“Lepaskan aku, Mas," pintaku kepada pria di hadapan.
"Selamanya aku tidak akan melepaskanmu dari pernikahan ini! Ada simpul tak kasat mata yang sangat kuat, yang akan mengikatmu padaku selamanya. Ingat itu! Kalau kamu terus berkata seperti itu, terpaksa aku lakukan ini!" Tangannya mengayun, mendarat di kepalaku.
Aku terduduk, memekik kesakitan, lantas menangis.
“Atau silakan menikah lagi. Aku lebih suka dimadu," ujarku. Kali ini sangat lirih, sambil terisak. Rasa sakit tidak hanya di fisik, tetapi psikisku lebih hancur.
“Selamanya hanya kau istriku! Hanya kau yang menjadi samsak dalam hidupku!" Dia kembali berteriak.
“Ingat, Niha! Jangan sampai kamu lapor polisi. Kalau itu kamu lakukan, kamu tahu konsekuensinya.”
Aku melirik ke arahnya. Dia tampak mengepalkan tangan dan dada terlihat naik turun. Kemudian dia berlalu, meninggalkan rasa pening di kepalaku karena hantaman tangan kekarnya barusan. Juga hati yang berdenyut sakit luar biasa.
Air mataku berderai, kepala kutenggelamkan di tangan dan kaki. Menangis dan menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Dia, Aqsal. Seseorang yang bergelar suami, seharusnya memberi rasa nyaman dan aman kepadaku, istrinya. Dia, Aqsal. Harusnya dekapannya menjadi tempat paling damai kala rasa lelah melanda. Namun, dia lain. Pria itu sangat arogan, kasar, temperamental, dan dingin, yang selalu memperlakukanku dengan buruk. Dia, Aqsal. Pria yang matanya berkilat tajam seperti mata pisau yang siap mengoyak diriku. Tangan kekarnya seperti gada, yang selalu meremukkan jiwa dan ragaku.
Ingin sebenarnya kabur atau melapor polisi, tetapi aku tidak bisa. Ancaman sekaligus pembuktiannya lebih berbahaya jika sampai aku melakukan itu. Atau setidaknya membuat rumah tangga yang kujalani seperti pada umumnya, tetapi aku tak kuasa melunakkan kebekuan yang selalu ditunjukkannya.
Aku tak kuasa menggapai hatinya. Dinding kokoh yang sengaja didirikannya, tak mampu kurobohkan. Aku takut, ingin lepas dari jerat pernikahan toksik ini. Namun, aku tak berdaya. Mas Aqsal selalu punya cara membuatku diam hingga aku tak berkutik.
Perlakuan kasar barusan, hanya karena aku telat pulang.
***
"Lu, tuh, udah edyan tahu nggak? Saat wanita lain kebakaran jenggot suaminya nikah lagi. Lah, lu? Malah nyuruh suami nikah lagi! Otak lu udah geser berapa kilometer, hah!” maki Asti, sahabatku.
Aku hanya mengedikkan bahu. Mulut ini sibuk merasakan rasa manis dari minuman yang kupesan.
Saat ini, kami sedang berada di sebuah kafe. Asti, sahabat terbaikku itu memaksaku datang menemuinya di sini setelah semalam aku bercerita telah meminta Mas Aqsal menikah lagi. Benar saja, Asti memarahiku habis-habisan.
“Denger, ya, Ti, Siti. Pernikahan gue sama Aqsal itu tinggal menunggu waktu kapan akan, boom,” ujarku padanya. Pada kata terakhir, tanganku melebar, menunjukkan ungkapan ada ledakan besar. Siti adalah panggilan sayangku pada gadis yang sudah membersamaiku sejak SMA ini. Dialah satu-satunya orang yang paling mengerti luar dalamnya aku. Bisa dibilang dia itu tempat sampah, tempat berkeluh kesah.
Gadis itu memijat keningnya. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi tersebut.
“Niha, honeyku. Dengerin gue ya. Sekali-kali gitu, lu coba pepet itu suami lu. Pakai lingerie sambil lenggak-lenggok di depannya. Gue jamin, pasti itu garangan langsung nyerang lu, tapi bedanya kali ini lu nggak dianiaya, tapi dianuin. Nah, pasti sikap suami lu akan berubah. La ini, si Aqsal kaku, lunya jaim banget. Pernikahan lu ini, harus ada salah satu yang mancing,” ucapnya lagi.
Lagi-lagi aku hanya menanggapinya dengan menggeleng dan mata melotot. Sarannya sungguh di luar nalar.
