Bismillahirrahmanirrahim.
Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis bahkan cenderung kurang. Aku harus tambah dagangan, supaya tidak mengecewakan pelanggan. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain. Aku tidak menyangka daganganku laris manis. Mungkin inilah rezeki Nisa dan Dio, yang tidak bisa dipenuhi oleh ayahnya. Asal mau usaha, pasti ada hasilnya. Senyumku merekah seketika.Nantilah aku pikirkan sambil jalan. Cari pegawai yang jujur juga tidak mudah. Perlu kehati-hatian, supaya usahaku tidak gulung tikar. Meskipun jualan remeh, bagi pandangan sebagian orang. Tapi bagiku sangat menyenangkan. Tapi tidak perlu berkecil hati, yang penting halal.Besok adalah waktunya Bang Jun pulang. Aku segera memasukkan meja ke dalam, biar Bang Jun tidak curiga. Kalau Bang Jun tahu, ia bisa marah besar. Tak lupa aku tarok pengumuman, bahwa hari Sabtu dan Minggu libur. Supaya tidak ada pelanggan yang datang keesokan harinya. Jadi jualannya 5 hari saja, dari hari Senin sampai Jum’at. Uang yang kudapatkan 5 hari itu sudah cukup memadai untuk membiayai semua kebutuhan dan tagihanku.Sambil menunggu kepulangan Bang Jun, aku segera merapikan rumah yang hampir 5 hari ini tidak sempat kuurus. Jangan sampai rumah berantakan dan membuat Bang Jun curiga. Itu tidak boleh terjadi, selagi masih bisa kurahasiakan, maka akan kusembunyikan. Bila saatnya rahasia ini terendus, aku pun sudah siap menghadapinya.Tak terasa dengan kesibukan membereskan baskom bekas adukan bakwan, dll. Malam pun menjelang. Kini kami tengah berada di kamar, merehatkan badan, setelah lelah seharian berkutat dengan merapikan semua sudut rumah.“Mama capek ya seharian bekerja, mau Aku pijitin pundak dan kaki mama,” tawar Nisa seraya meraih balsem di nakas.“Emang Nisa tidak jijik pegang balsem, kan lengket,” sanggahku cepat. Aku tidak mau membuatnya capek, dia sudah lelah seharian menjaga adeknya.“Tidak apa Ma, boleh ya, aku mau jadi anak yang berbakti. Kata Bu guru di sekolah, jangan biarkan orang tua repot sendiri, sebagai anak sudah berkewajiban untuk membantu.”“Ya Allah anak Mama pintar sekali. Ya sudah! Sebentar saja ya, Nisa kan juga capek bantuin jagain Dio.”Tanpa menunda lagi, Nisa langsung membuka tutup balsem dan mengusapkan di pundak dan kakiku. Benar saja, meskipun pijitan Nisa pelan, ada rasa segar yang terasa, pegal-pegal hilang. Nisa melakukan dengan tulus. Aku bangga memiliki anak seperti Nisa.“Sudah! Sudah Nak, Mama sudah jauh lebih baik. Sekarang waktunya kita tidur, jangan lupa baca doa ya.”Nisa mengangguk. Lalu memejamkan mata. Semoga mimpi indah ya sayang, kuciumi pipi keduanya. Akhirnya kami tidur dengan pulas.Pagi pun menjelang, aku segera merapikan tempat tidur dan menyiapkan sarapan pagi. Memandikan Dio dan menyuapinya. Setelahnya Nisa dan Dio santai di ruang keluarga menonton film kartun kesukaan mereka. Sementara aku berada di kamar. Setrikaan menggunung, karena lima hari tidak tersentuh. Jangan sampai Bang Jun bertanya-tanya, ngapain saja kerjaku, hingga setrikaan sampai meninggi begitu.Selesai menyetrika pakaian, pekerjaanku belumlah usai. Aku harus masak untuk makan siang Bang Jun. Segera saja kucek bahan di kulkas. Hanya ada kentang dan telur. Kalau aku masak itu doang, pasti kena ceramah lagi. Mending aku beli ke Kang sayur."Nisa, Mama mau belanja sayur. Kamu jagain Dio ya."Aku segera berangkat setelah mendengar sahutan dari Nisa. Di sana sudah kumpul ibu- ibu yang memilah belanjaan."Pasti Bu Arini beli tahu tenpe lagi nih," celetuk Bu Lisa berbisik ke telinga Bu Marni. Celetukan Bu Lisa mampir ke telingaku. Panas kupingku mendengar celetukan Bu Lisa, membuatku belanja tanpa berpikir lebih dulu. Main pesan langsung saja, menunjukkan padanya, bahwa kini aku bukan lagi Arini yang hanya bisa memberikan asupan biasa untuk kedua anakku.Spontan saja aku bertanya dengan suara lantang ke Kang sayur."Ada ayam dan ikan gurame gak Kang." Tanyaku seraya melirik ke Bu Lisa."Ada dong," sahut Kang sayur seraya menunjuk ayam dan ikan yang terletak persis di depan Bu Lisa."Eh Bu Lisa, dugaanmu salah kali ini. Bu Arini tidak beli tempe tahu tuh, tapi beli ayam dan gurame. Aku tidak heran sih, dagangan Bu Arini kan laku keras, jadi tidak pikir dua kali dia belanja kali ini."Kulihat Bu Lisa menghentakkan kaki. Karena dugaannya salah. Aku mencibir puas. Mulai detik ini tidak ada lagi tahu tempe berkali-kali. Anakku pasti makan enak sekarang."Tumben ibu beli ayam dan