menemukan denyut kehidupan pada nadi di pergelangan tangannya, tidak pula di lehernya. Sang dara memastikan sekali lagi dengan mencoba merasakan embusan napas di sekitar lu
Diilhami oleh pertarungan Inyiak Mudo dengan Inyiak Gadih, dan perkelahian yang saling melilit kedua belut moray itu, Puti Bungo Satangkai menggabungkan beberapa unsur dari empat jenis kesaktian yang telah ia kuasai.Selama tujuh purnama ke depan, hal baru itulah yang coba dikembangkan dan dikuasai oleh sang dara.Puti Bungo Satangkai mungkin tidak akan pernah tahu siapa orang tuanya, namun, sebagaimana dengan kakak laki-lakinya yang juga tidak pernah ia ketahui ada—Buyung Kacinduan alias Mantiko Sati, sang dara juga mewarisi kejeniusan ayahnya—Sialang Babega. Juga, kecantikan dari ibunya, Zuraya. Ditambah, bekal yang sudah ditunjukajarkan oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih selama ini, jadilah sang dara berhasil menciptakan kesaktian yang benar-benar baru.Gerakan-gerakan tubuh sang gadis dalam rentak jurus silatnya itu terlihat seperti seorang yang sedang menari dengan gemulai, tiada kesan kekerasan sama sekali dalam gerakannya itu. Hanya saja, setiap gerakan tangan, kaki, bahkan sepa
Di atas sampan kecil milik mendiang Inyiak Mudo, Puti Bungo Satangkai berdiri menatap ke arah Pulau Sinaka yang semakin jauh dan semakin jauh ia tinggalkan. Air matanya telah berlinang semenjak ia meninggalkan tepian pantai tadi.‘Selamat tinggal, Inyiak Mudo, Inyiak Gadih, aku memulai langkahku sendiri di kehidupan yang lebih nyata. Aku akan selalu mengingat Inyiak berdua, mengingat semua pesan dan nasihat kalian…’Sampan kecil terus bergerak ke arah timur, ke pulau besar bernama Andalas. Di mana, di sanalah nanti perjalanan yang sesungguhnya dari Puti Bungo Satangkai akan bermula.Mengandalkan ingatan dan jalur yang biasa dilalui oleh Inyiak Mudo sebelum-sebelum ini, Puti Bungo Satangkai mengambil jalur yang sama pula. Ia juga melabuhkan sampannya berjauhan dari keramaian Bandar Bangkahulu.Tapi di titik itu kini juga telah ramai. Titik di mana sering digunakan Inyiak Mudo untuk menambatkan sampannya di masa-masa yang lalu. Sehingga ketika gadis jelita itu menepikan sampannya, ia me