“Hello, demi apa gue harus merendahkan harga diri gue demi dia? Dih, ogah banget. Ti, dengerin gue, ya. Sejak awal, pernikahan kami itu sakit keras. Gue nggak mau berjuang sendirian menjadi obat, sedangkan dia yang bergelar suami tidak ada niat ikut menyembuhkan pernikahan ini. Dia menolak gue mentah-mentah sejak awal pernikahan. Lu tau itu. Ada tidaknya gue, tak berpengaruh dalam hidupnya. Gue terjebak dalam hubungan menyakitkan di balik simpul pernikahan.”
Kini, bulir kristal malah dengan tidak sopannya meluncur dari mata. Ternyata, rasa sakit yang selama ini aku terima tak membuatku menjadi wanita berhati kokoh, tetapi malah membuat makin rapuh.
Asti yang awalnya duduk berseberangan denganku, kini menggeser posisinya menjadi duduk di sampingku. Tangannya merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Dalam dadanya, aku bisa terisak dengan leluasa.
“Iya, gue tahu. Kalau gitu, lawan dia.”
“Kalau gue ngelawan, akan ada banyak orang yang gue sayang, kena imbasnya. Lu tahu sendiri apa yang pernah terjadi.”
“Iya juga, sih.”
"Semalam dia ngamuk lagi. Rambut gue ditarik, kepala gue dipukul. Sampai kapan gue bisa bertahan, Ti? Apa gue harus selalu sabar dan menyerahkan begitu saja nyawa gue padanya?" Aku berkata sambil terisak.
“Gue ini lemah jika menyangkut orang yang gue sayang. Makanya gue hanya bisa diam saat dia kayak gitu," lanjutku.
Air mata ini tak pernah aku tunjukkan pada siapa pun selain pada Asti. Terbiasa memasang topeng kuat pada orang lain, topeng itu lepas dengan sendirinya jika di depan Asti.
“Menangislah. Gue tahu ini berat buat lu. Maafkan saran yang gue berikan tadi. Gue hanya membaca dari beberapa novel, kalau wanita tak salah jika harus merebut hati suaminya, merendahkan diri demi mengiba cinta suaminya,” tutur Asti lagi.
Bahuku masih berguncang karena tangisan. Sayangnya ini bukan dunia novel. Ini duniaku, dunia Niha Fikratuhal Muna yang penuh warna hitam, pekat. Aku tak se-bucin itu harus merendahkan belas kasih, mendamba belaian, walaupun itu pada suami sendiri. Aku tak senekat tokoh novel yang sering Asti ceritakan untuk menaklukkan hati seorang Aqsal yang arogan. Hati pria itu terlalu kokoh untuk aku tembus.
“Apa tak ada cinta secuil pun di hati lu untuk suami lu itu, Ha? Kalau ada, berjuanglah agar dia bisa cinta sama lu. Ya, caranya itu tadi. Lu harus berusaha menggodanya.”
Aku menggeleng. “Saat setiap hari yang didapatkan hanya makian, cacian, bentakan, apa bisa cinta merambat ke dalamnya, Ti?”
Aku merasakan kepala Asti menggeleng. Seperti itulah, cinta yang sempat ingin aku persembahkan untuk seseorang yang bergelar suami, terpaksa aku tarik kembali setelah mengetahui watak suamiku sebenarnya. Mas Aqsal pria tak punya hati dan belas kasihan.
"Ha, asal lu tahu. Keputusan lu ini bukan keputusan terbaik. Gue yakin sakit lu ini bertambah parah saat suami lu benar-benar menikah lagi. Keenakan pasti dia lu suruh nikah lagi," ujarnya lagi.
“Gue nggak peduli. Toh, selama ini gue udah sangat menderita.”
“Atau gimana kalo gue aja yang jadi madu lu?”
