Aku berhenti bicara saat Soni memelukku. Dengan gerakan cepat, Soni meninggal tempat duduknya dan menghampiriku. Di sinilah aku berada. Di dalam dekapan pria yang tak lain suamiku.Anehnya, amarah yang tadi datang tiba-tiba, kini mereda seiring dengan tangan Soni yang mengusap-usap pundakku. Dagunya, tepat berada di ubun-ubunku dengan tubuh yang tidak berjarak. Kami benar-benar sangat dekat. "Maaf, Mbak. Aku janji, tidak akan pergi ke pasar dulu sampai kaki ini sembuh. Aku janji, aku janji," ujar Soni masih tidak melepaskan pelukannya. Tanganku yang tadi berada di meja, kini melingkar pula di pinggang Soni. Entah dorongan dari mana hingga aku bisa seberani ini. Namun, ini sangat nyaman. Aku bahkan sangat menikmati momen ini. Kami berpelukan dan tidak lagi saling berteriak menyalahkan satu sama lain. Kata maaf yang Soni ucapkan pun menjadi obat pereda emosi yang tadi sempat mengudara. "Bunda, kenapa ...?" Aku dan Soni saling melepaskan diri saat Shanum datang. Wajah putriku terl
Satu bulan telah berlalu dari kecelakaan Shanum dan Soni, kini hari-hariku kembali berjalan normal. Begitu pun dengan anak dan suamiku. Mereka sudah pada rutinitas awalnya. Meskipun, ada perbedaan yang begitu mencolok dalam aktivitas harian kami. Shanum yang trauma naik sepeda motor, mengharuskan aku bolak-balik setiap pagi meminjam kendaraan untuk mengantarkan anak itu ke sekolah. Mama, sempat menawarkan agar aku memakai mobilnya, namun aku tolak. Biarkan aku memakai barang orang tuaku, daripada nanti diledek Mas Sandi. Ah, pria itu. Semakin hari dia semakin menyebalkan. Ada saja kelakuan dia yang membuatku naik darah. "Mbak."Aku mengangkat kepala melihat pada Soni yang baru saja datang."Ini," ujarnya lagi menyodorkan dua buku kecil kepadaku. Aku tersenyum menatap buku tipis berwarna merah dan hijau itu. Akhirnya, setelah mengikuti rangkaian proses itsbat nikah, bolak-balik ke pengadilan untuk sidang, aku mendapatkan dokumen negara yang amat penting bagi pasangan suami istri.
Beberapa saat kami saling bicara, bertukar pikiran dan menumpahkan kegundahan, aku pun pamit pulang. Semalam, aku sudah janji pada Shanum akan membawa dia ke tempat peristirahatan terakhir Cahaya, seperti janjiku waktu itu. Jika dia sembuh, aku akan membawanya ke rumah baru kakaknya itu. "Bunda, kok sepi, ya?" ujar Shanum saat kami memasuki kawasan pemakaman. Aku terkekeh pelan. "Kalau rame itu, di pasar, Sha.""Tempat bobok kakak, di mana?" Shanum kembali bertanya seraya celingukan ke sana kemari. Aku mengajaknya turun. Mengambil bunga segar yang tadi kami beli di jalan. Dengan menenteng plastik berisikan bunga, kami berjalan melewati banyak batu nisan untuk sampai ke tempat di mana Cahaya dikuburkan. Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai, dan Shanum langsung berjongkok di samping peristirahatan kakaknya itu. "Bunda, aku boleh ngomong sama kakak, gak?" Aku mengusap pipi Shanum yang sudah mulai memerah, lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Gadis kecil itu mengus
"Pak, ayo bantuin, Pak!" Aku berteriak pada supir taksi yang membawa Mas Sandi ke tempat ini. Aku segera menghampiri dia dengan diikuti Shanum di belakangku. Aku menggoyahkan tubuh Mas Sandi, tapi tidak ada reaksi. Pria yang memakai sweater rajut itu menutup mata dengan posisi sebelah tangan merangkul nisan Cahaya. "Ayo, Pak bantuin!" ujarku lagi. Supir taksi dan beberapa pria yang kebetulan ada di sini, membantu menggotong Mas Sandi hingga kini dia berada di mobil yang aku bawa. Sengaja aku menyuruh orang-orang untuk memasukkan Mas Sandi ke mobilku, agar memudahkan membawa dia ke rumahnya. Tanpa menunggu lagi, aku pun segera menjalankan mobil meninggalkan pemakaman. Dalam perjalanan, aku menyuruh Shanum untuk menelepon Mama. Memberitahukan dia bahwa putranya pingsan di samping kuburan."Bawa ke mana, Mah?" tanyaku dengan mata fokus ke ponsel. "Ke rumah sakit aja, Num. Mama sekarang sedang siap-siap ke sana.""Oke, tapi jangan lama-lama, ya?" ujarku yang langsung dijawab cepat
