Share

30 Tahun Kemudian

Semenjak kehadiran Puti Bungo Satangkai di pulau di mana Inyiak Mudo tinggal, maka semenjak itu pula ia selalu bisa menghindari pertarungannya dengan Inyiak Gadih. Selalu saja ada alasan yang bisa ia kemukakan untuk menghindari pertikaiannya dengan istrinya tersebut.

Pendek kata, Puti Bungo Satangkai menjadi penengah di antara Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih.

Terhitung sudah tiga kali pertarungan itu dibatalkan. Yang pertama tepat ketika Puti Bungo Satangkai berusia lima tahun, lalu yang kedua ketika ia berusia lima belas tahun, dan yang ketiga ketika Puti Bungo Satangkai telah berusia 25 tahun.

Usaha Inyiak Gadih untuk memulihkan kebisuan dan pendengaran telinga kiri sang gadis tidak membuahkan hasil. Puti Bungo Satangkai memang mengalami kecacatan semenjak di dalam kandungan ibunya, imbas dari terjatuhnya sang ibu ketika itu ke dasar ngarai.

Tapi semua kekurangan itu bukanlah penghalang bagi Puti Bungo Satangkai untuk melakukan banyak hal sebagaimana manusia lainnya. Ia belajar menulis, membaca, bersilat, bahkan mempelajari ilmu kesaktian.

Tidak tanggung-tanggung, Puti Bungo Satangkai bahkan mewarisi kesaktian baik dari Inyiak Mudo, juga dari Inyiak Gadih.

Gabungan dua tenaga dalam dengan inti berbeda, yang satu berinti sangat panas. Lainnya pula berinti sangat dingin. Kedua jenis tenaga dalam itu telah menjadi bagian di dalam diri sang gadis.

Itulah yang terjadi. Setiap kali hari pertarungan itu tiba, baik Inyiak Mudo maupun Inyiak Gadih justru mengalihkan pertikaian itu dengan menyalurkan perhatian masing-masing juga tenaga dalam mereka ke dalam tubuh Puti Bungo Satangkai.

Jika Inyiak Mudo selalu melakukan hal yang sama hampir setiap hari sebab sang gadis tinggal bersamanya di Pulau Sinaka. Maka kesempatan bagi Inyiak Gadih hanyalah ketika gadis itu mengunjunginya ke Bukik Siriah. Dan ya, tentu Inyiak Gadih melakukannya secara diam-diam. Meskipun sesungguhnya, Inyiak Mudo sedari awal sudah mengetahui itu.

Diusianya yang 25 tahun, Puti Bungo Satangkai telah menguasai seluruh kesaktian dari dari Tinju Penghancur Sukma milik Inyiak Mudo, dan Telapak Penghancur Raga milik Inyiak Gadih.

Dan lima tahun berikutnya ia hanya tinggal memperhalus segala jurus silat dan kesaktian yang telah ia dapat dari kedua sesepuh tersebut. Terutama, sang gadis mencoba mencapai tingkatan lebih tinggi dalam jurus halimunan yang dimiliki oleh Inyiak Mudo, Kabut Kahyangan.

Hanya saja, seberapa keras pun dalam lima tahun terakhir ia berlatih, tetap saja ia tidak bisa mencapai taraf seperti yang dimiliki oleh Inyiak Mudo.

Yah, Puti Bungo Satangkai menyadari hal ini. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun menempa diri, juga tentunya dengan semadi dan penenangan dirinya, barulah memungkinkan ia bisa memiliki kesempurnaan kesaktian sebagaimana yang dimiliki oleh Inyiak Mudo maupun Inyiak Gadih.

Akan tetapi, dengan sebegitu saja, Puti Bungo Satangkai sudah merasa cukup puas. Ia menguasai ilmu meringankan tubuh yang bahkan dalam hal ini ia jauh lebih cepat dari Inyiak Mudo sendiri. Sedangkan untuk Kabut Kahyangan, ia hanya mampu sampai di tahap ketiga saja, kurang empat tahap dari apa yang dikuasai oleh Inyiak Mudo. Dengan kata lain, ilmu halimunan itu mungkin hanya bisa ia gunakan sebagai jalan untuk melarikan diri saja di saat-saat tertentu.

Selama hidup di bawah asuhan dan perlindungan Inyiak Mudo di Pulau Sinaka itu, Puti Bungo Satangkai sama sekali tidak pernah menginjak daratan utama Andalas—kecuali di saat mengunjungi Inyiak Gadih saja.

Hal ini disebabkan oleh Inyiak Mudo yang melarang sang gadis untuk naik ke daratan utama. Bagaimanapun, kekurangan dari lahir sang gadis bisa saja berakibat tidak baik nantinya. Yang ditakutkan oleh Inyiak Mudo adalah olok-olokan atau ejekan orang-orang terhadap Puti Bungo Satangkai sendiri.

Terlebih lagi, wajah gadis tersebut sangat-sangat jelita. Bahkan bentuk tubuhnya itu sangat sempurna sebagai seorang wanita. Tentu saja Inyiak Mudo tak ingin hal buruk terjadi pada anak asuhnya itu.

Puti Bungo Satangkai diizinkan oleh Inyiak Mudo untuk keluar dari pulau itu hanya bila sang gadis telah mampu menguasai seluruh kesaktian dan bela diri yang telah ia ajarkan. Dengan demikian, Inyiak Mudo tidak lagi akan merasa khawatir sebab Puti Bungo Satangkai akan bisa menjaga dan melindungi dirinya sendiri dari pelbagai tipu daya dan keburukan anak manusia.

Tepat di usia Puti Bungo Satangkai yang ketiga puluh tahun…

Sedari pagi hingga ke siang hari itu, Inyiak Mudo sengaja meminta Puti Bungo Satangkai untuk tidak berlatih dan mendengar apa yang ia sampaikan sembari duduk-duduk santai menikmati embusan angin laut.

Pada kesempatan itu pulalah Inyiak Mudo menceritakan semua hal terkait dengan Puti Bungo Satangkai itu sendiri.

“Aku tidak tahu siapa nama ibumu, Bungo,” ucap Inyiak Mudo dengan raut yang masygul. “Aku bahkan tidak tahu siapa anggota keluargamu. Hanya ini satu-satunya petunjuk yang mungkin bisa kau gunakan untuk mencari tahu siapa keluargamu.”

Inyiak Mudo mengeluarkan kepingan Teratai Abadi, sejenak ia mengusap kepingan tembikar yang berbentuk satu kelopak bunga teratai itu. Ingatannya kembali pada saat ia menemukan Zuraya, ibu kandung Puti Bungo Satangkai yang dalam keadaan sekarat.

“Ambillah!”

Puti Bungo Satangkai yang sepasang matanya telah berkaca-kaca itu menerima kepingan tersebut. Ia menggenggam erat kepingan itu ke dadanya dengan rasa haru yang sukar untuk ia jabarkan.

Bagaimanapun, kematian sang ibu kandung yang diceritakan oleh pria sepuh itu sangat-sangat memukul hatinya.

‘Siapa manusia yang tega memperlakukan ibuku yang tengah hamil besar seperti itu?’ batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status