Share

Bagian 3. Siapa Sayang?

“Terserah! Terserah apa maumu, Mas. Tapi jangan salahkan juga kalau suatu saat jika aku sudah tidak kuat, aku akan menghilang selamanya dari hidupmu.”

“Silakan, silakan menghilang. Tapi selamanya kamu tidak bisa bahagia dengan pria lain karena kamu selamanya hanya istriku. Istriku! Walaupun kamu menuntut cerai, tidak akan pernah aku kabulkan.”

“Oh, istri yang kamu perlakukan seperti samsak? Mas, apa sih sebenernya maumu? Kamu kasar, tapi nggak mau melepaskanku. Lalu aku harus apa? Apa aku harus mati mengenaskan di bawah tanganmu?”

“Aku mau kamu menderita. Selamanya. Itu yang aku mau. Sementara aku akan bahagia dengan istri baru. Ini, kan, maumu?” Pria itu lantas tertawa keras.

Kita lihat saja. Ini juga pembuktian apakah Mas Aqsal pria normal atau memang kecurigaan Mama benar adanya bahwa dia seorang ... g*y. Jika aku tidak pernah disentuh, apa istri barunya akan disentuh dan diperlakukan manis?

**

Angin malam berembus dengan kencang, membuatku makin mengeratkan silangan tangan di depan dada. Melalui jendela, aku menikmati pesona langit malam yang begitu memesona.

Masih kuingat jelas percakapan dengan Mas Aqsal tadi. Pria itu seolah-olah berada di atas angin saat aku benar-benar memintanya menikah lagi. Sumpah, aku muak dengan semua kekerasan yang terus dilayangkan padaku. Semoga dengan memintanya menikah lagi, pria itu sibuk dengan istri barunya dan lupa padaku.

Aqsal Aderald. Pria berusia 33 tahun itu resmi menjadi suamiku sejak enam bulan yang lalu setelah ada tragedi kesalahpahaman. Aku yang diminta Mama Elena mengikutinya, justru terjebak sendiri.

Saat itu, hari kedua aku menjadi pengintai. Aku yang terlalu kentara saat mengikutinya mungkin, Mas Aqsal tahu kalau aku karyawan di konfeksi milik Mama Elena. Pria itu memaksaku masuk ke ruangan kerjanya.

“Kenapa dari kemarin menguntit saya? Jawab!” bentaknya.

“Sa-saya hanya disuruh.” Aku benar-benar takut.

“Siapa?”

“Bu E-Elena.”

“Mama? Nggak mungkin. Buat apa dia melakukan ini?”

“Sa-saya tidak tahu, Pak.”

Nasib. Penguntit amatiran disuruh. Hasilnya ambyar.

“Sekarang pergi dan jangan pernah mengikuti saya lagi. Keluar!” Suaranya menggelegar.

Dengan kaki gemetar, aku pun keluar. Namun sayang, pintunya terkunci.

“Pintunya nggak bisa dibuka, Pak.”

“Dasar b*doh! Kampungan! Buka pintu kayak gitu saja nggak bisa!” Mas Aqsal pun membuka pintu. Hasilnya sama. Pintu tidak mau dibuka.

“Si*l! Ini semua gara-gara kamu!” teriaknya.

Mas Aqsal menghubungi entah siapa melalui ponselnya. Setelah itu, dia menghampiriku.

Aku takut dan memilih berjalan mundur sampai tubuh terantuk dinding.

“Ingat, urusan kita belum selesai. Setelah ini, saya akan membuat perhitungan sama kamu.” Dia begitu dekat di wajahku.

“I-iya, Pak. Maaf. Saya minta maaf.”

Saat akan melarikan diri, tanganku justru dikurung dengan dua tangannya yang menopang di tembok.

Lalu tiba-tiba lampu padam. Refleks, aku yang ketakutan langsung memeluk tubuhnya erat.

“Pak, saya takut.”

“Lepaskan saya, Bo*oh!”

Aku tetap tidak melepaskan pelukan karena memang aku yang fobia kegelapan saat mati lampu sangat ketakutan. Dia berontak, tetapi aku tidak peduli sampai kami terjatuh bersama.

Makian dan umpatan terus keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya lampu menyala dan ada beberapa karyawan yang memergoki kami saling tindih di lantai.

Entah siapa yang melaporkannya ke Mama Elena, beliau mengharuskan aku dan pria sekaligus CEO arogan itu menikah.

Pernikahan paksa tanpa cinta pun terjadi.

Bu Elena adalah bosku saat di konfeksi. Dia menyayangiku begitu tulus.

Saking sayangnya pada gadis yatim piatu ini, dia bahkan meminta sang putra bertanggung jawab karena telah melecehkanku meskipun kami sama-sama meyakinkan jika kejadian di kantor hanya salah paham.

Hingga pada suatu malam, ada maling di konfeksi saat aku dan Mama belum pulang. Maling tersebut membawa senjata tajam. Mama melawan maling itu saat aku akan ditikam karena aku berani kepada mereka. Kepala Mama dipukul sangat keras hingga pingsan. Maling yang berjumlah dua orang itu lantas melarikan diri saat sudah berhasil menggondol uang. Mama yang punya riwayat darah tinggi dan syarafnya kena pukulan itu, mengalami kelumpuhan.

Orang mungkin menganggapku b*doh, mau bertahan saat disakiti sedemikian rupa. Namun, ada banyak pertimbangan kenapa harus melakukan ini. Salah satunya, aku ingin berbakti dulu kepada Mama Elena. Jika suatu saat Mama sembuh, itu lebih baik. Sebab memang semua sakit Mama bersumber dariku.

Satu hal sebagai nilai plus pada Mas Aqsal, yaitu, sejahat dan sekejam apa pun dia kepadaku, pria itu tak berani menentang mamanya. Sepenuhnya pria berhidung mancung itu menyayangi wanita yang telah melahirkannya tersebut.

Terdengar suara pintu kamar diketuk seseorang. Aku berjingkat dari lamunan.

“Mbak, maaf mengganggu. Nyonya menolak minum obat,” ucap seseorang setelah pintu kubuka. Dia adalah Mbak Sasi, perawat Mama.

“Baiklah, biar nanti saya yang memberikannya.” Perawat itu pun mengangguk dan berlalu.

Aku mengembuskan napas panjang dan mengeluarkan cepat. Kejadian seperti ini sering terjadi. Mama menolak minum obat dan baru mau meminumnya saat aku yang memberikan.

Aku lebih baik memosisikan diri sebagai pembantu dan perawat daripada istri dan menantu di keluarga ini. Status istri tak ada artinya di mata Aqsal.

Dengan langkah gontai, kaki ini kuseret menuju kamar Mama. Saat melintasi kamar Mas Aqsal, terdengar tawanya menggema dari kamar yang sedikit terbuka tersebut. Awal menikah dulu, kami masih tidur dalam satu kamar. Akan tetapi, kamar itu terasa mati karena Mas Aqsal tak pernah membuatnya hidup. Kamar kami dingin, sedingin sikapnya yang terus menunjukkan sikap antipati padaku. Baru setelah Mama tumbang karena sakit, kami tidur terpisah kamar.

Aku yang sejak awal memang tahu dia tak menerima kehadiran diri ini, hanya bisa pasrah. Tangis dan luka memang ada, tetapi lama-lama terbiasa karena memang rasa sakit ini aku sendiri yang membuat.

Aku hanya tersenyum masam kala mendengar tawa Aqsal yang seperti tanpa beban. Bahkan senyum pun tak pernah pria itu tunjukkan padaku.

“Iya, Sayang. Besok aku akan datang.” Suara itu masih terdengar.

Apa jangan-jangan Mas Aqsal memang sudah punya kekasih di luar sana? Atau yang dipanggil sayang itu sesama jenis? Atau calon maduku?

Ah, entahlah. Memikirkan Aqsal, lama-lama pusing kepalaku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
alasan si jongos terlalu dicari2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status