Home / Rumah Tangga / Silakan Menikah Lagi, Mas! / Bagian 3. Siapa Sayang?

Share

Bagian 3. Siapa Sayang?

Author: Zuya
last update Last Updated: 2023-06-12 12:21:29

“Terserah! Terserah apa maumu, Mas. Tapi jangan salahkan juga kalau suatu saat jika aku sudah tidak kuat, aku akan menghilang selamanya dari hidupmu.”

“Silakan, silakan menghilang. Tapi selamanya kamu tidak bisa bahagia dengan pria lain karena kamu selamanya hanya istriku. Istriku! Walaupun kamu menuntut cerai, tidak akan pernah aku kabulkan.”

“Oh, istri yang kamu perlakukan seperti samsak? Mas, apa sih sebenernya maumu? Kamu kasar, tapi nggak mau melepaskanku. Lalu aku harus apa? Apa aku harus mati mengenaskan di bawah tanganmu?”

“Aku mau kamu menderita. Selamanya. Itu yang aku mau. Sementara aku akan bahagia dengan istri baru. Ini, kan, maumu?” Pria itu lantas tertawa keras.

Kita lihat saja. Ini juga pembuktian apakah Mas Aqsal pria normal atau memang kecurigaan Mama benar adanya bahwa dia seorang ... g*y. Jika aku tidak pernah disentuh, apa istri barunya akan disentuh dan diperlakukan manis?

**

Angin malam berembus dengan kencang, membuatku makin mengeratkan silangan tangan di depan dada. Melalui jendela, aku menikmati pesona langit malam yang begitu memesona.

Masih kuingat jelas percakapan dengan Mas Aqsal tadi. Pria itu seolah-olah berada di atas angin saat aku benar-benar memintanya menikah lagi. Sumpah, aku muak dengan semua kekerasan yang terus dilayangkan padaku. Semoga dengan memintanya menikah lagi, pria itu sibuk dengan istri barunya dan lupa padaku.

Aqsal Aderald. Pria berusia 33 tahun itu resmi menjadi suamiku sejak enam bulan yang lalu setelah ada tragedi kesalahpahaman. Aku yang diminta Mama Elena mengikutinya, justru terjebak sendiri.

Saat itu, hari kedua aku menjadi pengintai. Aku yang terlalu kentara saat mengikutinya mungkin, Mas Aqsal tahu kalau aku karyawan di konfeksi milik Mama Elena. Pria itu memaksaku masuk ke ruangan kerjanya.

“Kenapa dari kemarin menguntit saya? Jawab!” bentaknya.

“Sa-saya hanya disuruh.” Aku benar-benar takut.

“Siapa?”

“Bu E-Elena.”

“Mama? Nggak mungkin. Buat apa dia melakukan ini?”

“Sa-saya tidak tahu, Pak.”

Nasib. Penguntit amatiran disuruh. Hasilnya ambyar.

“Sekarang pergi dan jangan pernah mengikuti saya lagi. Keluar!” Suaranya menggelegar.

Dengan kaki gemetar, aku pun keluar. Namun sayang, pintunya terkunci.

“Pintunya nggak bisa dibuka, Pak.”

“Dasar b*doh! Kampungan! Buka pintu kayak gitu saja nggak bisa!” Mas Aqsal pun membuka pintu. Hasilnya sama. Pintu tidak mau dibuka.

“Si*l! Ini semua gara-gara kamu!” teriaknya.

Mas Aqsal menghubungi entah siapa melalui ponselnya. Setelah itu, dia menghampiriku.

Aku takut dan memilih berjalan mundur sampai tubuh terantuk dinding.

“Ingat, urusan kita belum selesai. Setelah ini, saya akan membuat perhitungan sama kamu.” Dia begitu dekat di wajahku.

“I-iya, Pak. Maaf. Saya minta maaf.”

Saat akan melarikan diri, tanganku justru dikurung dengan dua tangannya yang menopang di tembok.

Lalu tiba-tiba lampu padam. Refleks, aku yang ketakutan langsung memeluk tubuhnya erat.

“Pak, saya takut.”

“Lepaskan saya, Bo*oh!”

