Mataku membola saat melihat foto itu. Itu foto pria yang paling aku sayang. Di foto itu, pria tersebut sedang berada di sebuah semacam minimarket.
[Mas, jangan macam-macam kamu!] Aku membalas.
[Bukan aku, tapi kamu yang mencoba macam-macam. Kamu yang berulah. Cepat pulang dan kita segera berangkat. Atau kalau tidak, orang yang kamu puja di foto itu akan celaka.]
Mas Aqsal memang menakutkan. Aku tahu ancamannya itu tidak main-main. Mungkin dia punya mata-mata yang terus memantau keadaan pria yang kusayang itu.
[Iya, aku pasti datang. Tapi masih ada sedikit masalah. Bajuku basah.]
[Jangan banyak alasan! Cepat datang!]
“Apa kata suami lu?” tanya Asti.
“Gue pokoknya harus pulang sekarang dan tetap harus ikut ke pesta karena dia terus mengancam. Ya udah, gue balik, ya, Ti. Thanks untuk semuanya.”
“Tapi baju lu?”
“Nanti pasti kering.”
“Mau gue anter?”
Aku menggeleng. “Nggak usah. Taksi online udah nunggu di depan.”
Sebelum benar-benar pergi, kami sempat cipika-cipiki.
“Hati-hati di jalan, Ha.”
Aku mengangguk. “Pasti.”
Di luar, aku langsung masuk mobil dan kendaraan beroda empat ini melesat membelah jalanan malam.
Aku kembali melihat ke arah gaun. Noda yang ditinggalkan teh cukup membuat kotor. Berbeda ceritanya jika air putih biasa, pasti tidak meninggalkan bekas warna. Apa iya aku harus pergi dalam kondisi seperti ini? Enggak, aku harus cari cara.
“Pak, nanti tolong mampir di toko pakaian muslim, sebentar, ya,” pintaku kepada pengemudi.
“Siap, Kak.”
Pengemudi itu lantas menghentikan mobil di pelataran sebuah toko baju muslimah brand ternama. Aku langsung turun dan memilih baju yang kurasa cocok untuk acara pesta. Semoga Mas Aqsal sabar menunggu.
Pilihanku jatuh bada gamis satin berwarna mustard dengan kombinasi brukat lengkap dengan pasminanya. Aku lebih nyaman dan suka memakai baju seperti ini daripada gaun glamour seperti yang dipilihkan Asti tadi. Tadi, bagiku terkesan berlebihan. Aku lebih suka baju simpel asal tetap sopan.
Dengan cepat, aku membayar dan sekalian berganti pakaian di ruang ganti. Untuk hijab, aku terbiasa menggunakannya dan tidak terlalu memakan waktu lama.
Setelah selesai, aku kembali ke taksi dan perjalanan kembali dilanjutkan.
“Kak, boleh saya jujur?” tanya pengemudi.
“Tentang?”
“Maaf, penampilan Kakak jauh lebih baik yang ini daripada yang tadi. Yang tadi, justru kayak ibu-ibu. Maaf sekali lagi.”
Aku hanya tersenyum. Pengemudi itu memang sepemikiran denganku. Hanya saja, aku tidak bisa menolak saat Asti memaksaku memakai gaun yang kini ada di kantong plastik sampingku duduk.
“Ya, nggak apa-apa.”
Aku mengira hanya seleraku yang payah dan selera Asti lebih wah. Ternyata pengemudi ini juga sama sepertiku. Atau pengemudi yang masih muda ini hanya berniat menggoda? Entahlah.
“Kakak mau ada acara?” tanya pengemudi itu lagi.
“I-iya.”
Kami pun mengobrolkan banyak hal. Pria itu juga jujur kalau dia sebenarnya orang berada, hanya saja menggunakan mobilnya untuk menambah penghasilan untuk uang jajan.
“Saya masih kuliah, Kak. Baru semester enam,” paparnya tanpa kuminta.
