“Diam kau, Tua Bangka!”
“Oh, Dewata Yang Agung,” keluh Inyiak Mudo berpura-pura bersedih hati. “Padahal aku yang merawatnya.”
“Apakah kau juga tidak akan mengalah padaku untuk yang satu ini?”
Inyiak Mudo hanya bisa tersenyum menahan tawa di dalam hatinya. Sesungguhnya, memang itulah yang ia inginkan, ketenangan sang istri. Lagi pula, sudah tidak terhitung entah berapa kali ia mengalah kepada istrinya tersebut. Termasuk, dengan harus hidup berjauhan.
“Baiklah, baiklah,” ucap Inyiak Mudo. “Puti Bungo Satangkai. Kau puas?”
“Sudah seharusnya!” balas Inyiak Gadih seraya menggendong si gadis kecil. “Kau suka nama pemberianku itu, Sayang?”
Gadis kecil tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Anak pintar!” Inyiak Gadih tertawa pelan. “Kelak, jangan jadi seperti si Tua Bangka itu! Dia tidak bisa diandalkan!”
“Hei, hei,” Inyiak Mudo menahan tawanya. “Jangan menjelek-jelekkanku di hadapan anak asuhku sendiri!”
“Mari, Bungo,” ujar Inyiak Gadih dengan tidak menggubris ucapan sang suami. “Kita akan pergi ke satu tempat.”
“Dasar!” gumam Inyiak Mudo setengah tak terdengar.
Sementara sang istri membawa gadis lima tahun itu pergi ke satu tempat, Inyiak Mudo tak hendak ikut sebab ia tak hendak mengganggu istrinya itu untuk sekarang ini. Pria tua lebih memilih menunggu saja. Atau, ya… membersihkan goa tempat tinggal sang istri.
Inyiak Gadih ternyata membawa Puti Bungo Satangkai ke bagian paling ujung utara dari Ngarai Sianok.
Di tempat itu, ada sebuah mata air kecil yang sangat bersih dengan airnya sebening kristal.
Gadis kecil menarik-narik pakaian Inyiak Gadih.
‘Ini di mana, Inyiak?’
Sang wanita sepuh tersenyum dengan sangat manis.
“Kita akan mencoba memberikan apa yang hilang di dirimu, Anakku. Dan bila memang sudah jodohmu, kau pasti akan mendapatkan suara dan pendengaranmu kembali. Namun bila tidak, toh, tidak ada salahnya mencoba, bukan?”
Meski tidak terlalu memahami apa yang dikatakan oleh Inyiak Gadih, gadis kecil tetap mengangguk saja.
“Masuklah ke dalam kolam kecil itu, Anakku!”
‘Tapi aku takut, Inyiak.’
Inyiak Gadih tersenyum. Ia berjongkok di hadapan Puti Bungo Satangkai. “Kalau begitu, Inyiak akan menemanimu berendam di air itu. Bagaimana?”
Gadis kecil mengangguk cepat dengan senyuman di bibirnya.
Di dalam kolam kecil yang hanya sebatas perut bagi si gadis kecil itu, Inyiak Gadih memeriksa susunan tulang dan aliran darah sang bocah terlebih dahulu.
“Apakah si Tua Bangka itu sudah mewariskanmu kesaktiannya?”
Sesaat, gadis kecil mengerutkan dahinya sembari menatap ke dalam bola mata Inyiak Gadih. Ia tentu tidak memahami apa yang diucapkan wanita sepuh tersebut.
‘Inyiak Mudo sangat baik kepadaku.’
“Aku tahu.”
Inyiak Gadih kembali tersenyum. Sebenarnya, tanpa bertanya sekalipun, ia sudah bisa merasakan langsung bahwa sesungguhnya di dalam tubuh Puti Bungo Satangkai telah bersemayam inti kekuatan tenaga dalam milik Inyiak Mudo.
‘Dasar Tua Bangka sialan!’ maki Inyiak Gadih di dalam hati. ‘Aku tidak akan membiarkan hanya kau saja yang menurunkan kesaktianmu pada anak ini! Tidak akan, Akhirali! Kesaktianku jauh lebih tinggi darimu.’
Inyiak Gadih duduk bersila di dalam kolam itu. “Mari, Anakku,” pintanya. “Duduklah di pangkuanku!”
