Home / Rumah Tangga / Silakan Menikah Lagi, Mas! / Bagian 2. Kamu Tetap Istriku

Share

Bagian 2. Kamu Tetap Istriku

Author: Zuya
last update Last Updated: 2023-06-12 12:12:00

“Lu yakin?” tanyaku.

Asti tertawa. “Enggaklah. Gila apa. Ogah banget nikah sama orang sakit jiwa kayak si Aqsal itu."

Kami terdiam sebelum akhirnya Asti kembali memanggil.

"Ha."

“Hm.”

“Gue tanya sekali lagi. Yakin lu minta suami lu nikah lagi?”

Aku mengangguk mantap. Biarlah, aku sudah siap dengan segala risikonya jika Mas Aqsal menikah lagi. “Setidaknya kalau dia punya istri baru, dia jadi lupa KDRT sama gue. Itu yang gue inginkan.”

Segala cara sudah aku lakukan untuk lepas atau mendekatinya, tetapi semua berakhir sia-sia.

"Iya kalo lupa KDRT. Kalo lebih parah? Ha, kata orang, sakit hati rasanya lebih dahsyat."

"Gue nggak peduli, Ti. Biar sekalian aja gue mati kalo gitu."

“Ssst, jangan bilang ngawur gitu. Ya udah, jangan nangis lagi. Ntar cantik lu luntur. Kalau luntur, pas suami lu udah nikah nanti, lu kalah cantik sama madu lu,” seloroh Asti. Aku yang awalnya menangis, kini tertawa karena leluconnya.

Aku mengurai pelukan. Asti menghapus jejak basah di pipi menggunakan ujung pasmina yang kugunakan.

“Yang romantis dikit, kek. Pakai jari, gitu,” protesku.

“Dih, gue masih wanita normal yang suka lawan jenis. Walaupun lu cantik, tapi sorry, lu bukan tipe gue. Cukup gue lap ingus sama air mata lu itu pakai kerudung lo sendiri.”

Aku tergelak. Kami pun akhirnya mengobrolkan lagi tentang banyak hal. Kesedihan yang tadi mencuat, sedikit demi sedikit sirna.

Asti, dia memang orang yang pandai membuat situasi hatiku membaik.

**

Setelah puas saling bercerita dan berbincang-bincang dengan Asti, lepas Ashar, aku pun pulang ke rumah yang sudah setengah tahun ini aku tempati.

Rumah mewah dengan segala fasilitasnya yang wow tak membuatku betah, justru membuatku sesak. Setelah menghirup napas panjang, aku mengembuskan kembali, menguatkan hati agar tetap kuat. Aku pun membuka pintu utama setelah mengucapkan salam secara lirih.

“Dari mana saja kamu! Nggak kapok pulang telat!” Suara bentakan itu terdengar saat baru saja beberapa langkah kaki ini mengayun. Mas Aqsal duduk di kursi ruang tamu dengan gayanya yang memuakkan.

“Habis nyari udara segar. Lagian ini belum Magrib,” jawabku santai, lalu kembali berjalan.

“Ck, habis ngadu sama orang-orang kalau nasibmu itu mengenaskan? Selain sok suci di depan mamaku, perempuan mur*han, ternyata kamu juga suka membuka aib.”

Suara Mas Aqsal mau tidak mau membuatku berhenti. Tahu dari mana dia kalau aku habis bertemu seseorang?

“Tak penting aku tahu dari siapa, yang pasti aku semakin benci denganmu!” desisnya seolah-olah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Dia berjalan ke arahku dan mencekal pergelangan tangan ini. 

Aqsal menyeret tanganku, membuat kaki ini setengah berlari mengimbangi langkah lebarnya. Perlakuan buruk seperti ini hampir setiap hari aku dapatkan. Aku sudah hafal.

Aqsal membawaku masuk ke kamarnya. Serangan bertubi-tubi dan kasar dia layangkan. Bukan sebuah ciu*man hangat dan memabukkan seperti yang sering aku impikan. Kadang, bibir ini sering berdarah, leher ini terluka karena ulahnya. Cukup sampai di situ, Aqsal tak berani berbuat lebih jauh.

Meskipun aku istrinya, halal untuknya, kami belum pernah melakukan ibadah pengantin.

Setelah puas melihat aku kesakitan, dia pergi. Baru setelah sosoknya menghilang, air mata ini leluasa lolos dari tempatnya.

Kadang, aku berpikir setiap hari malaikat mau mengintaiku. Entah berapa lama lagi tubuhku kuat menahan semua. Tidak apa. Aku harus bertahan sampai tiba waktunya nanti untuk berlari. Sejauh-jauhnya.

Mas Aqsal memang pria yang sangat sulit diraba keinginannya. Dia membenciku, tetapi jika aku pulang telat sedikit saja dia akan marah. Seaneh itu.