Ah, dia berondong ternyata.
**
Setelah sampai di rumah, benar saja, mobil Mas Aqsal sudah terparkir di garasi. Dengan langkah sepelan mungkin karena menggunakan wedges, aku masuk ke rumah.
Asti tidak menyarankan menggunakan high heels, dia menyuruhku menggunakan wedges agar kakiku yang tidak terbiasa menggunakan sepatu hak tinggi ini tidak mudah terkilir. Idenya lumayan juga meskipun aku tetap saja kesusahan.
Langkahku terhenti saat membuka pintu utama. Lagi, Mas Aqsal membawa wanita seksi ke rumah. Wanita ini wanita sama dengan yang kemarin atau bukan, aku pun tidak paham. Atau mungkin stok wanitanya banyak?
“Assalamualaikum,” sapaku.
Mas Aqsal dan wanita cantik itu menoleh.
“Dari mana saja kamu!” bentak Mas Aqsal setelah dia melihatku. Dia yang awalnya duduk, menjadi berdiri. Untuk sesaat, aku tergemap. Dia tega membentakku di depan orang asing.
“Kamu pikir kamu ini siapa sampai membuatku menunggu lama, hah!”
“Tadi dari beli baju,” jawabku lirih sambil tangan terus memilin kantong plastik.
“Oh, mau tampil maksimal? Tak perlulah dandan menor seperti ini. Jatuhnya malah seperti badut. Memalukan! Kamu nanti harus dihukum karena telat! Untuk sekarang, lebih baik segera berangkat. Gara-gara kamu aku jadi telat!” bentaknya lagi sambil berjalan ke arahku.
“Begini salah, begitu salah! Apa, sih, maumu Mas! Atau lebih baik aku tidak usah berdandan biar mirip kacung daripada istrimu, iya!”
“Sudah salah, masih saja berani. Diam kamu!”
Tanganku dicengkeram kuat olehnya. Dengan sedikit menyeret, dia membawa tubuhku keluar rumah. Wanita cantik tadi mengikuti di belakang. Saat aku melirik sedikit ke arahnya, bibirnya tersungging sebelah. Mungkin dia sedang menertawakan nasibku.
Aku kesulitan mengimbangi langkahnya saat memakai sandal hak tinggi ini. Namun, Mas Aqsal tidak peduli. Ia tetap menyeret tanganku.
“Sayang, aku mau duduk di depan,” rengek wanita itu saat kami tiba di mobil yang terparkir. Tangannya bergelayut di lengan Mas Aqsal. Menjijikkan.
“Aku tak usah ikut saja. Daripada membuat malu nanti. Kalian pergilah berdua,” ucapku pada akhirnya.
“Heh! Sejak kapan aku meminta pendapatmu. Kamu tetap ikut!” Suara Mas Aqsal tetap tinggi.
“Aku benar-benar bingung sama kamu, Mas. Kamu merendahkanku meski di sini ada orang lain. Saat aku nggak ikut, kamu juga marah. Heran!”
“Dia bukan orang lain, tapi wanita spesial. Sudahlah, Niha. Jangan banyak protes. Kita sudah sangat terlambat gara-gara kamu. Masuk mobil cepat!”
Ya Allah, kalau ada jasa tukar suami, dengan senang hati aku akan menukarnya dengan pria lain yang lebih lembut dan perhatian.
Mas Aqsal masuk mobil, diikuti wanita tadi di sampingnya. Sambil mengembuskan napas pendek, aku tetap berdiri di samping mobil.
Pria itu menekan klakson dengan keras dan panjang. Kaca mobil diturunkan, dia berteriak.
“Masuk, Niha. Sebelum aku membuktikan ancamanku!”
Aku pun mengalah dan masuk di kursi belakang.
Neraka dunia. Ini benar-benar neraka dunia.
Sebelum gas diinjak, Mas Aqsal mencium wanita di sampingnya. Aku melengos.