"Loh, Shanum mana?" Aku bertanya pada Soni yang baru saja sampai. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi Soni malah pulang sendirian. Dia tidak bersama Shanum, putriku yang entah ada di mana. "Shanum menolak untuk pulang. Dia ingin menemani ayahnya." "Di rumah sakit?" tanyaku lagi. "Di rumah. Mas Sandi sudah sadar, dia minta dirawat di rumah saja, menolak tinggal di rumah sakit meskipun untuk beberapa hari saja."Aku manggut-manggut. Soni menghenyakkan bokong pada kursi plastik di sebelahku, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Aku mengerutkan kening ketika dia menyodorkan benda pipih miliknya itu padaku. "Lihat video Shanum. Tadi, dia memintaku merekam kata-katanya, agar kamu percaya."Aku tidak menjawab. Mengambil ponsel Soni, lalu mengerucutkan bibir saat memutar video Shanum. Putriku izin menginap di rumah ayahnya, dan memintaku untuk tidak khawatir. Di samping dia, ada Mas Sandi yang mengusap-usap rambut panjang putriku. "Kakakmu itu aneh. Dia bilang
Kulirik jam sudah pukul setengah lima pagi. Adzan subuh sudah berkumandang di setiap tempat ibadah. Aku, di sini masih bergelut dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Mata ini sudah terbuka dari beberapa waktu lalu, tapi tubuh masih membeku di atas peraduan yang sempat memanas. Ah, aku malu membayangkan apa yang terjadi malam tadi. Dalam guyuran air hujan yang membasahi bumi, di sini aku pun dihujani oleh ribuan kata cinta dari dia yang bergelar suami. Tuturnya, sentuhannya, begitu terasa nyata menaburi benih cinta di taman hati. Aku dibuat lupa jika dia adalah mantan adik iparku, hingga yang kurasakan, dirinya seorang pujangga bergelar suami. "Ekhem!"Buru-buru aku memejamkan mata saat suara deheman seorang pria mendekat. Ada gerakan darinya yang memperbaiki letak selimut hingga menutup sampai ke batas leherku. Aku bergeming. Mengatur napas setenang mungkin agar dia tidak menyadari kepura-puraanku ini. Soni. Pria itu kembali keluar dengan menutup pintu. Sedangkan aku, di sini ma
Matahari masih bersembunyi, tapi aku sudah membuka toko, menyambut rezeki hari ini. Sambil menunggu pelanggan datang, aku duduk di kursi plastik dengan ditemani secangkir teh beserta gorengan yang aku beli dari penjual keliling. Soni pun sama. Di depannya ada kopi hitam yang manjadi kegemarannya. "Ekhem!" Aku meliriknya yang berdehem sebentar, lalu kembali fokus pada jalanan yang masih basah. Sisa-sisa air hujan masih membekas.Seperti di sini, di dalam dada ada yang membekas tapi bukan luka. Melainkan asmara yang kembali datang dari orang yang berbeda. Aku, telah jatuh cinta pada dia si pemilik raga. "Gak ke kedai?" tanyaku setelah beberapa saat saling diam. "Nanti, sudah agak siangan." Aku manggut-manggut. "Sekarang mau pacaran dulu," ujar Soni lagi seraya mengambil tanganku yang ada di atas meja. Dia menggenggam tanganku, lalu menariknya ke pangkuan saat ada seseorang yang datang. Pria itu pandai bersandiwara. Dia melayani pembeli, tanpa melepaskan genggaman tangannya. D
"Dasar bocah," kataku seraya menyimpan ponsel. Dia pikir aku akan cemburu dengan foto yang Nabila kirim padaku? Foto yang menunjukkan jika dia tengah di bonceng Soni. Menurutku, itu tidak berarti apa-apa. Bisa saja mereka ketemu di jalan, lalu Soni membawa Nabila karena satu tempat kerja. Bisa juga, wanita itu memang sengaja memanas-manasiku dengan gambar itu? Sayangnya aku tidak merasa terbakar. Gambar, bahkan adegan yang lebih panas dari itu, pernah aku alami dalam hubungan sebelum ini. Jadi, itu tidak berpengaruh apa-apa buatku. Denting ponsel kembali mengalihkan pandanganku. Masih dari orang yang sama. Nabila kembali mengirimkan pesan dengan disertai gambar dia yang sudah berada di kedai kopi. Tangan suamiku itu merangkul pundaknya dengan tertawa lebar. "Mau ini anak apa, sih? Kok, ngirimin gambar beginian?" kataku merutuki kebodohan wanita bernama Nabila. Niatnya untuk membuatku cemburu, tapi malah terkesan memaksakan diri. Aku tahu, jika foto itu diedit. Ada bayangan