“Lu yakin?” tanyaku. Asti tertawa. “Enggaklah. Gila apa. Ogah banget nikah sama orang sakit jiwa kayak si Aqsal itu." Kami terdiam sebelum akhirnya Asti kembali memanggil. "Ha." “Hm.” “Gue tanya sekali lagi. Yakin lu minta suami lu nikah lagi?” Aku mengangguk mantap. Biarlah, aku sudah siap dengan segala risikonya jika Mas Aqsal menikah lagi. “Setidaknya kalau dia punya istri baru, dia jadi lupa KDRT sama gue. Itu yang gue inginkan.” Segala cara sudah aku lakukan untuk lepas atau mendekatinya, tetapi semua berakhir sia-sia. "Iya kalo lupa KDRT. Kalo lebih parah? Ha, kata orang, sakit hati rasanya lebih dahsyat." "Gue nggak peduli, Ti. Biar sekalian aja gue mati kalo gitu." “Ssst, jangan bilang ngawur gitu. Ya udah, jangan nangis lagi. Ntar cantik lu luntur. Kalau luntur, pas suami lu udah nikah nanti, lu kalah cantik sama madu lu,” seloroh Asti. Aku yang awalnya menangis, kini tertawa karena leluconnya. Aku mengurai pelukan. Asti menghapus jejak basah di pipi menggunakan uj
“Terserah! Terserah apa maumu, Mas. Tapi jangan salahkan juga kalau suatu saat jika aku sudah tidak kuat, aku akan menghilang selamanya dari hidupmu.” “Silakan, silakan menghilang. Tapi selamanya kamu tidak bisa bahagia dengan pria lain karena kamu selamanya hanya istriku. Istriku! Walaupun kamu menuntut cerai, tidak akan pernah aku kabulkan.” “Oh, istri yang kamu perlakukan seperti samsak? Mas, apa sih sebenernya maumu? Kamu kasar, tapi nggak mau melepaskanku. Lalu aku harus apa? Apa aku harus mati mengenaskan di bawah tanganmu?” “Aku mau kamu menderita. Selamanya. Itu yang aku mau. Sementara aku akan bahagia dengan istri baru. Ini, kan, maumu?” Pria itu lantas tertawa keras. Kita lihat saja. Ini juga pembuktian apakah Mas Aqsal pria normal atau memang kecurigaan Mama benar adanya bahwa dia seorang ... g*y. Jika aku tidak pernah disentuh, apa istri barunya akan disentuh dan diperlakukan manis? ** Angin malam berembus dengan kencang, membuatku makin mengeratkan silangan tangan d
Setelah mengabaikan sejenak perihal Mas Aqsal, aku kembali berjalan menuju kamar Mama. Benar saja, Mama baru mau minum obat setelah aku sendiri yang memberikannya. Setelah makan dan minum obat, sekarang beliau tidur dengan nyenyak. Kupandangi wajah yang terlihat tua dari usianya itu. Wanita ini tulus menyayangiku sejak pertama kali aku bekerja dengannya. “Entah sampai kapan aku bisa bertahan, Ma. Kalau aku nanti tidak ada lagi di rumah ini, Mama harus tetap sehat,” ucapku padanya yang sedang tidur. Kukecup pipinya. Demi apa pun, aku menghormati dan menyayanginya seperti ibu sendiri. Dialah pengganti orang tua yang sudah lama kembali pada Allah. Bapakku meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan banyak utang. Ibu jadi murung, sering sakit, sampai akhirnya ikut menyusul Bapak. Rumah peninggalan mereka terpaksa kujual demi menutupi utang dan biaya selamatan. Terpaksa kontrakan menjadi tempat tinggal. Berkali-kali aku pindah kontrakan sampai akhirnya aku merantau ke ibu kota dan
Aku mengabaikan teriakan Aqsal dan memilih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Mau pintu didobrak atau diruntuhkan, aku tidak peduli. Toh, ini bukan rumahku. Selesai mandi dan berwudu, aku keluar. Pintu sudah dalam posisi terbuka, tetapi Mas Aqsal tidak ada. Aku mencoba mengabaikan. Lebih baik laporan empat rakaat daripada memikirkan pria itu. Sampai malam, Mas Aqsal tidak ada di rumah. Itu lebih baik daripada dia menghajarku. ** “Nanti malam ikut aku ke acara kantor,” titah Aqsal pagi ini saat aku baru saja keluar kamar hendak berangkat kerja. Aku juga tidak tahu jam berapa dia pulang semalam. Jelas aku membeku untuk beberapa saat. Sejak menikah, baru kali ini dia mengajak pergi bersama. Sebagai seorang CEO sekaligus owner di PT. Ade Karya Persada, hubungan kami memang sudah resmi, tetapi aku belum pernah sekalipun diajak go publik. Aku pun sadar diri. Gurita bisnis yang tengah dikelola pria itu membuatnya menjadi penguasa. Terlebih untuk orang biasa sepertiku, tidak bis
