Share

Takdir Anak Manusia

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2022-05-08 16:32:21

“T—Tolong…”

Wanita muda yang tengah hamil besar itu tidak lain adalah Zuraya yang beberapa saat yang lalu telah diperkosa oleh Darna Dalun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melompat ke lembah ngarai.

Kondisinya sangatlah mengenaskan. Kedua kakinya patah, begitu juga dengan satu tangannya sementara tangannya yang lain terjulur ke arah Inyiak Mudo.

Dari kondisi pernapasannya yang sepertinya tersumbat oleh genangan darah di hidung yang patah, dan di mulut dengan bibir yang pecah, Inyiak Mudo tahu pasti bahwa Zuraya sedang berada di ujung kematiannya.

Darah juga terlihat mengalir dari selangkangan wanita muda yang adalah istri dari seorang Wali Jorong bernama Sialang Babega.

Tentu saja, mata manusia biasa tidak akan mampu melihat semua itu di tengah kegelapan malam. Tapi tidak bagi si orang tua sakti tersebut.

“I—Inyiak…” dengan napas yang hanya tersisa satu-satu, Zuraya yang tidak yakin apakah seseorang yang sedang berdiri di hadapannya itu adalah manusia ataupun jin penunggu lembah ini. Tapi, ia menggantungkan harapannya di akhir kehidupannya sendiri. “An—Anakku, tolong…”

Hanya itu, dan tangan yang terjulur terhempas ke tanah seiring nyawa wanita tersebut lepas dari raganya.

‘Mengapa manusia begitu lemah?’ gumam Inyiak Mudo di dalam hati seraya mendekati tubuh yang telah kehilangan nyawanya itu. ‘Mengapa manusia suka menindas terhadap manusia lainnya?’

Saat Inyiak Mudo berjongkok dan menyentuh perut besar wanita tersebut. Ia terperangah.

“Sungguh tidak bisa diduga sama sekali,” gumamnya kepada mayat Zuraya. “Bayi di dalam kandunganmu ternyata masih hidup. Bayi di dalam perutmu inikah yang kau sebutkan tadi?”

Tentu saja, tidak akan ada jawaban dari Zuraya yang telah kehilangan nyawanya itu.

Lalu, Inyiak Mudo teringat akan rasiannya, mimpi dan bisikan-bisikan halus yang mengganggu semadi serta tidurnya. Juga, tentang ucapan Inyiak Gadih sebelumnya itu. Semua, berkaitan satu sama lain.

Kembali Inyiak Mudo meletakkan telapak tangannya di perut Zuraya. Meski masih di dalam kandungannya, namun Inyiak Mudo sudah bisa menebak dengan tepat jenis kelamin bayi Zuraya tersebut.

“Mungkin ini sudah menjadi takdirmu…” ujarnya dengan disertai desahan napas yang halus dan panjang.

Sekejap saja, telapak tangan yang menempel di perut buncit Zuraya itu memancarkan cahaya kemilau kekuningan. Seolah kembali hidup, kedua kaki Zuraya yang patah itu membuka lebih lebar, dan seiring itu pula perut yang besar itu seolah mendapat tekanan dari dalam.

Pada akhirnya, bayi di dalam kandungan Zuraya keluar dengan sendirinya. Inyiak Mudo langsung menyambut bayi tersebut.

Bayi itu bergerak-gerak dengan masih diselimuti darah, namun tidak terdengar suara tangisan meski mulut sang bayi terlihat terbuka.

Kembali sang inyiak mendesah panjang, “Apakah ini makna rasianku terhadapmu?” ujarnya pada bayi tak bersuara di pangkuannya. “Kau menangis, namun tak banyak suara yang bisa kudengar dari mulutmu.”

Lalu, tatapannya tertuju kembali pada jasad Zuraya.

“Aku tidak tahu kehidupan seperti apa yang telah menunggu bayi perempuanmu ini… Akan tetapi, jika ini sudah takdirnya, maka, tidak ada yang bisa kulakukan selain merawat dia hingga dia bisa menjalankan takdirnya sendiri.”

