Share

Silakan Menikah Lagi, Mas!
Silakan Menikah Lagi, Mas!
Author: Zuya

Bagian 1. Lepaskan Aku, Mas!

“Lepaskan aku, Mas," pintaku kepada pria di hadapan.

"Selamanya aku tidak akan melepaskanmu dari pernikahan ini! Ada simpul tak kasat mata yang sangat kuat, yang akan mengikatmu padaku selamanya. Ingat itu! Kalau kamu terus berkata seperti itu, terpaksa aku lakukan ini!" Tangannya mengayun, mendarat di kepalaku.

Aku terduduk, memekik kesakitan, lantas menangis.

“Atau silakan menikah lagi. Aku lebih suka dimadu," ujarku. Kali ini sangat lirih, sambil terisak. Rasa sakit tidak hanya di fisik, tetapi psikisku lebih hancur.

“Selamanya hanya kau istriku! Hanya kau yang menjadi samsak dalam hidupku!" Dia kembali berteriak.

“Ingat, Niha! Jangan sampai kamu lapor polisi. Kalau itu kamu lakukan, kamu tahu konsekuensinya.”

Aku melirik ke arahnya. Dia tampak mengepalkan tangan dan dada terlihat naik turun. Kemudian dia berlalu, meninggalkan rasa pening di kepalaku karena hantaman tangan kekarnya barusan. Juga hati yang berdenyut sakit luar biasa.

Air mataku berderai, kepala kutenggelamkan di tangan dan kaki. Menangis dan menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Dia, Aqsal. Seseorang yang bergelar suami, seharusnya memberi rasa nyaman dan aman kepadaku, istrinya. Dia, Aqsal. Harusnya dekapannya menjadi tempat paling damai kala rasa lelah melanda. Namun, dia lain. Pria itu sangat arogan, kasar, temperamental, dan dingin, yang selalu memperlakukanku dengan buruk. Dia, Aqsal. Pria yang matanya berkilat tajam seperti mata pisau yang siap mengoyak diriku. Tangan kekarnya seperti gada, yang selalu meremukkan jiwa dan ragaku.

Ingin sebenarnya kabur atau melapor polisi, tetapi aku tidak bisa. Ancaman sekaligus pembuktiannya lebih berbahaya jika sampai aku melakukan itu. Atau setidaknya membuat rumah tangga yang kujalani seperti pada umumnya, tetapi aku tak kuasa melunakkan kebekuan yang selalu ditunjukkannya.

Aku tak kuasa menggapai hatinya. Dinding kokoh yang sengaja didirikannya, tak mampu kurobohkan. Aku takut, ingin lepas dari jerat pernikahan toksik ini. Namun, aku tak berdaya. Mas Aqsal selalu punya cara membuatku diam hingga aku tak berkutik.

Perlakuan kasar barusan, hanya karena aku telat pulang.

***

"Lu, tuh, udah edyan tahu nggak? Saat wanita lain kebakaran jenggot suaminya nikah lagi. Lah, lu? Malah nyuruh suami nikah lagi! Otak lu udah geser berapa kilometer, hah!” maki Asti, sahabatku.

Aku hanya mengedikkan bahu. Mulut ini sibuk merasakan rasa manis dari minuman yang kupesan.

Saat ini, kami sedang berada di sebuah kafe. Asti, sahabat terbaikku itu memaksaku datang menemuinya di sini setelah semalam aku bercerita telah meminta Mas Aqsal menikah lagi. Benar saja, Asti memarahiku habis-habisan.

“Denger, ya, Ti, Siti. Pernikahan gue sama Aqsal itu tinggal menunggu waktu kapan akan, boom,” ujarku padanya. Pada kata terakhir, tanganku melebar, menunjukkan ungkapan ada ledakan besar. Siti adalah panggilan sayangku pada gadis yang sudah membersamaiku sejak SMA ini. Dialah satu-satunya orang yang paling mengerti luar dalamnya aku. Bisa dibilang dia itu tempat sampah, tempat berkeluh kesah.

Gadis itu memijat keningnya. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi tersebut.

“Niha, honeyku. Dengerin gue ya. Sekali-kali gitu, lu coba pepet itu suami lu. Pakai lingerie sambil lenggak-lenggok di depannya. Gue jamin, pasti itu garangan langsung nyerang lu, tapi bedanya kali ini lu nggak dianiaya, tapi dianuin. Nah, pasti sikap suami lu akan berubah. La ini, si Aqsal kaku, lunya jaim banget. Pernikahan lu ini, harus ada salah satu yang mancing,” ucapnya lagi.

Lagi-lagi aku hanya menanggapinya dengan menggeleng dan mata melotot. Sarannya sungguh di luar nalar.

“Hello, demi apa gue harus merendahkan harga diri gue demi dia? Dih, ogah banget. Ti, dengerin gue, ya. Sejak awal, pernikahan kami itu sakit keras. Gue nggak mau berjuang sendirian menjadi obat, sedangkan dia yang bergelar suami tidak ada niat ikut menyembuhkan pernikahan ini. Dia menolak gue mentah-mentah sejak awal pernikahan. Lu tau itu. Ada tidaknya gue, tak berpengaruh dalam hidupnya. Gue terjebak dalam hubungan menyakitkan di balik simpul pernikahan.”

Kini, bulir kristal malah dengan tidak sopannya meluncur dari mata. Ternyata, rasa sakit yang selama ini aku terima tak membuatku menjadi wanita berhati kokoh, tetapi malah membuat makin rapuh.

Asti yang awalnya duduk berseberangan denganku, kini menggeser posisinya menjadi duduk di sampingku. Tangannya merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Dalam dadanya, aku bisa terisak dengan leluasa.

“Iya, gue tahu. Kalau gitu, lawan dia.”

“Kalau gue ngelawan, akan ada banyak orang yang gue sayang, kena imbasnya. Lu tahu sendiri apa yang pernah terjadi.”

“Iya juga, sih.”

"Semalam dia ngamuk lagi. Rambut gue ditarik, kepala gue dipukul. Sampai kapan gue bisa bertahan, Ti? Apa gue harus selalu sabar dan menyerahkan begitu saja nyawa gue padanya?" Aku berkata sambil terisak. 

“Gue ini lemah jika menyangkut orang yang gue sayang. Makanya gue hanya bisa diam saat dia kayak gitu," lanjutku.

Air mata ini tak pernah aku tunjukkan pada siapa pun selain pada Asti. Terbiasa memasang topeng kuat pada orang lain, topeng itu lepas dengan sendirinya jika di depan Asti.

“Menangislah. Gue tahu ini berat buat lu. Maafkan saran yang gue berikan tadi. Gue hanya membaca dari beberapa novel, kalau wanita tak salah jika harus merebut hati suaminya, merendahkan diri demi mengiba cinta suaminya,” tutur Asti lagi.

Bahuku masih berguncang karena tangisan. Sayangnya ini bukan dunia novel. Ini duniaku, dunia Niha Fikratuhal Muna yang penuh warna hitam, pekat. Aku tak se-bucin itu harus merendahkan belas kasih, mendamba belaian, walaupun itu pada suami sendiri. Aku tak senekat tokoh novel yang sering Asti ceritakan untuk menaklukkan hati seorang Aqsal yang arogan. Hati pria itu terlalu kokoh untuk aku tembus.

“Apa tak ada cinta secuil pun di hati lu untuk suami lu itu, Ha? Kalau ada, berjuanglah agar dia bisa cinta sama lu. Ya, caranya itu tadi. Lu harus berusaha menggodanya.”

Aku menggeleng. “Saat setiap hari yang didapatkan hanya makian, cacian, bentakan, apa bisa cinta merambat ke dalamnya, Ti?”

Aku merasakan kepala Asti menggeleng. Seperti itulah, cinta yang sempat ingin aku persembahkan untuk seseorang yang bergelar suami, terpaksa aku tarik kembali setelah mengetahui watak suamiku sebenarnya. Mas Aqsal pria tak punya hati dan belas kasihan.

"Ha, asal lu tahu. Keputusan lu ini bukan keputusan terbaik. Gue yakin sakit lu ini bertambah parah saat suami lu benar-benar menikah lagi. Keenakan pasti dia lu suruh nikah lagi," ujarnya lagi.

“Gue nggak peduli. Toh, selama ini gue udah sangat menderita.”

“Atau gimana kalo gue aja yang jadi madu lu?”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nasrul Sidiq
mantul banget
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si niha sangat menikmati kekerasan yg dilakukan suaminya. si niha ka wanita g waras
goodnovel comment avatar
Wildatuz Zaqiyyah
ih, kok ngeri thor?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status