“Mulai sekarang, kamu harus terbiasa melihat semua ini. Jangan cemburu karena ini pilihanmu,” ujar Mas Aqsal sambil menoleh ke arahku.
“Oh, bangga melakukan itu padahal belum halal? Minimal nikahi dulu, baru aku akan cemburu. Atau kamu mau aku merekam ulah menjijikkan kalian? Ayo, lakukan lagi. Nih, aku ambil ponsel.” Aku menantang. Kuambil ponsel dari tas dan mengarahkan kepada mereka.
“Niha, kau!”
“Apa? Aku apa? Ayo ulangi adegan tadi. Biar aku viralkan. Lantas apa yang terjadi? Video seorang CEO Ade Karya Persada sedang bercu*bu di hadapan istri sahnya dengan wanita asing akan tersebar luas. Mau?”
“Niha!”
“Apa lagi? Mau mengancam? Silakan. Mungkin akan ada yang terluka jika ancaman-ancamanmu itu kamu buktikan. Tapi ada juga yang dipermalukan, yaitu kamu. Kita impas.”
“Kau!”
“Kenapa? Ayo berangkat. Katamu sudah sangat terlambat, bukan?”
Mas Aqsal kembali melihat depan. Ia memukul setirnya kuat.
Kulihat wanita itu tidak berkutik.
Aku suka ini. Skor kita satu sama, Suamiku.
Selama di perjalanan, mobil terasa sepi. Baik Mas Aqsal maupun wanita yang tidak kuketahui namanya itu diam. Pun tidak menunjukkan kemesraan di hadapanku. Baguslah, setidaknya mataku terhindar dari noda dosa mereka.Aku memilih membuka ponsel untuk membuang jenuh. Sesekali membuka laman F* dan melihat video lucu di sana. Tidak sengaja, bibirku kadang tertarik karena menahan tawa.Dari spion tengah, bisa kulihat Mas Aqsal kadang melirikku. Bodoh amat.Beberapa saat kemudian, kami sampai. Mas Aqsal turun dan membuka pintu untuk wanita tersayangnya itu. Ide nakalku mendadak muncul. Aku ingin mengerjai pria itu.Mas Aqsal dan wanita itu sudah berjalan sambil bergandengan, sedangkan aku masih di dalam. Aku terus memperhatikan. Beberapa langkah, Mas Aqsal terlihat berhenti dan menatap ke arah mobil ini. Dia berbicara dengan wanita tadi, lantas berjalan ke arahku. Karena takut pria itu marah dan menghajar, aku pura-pura tidur.Terdengar bunyi pintu mobil dibuka.“Ck, menyusahkan sekali kamu!
Aku mencoba tampil percaya diri. Meski tidak ada satu pun yang kukenal di sini selain Mas Aqsal, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan mengenaskan. Maksudnya, aku harus menikmati pesta mewah ini karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.Aku berjalan dengan hati-hati.Beginilah acara orang-orang penting. Saat pesta pun, telingaku selalu menangkap pembahasan tentang pekerjaan. Mas Aqsal dan wanita tadi terlihat ke sana kemari menghampiri setiap orang. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin acara bisnis, atau mungkin sebuah undangan pernikahan keduanya nanti? Entahlah.Aku sendiri tidak tahu apa wanita yang bersamanya kini, sama dengan wanita yang diajak Mas Aqsal ke rumah dulu atau bukan.Aku tengah duduk di kursi sambil menikmati segelas es krim rasa cokelat yang aku ambil dari meja prasmanan. Berharap, dengan menikmati ini, enzim yang terkandung di dalamnya mampu mengurangi kadar stres yang tengah menekan jiwa ragaku.“Boleh duduk di sini?” Suara bariton seseorang memecah kesend
