“Terserah! Terserah apa maumu, Mas. Tapi jangan salahkan juga kalau suatu saat jika aku sudah tidak kuat, aku akan menghilang selamanya dari hidupmu.”
“Silakan, silakan menghilang. Tapi selamanya kamu tidak bisa bahagia dengan pria lain karena kamu selamanya hanya istriku. Istriku! Walaupun kamu menuntut cerai, tidak akan pernah aku kabulkan.”
“Oh, istri yang kamu perlakukan seperti samsak? Mas, apa sih sebenernya maumu? Kamu kasar, tapi nggak mau melepaskanku. Lalu aku harus apa? Apa aku harus mati mengenaskan di bawah tanganmu?”
“Aku mau kamu menderita. Selamanya. Itu yang aku mau. Sementara aku akan bahagia dengan istri baru. Ini, kan, maumu?” Pria itu lantas tertawa keras.
Kita lihat saja. Ini juga pembuktian apakah Mas Aqsal pria normal atau memang kecurigaan Mama benar adanya bahwa dia seorang ... g*y. Jika aku tidak pernah disentuh, apa istri barunya akan disentuh dan diperlakukan manis?
**
Angin malam berembus dengan kencang, membuatku makin mengeratkan silangan tangan di depan dada. Melalui jendela, aku menikmati pesona langit malam yang begitu memesona.
Masih kuingat jelas percakapan dengan Mas Aqsal tadi. Pria itu seolah-olah berada di atas angin saat aku benar-benar memintanya menikah lagi. Sumpah, aku muak dengan semua kekerasan yang terus dilayangkan padaku. Semoga dengan memintanya menikah lagi, pria itu sibuk dengan istri barunya dan lupa padaku.
Aqsal Aderald. Pria berusia 33 tahun itu resmi menjadi suamiku sejak enam bulan yang lalu setelah ada tragedi kesalahpahaman. Aku yang diminta Mama Elena mengikutinya, justru terjebak sendiri.
Saat itu, hari kedua aku menjadi pengintai. Aku yang terlalu kentara saat mengikutinya mungkin, Mas Aqsal tahu kalau aku karyawan di konfeksi milik Mama Elena. Pria itu memaksaku masuk ke ruangan kerjanya.
“Kenapa dari kemarin menguntit saya? Jawab!” bentaknya.
“Sa-saya hanya disuruh.” Aku benar-benar takut.
“Siapa?”
“Bu E-Elena.”
“Mama? Nggak mungkin. Buat apa dia melakukan ini?”
“Sa-saya tidak tahu, Pak.”
Nasib. Penguntit amatiran disuruh. Hasilnya ambyar.
“Sekarang pergi dan jangan pernah mengikuti saya lagi. Keluar!” Suaranya menggelegar.
Dengan kaki gemetar, aku pun keluar. Namun sayang, pintunya terkunci.
“Pintunya nggak bisa dibuka, Pak.”
“Dasar b*doh! Kampungan! Buka pintu kayak gitu saja nggak bisa!” Mas Aqsal pun membuka pintu. Hasilnya sama. Pintu tidak mau dibuka.
“Si*l! Ini semua gara-gara kamu!” teriaknya.
Mas Aqsal menghubungi entah siapa melalui ponselnya. Setelah itu, dia menghampiriku.
Aku takut dan memilih berjalan mundur sampai tubuh terantuk dinding.
“Ingat, urusan kita belum selesai. Setelah ini, saya akan membuat perhitungan sama kamu.” Dia begitu dekat di wajahku.
“I-iya, Pak. Maaf. Saya minta maaf.”
Saat akan melarikan diri, tanganku justru dikurung dengan dua tangannya yang menopang di tembok.
Lalu tiba-tiba lampu padam. Refleks, aku yang ketakutan langsung memeluk tubuhnya erat.
“Pak, saya takut.”
“Lepaskan saya, Bo*oh!”
Aku tetap tidak melepaskan pelukan karena memang aku yang fobia kegelapan saat mati lampu sangat ketakutan. Dia berontak, tetapi aku tidak peduli sampai kami terjatuh bersama.
Makian dan umpatan terus keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya lampu menyala dan ada beberapa karyawan yang memergoki kami saling tindih di lantai.
Entah siapa yang melaporkannya ke Mama Elena, beliau mengharuskan aku dan pria sekaligus CEO arogan itu menikah.
Pernikahan paksa tanpa cinta pun terjadi.
