Share

Bagian 4. Entah Sampai Kapan

Setelah mengabaikan sejenak perihal Mas Aqsal, aku kembali berjalan menuju kamar Mama.

Benar saja, Mama baru mau minum obat setelah aku sendiri yang memberikannya. Setelah makan dan minum obat, sekarang beliau tidur dengan nyenyak.

Kupandangi wajah yang terlihat tua dari usianya itu. Wanita ini tulus menyayangiku sejak pertama kali aku bekerja dengannya.

“Entah sampai kapan aku bisa bertahan, Ma. Kalau aku nanti tidak ada lagi di rumah ini, Mama harus tetap sehat,” ucapku padanya yang sedang tidur. Kukecup pipinya. Demi apa pun, aku menghormati dan menyayanginya seperti ibu sendiri. Dialah pengganti orang tua yang sudah lama kembali pada Allah.

Bapakku meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan banyak utang. Ibu jadi murung, sering sakit, sampai akhirnya ikut menyusul Bapak. Rumah peninggalan mereka terpaksa kujual demi menutupi utang dan biaya selamatan. Terpaksa kontrakan menjadi tempat tinggal.

Berkali-kali aku pindah kontrakan sampai akhirnya aku merantau ke ibu kota dan bekerja di konfeksi milik Mama Elena. Di situ kehidupanku mulai tertata. Sampai akhirnya aku menjadi menantu beliau.

Jika pergi dari Mas Aqsal, aku terpaksa harus hidup nomaden lagi karena aku tidak punya apa-apa. Bukan masalah.

Mulai sekarang pun, aku harus menjaga jarak agar Mama tidak terlalu bergantung lagi padaku saat meminum obat.

Aku harus bertahan. Setelah urusan paling utama selesai, aku akan pergi dari Mas Aqsal.

Malam ini, aku memutuskan untuk tidur di samping Mama dengan memeluknya erat. Mungkin suatu hari ini aku akan merindukan momen ini jika kami berjauhan.

***

“Pagi, Mbak Sa. Masak apa, nih?” sapaku pagi ini pada salah satu ART bagian dapur. Wanita yang masih terbilang muda itu tersenyum.

“Pagi juga, Mbak Niha. Ini lagi mau masak ikan salmon request dari Tuan Muda,” jawabnya. Aku menghampirinya yang sedang berkutat di depan kompor.

“Wih, lezat kayaknya. Oh, iya, Mama sudah bangun?”

“Belum kayaknya.”

Memang, langit masih terlihat gelap. Pantas saja Mama belum bangun. Dulu, aku sering memaksa ikut memasak, tetapi Mama selalu melarang. Aku pun hanya bisa pasrah. 

Aku mengambil air hangat dan meminumnya. Hal ini rutin aku lakukan setiap pagi untuk menjaga kesehatan pencernaan dan metabolisme. Selain itu, juga untuk membakar lemak agar berat tubuhku selalu ideal.

“Ya sudah, saya tengok Mama dulu, ya.”

Mbak Sa mengangguk.

Setelah memastikan Mama bangun, mandi, dan mengingatkan Mama salat meski entah dia melakukannya atau tidak, aku olahraga kecil dengan berlari mengelilingi rumah. Kebiasaan ini juga rutin aku lakukan setiap hari untuk kebugaran.

Saat sedikit capek, aku berhenti dengan napas terengah-engah. Sialnya, ternyata aku berhenti tepat di bawah kamar Aqsal. Pria itu berdeham keras dari atas. Saat aku mendongak, terlihat dia sedang bertelanjang dada sambil olahraga sederhana juga di balkon kamarnya.

Huh, bahkan kekarnya ototnya pun tak membuat mataku khilaf. Aku melengos dan kembali melanjutkan lari.

***

“El Konfeksi” adalah nama usaha Mama Elena yang kini aku pegang sejak beliau sakit. Banyak orang memandang buruk kepadaku. Mereka berasumsi jika aku yang menyuruh maling itu agar Mama sakit, supaya usaha ini jatuh ke tanganku.

