Share

Suami-istri yang Selalu Berseteru

“Apa kau tidak bisa menunggu sampai hari pertemuan kita?” ujar Sabai Nan Manih. “Kita sudah berjanji hanya akan bertemu sekali dalam sepuluh tahun, Akhirali.”

“Aku tahu, Sabai. Aku tahu,” kata Inyiak Mudo. “Hanya saja, sudah beberapa hari ini sesuatu mengganggu semadiku.”

“Apa yang kau maksudkan itu?”

“Entahlah,” kata Inyiak Mudo. “Seperti suara-suara halus yang terus mengiang di dalam pikiranku. Terkadang, seperti suara bayi yang menangis. Tapi, ada yang aneh dengan bayi itu yang aku sendiri sukar untuk menjelaskannya. Juga, suara rintihan kematian seorang wanita muda.”

“Aneh sekali!” gumam Inyiak Gadih. “Selama ini, kau tidak pernah bercerita bahwa semadimu bisa terganggu?”

“Itulah yang hendak aku ketahui sekarang ini,” Inyiak Mudo menghela napas dalam-dalam. “Bahkan, saat aku tidur pun aku berasian, memimpikan hal yang sama pula. Tapi, tetap saja semuanya samar. Suara siapa? Bayi siapa? Atau wanita yang mana satu? Semua tidak bisa kuingat dengan jelas.”

“Oh, Dewa Yang Bijaksana,” Inyiak Gadih menyeringai halus sembari menggeleng kecil. “Jadi, hanya karena kau berasian dan kau sengaja datang mengganggu semadiku?”

“Ayolah, Sabai!” Inyiak Mudo tersenyum-senyum. “Hanya kau seorang yang dapat menolongku dalam hal ini.”

“Jadi itu yang kau pikirkan?”

“Hei, bukankah kau selalu tepat dalam mengamati sesuatu?”

“Apakah itu sebuah pujian, Akhirali?” meski enggan, namun ada sedikit senyuman di sudut bibir Inyiak Gadih. “Kau tahu, kau sangat jarang memujiku, bukan?”

“Hmm, kali ini pengecualian.”

“Oh, Dewa…” lagi, Inyiak Gadih menggeleng-geleng kecil. “Dasar laki-laki! Selalu saja ada sesuatu di balik yang diberi.”

“Kumohon!”

“Baiklah, baiklah,” Inyiak Gadih akhirnya turun dari batu itu. “Kita bicara di luar saja.”

Begitu berdiri, terlihatlah bahwa sesungguhnya Inyiak Gadih memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Inyiak Mudo. Bahkan Inyiak Mudo hanya setinggi dada wanita sepuh itu saja.

Di luar goa. Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih duduk saling berhadapan, masing-masing di atas sebuah bongkahan batu besar, dipisah sebuah meja yang merupakan potongan tebal sebuah batang pohon yang cukup lebar.

Di atas meja itu, terdapat sebuah piring tembikar yang terlihat sudah berdebu pertanda telah lama tidak digunakan oleh Inyiak Gadih. Dan dua buah cangkir tembikar yang berisi air minum untuk keduanya.

Air minum itu didapat dari sebuah pancuran bambu tua yang ada di sisi kanan dari mulut goa. Air dari pancuran bambu itu mengalir pelan dan kecil saja, ditampung sebuah gentong tembikar berukuran sedang. Air itu merupakan air yang didapat dari sumber mata air di Bukik Siriah itu sendiri.

“Jadi,” ujar Inyiak Mudo, “dapatkah kau memberi tahu padaku, Sabai, apakah arti dari rasianku itu?”

Inyiak Gadih menghela napas dalam-dalam, tatapannya terlihat begitu terpusat pada satu titik.

“Kurasa,” ujar Inyiak Gadih, “ini pasti ada hubungannya dengan kekacauan yang akan mengguncang singgasana Minanga.”

“Jadi,” bola mata Inyiak Mudo membesar menatap wajah di hadapannya itu. “Kau juga mendapat rasian yang sama?”

“Kurang lebih,” ucap Inyiak Gadih. “Beberapa tahun ke depan, aku mendapat penglihatan bahwa akan ada banyak nyawa yang melayang, dan semua terhubung dengan Kerajaan Minanga itu sendiri.”

“Katakan padaku,” Inyiak Mudo tiba-tiba merasakan bahwa seluruh bulu-bulu halus di tubuhnya seolah merangkak dengan cepat. “Apa yang sesungguhnya akan terjadi pada kerajaan itu? Dan, apa hubungannya dengan rasian yang aku alami?”