Aku masih bergeming saat Arjuna menawarkan bantuan. Pria itu terlihat mengoperasikan ponselnya. Sementara aku masih duduk bersimpuh di atas pavingblock.Tidak ingin suasana makin canggung, aku kembali mengesot, menahan sakit agar bisa sampai di bangku yang dari tadi aku incar. Biarlah aku menunggu sampai Mas Aqsal datang menjemput. Semoga dia tak sejahat itu meninggalkanku sendirian di sini.Baru sedikit digerakkan, kakiku terasa makin sakit. Aku mendesis. “Auh.”“Hey, cukup diam, jangan bergerak. Itu hanya akan membuat kakimu tambah parah!” teriak Arjun saat dia selesai dengan ponselnya. Dia mendekat dan berjongkok di hadapanku.Aku pun menghentikan aksi. Ya Allah, aku malu sudah menangis di depan orang asing.“Jangan takut sama saya. Saya tahu batasan. Tunggu sebentar lagi. Saya sedang menyuruh seseorang membawa mobil kemari. Kita obati kakimu,” lanjutnya.“Jangan, Pak. Nanti merepotkan. Bapak ke dalam saja karena acara pasti belum selesai.”Pria itu terkekeh. “Siapa namamu tadi? Bi
Aku meremas tangan untuk mengurai gugup. Tak mungkin aku berlari dalam kondisi seperti ini. Sungguh, aku takut Arjuna akan melakukan hal buruk kepadaku.“Niha,” panggilnya. Kali ini lebih lembut.“I-iya.”“Maaf tidak jadi membawamu ke rumah sakit. Ini rumah tukang urut langganan papa saya. Kemarin adik saya cedera bahu karena jatuh dari motor, saya disuruh antar ke sini. Katanya, adik saya sudah kedua kalinya datang. Dan katanya cepat pulih sakitnya. Di sini insyaallah lebih cepat sembuh tanpa operasi kalau cederanya tidak berat. Kalau kakimu, sepertinya masih bisa diatasi di sini,” jelasnya.Kuberanikan diri menatap ke arahnya. Dia tersenyum dan mengangguk. “Percayalah sama saya. Saya tidak akan macam-macam. Kalau sampai macam-macam laporkan ke Pak Hendrawan tadi. Atau lapor polisi. Silakan. Ini kartu nama saya.”Pria itu mengeluarkan dompet, lantas memberikan satu kartu kepadaku.Arjuna Dwino Hendrawan, 28 tahun. Manajer operasional Hotel Grand Himalaya dan beberapa nama hotel lain.
“Niha, turunlah.” Suara seseorang itu akhirnya membuatku menoleh. Ada Arjuna yang berdiri di belakangku.“P-pak Arjuna.” Aku tergagap.“Pak Heru bohong sama saya?” Arjuna menatap satpam tajam.“I-itu, Tuan–““Saya yang memintanya berbohong. Jadi, jangan salahkan beliau, jangan hukum beliau. Saya minta maaf. Salahkan saja saya. Saya hanya tidak mau terus merepotkan Pak Arjuna.” Aku memotong ucapan Pak Heru.“Saya maafkan asal turunlah dari motor. Saya yang akan mengantarmu pulang.”Aku pun menurut. Arjuna memberikan uang kepada pengemudi ojek. Aku makin merasa tidak enak.“Sebagai hukuman karena kamu sudah bohong, ayo saya antar. Saya tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.”Aku bernapas panjang, lalu mengangguk. Terpaksa kuikuti langkahnya menuju mobil dan masuk."Pak, tolong jangan pecat Pak Heru, ya. Beliau bohong karena saya yang meminta.""Tergantung.""Hah? Maksudnya?""Asal kamu kasih nomor ponsel kamu."Aku pun akhirnya mengangguk dan mengeluarkan ponsel dari tas. Kembali pons