Bu Elena adalah bosku saat di konfeksi. Dia menyayangiku begitu tulus.
Saking sayangnya pada gadis yatim piatu ini, dia bahkan meminta sang putra bertanggung jawab karena telah melecehkanku meskipun kami sama-sama meyakinkan jika kejadian di kantor hanya salah paham.
Hingga pada suatu malam, ada maling di konfeksi saat aku dan Mama belum pulang. Maling tersebut membawa senjata tajam. Mama melawan maling itu saat aku akan ditikam karena aku berani kepada mereka. Kepala Mama dipukul sangat keras hingga pingsan. Maling yang berjumlah dua orang itu lantas melarikan diri saat sudah berhasil menggondol uang. Mama yang punya riwayat darah tinggi dan syarafnya kena pukulan itu, mengalami kelumpuhan.
Orang mungkin menganggapku b*doh, mau bertahan saat disakiti sedemikian rupa. Namun, ada banyak pertimbangan kenapa harus melakukan ini. Salah satunya, aku ingin berbakti dulu kepada Mama Elena. Jika suatu saat Mama sembuh, itu lebih baik. Sebab memang semua sakit Mama bersumber dariku.
Satu hal sebagai nilai plus pada Mas Aqsal, yaitu, sejahat dan sekejam apa pun dia kepadaku, pria itu tak berani menentang mamanya. Sepenuhnya pria berhidung mancung itu menyayangi wanita yang telah melahirkannya tersebut.
Terdengar suara pintu kamar diketuk seseorang. Aku berjingkat dari lamunan.
“Mbak, maaf mengganggu. Nyonya menolak minum obat,” ucap seseorang setelah pintu kubuka. Dia adalah Mbak Sasi, perawat Mama.
“Baiklah, biar nanti saya yang memberikannya.” Perawat itu pun mengangguk dan berlalu.
Aku mengembuskan napas panjang dan mengeluarkan cepat. Kejadian seperti ini sering terjadi. Mama menolak minum obat dan baru mau meminumnya saat aku yang memberikan.
Aku lebih baik memosisikan diri sebagai pembantu dan perawat daripada istri dan menantu di keluarga ini. Status istri tak ada artinya di mata Aqsal.
Dengan langkah gontai, kaki ini kuseret menuju kamar Mama. Saat melintasi kamar Mas Aqsal, terdengar tawanya menggema dari kamar yang sedikit terbuka tersebut. Awal menikah dulu, kami masih tidur dalam satu kamar. Akan tetapi, kamar itu terasa mati karena Mas Aqsal tak pernah membuatnya hidup. Kamar kami dingin, sedingin sikapnya yang terus menunjukkan sikap antipati padaku. Baru setelah Mama tumbang karena sakit, kami tidur terpisah kamar.
Aku yang sejak awal memang tahu dia tak menerima kehadiran diri ini, hanya bisa pasrah. Tangis dan luka memang ada, tetapi lama-lama terbiasa karena memang rasa sakit ini aku sendiri yang membuat.
Aku hanya tersenyum masam kala mendengar tawa Aqsal yang seperti tanpa beban. Bahkan senyum pun tak pernah pria itu tunjukkan padaku.
“Iya, Sayang. Besok aku akan datang.” Suara itu masih terdengar.
Apa jangan-jangan Mas Aqsal memang sudah punya kekasih di luar sana? Atau yang dipanggil sayang itu sesama jenis? Atau calon maduku?
Ah, entahlah. Memikirkan Aqsal, lama-lama pusing kepalaku.
Setelah mengabaikan sejenak perihal Mas Aqsal, aku kembali berjalan menuju kamar Mama. Benar saja, Mama baru mau minum obat setelah aku sendiri yang memberikannya. Setelah makan dan minum obat, sekarang beliau tidur dengan nyenyak. Kupandangi wajah yang terlihat tua dari usianya itu. Wanita ini tulus menyayangiku sejak pertama kali aku bekerja dengannya. “Entah sampai kapan aku bisa bertahan, Ma. Kalau aku nanti tidak ada lagi di rumah ini, Mama harus tetap sehat,” ucapku padanya yang sedang tidur. Kukecup pipinya. Demi apa pun, aku menghormati dan menyayanginya seperti ibu sendiri. Dialah pengganti orang tua yang sudah lama kembali pada Allah. Bapakku meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan banyak utang. Ibu jadi murung, sering sakit, sampai akhirnya ikut menyusul Bapak. Rumah peninggalan mereka terpaksa kujual demi menutupi utang dan biaya selamatan. Terpaksa kontrakan menjadi tempat tinggal. Berkali-kali aku pindah kontrakan sampai akhirnya aku merantau ke ibu kota dan
Aku mengabaikan teriakan Aqsal dan memilih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Mau pintu didobrak atau diruntuhkan, aku tidak peduli. Toh, ini bukan rumahku. Selesai mandi dan berwudu, aku keluar. Pintu sudah dalam posisi terbuka, tetapi Mas Aqsal tidak ada. Aku mencoba mengabaikan. Lebih baik laporan empat rakaat daripada memikirkan pria itu. Sampai malam, Mas Aqsal tidak ada di rumah. Itu lebih baik daripada dia menghajarku. ** “Nanti malam ikut aku ke acara kantor,” titah Aqsal pagi ini saat aku baru saja keluar kamar hendak berangkat kerja. Aku juga tidak tahu jam berapa dia pulang semalam. Jelas aku membeku untuk beberapa saat. Sejak menikah, baru kali ini dia mengajak pergi bersama. Sebagai seorang CEO sekaligus owner di PT. Ade Karya Persada, hubungan kami memang sudah resmi, tetapi aku belum pernah sekalipun diajak go publik. Aku pun sadar diri. Gurita bisnis yang tengah dikelola pria itu membuatnya menjadi penguasa. Terlebih untuk orang biasa sepertiku, tidak bis
Mataku membola saat melihat foto itu. Itu foto pria yang paling aku sayang. Di foto itu, pria tersebut sedang berada di sebuah semacam minimarket.[Mas, jangan macam-macam kamu!] Aku membalas.[Bukan aku, tapi kamu yang mencoba macam-macam. Kamu yang berulah. Cepat pulang dan kita segera berangkat. Atau kalau tidak, orang yang kamu puja di foto itu akan celaka.]Mas Aqsal memang menakutkan. Aku tahu ancamannya itu tidak main-main. Mungkin dia punya mata-mata yang terus memantau keadaan pria yang kusayang itu.[Iya, aku pasti datang. Tapi masih ada sedikit masalah. Bajuku basah.][Jangan banyak alasan! Cepat datang!]“Apa kata suami lu?” tanya Asti.“Gue pokoknya harus pulang sekarang dan tetap harus ikut ke pesta karena dia terus mengancam. Ya udah, gue balik, ya, Ti. Thanks untuk semuanya.”“Tapi baju lu?”“Nanti pasti kering.”“Mau gue anter?”Aku menggeleng. “Nggak usah. Taksi online udah nunggu di depan.”Sebelum benar-benar pergi, kami sempat cipika-cipiki.“Hati-hati di jalan, H
Selama di perjalanan, mobil terasa sepi. Baik Mas Aqsal maupun wanita yang tidak kuketahui namanya itu diam. Pun tidak menunjukkan kemesraan di hadapanku. Baguslah, setidaknya mataku terhindar dari noda dosa mereka.Aku memilih membuka ponsel untuk membuang jenuh. Sesekali membuka laman F* dan melihat video lucu di sana. Tidak sengaja, bibirku kadang tertarik karena menahan tawa.Dari spion tengah, bisa kulihat Mas Aqsal kadang melirikku. Bodoh amat.Beberapa saat kemudian, kami sampai. Mas Aqsal turun dan membuka pintu untuk wanita tersayangnya itu. Ide nakalku mendadak muncul. Aku ingin mengerjai pria itu.Mas Aqsal dan wanita itu sudah berjalan sambil bergandengan, sedangkan aku masih di dalam. Aku terus memperhatikan. Beberapa langkah, Mas Aqsal terlihat berhenti dan menatap ke arah mobil ini. Dia berbicara dengan wanita tadi, lantas berjalan ke arahku. Karena takut pria itu marah dan menghajar, aku pura-pura tidur.Terdengar bunyi pintu mobil dibuka.“Ck, menyusahkan sekali kamu!
