Terima kasih untuk semua yang sudah mengikuti Niha dan Aqsal dari awal sampai ending. Sayang kalian semua. Peluk tium atu-atu. Terutama untuk kakak-kakak yang sudah meninggalkan jejak komentar, i love you. Terkhusus untuk yang mengikuti saya sejak di cerita sebelumnya, Kak Susi Hendra, sayang banyak-banyak. Maaf untuk semuanya, jika masih banyak sekali kekurangan di cerita ini. Sekali lagi, terima kasih. Insyaallah akan mengajukan cerita baru. Jangan bosan, mengikuti, ya. Huhuhu ❤️
“Lepaskan aku, Mas," pintaku kepada pria di hadapan. "Selamanya aku tidak akan melepaskanmu dari pernikahan ini! Ada simpul tak kasat mata yang sangat kuat, yang akan mengikatmu padaku selamanya. Ingat itu! Kalau kamu terus berkata seperti itu, terpaksa aku lakukan ini!" Tangannya mengayun, mendarat di kepalaku. Aku terduduk, memekik kesakitan, lantas menangis. “Atau silakan menikah lagi. Aku lebih suka dimadu," ujarku. Kali ini sangat lirih, sambil terisak. Rasa sakit tidak hanya di fisik, tetapi psikisku lebih hancur. “Selamanya hanya kau istriku! Hanya kau yang menjadi samsak dalam hidupku!" Dia kembali berteriak. “Ingat, Niha! Jangan sampai kamu lapor polisi. Kalau itu kamu lakukan, kamu tahu konsekuensinya.” Aku melirik ke arahnya. Dia tampak mengepalkan tangan dan dada terlihat naik turun. Kemudian dia berlalu, meninggalkan rasa pening di kepalaku karena hantaman tangan kekarnya barusan. Juga hati yang berdenyut sakit luar biasa. Air mataku berderai, kepala kutenggelamkan
“Lu yakin?” tanyaku. Asti tertawa. “Enggaklah. Gila apa. Ogah banget nikah sama orang sakit jiwa kayak si Aqsal itu." Kami terdiam sebelum akhirnya Asti kembali memanggil. "Ha." “Hm.” “Gue tanya sekali lagi. Yakin lu minta suami lu nikah lagi?” Aku mengangguk mantap. Biarlah, aku sudah siap dengan segala risikonya jika Mas Aqsal menikah lagi. “Setidaknya kalau dia punya istri baru, dia jadi lupa KDRT sama gue. Itu yang gue inginkan.” Segala cara sudah aku lakukan untuk lepas atau mendekatinya, tetapi semua berakhir sia-sia. "Iya kalo lupa KDRT. Kalo lebih parah? Ha, kata orang, sakit hati rasanya lebih dahsyat." "Gue nggak peduli, Ti. Biar sekalian aja gue mati kalo gitu." “Ssst, jangan bilang ngawur gitu. Ya udah, jangan nangis lagi. Ntar cantik lu luntur. Kalau luntur, pas suami lu udah nikah nanti, lu kalah cantik sama madu lu,” seloroh Asti. Aku yang awalnya menangis, kini tertawa karena leluconnya. Aku mengurai pelukan. Asti menghapus jejak basah di pipi menggunakan uj
“Terserah! Terserah apa maumu, Mas. Tapi jangan salahkan juga kalau suatu saat jika aku sudah tidak kuat, aku akan menghilang selamanya dari hidupmu.” “Silakan, silakan menghilang. Tapi selamanya kamu tidak bisa bahagia dengan pria lain karena kamu selamanya hanya istriku. Istriku! Walaupun kamu menuntut cerai, tidak akan pernah aku kabulkan.” “Oh, istri yang kamu perlakukan seperti samsak? Mas, apa sih sebenernya maumu? Kamu kasar, tapi nggak mau melepaskanku. Lalu aku harus apa? Apa aku harus mati mengenaskan di bawah tanganmu?” “Aku mau kamu menderita. Selamanya. Itu yang aku mau. Sementara aku akan bahagia dengan istri baru. Ini, kan, maumu?” Pria itu lantas tertawa keras. Kita lihat saja. Ini juga pembuktian apakah Mas Aqsal pria normal atau memang kecurigaan Mama benar adanya bahwa dia seorang ... g*y. Jika aku tidak pernah disentuh, apa istri barunya akan disentuh dan diperlakukan manis? ** Angin malam berembus dengan kencang, membuatku makin mengeratkan silangan tangan d
Setelah mengabaikan sejenak perihal Mas Aqsal, aku kembali berjalan menuju kamar Mama. Benar saja, Mama baru mau minum obat setelah aku sendiri yang memberikannya. Setelah makan dan minum obat, sekarang beliau tidur dengan nyenyak. Kupandangi wajah yang terlihat tua dari usianya itu. Wanita ini tulus menyayangiku sejak pertama kali aku bekerja dengannya. “Entah sampai kapan aku bisa bertahan, Ma. Kalau aku nanti tidak ada lagi di rumah ini, Mama harus tetap sehat,” ucapku padanya yang sedang tidur. Kukecup pipinya. Demi apa pun, aku menghormati dan menyayanginya seperti ibu sendiri. Dialah pengganti orang tua yang sudah lama kembali pada Allah. Bapakku meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan banyak utang. Ibu jadi murung, sering sakit, sampai akhirnya ikut menyusul Bapak. Rumah peninggalan mereka terpaksa kujual demi menutupi utang dan biaya selamatan. Terpaksa kontrakan menjadi tempat tinggal. Berkali-kali aku pindah kontrakan sampai akhirnya aku merantau ke ibu kota dan