“Astagfirullah, Asti. Sepertinya ketinggalan di mobil pria tadi!” pekikku.Antara sadar dan tidak, antara ingat dan tidak, aku merasa ponsel belum aku cabut.“Pria tadi kayaknya tampan, Ha. Hayo, siapa tahu dia jodoh lu selanjutnya.”Aku memukul pelan lengan Asti. “Sembarangan kalo ngomong.”“Kenalin, dong, pan kapan. Siapa tahu dia cocok sama gue kalo lu nggak mau.”“Eling, Ti. Katanya lu udah punya cowok? Cowok lu, tuh, yang harus lu kenalin sama gue.”Ah, aku sampai lupa dengan kesedihanku gara-gara ponsel.Asti beberapa kali cerita kalau dia punya pacar. Namun, sejauh ini aku belum bertemu dan berkenalan.“Jangan dulu. Tunggu sampai dia lamar gue dan kami tunangan. Takut doi naksir sama lu. Karena jujur, gue kalah tampang sama lu.”“Heh, ngomong apaan lu ini! Gini-gini gue udah nikah meski pernikahan gue nggak normal. Udah, pokoknya gue tunggu kapan lu bakal ngenalin ke gue.”“Ya. Udah nikah, tapi belum kawin. Ngenes banget sumpah nasib lu.”Kami tergelak.“Siapa namanya pria tadi
“Tidak boleh pacaran, apalagi di tempat umum seperti ini. Nggak malu kamu! Ayo ikut Ustaz.” Pria itu mencekal pergelangan tangan Nizam.“Ini kakak kandung saya, Ustaz. Kami tidak pacaran.”Pria itu terlihat melotot dan gugup. Sepertinya dia terkejut. “A-apa? Kakak?”“Iya.”“Dia ustaz baru, ya, Zam? Kok, Mbak baru lihat?” bisikku pada remaja yang memakai baju koko warna navy ini. Nizam mengangguk.“Maaf, Ustaz. Apa ada peraturan yang kami langgar? Apa peraturan lama sudah berubah? Bahwa adik kakak dilarang berduaan? Seperti itu?” tanyaku. Dia tampak gelagapan. Ah, lucu sekali melihat dia salah tingkah.Wajahku dan Nizam memang tidak ada kemiripan. Tinggi Nizam pun melebihi tinggi badanku. Jadi, tidak sekali dua kali orang menganggap kami pasangan kekasih padahal kami ini mahram.“Ya sudah, saya minta maaf karena sudah salah sangka. Lain kali, Zam. Jangan bersikap berlebihan. Jika memang kalian ini saudara, tapi kedekatan dan keakraban kalian tadi bisa menimbulkan salah paham.”“Baik, U
“Aqsal, tolong jangan marahi saudaramu seperti itu. Dan Niha, maaf. Semalam kamu lupa mengambil ponselmu. Saya pun lupa karena kita keasyikan kayaknya,” ucap Arjuna.Mati aku! Pasti Mas Aqsal berpikir yang bukan-bukan. Kulirik suamiku itu. Rahangnya tampak mengeras, matanya membola.“Niha, ini ponselmu. Oh, ya, Sal. Saya semalam bertanya banyak hal ke Niha. Katanya dia tinggal di sini. Lantas saya meminta alamat rumah ini ke papa dan diberikan. Maaf baru mengembalikan sekarang. Tadi pagi saya masih sibuk.” Arjuna tersenyum sopan.Ingin rasanya aku mengecil menjadi semut agar bisa melarikan diri dari. Kedatangan Arjuna membuat situasi antara aku dan Mas Aqsal makin memanas.“Aqsal, saya ingin–““Kamu bayar berapa istri saya semalam?” potong Mas Aqsal pada ucapan Arjuna.Arjuna yang tak tahu menahu hanya menggeleng. Oh, tumben pria itu menyebutku istri.“Is-tri? Maksudnya?” Arjuna balik bertanya dengan alis bertaut.“Niha istri saya, breng*ek!”“A-apa? Bukannya semalam katanya dia–““Ap