Dua dari apa yang telah disampaikan Inyiak Gadih kepada Inyiak Mudo telah terbukti. Rasian itu bukanlah sekadar mimpi atau bunga tidur.

Lalu, di mana bukti ketiga?

Jika benar semua ini berkaitan dengan Kerajaan Minanga, lalu di mana lempengan tembikar dari pecahan Teratai Abadi itu?

Inyiak Mudo berdiri dan memerhatikan kondisi di sekitarnya yang gelap. Bola matanya berkilat, seakan-akan ia benar-benar dapat melihat dengan sangat jelas seperti di siang hari.

Tatapannya tertuju pada sebuah benda yang tergeletak tidak jauh dari posisi tubuh Zuraya. Inyiak Mudo mendesah halus, bukan lantaran ia yang telah menemukan bukti ketiga itu, melainkan jalan takdir di balik itu semua yang begitu menyedihkan di matanya.

Pria tua mengembangkan satu telapak tangannya ke arah benda tersebut dan seketika benda itu melayang ke dalam genggamannya.

Sebuah benda dari tembikar yang sebelumnya terjatuh secara tidak sengaja oleh Buyung Kacinduaan, merupakan abang dari bayi yang digendong oleh Inyiak Mudo, yang pada saat itu sedang bersembunyi di satu celah kecil di tebing timur Ngarai Sianok.

Pria tua yang kumis dan jenggotnya menyatu dan riap-riapan oleh angin malam yang mulai berembus kencang itu mendesah panjang ketika ia menyadari bentuk ukiran yang ada pada pecahan tembikar tersebut. Meskipun gelap, namun ia dapat merasakan guratan-guratan halus pada permukaan tembikar dengan jari-jari tangannya.

‘Benar,’ pikirnya, ‘ini adalah punca dari semua masalah yang akan terjadi!’

Inyiak Mudo mendekati jasad Zuraya. Kembali ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mendesah berat lagi, lalu menghentakkan satu tangannya ke arah jasad Zuraya. Dari telapak tangannya itu, menyembur api kebiru-biruan yang langsung membakar jasad Zuraya.

“Ini lebih baik daripada jasadmu dimakan oleh hewan buas,” ujarnya dengan lirih dan tatapan yang masygul.

Bayi di dalam gendongannya mengeliat-geliat. Lagi-lagi tidak banyak suara yang keluar dari mulut bayi perempuan itu, padahal mulutnya terbuka lebar. Seharusnya, ada tangis yang terdengar dari sana.

Inyiak Mudo mafhum. Mungkin, ini disebabkan ia yang harus terlahir sebelum waktunya. Atau, bisa pula akibat dari apa yang dialami ibunya. Ia memandang ke arah tubir jurang di sisi barat itu. Ia melihat sesuatu yang berjuntai, mungkin itu akar yang tersangkut pikirnya.

Dan ia cukup yakin bahwa ibu bayi itu sebelumnya terjatuh dari tubir jurang tersebut.

“Jangan takut,” ujarnya seraya menyentuh pipi sang bayi. “Mulai sekarang, kau akan berada di bawah perlindunganku.”

Sekali lagi, Inyiak Mudo memandangi jasad yang terbakar dengan cepat itu. Setelah itu, ia memutuskan untuk meneruskan langkahnya, dan dalam sekejap saja ia menghilang di antara kegelapan malam dengan membawa bayi perempuan Zuraya dan kepingan Teratai Abadi. Ia melesat ke arah hilir aliran sungai.

***

CATATAN:

Untuk mengetahui siapakah Zuraya, Darna Dalun, Sialang Babega, dan Buyung Kacinduaan, silakan baca prekuel novel ini yang berjudul: Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa, hanya di Goodnovel ^^.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rasti
apakah buyuang kacinduan adalah cinduamato?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status