"Tuh, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ke mana aja, kamu ini, Num?" Ibu nyerocos dengan bibir yang bergoyang ke sana kemari. Namun, dengan santainya aku membuka helm, menyimpannya di atas motor, tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Kemudian menyalami kedua orang tuaku itu satu persatu, dan berulah duduk di bale-bale bersama mereka. Di sana pun ada Shanum yang tengah bermain kasir-kasiran seorang diri. "Dari mana?" tanya Ibu untuk yang kedua kali. "Dari ....""Dari kedai kopi dulu, Bu. Tadi, aku yang minta Ranum ke sana. Maaf, harusnya aku tidak libatkan Ranum dalam pekerjaanku," ujar Soni menjawab pertanyaan Ibu. Padahal, bukan itu jawaban yang hendak aku ucapkan. Namun, pria itu malah bicara demikian."Oh, yasudah." Aku mengerutkan kening melihat Ibu yang hanya menjawab singkat seraya berlalu. Biasanya tidak seperti itu. Ibu biasanya selalu nyerocos, jika ada yang tidak sepaham dengannya. Namun, kali ini dia berbeda. Meskipun aku datang telat, juga bersama Soni, tidak aku
Adzan maghrib berkumandang. Beda dengan saat di ruko, di sini Soni salat ke mesjid bersama Bapak. Kedua lelaki itu sudah pergi, dan di sini pun para wanita mulai menunaikan ibadah salat berjamaah.Tiga rakaat sudah kami tunaikan, sekarang aku dan Ibu tengah duduk bersila masih dengan menggunakan mukena. Sedangkan Shanum, dia berguling di atas ranjang Ibu yang lebih besar dari kasur milik kami di ruko. "Num. Boleh, Ibu bicara padamu?" tanya Ibu setelah beberapa saat diam. "Tentu, Bu. Ibu, mau bicara apa?" "Ini tentang pernikahanmu dan Soni. Sudah kalian daftarkan ke KUA?" Aku menggelengkan kepala. "Rencananya besok, Bu. Apa, Ibu keberatan?" Kini giliran Ibu yang Menggelengkan kepala. Dia mengambil tanganku, lalu menepuk-nepuknya pelan. "Tidak, Num. Justru, Ibu mendukung keputusan kamu ini. Maaf, ya jika ada kata-kata Ibu yang mungkin melukai perasaan kalian. Terutama Soni. Harus Ibu akui, Ibu keliru. Ibu berdosa pernah menyuruh kamu bercerai dari dia.""Sudah kami maafkan. Kalau
"Ranum, Soni, Bapak mau ngomong jujur sama kalian. Ini tentang rahasia yang tadinya Bapak pendam sendiri, tapi kali ini akan Bapak bicarakan pada kalian. Bapak takut tidak ada umur, jika tidak bicara sekarang."Suasana mendadak tegang ketika Bapak berucap demikian. Aku menatap lekat pria cinta pertamaku itu. Begitu pun dengan Soni dan Ibu. Kecuali Shanum. Putriku itu masih bermain di kamar. Terdengar dari suara dia yang bernyanyi di dalam sana. Hari masih pagi, tapi kami dibuat penasaran dengan apa yang akan Bapak sampaikan sekarang ini. "Tentang apa, Pak?" tanyaku tidak sabar. "Tentang ... uang."Aku lebih tidak mengerti. "Sebenarnya, uang yang Bapak berikan padamu saat itu, juga yang Bapak belikan pada beberapa rak di rukomu, itu bukan tabungan Bapak dan Ibu. Melainkan, dikasih Ibu Utami, ibunya Soni."Mama?Aku dan Soni saling pandang. Tidak pernah menyangka jika modal yang kudapat dari ibu mertua. Ibu pun demikian. Wanita itu menatap tak percaya pada suaminya. "Kapan?" tanya
Kuembuskan napas kasar seraya masuk ke dapur. Beberapa saat aku duduk merenung memikirkan perkataanku tadi. Ada rasa tidak enak karena telah membuat Soni kecewa. Aku pun tidak tahu dengan perasaan ini. Tadi, aku menggebu mengatakan tentang dia yang terlibat dalam uang sogokan itu. Tapi, sekarang justru aku merasa menyesal mengucapkan kata yang mungkin menyakiti hatinya."Bunda, iketin rambut aku," pinta putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. "Mau iket berapa?" tanyaku menyuruh dia duduk di kursi kosong di sampingku. "Satu aja, biar cepet."Aku pun mulai menyisir rambut Shanum dan mengikatnya. Saat tengah memasangkan pita, Soni datang dan menghampiri kompor. Dia bertanya pada putriku ingin membawa bekal apa hari ini ke sekolah. Dia hanya bicara pada putriku, dan mengabaikan diriku."Mau susu kotak sama biskuit aja, Om," ujar Shanum singkat. "Apa lagi?" tanya Soni kembali. "Emh ... buah anggur, kalau ada!" Putriku menutup mulut, karena tahu sebenarnya tidak ada buah itu di
