Share

Takdir Pertemuan

Teph!

Telapak Inyiak Gadih beradu kencang dengan tinju Inyiak Mudo, dan tertahan untuk beberapa saat di udara, tubuh keduanya juga ikut mengambang di antara dorongan dua tenaga dalam yang saling bertolak belakang.

Jika Inyiak Gadih dengan Telapak Penghancur Raga-nya yang memiliki jenis tenaga dalam yang berinti panas, Inyiak Mudo pula memiliki inti tenaga dalam yang sangat dingin dengan Tinju Penghancur Sukma-nya.

Inyiak Mudo mengumbar senyum. “Aku memang tidak berniat menandingimu, Sabai. Kau pasti tahu perasaanku padamu masihlah tetap sama.”

“Tutup mulutmu, Tua Bangka!” Inyiak Gadih melipat gandakan tenaganya.

Bahkan Inyiak Mudo tetap saja tersenyum meski tinjunya yang menahan telapak sang istri berdengung kencang. Suara berdengung akibat dari bergeseknya dua tenaga dalam mereka.

Inyiak Mudo tahu pasti, sisi lain dari istrinya itulah yang membuat ia bersedih hati, yang membuat mereka harus terpisah. Inyiak Gadih seolah memiliki kepribadian ganda semenjak kematian putri mereka satu-satunya, berpuluh-puluh tahun yang silam.

Mereka terus bertarung hingga sang surya telah berada di sepertiga terakhirnya, di ufuk barat. Dan sampai sejauh itu, tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah meski sesungguhnya, Inyiak Mudo tidak melayani serangan-serangan sang istri dengan kekuatan penuh. Dalam hal ini, Inyiak Mudo selalu saja mengalah.

Inyiak Mudo telah berlaku demikian semenjak dimulainya pertikaian mereka untuk pertama kalinya. Satu-satunya alasan mengapa ia masih mau meladeni sang istri dengan mendatangi kediamannya di Bukik Siriah ini, tidak lain karena kerinduannya sendiri terhadap sang istri. Melihat dan menyaksikan bahwa sang istri baik-baik saja, itu sudah lebih daripada cukup bagi Inyiak Mudo.

Sampai pada satu kesempatan, ketika Inyiak Gadih melancarkan dua serangan telapak sekaligus dan Inyiak Mudo pula melesatkan dua tinjunya demi meredam kedahsyatan serangan sang istri, Inyiak Mudo melihat celah untuk mengakhiri perkelahian mereka.

Teph—teph!

Dua telapak beradu kencang dengan dua tinju. Bersamaan dengan itu, Inyiak Mudo melepas satu kesaktian yang tidak dimiliki oleh istrinya. Kabut tipis membersit dari kepalan tangan Inyiak Mudo, dengan cepat menutupi pandangan Inyiak Gadih.

Inyiak Gadih sadar akan hal tersebut, “Kabut Kahyangan!” tapi gerakannya kalah cepat oleh sang suami.

“Maafkan aku, Sayang,” bisik Inyiak Mudo yang tahu-tahu telah berada di belakang sang istri.

Tesk!

Inyiak Gadih melenguh pendek ketika sang suami menjatuhkan satu totokan di pangkal lehernya. Bersamaan dengan itu ia jatuh, namun tentu saja Inyiak Mudo tidak membiarkan hal itu terjadi.

Dengan sigap Inyiak Mudo menangkap dan menggendong sang istri hingga kedua kakinya menginjak tanah.

Inyiak Mudo tersenyum menatap ke dalam mata sang istri yang justru terlihat begitu sinis kepadanya.

“Maafkan aku,” ujar Inyiak Mudo seraya membawa sang istri kembali ke dalam goanya. “Sesuai perjanjian, aku akan bertarung dengan lebih serius di waktu yang telah kita tentukan, Sayang.”

Setelah membaringkan sang istri di atas ranjang batu yang juga ada di dalam goa tersebut, Inyiak Mudo menyempatkan untuk membelai wajah sang istri.

“Aku akan mengunjungimu lagi,” katanya, “di lima tahun mendatang. Dan selama itu, tetaplah hidup. Tunggu aku di sini.”

Inyiak Mudo mengecup kening sang istri sebelum akhirnya pergi dari sana. Sesaat ia berdiri mematung di mulut goa, menghela napas dalam-dalam. Dan dalam satu kali gerakan saja, tubuh itu telah berada jauh di arah selatan.

***

Malam ini jauh lebih gelap dibanding malam kemarin, Inyiak Mudo memutuskan untuk turun saja ke lembah Ngarai Sianok dengan perhitungan akan lebih aman melewati jalur itu di malam hari. Tidak akan ada manusia yang mau berkeliaran malam di lembah itu kecuali hanya satu, penunggu lembah itu sendiri, Harimau Putih Bermata Biru yang disakralkan oleh penduduk setempat.

Lagi pula, Inyiak Mudo merasa haus. Air sungai di dasar lembah yang bening lagi sejuk itu pasti dapat menghilangkan dahaganya.

“Aah, sial!” gumamnya seraya mendekati tubir ngarai. “Seharusnya aku menyempatkan diri untuk minum terlebih dahulu di goa itu.” Sejenak, ia memerhatikan kondisi hutan di seberang ngarai, sisi timur.

Ia melihat rona kemerah-merahan di satu titik. Mungkin sedang terjadi kebakaran pada salah satu rumah penduduk, pikirnya.

Dengan sangat ringan, Inyiak Mudo turun dan menjejakkan kakinya di dasar lembah, bagian utara. Tidak ada yang harus ia takutkan di sana, kalaupun nanti harus bertemu dengan Inyiak Tuo Bamato Biru itu, mungkin itu adalah hal yang bagus, pikirnya. Sekalian saja, dijadikan sahabat.

Setelah melepas dahaganya di salah satu titik di tepian sungai itu, Inyiak Mudo kembali melanjutkan langkahnya. Ia melesat mengikuti aliran sungai, menuju ke arah selatan.

Laksana angin, Inyak Mudo begitu santainya melesat sekitar satu tombak di atas permukaan sungai. Rambut dan jenggotnya riap-riapan seiring laju tubuhnya itu. Ia seolah mendengar suara sesuatu yang jatuh dengan begitu keras ke dasar lembah.

Hanya saja, Inyiak Mudo berpikiran bahwa itu mungkin saja suara buah kelapa yang jatuh dari tampuknya, atau bisa pula buah nangka yang telah ranum. Apa pun itu, ia tidak terlalu menggubris hal tersebut.

Sampai pada satu kesempatan…

Inyiak Mudo mengernyitkan dahinya. Meski kondisi lembah sangatlah gelap, namun dengan mata tuanya itu ia masih mampu melihat dengan lebih baik.

‘Seorang wanita?’ gumamnya di hati dan ia menghentikan larinya.

Tubuh itu tiba-tiba berjumpalitan dengan begitu entengnya ke seberang sungai sisi barat, lalu mendarat dengan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Tatapannya kini tertuju pada gerakan yang sangat-sangat mustahil untuk bisa dilihat oleh mata manusia biasa di tengah kegelapan seperti sekarang ini.

‘Oh, para Dewata…’ gumam Inyiak Mudo di dalam hati demi melihat sesuatu di depan matanya. ‘Apa yang telah terjadi pada wanita muda ini? Dan dia, sedang hamil besar!’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status