Aku mencoba tampil percaya diri. Meski tidak ada satu pun yang kukenal di sini selain Mas Aqsal, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan mengenaskan. Maksudnya, aku harus menikmati pesta mewah ini karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.Aku berjalan dengan hati-hati.Beginilah acara orang-orang penting. Saat pesta pun, telingaku selalu menangkap pembahasan tentang pekerjaan. Mas Aqsal dan wanita tadi terlihat ke sana kemari menghampiri setiap orang. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin acara bisnis, atau mungkin sebuah undangan pernikahan keduanya nanti? Entahlah.Aku sendiri tidak tahu apa wanita yang bersamanya kini, sama dengan wanita yang diajak Mas Aqsal ke rumah dulu atau bukan.Aku tengah duduk di kursi sambil menikmati segelas es krim rasa cokelat yang aku ambil dari meja prasmanan. Berharap, dengan menikmati ini, enzim yang terkandung di dalamnya mampu mengurangi kadar stres yang tengah menekan jiwa ragaku.“Boleh duduk di sini?” Suara bariton seseorang memecah kesend
Aku masih bergeming saat Arjuna menawarkan bantuan. Pria itu terlihat mengoperasikan ponselnya. Sementara aku masih duduk bersimpuh di atas pavingblock.Tidak ingin suasana makin canggung, aku kembali mengesot, menahan sakit agar bisa sampai di bangku yang dari tadi aku incar. Biarlah aku menunggu sampai Mas Aqsal datang menjemput. Semoga dia tak sejahat itu meninggalkanku sendirian di sini.Baru sedikit digerakkan, kakiku terasa makin sakit. Aku mendesis. “Auh.”“Hey, cukup diam, jangan bergerak. Itu hanya akan membuat kakimu tambah parah!” teriak Arjun saat dia selesai dengan ponselnya. Dia mendekat dan berjongkok di hadapanku.Aku pun menghentikan aksi. Ya Allah, aku malu sudah menangis di depan orang asing.“Jangan takut sama saya. Saya tahu batasan. Tunggu sebentar lagi. Saya sedang menyuruh seseorang membawa mobil kemari. Kita obati kakimu,” lanjutnya.“Jangan, Pak. Nanti merepotkan. Bapak ke dalam saja karena acara pasti belum selesai.”Pria itu terkekeh. “Siapa namamu tadi? Bi
Aku meremas tangan untuk mengurai gugup. Tak mungkin aku berlari dalam kondisi seperti ini. Sungguh, aku takut Arjuna akan melakukan hal buruk kepadaku.“Niha,” panggilnya. Kali ini lebih lembut.“I-iya.”“Maaf tidak jadi membawamu ke rumah sakit. Ini rumah tukang urut langganan papa saya. Kemarin adik saya cedera bahu karena jatuh dari motor, saya disuruh antar ke sini. Katanya, adik saya sudah kedua kalinya datang. Dan katanya cepat pulih sakitnya. Di sini insyaallah lebih cepat sembuh tanpa operasi kalau cederanya tidak berat. Kalau kakimu, sepertinya masih bisa diatasi di sini,” jelasnya.Kuberanikan diri menatap ke arahnya. Dia tersenyum dan mengangguk. “Percayalah sama saya. Saya tidak akan macam-macam. Kalau sampai macam-macam laporkan ke Pak Hendrawan tadi. Atau lapor polisi. Silakan. Ini kartu nama saya.”Pria itu mengeluarkan dompet, lantas memberikan satu kartu kepadaku.Arjuna Dwino Hendrawan, 28 tahun. Manajer operasional Hotel Grand Himalaya dan beberapa nama hotel lain.
“Niha, turunlah.” Suara seseorang itu akhirnya membuatku menoleh. Ada Arjuna yang berdiri di belakangku.“P-pak Arjuna.” Aku tergagap.“Pak Heru bohong sama saya?” Arjuna menatap satpam tajam.“I-itu, Tuan–““Saya yang memintanya berbohong. Jadi, jangan salahkan beliau, jangan hukum beliau. Saya minta maaf. Salahkan saja saya. Saya hanya tidak mau terus merepotkan Pak Arjuna.” Aku memotong ucapan Pak Heru.“Saya maafkan asal turunlah dari motor. Saya yang akan mengantarmu pulang.”Aku pun menurut. Arjuna memberikan uang kepada pengemudi ojek. Aku makin merasa tidak enak.“Sebagai hukuman karena kamu sudah bohong, ayo saya antar. Saya tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.”Aku bernapas panjang, lalu mengangguk. Terpaksa kuikuti langkahnya menuju mobil dan masuk."Pak, tolong jangan pecat Pak Heru, ya. Beliau bohong karena saya yang meminta.""Tergantung.""Hah? Maksudnya?""Asal kamu kasih nomor ponsel kamu."Aku pun akhirnya mengangguk dan mengeluarkan ponsel dari tas. Kembali pons