“Suara tangis bayi yang aneh, rintihan kematian seorang wanita muda, hemm…” Inyiak Gadih mengusap-usap dagunya seraya berpikir keras tentang makna mimpi yang dialami oleh Inyiak Mudo.

Sementara Inyiak Gadih sedang memikirkan makna mimpi itu, Inyiak Mudo pula memerhatikan wajah wanita sepuh itu sembari menyembunyikan senyumannya. Bagaimanapun, mereka berdua adalah pasangan suami-istri yang dengan satu dan lain hal harus memutuskan untuk hidup saling terpisah jauh, dan baru bisa bertemu sekali dalam sepuluh tahun.

Dan pertemuan sekali dalam sepuluh tahun itu bukanlah pertemuan yang biasa-biasa saja, atau saling merajut kasih. Tidak sama sekali.

Pertemuan sekali dalam sepuluh tahun itu adalah sebuah perjanjian pertarungan yang harus mereka lalui. Pertarungan yang bahkan bisa merenggut nyawa masing-masing.

“Bagaimana, Sabai?”

“Aku memang melihat seorang bayi,” kata Inyiak Gadih. “Bayi perempuan yang—entahlah! Kurasa, bayi itu terpaksa lahir sebelum waktunya.”

“Bagaimana dengan rintihan kematian wanita muda itu?”

“Ibu kandung dari bayi itu sendiri.”

“Begitu, ya?” Inyiak Mudo mendesah berat dan panjang seraya mengusap-usap jenggotnya yang panjang sedada. “Lalu, kaitannya dengan Kerajaan Minanga?”

“Aku tidak bisa melihat dengan pasti,” ungkap Inyiak Gadih. “Hanya saja, sepertinya terkait sebuah kepingan tembikar berukir. Kepingan itu bagian dari tujuh kepingan utuh yang sengaja dipisah-pisah demi tujuan tertentu.”

“Biar kutebak,” kata Inyiak Mudo, “Kerajaan Minanga lah yang memisahkan kepingan-kepingan itu?”

“Yeah, itu yang aku lihat.”

“Jika itu yang kau maksud,” kata Inyiak Mudo, “sepertinya aku tahu tentang kepingan itu.”

“Yah, cukup mudah ditebak,” kata Inyiak Gadih. “Kepingan dari ukiran Teratai Abadi.”

“Menyedihkan,” Inyiak Mudo menundukkan pandangannya disertai dengan embusan napas yang terdengar begitu mengutuk keadaan di Tanah Andalas ini.  “Hanya karena legenda kuno itu, nyawa manusia hanya akan menjadi sia-sia.”

“Apa yang kau katakan, hah?!”

Inyiak Mudo sadar, bahwa kini sosok istrinya itu telah memperlihatkan sifatnya yang lain. Dan itu bukanlah sebuah pertanda yang baik.

“Bukankah kau juga sama?!”

“Sabai?” panggilnya seraya melompat dengan ringan menjauhi meja tersebut. “Belum saatnya kita bertarung!”

“Oh, ya?”

Brakkh!

Meja kayu itu hancur berkeping-keping terkena pukulan telapak dari Inyiak Gadih.

Inyiak Mudo sampai terbelalak. Terlambat sedikit saja, tubuhnya pasti akan hancur seperti meja kayu itu, dihantam Telapak Penghancur Raga.

Selagi tubuh Inyiak Mudo melayang ke belakang itu, Inyiak Gadih pun langsung melesat, sepersekian detik setelah ia menghancurkan meja kayu.

“Kau bahkan hendak langsung membunuhku, Sabai!”

“Tentu saja!” ucap Inyiak Gadih. Tubuhnya yang jangkung begitu ringan dalam gerakannya mengejar Inyiak Mudo. “Kembalikan anakku…!”

Satu telapak lagi menerjang ke arah Inyiak Mudo.

“Bukankah aku sudah berkali-kali meminta maaf padamu?”

Inyiak Mudo yang masih dalam posisi melayang itu pun menghantamkan satu tangannya demi menyongsong jurus Telapak Penghancur Raga sang istri.

“Lagi pula, anak itu juga anakku!”

“Cih!” Inyiak Gadih mendengus kencang. “Tinju Penghancur Sukma milikmu tidak akan bisa menandingiku, Akhirali…!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rasti
apakah novel ini ada cerita yg melatarinya thor?seperti cerita rakyat.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status