Aku mengabaikan teriakan Aqsal dan memilih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Mau pintu didobrak atau diruntuhkan, aku tidak peduli. Toh, ini bukan rumahku. Selesai mandi dan berwudu, aku keluar. Pintu sudah dalam posisi terbuka, tetapi Mas Aqsal tidak ada. Aku mencoba mengabaikan. Lebih baik laporan empat rakaat daripada memikirkan pria itu. Sampai malam, Mas Aqsal tidak ada di rumah. Itu lebih baik daripada dia menghajarku. ** “Nanti malam ikut aku ke acara kantor,” titah Aqsal pagi ini saat aku baru saja keluar kamar hendak berangkat kerja. Aku juga tidak tahu jam berapa dia pulang semalam. Jelas aku membeku untuk beberapa saat. Sejak menikah, baru kali ini dia mengajak pergi bersama. Sebagai seorang CEO sekaligus owner di PT. Ade Karya Persada, hubungan kami memang sudah resmi, tetapi aku belum pernah sekalipun diajak go publik. Aku pun sadar diri. Gurita bisnis yang tengah dikelola pria itu membuatnya menjadi penguasa. Terlebih untuk orang biasa sepertiku, tidak bis
Mataku membola saat melihat foto itu. Itu foto pria yang paling aku sayang. Di foto itu, pria tersebut sedang berada di sebuah semacam minimarket.[Mas, jangan macam-macam kamu!] Aku membalas.[Bukan aku, tapi kamu yang mencoba macam-macam. Kamu yang berulah. Cepat pulang dan kita segera berangkat. Atau kalau tidak, orang yang kamu puja di foto itu akan celaka.]Mas Aqsal memang menakutkan. Aku tahu ancamannya itu tidak main-main. Mungkin dia punya mata-mata yang terus memantau keadaan pria yang kusayang itu.[Iya, aku pasti datang. Tapi masih ada sedikit masalah. Bajuku basah.][Jangan banyak alasan! Cepat datang!]“Apa kata suami lu?” tanya Asti.“Gue pokoknya harus pulang sekarang dan tetap harus ikut ke pesta karena dia terus mengancam. Ya udah, gue balik, ya, Ti. Thanks untuk semuanya.”“Tapi baju lu?”“Nanti pasti kering.”“Mau gue anter?”Aku menggeleng. “Nggak usah. Taksi online udah nunggu di depan.”Sebelum benar-benar pergi, kami sempat cipika-cipiki.“Hati-hati di jalan, H
Selama di perjalanan, mobil terasa sepi. Baik Mas Aqsal maupun wanita yang tidak kuketahui namanya itu diam. Pun tidak menunjukkan kemesraan di hadapanku. Baguslah, setidaknya mataku terhindar dari noda dosa mereka.Aku memilih membuka ponsel untuk membuang jenuh. Sesekali membuka laman F* dan melihat video lucu di sana. Tidak sengaja, bibirku kadang tertarik karena menahan tawa.Dari spion tengah, bisa kulihat Mas Aqsal kadang melirikku. Bodoh amat.Beberapa saat kemudian, kami sampai. Mas Aqsal turun dan membuka pintu untuk wanita tersayangnya itu. Ide nakalku mendadak muncul. Aku ingin mengerjai pria itu.Mas Aqsal dan wanita itu sudah berjalan sambil bergandengan, sedangkan aku masih di dalam. Aku terus memperhatikan. Beberapa langkah, Mas Aqsal terlihat berhenti dan menatap ke arah mobil ini. Dia berbicara dengan wanita tadi, lantas berjalan ke arahku. Karena takut pria itu marah dan menghajar, aku pura-pura tidur.Terdengar bunyi pintu mobil dibuka.“Ck, menyusahkan sekali kamu!
Aku mencoba tampil percaya diri. Meski tidak ada satu pun yang kukenal di sini selain Mas Aqsal, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan mengenaskan. Maksudnya, aku harus menikmati pesta mewah ini karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.Aku berjalan dengan hati-hati.Beginilah acara orang-orang penting. Saat pesta pun, telingaku selalu menangkap pembahasan tentang pekerjaan. Mas Aqsal dan wanita tadi terlihat ke sana kemari menghampiri setiap orang. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin acara bisnis, atau mungkin sebuah undangan pernikahan keduanya nanti? Entahlah.Aku sendiri tidak tahu apa wanita yang bersamanya kini, sama dengan wanita yang diajak Mas Aqsal ke rumah dulu atau bukan.Aku tengah duduk di kursi sambil menikmati segelas es krim rasa cokelat yang aku ambil dari meja prasmanan. Berharap, dengan menikmati ini, enzim yang terkandung di dalamnya mampu mengurangi kadar stres yang tengah menekan jiwa ragaku.“Boleh duduk di sini?” Suara bariton seseorang memecah kesend