Gadis kecil menurut saja, ia duduk di pangkuan Inyiak Gadih dengan membelakanginya.
Dari arah belakang itu, Inyiak Gadih menempelkan telapak tangan kanannya ke punggung si gadis kecil. Sementara dengan tangan kirinya, ia seperti mencengkeram bagian belakang kepala si gadis kecil, tentu dengan segala kelembutan yang ia punya.
Dengan tangan kanannya ia menyalurkan hawa panas ke dalam tubuh Puti Bungo Satangkai, dengan tangan kirinya pula ia mencoba meraba bagian yang hilang dari bocah lima tahun tersebut.
Selama Inyiak Gadih melakukan sesuatu terhadap Puti Bungo Satangkai, selama itu pula Inyiak Mudo terlihat tenang-tenang saja. Ia duduk menunggu di depan mulut goa, bagian dalam goa telah ia bersihkan beberapa saat yang lalu.
Lagi pula, sejatinya ia tahu apa yang sedang dilakukan istrinya tersebut terhadap anak lima tahun itu. Ia tidak keberatan sama sekali. Selama tujuan sang istri adalah demi kebaikan Puti Bungo Satangkai, ia tidak perlu mempersoalkannya.
Jadi, ketika Inyiak Gadih muncul kembali di goa itu bersama si gadis kecil dalam gendongannya, Inyiak Mudo hanya tersenyum saja menanggapi.
“Dia kelelahan,” ujar Inyiak Gadih yang bahkan seolah seperti seorang sedang berbisik. “Biar kubaringkan dia terlebih dahulu di dalam.”
Inyiak Mudo mengangguk saja saat sang istri membawa gadis kecil ke dalam goa. Dan tidak lama kemudian sang istri kembali muncul menghampirinya, duduk di satu bongkahan batu, saling berhadapan.
“Kau melakukan kecurangan, Akhirali!”
Sebelah alis yang hampir memutih di wajah Inyiak Mudo terangkat lebih tinggi.
“Yaa,” ucap Inyiak Gadih. “Kau sengaja membawa anak itu ke sini agar kita tidak bertarung.”
Inyiak Mudo terkekeh-kekeh. Memang itulah tujuannya. ‘Suami mana yang tega menyakiti istrinya sendiri?’ pikirnya. ‘Tidak pula denganku.’
Lagi pula, ia telah melakukan hal yang benar. Andai ia meninggalkan Puti Bungo Satangkai bersendirian saja di pulau itu, siapa yang bisa menjamin keselamatannya? Bisa saja gadis kecil itu bermain ombak di pantai lalu tenggelam, terseret ke tengah laut. Bukankah ini sesuatu yang bahaya?
“Aku tidak mungkin meninggalkan dia seorang diri di pulau itu, Sabai.”
“Yah, aku tahu,” sahut Inyiak Gadih dengan bibir yang sengaja dimonyong-monyongkan. “Meskipun bagiku hal ini jelas hanyalah alasanmu saja untuk menghindari pertarungan kita. Tapi, aku memaklumi untuk kali ini.”
“Terima kasih,” Inyiak Mudo tersenyum kecil, sedapat mungkin ia tak hendak menyinggung istrinya, atau semua usahanya kali ini akan sia-sia.