"Mah, Mama, kok gak bilang sama Ranum, kalau Soni cuti kuliah. Aku juga tidak tahu jika Soni punya usaha dengan teman-temannya."Mama mengulas senyum manis seraya menyesap teh manis yang aku buatkan. Dia duduk di kursi plastik seraya memegang gelas. Sesaat setelah Soni berangkat, Mama datang seraya membawa tas bergambar kuda poni untuk putriku. Katanya, Mas Sandi cerita jika Shanum minta dibelikan tas baru. Bukannya dia yang datang, malah menyuruh Mama. Ayah macam apa, Mas Sandi itu? Sekarang, aku sedang membicarakan Soni dengan wanita yang melahirkannya ini. "Iya, Num. Waktu itu dia mohon-mohon sama Mama, buat ngijinin cuti kuliah. Sekaligus, minta modal untuk usaha. Tadinya, Mama pun tidak setuju. Mama mau, dia tetap kuliah sambil bekerja. Tapi, Mama bisa apa kalau Soni memang sudah niat banget berhenti," ujar Mama menjawab pertanyaanku. Aku manggut-manggut. Sebenarnya, aku pun ingin mempertanyakan tentang uang yang sudah dia berikan pada Bapak. Namun, kurasa tidak perlu. Aku
"Sha, ikut Bunda, yuk!" Aku berteriak dari lantai bawah. "Ke mana, Bunda?" tanya Shanum melihatku seraya menyembulkan kepala. "Ke toko kain kakek dan nenek. Bunda mau beli kain!" Tidak berapa lama, Shanum turun. Aku langsung menutup toko, biar bisa pergi dengan leluasa. Jarak ruko dengan toko Ibu memang lumayan jauh. Namun, tidak urung bagiku dan Shanum untuk jalan kaki menyusuri pasar yang ramai. Banyak yang kami bicarakan selama perjalanan. Apalagi, Shanum yang selalu ingin tahu, menanyakan segal yang dilihatnya."Bunda, apa bedanya pasar, dan supermarket?" tanya Shanum di sela langkah kami. "Bedanya, supermarket itu berada di dalam ruangan, sedangkan pasar, dia letaknya di tempat terbuka seperti ini. Tuh, lihat. yang jualannya, pake meja-meja besar gitu. Ada yang pake roda juga." Aku menunjuk beberapa pedagang di sekitar kami. "Ada yang duduk di tanah juga, Bunda," tutur Shanum menunjuk nenek-nenek penjual sayur dalam nampan. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di de
"Mbak, segini cukup apa tidak untuk satu bulan?" tanya Soni seraya duduk bersila berhadapan denganku. Di tengah-tengah kami, ada uang sebanyak lima juta rupiah yang diberikan Soni padaku. Setelah saling ledek gara-gara baju yang kubeli kekecilan di tubuh suamiku itu, Soni langsung mengajakku bicara. Rupanya, dia ingin memberikan penghasilan selama satu bulan usaha yang baru dirintisnya. Menurutku, ini lumayan besar. Apalagi untuk sebuah kedai kopi yang baru buka, penghasilan segitu per satu orang, sudah lumayan. "Mbak, gak cukup, ya?" tanya Soni lagi mengibaskan tangan di depanku. "Cukup, Son. Insya Allah akan cukup. Emh .... Ini, kok dikasih ke aku semua, buat kamu mana?" "Aku tidak perlu uang, Mbak. Tapi, kasih sayang.""Soni ...." Aku menatapnya tajam.Dia nyengir, lalu memeluk lutut dengan masih berada di depanku. Kepalanya menggeleng tanda tidak menginginkan uang yang masih bertumpuk di lantai. "Untuk bensin." Aku kembali berucap. "Lah, gampang buat bensin mah, Mbak. Enta
"Baru bangun, Mbak?"Aku menghentikan langkah kaki ketika seseorang di bawah sana menegurku. Soni. Dengan rambut basah dan wajah segarnya tersenyum seraya menata barang. Aku tidak melanjutkan langkah. Memilih duduk di anak tangga seraya memperhatikan dia. Sudah bisa kutebak, jika Soni baru saja pulang dari pasar. Sudah beberapa kali aku melarang dia agar berhenti kuli, tapi Soni tidak mau mendengarkan. Dia selalu kekeh dengan pendiriannya. "Hari ini, jadi ke pestanya Devano?" Soni kembali berujar. Aku mengangguk seraya mengikat rambut ke atas. Namun, masih enggan beranjak dari tempat dudukku sekarang. Mata ini masih memperhatikan dia yang bolak-balik mengambil barang dari belakang."Mbak, minyak goreng tinggal lima kardus lagi, terus ... mie instan, kopi kemasan sama makanan ringan, juga sudah pada mau habis.""Iya, aku sudah memesannya kembali. Mungkin nanti siang atau sore akan datang. Pagi ini, 'kan kita mau ke pestanya Devano, jadi tokonya tutup aja sampai kita pulang dari sa