Mataku membola saat melihat foto itu. Itu foto pria yang paling aku sayang. Di foto itu, pria tersebut sedang berada di sebuah semacam minimarket.[Mas, jangan macam-macam kamu!] Aku membalas.[Bukan aku, tapi kamu yang mencoba macam-macam. Kamu yang berulah. Cepat pulang dan kita segera berangkat. Atau kalau tidak, orang yang kamu puja di foto itu akan celaka.]Mas Aqsal memang menakutkan. Aku tahu ancamannya itu tidak main-main. Mungkin dia punya mata-mata yang terus memantau keadaan pria yang kusayang itu.[Iya, aku pasti datang. Tapi masih ada sedikit masalah. Bajuku basah.][Jangan banyak alasan! Cepat datang!]“Apa kata suami lu?” tanya Asti.“Gue pokoknya harus pulang sekarang dan tetap harus ikut ke pesta karena dia terus mengancam. Ya udah, gue balik, ya, Ti. Thanks untuk semuanya.”“Tapi baju lu?”“Nanti pasti kering.”“Mau gue anter?”Aku menggeleng. “Nggak usah. Taksi online udah nunggu di depan.”Sebelum benar-benar pergi, kami sempat cipika-cipiki.“Hati-hati di jalan, H
Selama di perjalanan, mobil terasa sepi. Baik Mas Aqsal maupun wanita yang tidak kuketahui namanya itu diam. Pun tidak menunjukkan kemesraan di hadapanku. Baguslah, setidaknya mataku terhindar dari noda dosa mereka.Aku memilih membuka ponsel untuk membuang jenuh. Sesekali membuka laman F* dan melihat video lucu di sana. Tidak sengaja, bibirku kadang tertarik karena menahan tawa.Dari spion tengah, bisa kulihat Mas Aqsal kadang melirikku. Bodoh amat.Beberapa saat kemudian, kami sampai. Mas Aqsal turun dan membuka pintu untuk wanita tersayangnya itu. Ide nakalku mendadak muncul. Aku ingin mengerjai pria itu.Mas Aqsal dan wanita itu sudah berjalan sambil bergandengan, sedangkan aku masih di dalam. Aku terus memperhatikan. Beberapa langkah, Mas Aqsal terlihat berhenti dan menatap ke arah mobil ini. Dia berbicara dengan wanita tadi, lantas berjalan ke arahku. Karena takut pria itu marah dan menghajar, aku pura-pura tidur.Terdengar bunyi pintu mobil dibuka.“Ck, menyusahkan sekali kamu!
Aku mencoba tampil percaya diri. Meski tidak ada satu pun yang kukenal di sini selain Mas Aqsal, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan mengenaskan. Maksudnya, aku harus menikmati pesta mewah ini karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.Aku berjalan dengan hati-hati.Beginilah acara orang-orang penting. Saat pesta pun, telingaku selalu menangkap pembahasan tentang pekerjaan. Mas Aqsal dan wanita tadi terlihat ke sana kemari menghampiri setiap orang. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin acara bisnis, atau mungkin sebuah undangan pernikahan keduanya nanti? Entahlah.Aku sendiri tidak tahu apa wanita yang bersamanya kini, sama dengan wanita yang diajak Mas Aqsal ke rumah dulu atau bukan.Aku tengah duduk di kursi sambil menikmati segelas es krim rasa cokelat yang aku ambil dari meja prasmanan. Berharap, dengan menikmati ini, enzim yang terkandung di dalamnya mampu mengurangi kadar stres yang tengah menekan jiwa ragaku.“Boleh duduk di sini?” Suara bariton seseorang memecah kesend
Aku masih bergeming saat Arjuna menawarkan bantuan. Pria itu terlihat mengoperasikan ponselnya. Sementara aku masih duduk bersimpuh di atas pavingblock.Tidak ingin suasana makin canggung, aku kembali mengesot, menahan sakit agar bisa sampai di bangku yang dari tadi aku incar. Biarlah aku menunggu sampai Mas Aqsal datang menjemput. Semoga dia tak sejahat itu meninggalkanku sendirian di sini.Baru sedikit digerakkan, kakiku terasa makin sakit. Aku mendesis. “Auh.”“Hey, cukup diam, jangan bergerak. Itu hanya akan membuat kakimu tambah parah!” teriak Arjun saat dia selesai dengan ponselnya. Dia mendekat dan berjongkok di hadapanku.Aku pun menghentikan aksi. Ya Allah, aku malu sudah menangis di depan orang asing.“Jangan takut sama saya. Saya tahu batasan. Tunggu sebentar lagi. Saya sedang menyuruh seseorang membawa mobil kemari. Kita obati kakimu,” lanjutnya.“Jangan, Pak. Nanti merepotkan. Bapak ke dalam saja karena acara pasti belum selesai.”Pria itu terkekeh. “Siapa namamu tadi? Bi