Demi Allah aku tidak selicik itu dan semua yang terjadi adalah musibah. Akan tetapi, Mas Aqsal ikut percaya dengan berita itu. Kebenciannya kepadaku pun makin bertumpuk. Dulu, dia tidak pernah main tangan. Namun, sejak Mama sakit, dia jadi brutal seperti itu.

“Mbak Niha, ada pesanan baju seragam lagi dari beberapa sekolah, sedangkan yang kemarin saja belum sepenuhnya selesai,” ungkap Fatim. Dulu dia asisten Mama, sekarang beralih menjadi asistenku.

“Deadline yang diminta gimana?”

“Mereka minta disegerakan juga.”

“Oke, kamu hubungi pihak sana, kalau mau mundur seminggu. Nanti kita bawakan bahan pada para penjahit agar dibuat lembur di rumah mereka. Kalau tetap tidak memenuhi target, kita pikirkan cara selanjutnya. Misalnya mencari penjahit untuk kerja sementara,” putusku. Fatim mengangguk dan berlalu dari ruanganku.

Aku terpejam. Sangat bersyukur, konfeksi ini masih menjadi kepercayaan pelanggan meski punggawanya sedang sakit. Akan tetapi, musim tahun ajaran baru seperti ini membuat para karyawan bekerja keras dua kali lipat. Kasihan, tetapi setimpal dengan gaji yang didapat.

Jika sedang kewalahan seperti ini, aku kadang ikut turun tangan. Namun, hanya sesekali sebab aku juga sering keluar untuk mencari kain atau bahan yang habis.

***

Setelah pekerjaan yang menyita tenaga dan pikiran berakhir, sore harinya aku pulang dengan kondisi lelah luar biasa. Saat melewati halaman, ada mobil asing terparkir. Aku hanya melewatinya.

Ke mana-mana, aku nyaman menggunakan sepeda motor. Sebenarnya Mama sudah membelikan mobil, tetapi mobil itu jarang aku pakai. Memakainya pun jika hanya membeli kain dalam jumlah banyak, sedangkan tokonya tidak mau mengirim. Di luar itu, aku lebih nyaman memakai sepeda motor.

Sesudah memarkirkan motor di garasi, aku pun berniat langsung masuk rumah. Begitu kaki tepat berada di tengah pintu, dadaku memanas seketika. Di sana, terlihat Aqsal sedang memangku seorang perempuan berbaju kurang bahan. Wajah perempuan itu belum sepenuhnya terlihat karena posisinya membelakangiku.

Tak sampai di situ, mereka berdua juga melakukan hal tak senonoh di ruang tamu. Sambil menguatkan hati, aku mencoba tak acuh dengan mereka. Kembali kaki ini mengayun menuju kamar.

“Hey, sudah pulang? Sini, kenalan dulu sama calon madu yang kamu minta kemarin.” Suara bariton itu tak kuhiraukan. Kaki ini terus melangkah.

Saat akan naik tangga, sebuah cekalan di tangan membuatku berhenti.

“Kalau suami ngomong itu didengerin, jangan dicuekin!” bentaknya.

Bibirku terangkat sebelah. Sejak kapan pria arogan ini memosisikan diri sebagai suami?

“Suami? Suami apa yang tiap hari KDRT. Suami zalim?” desisku.

“Kamu! Setidaknya kenalanlah dulu. Siapa tahu kalian nanti akur jika tinggal serumah.”

“Ya, ya, terserah siapa saja yang kamu pilih. Terserah kamu mau apa. Aku nggak pe-du-li,” ucapku penuh penekanan di akhir kata.

Kulepas paksa cekalan tangannya dan berlari menaiki tangga. Aku memijat kening saat tiba di kamar. Tubuh kurebahkan di ranjang. Aku kira, aku akan baik-baik saja menerima semua itu. Namun, ternyata aku salah. Asti benar, walaupun tak ada cinta di hatiku untuk Mas Aqsal, rasanya tetap nyeri saat melihatnya bersama wanita lain.

Aku iri melihat perempuan lain diperlakukan manis oleh Aqsal. Sementara aku, sama sekali tak pernah diperlakukan demikian.

Hai, hati, ayo kita berjuang lebih keras lagi. Pasti bisa.

“Niha! Buka! Keluar sebelum aku dobrak pintunya!”

Astaga. Apa sebenarnya mau pria itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status