***
Semenjak kehadiran Puti Bungo Satangkai di pulau di mana Inyiak Mudo tinggal, maka semenjak itu pula ia selalu bisa menghindari pertarungannya dengan Inyiak Gadih. Selalu saja ada alasan yang bisa ia kemukakan untuk menghindari pertikaiannya dengan istrinya tersebut.Pendek kata, Puti Bungo Satangkai menjadi penengah di antara Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih.Terhitung sudah tiga kali pertarungan itu dibatalkan. Yang pertama tepat ketika Puti Bungo Satangkai berusia lima tahun, lalu yang kedua ketika ia berusia lima belas tahun, dan yang ketiga ketika Puti Bungo Satangkai telah berusia 25 tahun.Usaha Inyiak Gadih untuk memulihkan kebisuan dan pendengaran telinga kiri sang gadis tidak membuahkan hasil. Puti Bungo Satangkai memang mengalami kecacatan semenjak di dalam kandungan ibunya, imbas dari terjatuhnya sang ibu ketika itu ke dasar ngarai.Tapi semua kekurangan itu bukanlah penghalang bagi Puti Bungo Satangkai untuk melakukan banyak hal sebagaimana manusia lainnya. Ia belajar menulis
“Kau tahu, Anakku,” kata Inyiak Mudo seraya menghela napas begitu dalam. “Kau sudah tidak mungkin lagi aku tahan-tahan untuk melihat dunia luar.‘Tapi, aku masih suka menemani Inyiak Mudo di sini.’“Aku tahu,” Inyiak Mudo tersenyum. “Terima kasih, dalam masa tiga puluh tahun ini kau telah menemaniku di sini. Kau menjadi penengah kemelut di antara aku dan Sabai Nan Manih sehingga kami berdua tidak perlu bertarung.”‘Aku merasa tidak melakukan apa-apa.’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengangguk-angguk kecil. “Kau tahu, ada sebagian orang yang patut mendapat pujian, namun lebih banyak lagi yang tidak meski sudah berusaha dengan segala cara. Kau gadis yang baik, Anakku. Kuharap, kelak kau tetaplah berpendirian seperti sekarang ini. Jangan biarkan buruknya dunia mengelabuimu.”‘Terima kasih, Inyiak. Aku pasti akan mengingat nasihat Inyiak.’“Kau harus ingat satu hal lagi, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Aku memberitahukan tentang ibumu bukan berarti aku memintamu untuk mencari penyebab semua perka
“Bungo, pergilah…!” ucap Inyiak Mudo tanpa berpaling sedikitpun kepada Puti Bungo Satangkai.Tapi sang gadis tak hendak beranjak dari sana. Bagaimanapun, ia melihat hal berbeda pada Inyiak Gadih yang masih berada jauh di depan sana, di atas sampan yang melaju sangat cepat.‘Itukah aura asli dari Inyiak Gadih?’ tanya sang gadis di dalam hati.Selama ini, Puti Bungo Satangkai tidak sekalipun melihat perubahan pada Sabai Nan Manih. Perjanjian perkelahian wanita sepuh itu dengan sang suami selalu tidak terjadi selama adanya Puti Bungo Satangkai.Lalu, apa yang membawa Inyiak Gadih mendatangi Pulau Sinaka ini? Bukankah perjanjian itu sendiri sekali dalam sepuluh tahun, dan itu terhitung masih ada lima tahun lagi? Lagi pula, bila memang mereka akan bertarung, bukankah selalu Inyiak Mudo yang datang ke Bukik Siriah?Apa pun penjelasan di balik kemunculan Sabai Nan Manih ke pulau itu, yang pasti, itu bukanlah sesuatu yang baik. Puti Bungo Satangkai dapat merasakan hawa panas yang luar biasa b
Sayangnya seribu kali disayang, Sabai Nan Manih pulih dengan membawa kepribadian lain yang muncul di dalam dirinya. Dan semenjak itulah, pertarungan selalu terjadi di antara keduanya. Sampai suatu ketika, Inyiak Mudo berhasil merayu istrinya agar mereka bertemu sekali dalam sepuluh tahun.Dengan alasan untuk saling memperkuat kesaktian masing-masing, lalu mengadu kesaktian itu pada penghujung di setiap sepuluh tahun.Dan sepertinya, untuk kali ini, Puti Bungo Satangkai tidak akan mungkin bisa mencegah pertempuran keduanya seperti di tahun-tahun sebelumnya.Kali ini semua harus berakhir di sini, pikir Inyiak Mudo. Mungkin, inilah alasannya mengapa dalam seminggu ini ia selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya. Alasan yang sama mengapa ia mengatakan bahwa kematiannya sudah semakin dekat kepada Puti Bungo Satangkai sebelumnya.Angin kencang membawa hawa panas seiring semakin dekatnya Sabai Nan Manih ke tepian pantai. Hanya belasan langkah lagi saja, ia melontarkan tubuhnya lebih tin
Setiap kali keduanya berpindah tempat dalam perkelahian mereka, setiap kali itu pula Puti Bungo Satangkai mengikuti. Tujuannya hanya satu, mengamati setiap gerakan kedua sesepuh itu agar kemampuan dan kesaktian yang telah ia warisi bisa mencapai tahap seperti keduanya.Permukaan air laut di sekitar mereka membuncah seiring pergerakan silat keduanya, seolah-olah permukaan air adalah sesuatu yang padat bagi kaki-kaki mereka sehingga dengan mudahnya mereka bergerak bebas dalam melakukan serangan demi serangan.Pertarungan di antara pasangan suami-istri itu terus terjadi, dari pagi hingga rembang petang. Dan selama itu pula Puti Bungo Satangkai setia mengawasi keduanya.Tidak ada keletihan yang terlihat oleh sang dara pada kedua sesepuh tersebut, tidak pula masing-masing mau mengalah—setidaknya, menghentikan pertarungan itu sendiri. Atau mungkin beristirahat barang sejenak sebelum melanjutkan pertarungan mengingat keduanya sudah bertarung lebih dari setengah hari.Ada kalanya Puti Bungo S
Sang dara ingin protes pada kedua sesepuh itu yang menjadikan tubuhnya sebagai sarana dalam mereka mengadu kesaktian. Hanya saja, ia yang bisu menyebabkan suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa ha-hu ha-hu saja. Sementara, ia seolah kehilangan kendali atas kedua tangannya sendiri.“Tenangkan dirimu!” ucap Inyiak Mudo terhadap Puti Bungo Satangkai. “Kosongkan pikiran. Jangan memikirkan tentang apa pun, Bungo!”Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Inyiak Mudo, ia lantas menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh sang dara dengan kekuatan penuh. Dan hal tersebut bersamaan dengan Sabai Nan Manih yang juga melakukan hal yang sama dengan Inyiak Mudo.Dalam keadaan tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba terseret menjadi sarana bagi kedua sesepuh itu, Puti Bungo Satangkai dengan cepat melakukan apa yang dikatakan oleh Inyiak Mudo, meskipun harus dengan sedikit kesulitan.Sang gadis mengernyit hebat dengan mata terpejam, hanya dalam hitungan detik keringat sebesar bulir-bulir padi telah muncul
Sang dara membuka mata setelah ia menenangkan diri dan menenangkan dua tenaga dalam yang sebelumnya berkecamuk di dalam dirinya. Ia menemukan bahwa Inyiak Mudo sedang menatap kepada Inyiak Gadih, pun begitu sebaliknya.“Sabai, istriku…” ucap Inyiak Mudo dengan begitu lirih dan lelehan darah dari sudut bibir, juga dari dua lubang hidung.“Suamiku…” sahut Inyiak Gadih dengan kondisi nyaris serupa.Dan detik selanjutnya, kedua sesepuh itu sama hening dengan kepala terkulai, menekuk. Namun yang pasti, Puti Bungo Satangkai sama menemukan satu senyuman di bibir kedua sesepuh tersebut.Ia segera bangkit, dan mendekati Inyiak Gadih, mencoba mencari tahu apakah wanita sepuh itu hanya pingsan saja, atau justru telah meninggal dunia.Meskipun tubuh wanita sepuh itu masih terasa hangat bagi Puti Bungo Satangkai, namun ia tidak menemukan denyut kehidupan pada nadi di pergelangan tangannya, tidak pula di lehernya. Sang dara memastikan sekali lagi dengan mencoba merasakan embusan napas di sekitar lu
Diilhami oleh pertarungan Inyiak Mudo dengan Inyiak Gadih, dan perkelahian yang saling melilit kedua belut moray itu, Puti Bungo Satangkai menggabungkan beberapa unsur dari empat jenis kesaktian yang telah ia kuasai.Selama tujuh purnama ke depan, hal baru itulah yang coba dikembangkan dan dikuasai oleh sang dara.Puti Bungo Satangkai mungkin tidak akan pernah tahu siapa orang tuanya, namun, sebagaimana dengan kakak laki-lakinya yang juga tidak pernah ia ketahui ada—Buyung Kacinduan alias Mantiko Sati, sang dara juga mewarisi kejeniusan ayahnya—Sialang Babega. Juga, kecantikan dari ibunya, Zuraya. Ditambah, bekal yang sudah ditunjukajarkan oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih selama ini, jadilah sang dara berhasil menciptakan kesaktian yang benar-benar baru.Gerakan-gerakan tubuh sang gadis dalam rentak jurus silatnya itu terlihat seperti seorang yang sedang menari dengan gemulai, tiada kesan kekerasan sama sekali dalam gerakannya itu. Hanya saja, setiap gerakan tangan, kaki, bahkan sepa