Aku mengabaikan teriakan Aqsal dan memilih menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Mau pintu didobrak atau diruntuhkan, aku tidak peduli. Toh, ini bukan rumahku.
Selesai mandi dan berwudu, aku keluar. Pintu sudah dalam posisi terbuka, tetapi Mas Aqsal tidak ada. Aku mencoba mengabaikan. Lebih baik laporan empat rakaat daripada memikirkan pria itu.
Sampai malam, Mas Aqsal tidak ada di rumah. Itu lebih baik daripada dia menghajarku.
**
“Nanti malam ikut aku ke acara kantor,” titah Aqsal pagi ini saat aku baru saja keluar kamar hendak berangkat kerja. Aku juga tidak tahu jam berapa dia pulang semalam.
Jelas aku membeku untuk beberapa saat. Sejak menikah, baru kali ini dia mengajak pergi bersama. Sebagai seorang CEO sekaligus owner di PT. Ade Karya Persada, hubungan kami memang sudah resmi, tetapi aku belum pernah sekalipun diajak go publik. Aku pun sadar diri. Gurita bisnis yang tengah dikelola pria itu membuatnya menjadi penguasa. Terlebih untuk orang biasa sepertiku, tidak bisa melawan pria pemilik bisnis supermarket, hotel, dan beberapa tempat wisata tersebut.
Kamar kami bersebelahan, tetapi apa iya dari tadi dia menungguku keluar kamar? Atau memang kebetulan pas dia keluar kamar juga?
“Nanti jam delapan malam,” ujarnya lagi.
Aku berdecak. “Nggak biasanya kamu ngajak aku. Maaf, sepertinya aku nggak bisa,” tolakku.
Manusia dingin sepertinya harus diimbangi dengan sikap dingin pula. Maaf-maaf saja jika harus mencairkan sikapnya itu. Dia bisa sesuka hatinya, aku pun bisa.
Dulu, aku pernah berusaha mengambil hati Mas Aqsal, tetapi akhirnya malu sendiri karena dia terus menolak. Aku memilih menyudahi pengharapan dan ikut bersikap dingin kepadanya.
Dia mencekal kedua lenganku. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku, membuatku memilih terpejam.
“Ini bukan ajakan, tapi perintah! Pemilik acara nanti malam adalah rekan Mama, hadir saat pernikahan kita dulu. Aku tak menerima penolakan. Kalau tidak, seperti yang sudah-sudah.”
“Mas, bisa nggak sih, jangan kasar! Sakit!” bentakku.
“Kamu yang selalu memancingku bertindak seperti ini. Ingat, nanti malam!” Setelah mengatakan itu, dia melepaskan cekalan. Aku baru berani membuka mata. Sementara dia sudah pergi dari hadapanku. Dasar manusia pemaksa. Dia selalu punya cara mengancam dan aku tidak bisa berkutik.
**
Saat di konfeksi, pikiranku sibuk dengan ajakan Mas Aqsal. Mulai dari baju apa yang harus aku pakai, haruskah aku memakai high heels, cara table manner dan tetek bengek lainnya yang aku tidak tahu-menahu soal itu.
Ini kali pertama pria songong itu mengajakku pergi. Jadi aku harus semaksimal mungkin memberi kesan terbaik. Bukan untuk menarik simpati Aqsal, bukan. Akan tetapi, untuk menunjukkan padanya kalau aku bukan wanita yang memalukan saat diajak ke acara jamuan dengan orang kaya meski sebenarnya grogi luar biasa.
Asti, ya, mungkin gadis itu bisa membantu. Saat jam istirahat di kantor tempatnya bekerja, aku mencoba menghubungi wanita berparas manis itu.
“Ada apa lagi? Baru kemarin gue denger suara lu nangis-nangis. Jangan bilang kalau kali ini lu mau curhat masalah sama lagi. Big no, Niha. Simpan saja nama pria sakit jiwa itu sampai waktu yang gue tentukan. Gue sedang eneg denger nama dia,” cerocosnya sesaat setelah mengucapkan salam.
Aku hanya terbahak-bahak. “Bukan, Siti. Aqsal minta gue nemenin di menghadiri sebuah acara. Kali ini bantuin gue milih gaun pesta dan mekap, juga kawan-kawannya. Ya, ya, please,” mohonku.
Wanita di seberang ponsel terdengar berteriak heboh. “Serius, lu? Wah, demi apa coba? Pasti syaiton yang menempel di tubuh suami lu itu lagi jalan-jalan ke tubuh manusia lain. Oke, gue bantu dengan senang hati. Gue doain, di pesta itu nanti lu ada yang ngelirik. Biar pas jadi jendes, lu langsung laku.” Diakhiri tawanya yang menggelegar.
Aku di sisi sini hanya menanggapinya dengan senyum masam. Ucapan Asti sedikit banyak mencubitku. Janda, perceraian, tak ada wanita yang menginginkan itu semua. Perbuatan itu pun dibenci oleh Allah. Namun, aku tak kuasa jika harus berjuang saat sikap Aqsal begitu kasar padaku. Aku tak mau memperjuangkan rumah tanggaku seorang diri.
Hubungan kami memang berjalan pincang sejak awal dan aku tidak kuasa membuatnya tegak. Bukan tidak mau, tetapi lebih tepatnya tidak mampu.
“Acaranya jam berapa?” tanya Asti.
“Jam delapan.”
“Ya udah, pulang kerja lu datang ke kantor gue, nanti kita nyari baju sekalian salon buat dandanin lu. Gue pengen lihat, seperti apa si Aqsal panas-dingin lihat bidadari yang kabur dari surga.” Ucapan Asti hanya aku tanggapi dengan tawa.
Asti wanita, bisa-bisanya mengada-ada. Setelah berbicara panjang lebar, panggilan diakhiri.
Asti bekerja di sebuah pabrik sepatu bagian keuangan. Dia anak orang berada, bisa kuliah dan memiliki pekerjaan layak. Tidak sepertiku yang hanya lulusan SMA.
Setelah lulus, aku ke sana kemari bekerja sampai akhirnya merantau dan ikut Mama Elena. Lima tahun sudah aku ikut beliau. Hingga usiaku yang menginjak 25 tahun, aku tak punya pengalaman apa-apa selain menjahit. Duniaku hanya mesin jahit, kain, jarum, benang, pesanan, dan saudara-saudaranya itu.
Itulah juga salah alasan kenapa aku tak kuasa menolak permintaan Mama menikahi Mas Aqsal meski awalnya sulit dan kini makin rumit. Demi bakti seorang karyawan yang telah banyak dibantu sang bos.
**
Setelah mendapatkan baju yang sesuai kriteria Asti, dia membawaku ke sebuah salon langganannya. Mulutku tak hentinya mengingatkan perias agar tidak memolesnya secara tebal. Aku baru mau dirias setelah salat Magrib. Sayang sekali kalau harus meninggalkan kewajiban salat demi sebuah tampilan luar. Beruntung Asti mengerti.
“Aduh, lu, tuh, percaya aja, deh, sama ahlinya. Lu cukup diem, anteng, ntar tinggal terima jadi,” omel Asti saat aku terus melayangkan protes.
Setelah beberapa saat kemudian, penata rias mengatakan telah selesai. Begitu melihat hasilnya, aku tercengang melihat pantulan wajah ini di cermin. Sumpah, itu seperti bukan aku. Memakai baju berwarna maroon dan pasmina nude, kata Asti sekarang aku sudah seperti nyonya besar. Ada-ada saja.
“Nah loh, dijamin si Aqsal sering-sering neguk air liur,” puji Asti saat melihatku, saat selesai didandani.
“Heleh, bisa aja, lu, Ti.”
“Tapi itu pun kalau suami lu normal. Kalo dia pencinta ‘pisang’ ya lain lagi ceritanya.”
Aku terdiam. Semenjak menikah, aku bahkan lupa dengan masalah satu itu sebab sibuk di konfeksi dan merawat Mama. Selama tinggal sekamar pun, Mas Aqsal tidak pernah menatapku dengan pandangan mendamba. Pun tidak ada alasan untukku mencurigainya karena memang aku tidak tahu kegiatannya di luar. Haruskah aku menyelidikinya lagi?
“Tanyain suami lu sana. Nanti dia jemput atau lu kudu datang sendiri.” Ucapan Asti membuatku menoleh.
Aku mengangguk, mengeluarkan ponsel dari dalam tas, dan mengirim pesan pada Mas Aqsal. Hingga satu jam, pesan itu hanya centang satu, takada balasan.
Karena sudah tampil sempurna, Asti menyuruhku pulang saja memakai taksi, sedangkan sepeda motorku dititipkan di salon ini. Takutnya Mas Aqsal ternyata sudah menunggu di rumah. Aku hanya bisa menurut.
Sebelum berpisah, Asti juga memintaku berlatih berjalan dengan anggun dan mengajariku cara makan yang baik dan benar. Namun, aku menolak karena malu melakukan itu.
“Ayo belajar!” paksanya.
Aku pun menurut. Bukannya berhasil, aku justru menubruk tubuh Asti yang sedang minum. Gaunku pun basah.
“Lu, sih, nggak hati-hati,” omelnya sambil membantuku membersihkan teh yang membasahi baju.
Saat sedang bingung bagaimana cara mengeringkan baju, ponselku berbunyi. Mas Aqsal telepon.
“Angkat aja udah. Bilang kalo masih ada masalah dikit.” Asti yang tahu siapa yang menelepon berujar.
Aku menggeleng. “Aku nggak usah ikut aja di acara itu.”
Mas Aqsal ganti mengirim pesan gambar seseorang.
[Kamu di mana? Kalau sampai kamu ingkar, tahu ini foto siapa?]
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang