Setelah mengabaikan sejenak perihal Mas Aqsal, aku kembali berjalan menuju kamar Mama.
Benar saja, Mama baru mau minum obat setelah aku sendiri yang memberikannya. Setelah makan dan minum obat, sekarang beliau tidur dengan nyenyak.
Kupandangi wajah yang terlihat tua dari usianya itu. Wanita ini tulus menyayangiku sejak pertama kali aku bekerja dengannya.
“Entah sampai kapan aku bisa bertahan, Ma. Kalau aku nanti tidak ada lagi di rumah ini, Mama harus tetap sehat,” ucapku padanya yang sedang tidur. Kukecup pipinya. Demi apa pun, aku menghormati dan menyayanginya seperti ibu sendiri. Dialah pengganti orang tua yang sudah lama kembali pada Allah.
Bapakku meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan banyak utang. Ibu jadi murung, sering sakit, sampai akhirnya ikut menyusul Bapak. Rumah peninggalan mereka terpaksa kujual demi menutupi utang dan biaya selamatan. Terpaksa kontrakan menjadi tempat tinggal.
Berkali-kali aku pindah kontrakan sampai akhirnya aku merantau ke ibu kota dan bekerja di konfeksi milik Mama Elena. Di situ kehidupanku mulai tertata. Sampai akhirnya aku menjadi menantu beliau.
Jika pergi dari Mas Aqsal, aku terpaksa harus hidup nomaden lagi karena aku tidak punya apa-apa. Bukan masalah.
Mulai sekarang pun, aku harus menjaga jarak agar Mama tidak terlalu bergantung lagi padaku saat meminum obat.
Aku harus bertahan. Setelah urusan paling utama selesai, aku akan pergi dari Mas Aqsal.
Malam ini, aku memutuskan untuk tidur di samping Mama dengan memeluknya erat. Mungkin suatu hari ini aku akan merindukan momen ini jika kami berjauhan.
***
“Pagi, Mbak Sa. Masak apa, nih?” sapaku pagi ini pada salah satu ART bagian dapur. Wanita yang masih terbilang muda itu tersenyum.
“Pagi juga, Mbak Niha. Ini lagi mau masak ikan salmon request dari Tuan Muda,” jawabnya. Aku menghampirinya yang sedang berkutat di depan kompor.
“Wih, lezat kayaknya. Oh, iya, Mama sudah bangun?”
“Belum kayaknya.”
Memang, langit masih terlihat gelap. Pantas saja Mama belum bangun. Dulu, aku sering memaksa ikut memasak, tetapi Mama selalu melarang. Aku pun hanya bisa pasrah.
Aku mengambil air hangat dan meminumnya. Hal ini rutin aku lakukan setiap pagi untuk menjaga kesehatan pencernaan dan metabolisme. Selain itu, juga untuk membakar lemak agar berat tubuhku selalu ideal.
“Ya sudah, saya tengok Mama dulu, ya.”
Mbak Sa mengangguk.
Setelah memastikan Mama bangun, mandi, dan mengingatkan Mama salat meski entah dia melakukannya atau tidak, aku olahraga kecil dengan berlari mengelilingi rumah. Kebiasaan ini juga rutin aku lakukan setiap hari untuk kebugaran.
Saat sedikit capek, aku berhenti dengan napas terengah-engah. Sialnya, ternyata aku berhenti tepat di bawah kamar Aqsal. Pria itu berdeham keras dari atas. Saat aku mendongak, terlihat dia sedang bertelanjang dada sambil olahraga sederhana juga di balkon kamarnya.
Huh, bahkan kekarnya ototnya pun tak membuat mataku khilaf. Aku melengos dan kembali melanjutkan lari.
***
“El Konfeksi” adalah nama usaha Mama Elena yang kini aku pegang sejak beliau sakit. Banyak orang memandang buruk kepadaku. Mereka berasumsi jika aku yang menyuruh maling itu agar Mama sakit, supaya usaha ini jatuh ke tanganku.
Demi Allah aku tidak selicik itu dan semua yang terjadi adalah musibah. Akan tetapi, Mas Aqsal ikut percaya dengan berita itu. Kebenciannya kepadaku pun makin bertumpuk. Dulu, dia tidak pernah main tangan. Namun, sejak Mama sakit, dia jadi brutal seperti itu.
“Mbak Niha, ada pesanan baju seragam lagi dari beberapa sekolah, sedangkan yang kemarin saja belum sepenuhnya selesai,” ungkap Fatim. Dulu dia asisten Mama, sekarang beralih menjadi asistenku.
“Deadline yang diminta gimana?”
“Mereka minta disegerakan juga.”
“Oke, kamu hubungi pihak sana, kalau mau mundur seminggu. Nanti kita bawakan bahan pada para penjahit agar dibuat lembur di rumah mereka. Kalau tetap tidak memenuhi target, kita pikirkan cara selanjutnya. Misalnya mencari penjahit untuk kerja sementara,” putusku. Fatim mengangguk dan berlalu dari ruanganku.
Aku terpejam. Sangat bersyukur, konfeksi ini masih menjadi kepercayaan pelanggan meski punggawanya sedang sakit. Akan tetapi, musim tahun ajaran baru seperti ini membuat para karyawan bekerja keras dua kali lipat. Kasihan, tetapi setimpal dengan gaji yang didapat.
Jika sedang kewalahan seperti ini, aku kadang ikut turun tangan. Namun, hanya sesekali sebab aku juga sering keluar untuk mencari kain atau bahan yang habis.
***
Setelah pekerjaan yang menyita tenaga dan pikiran berakhir, sore harinya aku pulang dengan kondisi lelah luar biasa. Saat melewati halaman, ada mobil asing terparkir. Aku hanya melewatinya.
Ke mana-mana, aku nyaman menggunakan sepeda motor. Sebenarnya Mama sudah membelikan mobil, tetapi mobil itu jarang aku pakai. Memakainya pun jika hanya membeli kain dalam jumlah banyak, sedangkan tokonya tidak mau mengirim. Di luar itu, aku lebih nyaman memakai sepeda motor.
Sesudah memarkirkan motor di garasi, aku pun berniat langsung masuk rumah. Begitu kaki tepat berada di tengah pintu, dadaku memanas seketika. Di sana, terlihat Aqsal sedang memangku seorang perempuan berbaju kurang bahan. Wajah perempuan itu belum sepenuhnya terlihat karena posisinya membelakangiku.
Tak sampai di situ, mereka berdua juga melakukan hal tak senonoh di ruang tamu. Sambil menguatkan hati, aku mencoba tak acuh dengan mereka. Kembali kaki ini mengayun menuju kamar.
“Hey, sudah pulang? Sini, kenalan dulu sama calon madu yang kamu minta kemarin.” Suara bariton itu tak kuhiraukan. Kaki ini terus melangkah.
Saat akan naik tangga, sebuah cekalan di tangan membuatku berhenti.
“Kalau suami ngomong itu didengerin, jangan dicuekin!” bentaknya.
Bibirku terangkat sebelah. Sejak kapan pria arogan ini memosisikan diri sebagai suami?
“Suami? Suami apa yang tiap hari KDRT. Suami zalim?” desisku.
“Kamu! Setidaknya kenalanlah dulu. Siapa tahu kalian nanti akur jika tinggal serumah.”
“Ya, ya, terserah siapa saja yang kamu pilih. Terserah kamu mau apa. Aku nggak pe-du-li,” ucapku penuh penekanan di akhir kata.
Kulepas paksa cekalan tangannya dan berlari menaiki tangga. Aku memijat kening saat tiba di kamar. Tubuh kurebahkan di ranjang. Aku kira, aku akan baik-baik saja menerima semua itu. Namun, ternyata aku salah. Asti benar, walaupun tak ada cinta di hatiku untuk Mas Aqsal, rasanya tetap nyeri saat melihatnya bersama wanita lain.
Aku iri melihat perempuan lain diperlakukan manis oleh Aqsal. Sementara aku, sama sekali tak pernah diperlakukan demikian.
Hai, hati, ayo kita berjuang lebih keras lagi. Pasti bisa.
“Niha! Buka! Keluar sebelum aku dobrak pintunya!”
Astaga. Apa sebenarnya mau pria itu?
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang