Share

SSUM Part 05

Bismillahirrahmanirrahim.

Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis  bahkan cenderung kurang. Aku harus tambah dagangan, supaya tidak mengecewakan pelanggan. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain. 

Aku tidak menyangka daganganku laris manis. Mungkin inilah rezeki Nisa dan Dio, yang tidak bisa dipenuhi oleh ayahnya. Asal mau usaha, pasti ada hasilnya. Senyumku merekah seketika.

Nantilah aku pikirkan sambil jalan. Cari pegawai yang jujur juga tidak mudah. Perlu kehati-hatian, supaya usahaku tidak gulung tikar. Meskipun jualan remeh, bagi pandangan sebagian orang. Tapi bagiku sangat menyenangkan. Tapi tidak perlu berkecil hati, yang penting halal.

Besok adalah waktunya Bang Jun pulang. Aku segera memasukkan meja  ke dalam, biar Bang Jun tidak curiga. Kalau Bang Jun tahu, ia bisa marah besar. Tak lupa aku tarok pengumuman, bahwa hari Sabtu dan Minggu libur. Supaya tidak ada pelanggan yang datang keesokan harinya. Jadi jualannya 5 hari saja, dari hari Senin sampai Jum’at. Uang yang kudapatkan 5 hari itu sudah cukup memadai untuk membiayai semua kebutuhan dan tagihanku.

Sambil menunggu kepulangan Bang Jun, aku segera merapikan rumah yang hampir 5 hari ini tidak sempat kuurus. Jangan sampai rumah berantakan dan membuat Bang Jun curiga. Itu tidak boleh terjadi, selagi masih bisa kurahasiakan, maka akan kusembunyikan. Bila saatnya rahasia ini terendus, aku pun sudah siap menghadapinya.

Tak terasa dengan kesibukan membereskan baskom bekas adukan bakwan, dll. Malam pun menjelang. Kini kami tengah berada di kamar, merehatkan badan, setelah lelah seharian berkutat dengan merapikan semua sudut rumah.

“Mama capek ya seharian bekerja, mau Aku pijitin pundak dan kaki mama,” tawar Nisa seraya meraih balsem di nakas.

“Emang Nisa tidak jijik pegang balsem, kan lengket,” sanggahku cepat. Aku tidak mau membuatnya capek, dia sudah lelah seharian menjaga adeknya.

“Tidak apa Ma, boleh ya, aku mau jadi anak yang berbakti. Kata Bu guru di sekolah, jangan biarkan orang tua repot sendiri, sebagai anak sudah berkewajiban untuk membantu.”

“Ya Allah anak Mama pintar sekali. Ya sudah! Sebentar saja ya, Nisa kan juga capek bantuin jagain Dio.”

Tanpa menunda lagi, Nisa langsung membuka tutup balsem dan mengusapkan di pundak dan kakiku. Benar saja, meskipun pijitan Nisa pelan, ada rasa segar yang terasa, pegal-pegal hilang. Nisa melakukan dengan tulus. Aku bangga memiliki anak seperti Nisa.

“Sudah! Sudah Nak, Mama sudah jauh lebih baik. Sekarang waktunya kita tidur, jangan lupa baca doa ya.”

Nisa mengangguk. Lalu memejamkan mata.  Semoga mimpi indah ya sayang, kuciumi pipi keduanya. Akhirnya kami tidur dengan pulas.

Pagi pun menjelang, aku segera merapikan tempat tidur dan menyiapkan sarapan pagi.  Memandikan Dio dan menyuapinya. Setelahnya Nisa dan Dio santai di ruang keluarga menonton film kartun kesukaan mereka. Sementara aku berada di kamar. Setrikaan menggunung, karena lima hari tidak tersentuh. Jangan sampai Bang Jun bertanya-tanya, ngapain saja kerjaku, hingga setrikaan sampai meninggi begitu.

Selesai menyetrika pakaian, pekerjaanku belumlah usai. Aku harus masak untuk makan siang Bang Jun. Segera saja kucek bahan di kulkas. Hanya ada kentang dan telur. Kalau aku masak itu doang, pasti kena ceramah lagi. Mending aku beli ke Kang sayur.

"Nisa, Mama mau belanja sayur. Kamu jagain Dio ya."

Aku segera berangkat setelah mendengar sahutan dari Nisa. Di sana sudah kumpul ibu- ibu yang memilah belanjaan.

"Pasti Bu Arini beli tahu tenpe lagi nih," celetuk Bu Lisa berbisik ke telinga Bu Marni. Celetukan Bu Lisa mampir ke telingaku. 

Panas kupingku mendengar celetukan Bu Lisa, membuatku belanja tanpa berpikir lebih dulu. Main pesan langsung saja, menunjukkan padanya, bahwa kini aku bukan lagi Arini yang hanya bisa memberikan asupan biasa untuk kedua anakku.

Spontan saja aku bertanya dengan suara lantang ke Kang sayur.

"Ada ayam dan ikan gurame gak Kang." Tanyaku seraya melirik ke Bu Lisa.

"Ada dong," sahut Kang sayur seraya menunjuk ayam dan ikan yang terletak persis di depan Bu Lisa.

"Eh Bu Lisa, dugaanmu salah kali ini. Bu Arini tidak beli tempe tahu tuh, tapi beli ayam dan gurame. Aku tidak heran sih, dagangan Bu Arini kan laku keras, jadi tidak pikir dua kali dia belanja kali ini."

Kulihat Bu Lisa menghentakkan kaki. Karena dugaannya salah. Aku mencibir puas. Mulai detik ini tidak ada lagi tahu tempe berkali-kali. Anakku pasti makan enak sekarang.

"Tumben ibu beli ayam dan ikan gurame, lagi banyak duit ya," canda Kang sayur menyerahkan ayam dan ikan gurame ke tanganku.

Ini lagi, ikut-ikutan julid kayak Bu Lisa. Aku mendengus kesal. 

"Iya Kang, mulai hari ini bawakan saya bahan yang bervariasi, besok saya pesan udang dan ikan mas, masing-masing 1 kilo," ucapku, kembali melirik Bu Lisa. 

Ia tampak terbelalak kaget. Aku makin puas melihat raut wajahnya. Rasakan! lihat Bu Lisa, aku kini bukan lagi ratu pelit yang kalian sematkan.

"Kang Jupri ketinggalan info nih, sekarang Bu Arini dagang depan rumah. Makanya sekarang banyak duit."

"Boleh Kang, kapan-kapan mampir ke warungku," pintaku setelah menyerahkan uang pada Kang sayur.

Setelah membayar semua belanjaan itu, aku bergegas pulang. "Bu Lisa, Bu Marni aku duluan ya," ucapku pamit. Bu Marni membalas dengan senyuman, sementara Bu Lisa membalas dengan dengusan dan senyum terbalik.

Entah apa yang salah denganku, Bu Lisa sepertinya tidak menyukaiku. Tidak pernah ia menunjukkan sikap ramah, bila bertemu denganku. Seakan-akan aku ini musuh bebuyutan baginya.

Entah apa salahku.

Setelah sampai rumah, aku bergegas ke dapur, menyiangi ayan dan ikan. Satu jam kemudian, selesai juga tugasku masak. Tinggal menunggu kepulangan Bang Jun.

Tak lama berselang, terdengar salam dari luar.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” kudengar sahutan dari  Nisa menjawab salam ayahnya.

“Horee ayah pulang,” teriak Dio langsung lari terbirit-birit ke luar. Begitu juga dengan Nisa, mereka berlarian memeluk Bang Jun. Aku berada di kamar sedang menyimpan baju yang baru selesai disetrika.

Setelah beres, aku segera ke dapur. Membuat secangkir teh manis hangat kesukaan Bang Jun. Aku segera meletakkan di meja, tak jauh dari tempat ia duduk. Aku kembali ke dapur, melanjutkan masak untuk makan siang.

Tidak ada lagi rasa rindu dalam hatiku, padahal seminggu lamanya kami tinggal terpisah. Andai Bang Jun tidak pelit, mungkin rindu ini  membuncah untuknya. Tapi sayang, semakin kesini rasa cinta itu ikut terbang bersamaan dengan perubahan sikapnya.

Baru saja dua langkah kakiku berjalan, Bang Jun bicara.

“Duduklah sebentar Dek, kok buru-buru pergi.”

“Maaf Bang, tadi aku sedang masak lauk buat makan siang. Kalian habiskan lah waktu bertiga. Aku sudah kenyang main dengan mereka,” tolakku terus melanjutkan langkah ke dapur.

“Emang kamu tidak kangen dan rindu dengan suamimu ini,” candanya seraya menatapku bingung. Langkahku kembali terhenti, gugup menyerang, aku segera berbalik.

“Siapa yang tidak merindukan suaminya, setelah seminggu lamanya terpisah. Tapi lauk di belakang bila aku tak dilihat bisa gosong nanti. Setelah ini kita bisa melepaskan rindu,” sahutku tercekat dengan dada yang berdebar kencang. Semoga saja kebohonganku tidak tercium olehnya.

Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Padahal kami telah terpisah jarak. Masak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai tadi, sebelum dia datang.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status