Home / Pendekar / Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi / Suami-istri yang Selalu Berseteru

Share

Suami-istri yang Selalu Berseteru

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2022-05-08 16:15:15

“Apa kau tidak bisa menunggu sampai hari pertemuan kita?” ujar Sabai Nan Manih. “Kita sudah berjanji hanya akan bertemu sekali dalam sepuluh tahun, Akhirali.”

“Aku tahu, Sabai. Aku tahu,” kata Inyiak Mudo. “Hanya saja, sudah beberapa hari ini sesuatu mengganggu semadiku.”

“Apa yang kau maksudkan itu?”

“Entahlah,” kata Inyiak Mudo. “Seperti suara-suara halus yang terus mengiang di dalam pikiranku. Terkadang, seperti suara bayi yang menangis. Tapi, ada yang aneh dengan bayi itu yang aku sendiri sukar untuk menjelaskannya. Juga, suara rintihan kematian seorang wanita muda.”

“Aneh sekali!” gumam Inyiak Gadih. “Selama ini, kau tidak pernah bercerita bahwa semadimu bisa terganggu?”

“Itulah yang hendak aku ketahui sekarang ini,” Inyiak Mudo menghela napas dalam-dalam. “Bahkan, saat aku tidur pun aku berasian, memimpikan hal yang sama pula. Tapi, tetap saja semuanya samar. Suara siapa? Bayi siapa? Atau wanita yang mana satu? Semua tidak bisa kuingat dengan jelas.”

“Oh, Dewa Yang Bijaksana,” Inyiak Gadih menyeringai halus sembari menggeleng kecil. “Jadi, hanya karena kau berasian dan kau sengaja datang mengganggu semadiku?”

“Ayolah, Sabai!” Inyiak Mudo tersenyum-senyum. “Hanya kau seorang yang dapat menolongku dalam hal ini.”

“Jadi itu yang kau pikirkan?”

“Hei, bukankah kau selalu tepat dalam mengamati sesuatu?”

“Apakah itu sebuah pujian, Akhirali?” meski enggan, namun ada sedikit senyuman di sudut bibir Inyiak Gadih. “Kau tahu, kau sangat jarang memujiku, bukan?”

“Hmm, kali ini pengecualian.”

“Oh, Dewa…” lagi, Inyiak Gadih menggeleng-geleng kecil. “Dasar laki-laki! Selalu saja ada sesuatu di balik yang diberi.”

“Kumohon!”

“Baiklah, baiklah,” Inyiak Gadih akhirnya turun dari batu itu. “Kita bicara di luar saja.”

Begitu berdiri, terlihatlah bahwa sesungguhnya Inyiak Gadih memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Inyiak Mudo. Bahkan Inyiak Mudo hanya setinggi dada wanita sepuh itu saja.

Di luar goa. Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih duduk saling berhadapan, masing-masing di atas sebuah bongkahan batu besar, dipisah sebuah meja yang merupakan potongan tebal sebuah batang pohon yang cukup lebar.

Di atas meja itu, terdapat sebuah piring tembikar yang terlihat sudah berdebu pertanda telah lama tidak digunakan oleh Inyiak Gadih. Dan dua buah cangkir tembikar yang berisi air minum untuk keduanya.

Air minum itu didapat dari sebuah pancuran bambu tua yang ada di sisi kanan dari mulut goa. Air dari pancuran bambu itu mengalir pelan dan kecil saja, ditampung sebuah gentong tembikar berukuran sedang. Air itu merupakan air yang didapat dari sumber mata air di Bukik Siriah itu sendiri.

“Jadi,” ujar Inyiak Mudo, “dapatkah kau memberi tahu padaku, Sabai, apakah arti dari rasianku itu?”

Inyiak Gadih menghela napas dalam-dalam, tatapannya terlihat begitu terpusat pada satu titik.

“Kurasa,” ujar Inyiak Gadih, “ini pasti ada hubungannya dengan kekacauan yang akan mengguncang singgasana Minanga.”

“Jadi,” bola mata Inyiak Mudo membesar menatap wajah di hadapannya itu. “Kau juga mendapat rasian yang sama?”

“Kurang lebih,” ucap Inyiak Gadih. “Beberapa tahun ke depan, aku mendapat penglihatan bahwa akan ada banyak nyawa yang melayang, dan semua terhubung dengan Kerajaan Minanga itu sendiri.”

“Katakan padaku,” Inyiak Mudo tiba-tiba merasakan bahwa seluruh bulu-bulu halus di tubuhnya seolah merangkak dengan cepat. “Apa yang sesungguhnya akan terjadi pada kerajaan itu? Dan, apa hubungannya dengan rasian yang aku alami?”

“Suara tangis bayi yang aneh, rintihan kematian seorang wanita muda, hemm…” Inyiak Gadih mengusap-usap dagunya seraya berpikir keras tentang makna mimpi yang dialami oleh Inyiak Mudo.

Sementara Inyiak Gadih sedang memikirkan makna mimpi itu, Inyiak Mudo pula memerhatikan wajah wanita sepuh itu sembari menyembunyikan senyumannya. Bagaimanapun, mereka berdua adalah pasangan suami-istri yang dengan satu dan lain hal harus memutuskan untuk hidup saling terpisah jauh, dan baru bisa bertemu sekali dalam sepuluh tahun.

Dan pertemuan sekali dalam sepuluh tahun itu bukanlah pertemuan yang biasa-biasa saja, atau saling merajut kasih. Tidak sama sekali.

Pertemuan sekali dalam sepuluh tahun itu adalah sebuah perjanjian pertarungan yang harus mereka lalui. Pertarungan yang bahkan bisa merenggut nyawa masing-masing.

“Bagaimana, Sabai?”

“Aku memang melihat seorang bayi,” kata Inyiak Gadih. “Bayi perempuan yang—entahlah! Kurasa, bayi itu terpaksa lahir sebelum waktunya.”

“Bagaimana dengan rintihan kematian wanita muda itu?”

“Ibu kandung dari bayi itu sendiri.”

“Begitu, ya?” Inyiak Mudo mendesah berat dan panjang seraya mengusap-usap jenggotnya yang panjang sedada. “Lalu, kaitannya dengan Kerajaan Minanga?”

“Aku tidak bisa melihat dengan pasti,” ungkap Inyiak Gadih. “Hanya saja, sepertinya terkait sebuah kepingan tembikar berukir. Kepingan itu bagian dari tujuh kepingan utuh yang sengaja dipisah-pisah demi tujuan tertentu.”

“Biar kutebak,” kata Inyiak Mudo, “Kerajaan Minanga lah yang memisahkan kepingan-kepingan itu?”

“Yeah, itu yang aku lihat.”

“Jika itu yang kau maksud,” kata Inyiak Mudo, “sepertinya aku tahu tentang kepingan itu.”

“Yah, cukup mudah ditebak,” kata Inyiak Gadih. “Kepingan dari ukiran Teratai Abadi.”

“Menyedihkan,” Inyiak Mudo menundukkan pandangannya disertai dengan embusan napas yang terdengar begitu mengutuk keadaan di Tanah Andalas ini.  “Hanya karena legenda kuno itu, nyawa manusia hanya akan menjadi sia-sia.”

“Apa yang kau katakan, hah?!”

Inyiak Mudo sadar, bahwa kini sosok istrinya itu telah memperlihatkan sifatnya yang lain. Dan itu bukanlah sebuah pertanda yang baik.

“Bukankah kau juga sama?!”

“Sabai?” panggilnya seraya melompat dengan ringan menjauhi meja tersebut. “Belum saatnya kita bertarung!”

“Oh, ya?”

Brakkh!

Meja kayu itu hancur berkeping-keping terkena pukulan telapak dari Inyiak Gadih.

Inyiak Mudo sampai terbelalak. Terlambat sedikit saja, tubuhnya pasti akan hancur seperti meja kayu itu, dihantam Telapak Penghancur Raga.

Selagi tubuh Inyiak Mudo melayang ke belakang itu, Inyiak Gadih pun langsung melesat, sepersekian detik setelah ia menghancurkan meja kayu.

“Kau bahkan hendak langsung membunuhku, Sabai!”

“Tentu saja!” ucap Inyiak Gadih. Tubuhnya yang jangkung begitu ringan dalam gerakannya mengejar Inyiak Mudo. “Kembalikan anakku…!”

Satu telapak lagi menerjang ke arah Inyiak Mudo.

“Bukankah aku sudah berkali-kali meminta maaf padamu?”

Inyiak Mudo yang masih dalam posisi melayang itu pun menghantamkan satu tangannya demi menyongsong jurus Telapak Penghancur Raga sang istri.

“Lagi pula, anak itu juga anakku!”

“Cih!” Inyiak Gadih mendengus kencang. “Tinju Penghancur Sukma milikmu tidak akan bisa menandingiku, Akhirali…!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rasti
apakah novel ini ada cerita yg melatarinya thor?seperti cerita rakyat.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status