"Kata Ibu, juga apa? Tidak usah kerja, tidak usah cari duit di tempat orang. Sekarang, tahu sendiri, kan akibatnya gimana? Kamu dipecat, juga dipermalukan." "Iya, Ibu. Tadinya, Ranum ingin mandiri dengan tidak bergantung pada Ibu. Mana Ranum tahu, akan terjadi seperti ini," ujarku seraya menggosok rambut dengan handuk kecil. Gara-gara air jus tadi, aku harus mandi malam-malam. Dingin? Enggak. Ibu memasak air untukku mandi. Sekarang, wanita itu tengah mengomel. Menceramahiku yang katanya bandel dan pembangkang. Ah, memang iya. Niatnya ingin mandiri, malah rugi sendiri. Mana gaji sisa yang aku dapat sedikit, lagi. Nasib ... begini banget jadi janda. "Num, sudahlah. Dengarkan apa kata ibumu itu. Kamu, lebih baik buka usaha. Jualan kain, atau jualan baju, gitu di pasar. Nanti, Bapak cari orang yang mau sewain ruko atau kios buat kamu. Daripada kerja di restoran, bukannya kenyang malah kejang-kejang kena marah orang terus. Iya, 'kan?" ujar Bapak menimpali. Aku hanya manggut-manggut
"Kenapa, Bunda?" tanya Shanum melihatku yang terkejut. Aku menatap Shanum dengan tatapan kosong. Ponsel hampir saja jatuh karena tangan yang bergetar saking kagetnya. "Bunda," ucap Shanum lagi seraya mengusap pipiku. "Tidak ada apa-apa, Nak. Shanum, masuk, ya? Sarapan di kelas sama Bu Safira. Tiba-tiba Bunda teringat sesuatu," ucapku seraya membereskan bekal anak itu. "Katanya kita mau nungguin seseorang, mana kok, gak datang-datang?" "Emh ... gak jadi, Nak. Mereka gak jadi datang. Sudah, Shanum masuk, gih. Bunda harus pulang, Bunda lupa matikan kompor, Sayang. Kalau Bunda tidak segera pulang, nanti rumah kita kebakaran," kataku berbohong. Dengan raut wajah kecewa, Shanum keluar dari mobil dengan menenteng tas bekalnya. Dia melambaikan tangan padaku, lalu berlalu masuk ke dalam kelas. Aku membaca kembali pesan yang dikirim Mas Sandi padaku. Sama, bunyinya masih sama tentang Cahaya yang dibawa ke rumah sakit. "Kenapa Cahaya bisa tidak sadarkan diri?" ujarku pelan. Jika diam di
"Kok, bisa?" tanyaku khawatir. "Biasalah, anak-anak saling geser, dan Shanum jatuh. Tidak ada yang luka, tapi sepertinya dia kurang sehat. Sedari masuk, tidak bersemangat," jelas Safira."Nitip sebentar, aku akan ke sana sekarang," pungkasku, kemudian mematikan telepon. Mas Sandi menatapku, tanpa bertanya pun aku tahu dari tatapan itu. Dia ingin bertanya, mungkin tidak enak atau menjaga perasaan wanita di sampingnya."Shanum jatuh di sekolah, aku akan menjemputnya sekarang," ujarku membuat kening ayah dari putriku mengkerut. "Kok, bisa jatuh? Bagiamana keadaan dia sekarang?" "Mas, kamu apa-apaan, sih malah nanyain anak yang lain, sedangkan anak kita lagi berjuang di dalam sana." Mawar protes, keberatan dengan pertanyaan Mas Sandi padaku."Cahaya ada di dalam, karena kecerobohan kamu! Gak becus jadi ibu. Aku akan menjemput Shanum, kamu tunggu di sini." "Gak bisa! Biarkan ibunya yang jemput, kamu gak usah ke mana-mana. Kalau nanti dokter nanyain kamu dan minta pendapat kita sebagai
"Koma.""Innalilahi ... Allahu Rabbi ...."Aku tidak bisa membendung air mataku ketika Mas Sandi mengatakan keadaan Cahaya. Bayangan wajah ceria anak itu menari indah melumpuhkan ingatanku. Tawanya, candanya, bahkan ungkapan cinta dia yang selalu spontan padaku, membuat air mata semakin deras membanjiri pipi ini. "Kakak ...," lirihku diselangi isak tangis. "Doakan Cahaya, ya Num? Doakan agar dia cepat bangun dan sembuh," ujar Mas Sandi masih terhubung denganku. Aku mengusap kedua mata, menarik napas sangat dalam untuk menenangkan perasaan ini. "Mas, apa yang terjadi pada Aya, sampai dia mengalami koma?" tanyaku sangat ingin tahu. "Kata dokter, Cahaya kena serangan jantung. Kamu pun tahu, kalau Cahaya memang memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Dan juga ... ada cedera di otaknya yang membuat Cahaya kehilangan kesadaran.""Cedera otak? Apa Cahaya jatuh di rumah?" tanyaku lagi. Tidak mungkin akan ada cedera otak, jika tidak ada benturan di kepalanya. "Kemungkinan memang seperti
"Soni.""Iya, Mbak?" tanyanya. "Kamu tahu, Cahaya koma?" "Ya, aku sedang di rumah sakit bersama Mama."Embusan napas berat Soni terdengar hingga ke sini. Apa yang terjadi pada Cahaya, pasti membuat pria itu shock juga.Aku pun ingin ke sana. Ingin mendampingi Cahaya yang tengah berjuang antara hidup dan mati. "Terus, gimana keadaan dia sekarang?" tanyaku lagi. "Akan aku kirimkan gambarnya, Mbak. Kalau bisa, datanglah sebentar. Jenguk dia, ajak dia bicara. Mungkin, akan ada keajaiban jika Mbak Ranum yang membangunkannya."Bagaikan dihimpit batu besar. Dadaku terasa sesak membayangkan kondisi Cahaya yang mungkin tidak baik-baik saja. Air mataku kembali keluar dengan sendirinya. Jari-jari ini pun sibuk menghapusnya hingga isak pun keluar membuatku sulit berucap. "Mbak, masih di sana?" Soni kembali bicara. "Ya, aku di sini.""Aku alihkan ke panggilan video saja, ya? Biar Mbak bisa lihat langsung Cahaya." Aku tidak menjawab. Menatap layar ponsel yang masih bergambar Soni, kemudian
Aroma kopi menguar memenuhi indera penciuman. Semilir angin berembus membelai kulit wajah serta rambutku. Langit mulai menghitam tanda air akan turun dari sana. Aku memejamkan mata menikmati udara sejuk yang menenangkan pikiranku ini. "Mbak."Mataku terbuka. Menoleh pada pria yang menggenggam gelas cup berisikan kopi hitam miliknya. "Hem." Aku bergumam. "Aku merasa ganjal dengan kecelakaan yang menimpa Cahaya. Menurut Mbak, ini real kecelakaan, atau dicelakai?"Aku diam mencerna ucapan Soni yang terdengar menuduh. Jika dicelakai, hanya ada satu orang tersangka yang terlibat. Mawar. Mungkinkah dia tega melakukan kejahatan pada putrinya sendiri? "Di mana letak kesengajaan itu, Son?" tanyaku akhirnya. "Tadi aku pergi ke rumah Mas Sandi untuk melihat tempat yang katanya Cahaya tergeletak tidak sadarkan diri di sana. Entahlah, coba Mbak lihat sendiri gambar ini." Soni menyodorkan ponselnya padaku. Dia memperlihatkan foto-foto yang dia ambil di rumah kakaknya. Masih ada noda minyak
Kami saling diam kembali. Soni fokus pada kopinya, dan aku masih fokus pada CCTV di rumah Mas Sandi. Saat ini aku masih berada di rumah sakit. Setelah melihat Cahaya, aku pergi ke taman rumah sakit untuk memenangkan hati yang tersayat melihat kondisi anak itu. Soni datang, dia ikut duduk bersamaku hingga sekarang. "Terus, jawabanmu gimana, Mbak?" Aku kembali menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut. "Jawaban apa?" tanyaku tidak mengerti. "Tentang ini." Dia menunjuk dadanya. Aku tersenyum kecil. Menggelengkan kepala, lalu mengambil kunci motornya yang tergeletak di bangku. Aku menekankannya pada paha dia yang berbalut celana jeans. "Sekolah aja gak kelar-kelar, sudah berani ngomongin perasaan. Kerja, pun enggak," ujarku membuatnya tertawa terbahak. "Aku dipecat juga karenamu, Mbak. Yuk, cari kerja lagi. Di mana, ya?" "Mana aku tahu. Cari aja sendiri," ujarku seraya berdiri. Aku meninggalkan Soni dan masuk ke dalam rumah sakit. Sebelum pulang, aku ingin melihat Cahaya la
"Kamu menuduh aku mencelakai putriku sendiri?" ujar Mawar menunjuk dadanya. "Apa aku ada bicara seperti itu? Tidak, bukan?""Tapi kata-katamu mengarah ke sana. Kamu tidak percaya dengan penjelasanku, malah mengatakan asumsi-asumsi yang tidak benar. Sepertinya kamu memang dendam padaku, ya Ranum!" Aku menggelengkan kepala seraya tertawa sumbang. Aku hanya mengeluarkan isi pikiranku saja, dia sudah kepanasan. Aku hanya menduga-duga, dia sudah ketakutan. "Sudah, cukup. Hentikan semuanya," ujar Mas Sandi seraya menyugar rambutnya. Wajahnya begitu frustrasi penuh dengan tekanan. "Mantan istrimu yang mulai, Mas. Lagian untuk apa, sih kamu di sini, Ranum? Kamu bukan siapa-siapa kami, bukan siapa-siapa Cahaya. Kamu hanya orang lain yang mencari perhatian dengan pura-pura bersedih. Caper.""Aku gak caper—""Ranum, hentikan! Sudah hentikan! Sebaiknya kamu pulang saja, tidak ada gunanya saling debat saling menyalahkan. Bagiamanapun mula kejadiannya, semua tidak akan bisa diulang lagi. Semua