Aku tetap tidak melepaskan pelukan karena memang aku yang fobia kegelapan saat mati lampu sangat ketakutan. Dia berontak, tetapi aku tidak peduli sampai kami terjatuh bersama.

Makian dan umpatan terus keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya lampu menyala dan ada beberapa karyawan yang memergoki kami saling tindih di lantai.

Entah siapa yang melaporkannya ke Mama Elena, beliau mengharuskan aku dan pria sekaligus CEO arogan itu menikah.

Pernikahan paksa tanpa cinta pun terjadi.

Bu Elena adalah bosku saat di konfeksi. Dia menyayangiku begitu tulus.

Saking sayangnya pada gadis yatim piatu ini, dia bahkan meminta sang putra bertanggung jawab karena telah melecehkanku meskipun kami sama-sama meyakinkan jika kejadian di kantor hanya salah paham.

Hingga pada suatu malam, ada maling di konfeksi saat aku dan Mama belum pulang. Maling tersebut membawa senjata tajam. Mama melawan maling itu saat aku akan ditikam karena aku berani kepada mereka. Kepala Mama dipukul sangat keras hingga pingsan. Maling yang berjumlah dua orang itu lantas melarikan diri saat sudah berhasil menggondol uang. Mama yang punya riwayat darah tinggi dan syarafnya kena pukulan itu, mengalami kelumpuhan.

Orang mungkin menganggapku b*doh, mau bertahan saat disakiti sedemikian rupa. Namun, ada banyak pertimbangan kenapa harus melakukan ini. Salah satunya, aku ingin berbakti dulu kepada Mama Elena. Jika suatu saat Mama sembuh, itu lebih baik. Sebab memang semua sakit Mama bersumber dariku.

Satu hal sebagai nilai plus pada Mas Aqsal, yaitu, sejahat dan sekejam apa pun dia kepadaku, pria itu tak berani menentang mamanya. Sepenuhnya pria berhidung mancung itu menyayangi wanita yang telah melahirkannya tersebut.

Terdengar suara pintu kamar diketuk seseorang. Aku berjingkat dari lamunan.

“Mbak, maaf mengganggu. Nyonya menolak minum obat,” ucap seseorang setelah pintu kubuka. Dia adalah Mbak Sasi, perawat Mama.

“Baiklah, biar nanti saya yang memberikannya.” Perawat itu pun mengangguk dan berlalu.

Aku mengembuskan napas panjang dan mengeluarkan cepat. Kejadian seperti ini sering terjadi. Mama menolak minum obat dan baru mau meminumnya saat aku yang memberikan.

Aku lebih baik memosisikan diri sebagai pembantu dan perawat daripada istri dan menantu di keluarga ini. Status istri tak ada artinya di mata Aqsal.

Dengan langkah gontai, kaki ini kuseret menuju kamar Mama. Saat melintasi kamar Mas Aqsal, terdengar tawanya menggema dari kamar yang sedikit terbuka tersebut. Awal menikah dulu, kami masih tidur dalam satu kamar. Akan tetapi, kamar itu terasa mati karena Mas Aqsal tak pernah membuatnya hidup. Kamar kami dingin, sedingin sikapnya yang terus menunjukkan sikap antipati padaku. Baru setelah Mama tumbang karena sakit, kami tidur terpisah kamar.

Aku yang sejak awal memang tahu dia tak menerima kehadiran diri ini, hanya bisa pasrah. Tangis dan luka memang ada, tetapi lama-lama terbiasa karena memang rasa sakit ini aku sendiri yang membuat.

Aku hanya tersenyum masam kala mendengar tawa Aqsal yang seperti tanpa beban. Bahkan senyum pun tak pernah pria itu tunjukkan padaku.

“Iya, Sayang. Besok aku akan datang.” Suara itu masih terdengar.

Apa jangan-jangan Mas Aqsal memang sudah punya kekasih di luar sana? Atau yang dipanggil sayang itu sesama jenis? Atau calon maduku?

Ah, entahlah. Memikirkan Aqsal, lama-lama pusing kepalaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
alasan si jongos terlalu dicari2
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   27. Sempurna

    “Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   26. Bertahan atau Pergi

    Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   25. Kebenarannya

    “Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   24. Sebenarnya ....

    “Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   23. Bertanggung Jawab

    Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   22. Peluk Aku

    “B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status