**

“Mama sudah makan?” tanyaku pada seorang wanita yang berbaring lemah di ranjang. Bagian tubuh kanannya sudah tidak berfungsi. Hanya bagian kiri yang masih bisa digerakkan. Terdengar dia bergumam sesuatu, entah apa maksudnya aku tidak paham. Tangan kirinya menggenggam erat tanganku. Matanya basah.

Aku hanya mengangguk, mengelus lembut tangannya, dan menghapus jejak air mata yang jatuh dari mata sayu itu. Wanita inilah, salah satu alasan kenapa aku masih tinggal di sini. Wanita inilah, yang membawa kakiku tertarik untuk kembali walau sejauh apa pun melangkah, walau sekejam apa pun Mas Aqsal berulah.

Mama Elena, mertuaku.

Sudah dua bulan ini Mama mengalami lumpuh dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Bukan aku yang sepenuhnya melayani kebutuhan beliau, tetapi ada perawat khusus. Namun, aku selalu datang kepadanya. Sering juga tidur di sampingnya.

Salah satu alasan sikap kasar Mas Aqsal juga karena sakitnya Mama. Pria itu menganggap aku penyebab Mama yang awalnya sehat jadi seperti ini. Aku sudah mengiba maaf berkali-kali. Namun, Mas Aqsal tidak mau tahu dan tetap menjadikanku tersangka.

Mama dulunya adalah majikanku, lalu memintaku menjadi menantunya.

“Aqsal itu sudah tiga puluh tahun lebih. Tapi sejauh ini belum ada wanita yang dikenalkan ke saya. Teman-temannya kebanyakan laki-laki. Saya takut dia punya orientasi s*ks yang menyimpang,” ucap Mama Elena dulu saat masih sehat. Kami memang sangat dekat. Bisa dibilang aku ini kaki tangannya.

“Kalau Bu El punya pemikiran seperti itu, coba diselidiki,” ucapku memberi saran.

“Tapi saya ini tidak dekat dengannya. Dia putra kandung saya, tapi kami seperti berjarak. Kamu tahu sendiri sifat anak lelaki, tertutup. Kami tidak pernah mengobrol seperti anak dan ibu pada umumnya padahal saya tidak pernah lelah mengajaknya bicara.”

“Atau coba perhatikan siapa-siapa saja rekannya, Bu. Apa ada yang mencurigakan atau tidak. Kalau perlu, sehari Ibu bisa menguntit kegiatan Pak Aqsal. Atau kalau tidak mau repot, Ibu bisa menyuruh seseorang.”

“Idemu oke juga. Nanti saya bakal lakukan apa yang kamu sarankan.”

Bukannya mencari orang lain yang mengikuti, Mama Elena justru memintaku yang melakukan itu dengan bayaran yang lumayan. Kebetulan, saat itu aku juga sedang butuh banyak uang. Akhirnya, aku mengiakan. Hingga akhirnya aku ketahuan Mas Aqsal dan tragedi besar terjadi yang mengharuskan aku menikah dengan pria itu.

“Ha, aku mau bicara,” ucap seseorang, membuyarkan lamunan. Aku tahu itu suara siapa. Nada bicaranya padaku begitu lembut saat ada mamanya. Aku pun mengangguk.

Setelah berpamitan dengan Mama, aku memenuhi permintaan Mas Aqsal. Dengan mesra, dia memeluk pinggang ini mesra. Dasar cari aman, cari muka.

Setelah di luar kamar Mama, dia menyentak tubuhku, hingga membuat diri ini oleng. Dia lalu kembali mengambil telapak tanganku, lantas membawa berjalan ke arah taman. Dengan perasaan dongkol, aku mengikutinya.

“Aku mau menindaklanjuti permohonanmu agar aku menikah lagi. Yakin kamu sanggup punya madu?” tanyanya langsung setelah tiba di taman.

“Iya. Silakan saja menikah lagi. Carilah istri yang sesuai kriteriamu. Aku sudah muak dengan sikapmu yang kasar itu," jawabku tak kalah tegas.

 “Dan aku pastikan kamu akan menyesal karena sudah memintaku melakukan itu.”

“Nggak. Aku nggak akan pernah menyesal. Nikahi wanita mana saja sesuai kehendakmu. Aku udah capek.”

“Kita lihat saja nanti. Tapi ingat, sampai kapan pun, aku tidak akan menceraikanmu meski aku punya istri baru.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
natasha andikacinta
belajar ilmu bela diri,jgn lemah
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dasar mantan babu. kayak apapun diangkat derajatnya tetap aja punya mental terjajah. wajar kamu dihajar suami
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   27. Sempurna

    “Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   26. Bertahan atau Pergi

    Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   25. Kebenarannya

    “Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   24. Sebenarnya ....

    “Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   23. Bertanggung Jawab

    Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   22. Peluk Aku

    “B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status