ikan gurame, lagi banyak duit ya," canda Kang sayur menyerahkan ayam dan ikan gurame ke tanganku.Ini lagi, ikut-ikutan julid kayak Bu Lisa. Aku mendengus kesal. "Iya Kang, mulai hari ini bawakan saya bahan yang bervariasi, besok saya pesan udang dan ikan mas, masing-masing 1 kilo," ucapku, kembali melirik Bu Lisa. Ia tampak terbelalak kaget. Aku makin puas melihat raut wajahnya. Rasakan! lihat Bu Lisa, aku kini bukan lagi ratu pelit yang kalian sematkan."Kang Jupri ketinggalan info nih, sekarang Bu Arini dagang depan rumah. Makanya sekarang banyak duit.""Boleh Kang, kapan-kapan mampir ke warungku," pintaku setelah menyerahkan uang pada Kang sayur.Setelah membayar semua belanjaan itu, aku bergegas pulang. "Bu Lisa, Bu Marni aku duluan ya," ucapku pamit. Bu Marni membalas dengan senyuman, sementara Bu Lisa membalas dengan dengusan dan senyum terbalik.Entah apa yang salah denganku, Bu Lisa sepertinya tidak menyukaiku. Tidak pernah ia menunjukkan sikap ramah, bila bertemu denganku. Seakan-akan aku ini musuh bebuyutan baginya.Entah apa salahku.Setelah sampai rumah, aku bergegas ke dapur, menyiangi ayan dan ikan. Satu jam kemudian, selesai juga tugasku masak. Tinggal menunggu kepulangan Bang Jun.Tak lama berselang, terdengar salam dari luar.“Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam,” kudengar sahutan dari Nisa menjawab salam ayahnya.“Horee ayah pulang,” teriak Dio langsung lari terbirit-birit ke luar. Begitu juga dengan Nisa, mereka berlarian memeluk Bang Jun. Aku berada di kamar sedang menyimpan baju yang baru selesai disetrika.Setelah beres, aku segera ke dapur. Membuat secangkir teh manis hangat kesukaan Bang Jun. Aku segera meletakkan di meja, tak jauh dari tempat ia duduk. Aku kembali ke dapur, melanjutkan masak untuk makan siang.Tidak ada lagi rasa rindu dalam hatiku, padahal seminggu lamanya kami tinggal terpisah. Andai Bang Jun tidak pelit, mungkin rindu ini membuncah untuknya. Tapi sayang, semakin kesini rasa cinta itu ikut terbang bersamaan dengan perubahan sikapnya.Baru saja dua langkah kakiku berjalan, Bang Jun bicara.“Duduklah sebentar Dek, kok buru-buru pergi.”“Maaf Bang, tadi aku sedang masak lauk buat makan siang. Kalian habiskan lah waktu bertiga. Aku sudah kenyang main dengan mereka,” tolakku terus melanjutkan langkah ke dapur.“Emang kamu tidak kangen dan rindu dengan suamimu ini,” candanya seraya menatapku bingung. Langkahku kembali terhenti, gugup menyerang, aku segera berbalik.“Siapa yang tidak merindukan suaminya, setelah seminggu lamanya terpisah. Tapi lauk di belakang bila aku tak dilihat bisa gosong nanti. Setelah ini kita bisa melepaskan rindu,” sahutku tercekat dengan dada yang berdebar kencang. Semoga saja kebohonganku tidak tercium olehnya.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Padahal kami telah terpisah jarak. Masak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai tadi, sebelum dia datang.Bersambung.Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah jarak. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahny
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah cukup lama. Seminggu itu bukan waktu yang pendek untuk menjalani kehidupan terpisah sebagai pasangan suami istri. Harusnya kerinduan itu berpusat padanya. Harusnya kami melepaskan hasrat yang tertahan sekian hari. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Ia mengikuti dari belakang. Aku langsung duduk supaya dia tidak curiga, duduk menemaninya sambil minum teh yang aku
Bismillahirrahmanirrahim.“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja."Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jeng
Bismillahirrahmanirrahiim.Jangan lupa klik tombol berlangganan ya, terima kasih atas pengertiannya.Selamat membaca.“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”“Pasti Bu Marni, saya percaya, ibu tentu bisa menjaga rahasi-...” Perkataanku mendadak terjeda, ketika tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh, spontan aku dan Bu Marni menoleh ke asal suara.“Jangan-jangan ada yang menguping pembicaraan kita Bu Arini. Jika benar, kalau nanti rahasia ini terbongkar, tolong jangan salahkan saya,” pinta Bu Marni khawatir sekaligus takut.“Baik Bu Marni, aku percaya ibu 100 persen. Tapi siapa yang berani mengintip kita ya. Lagian ini juga sudah malam.”“Buruan cek Bu Arini, siapa tahu orangnya belum jauh.” Perkataan Bu Marni menyadarkan ke-bengonganku. Meskipun terlambat tidak apa-apa, siapa tahu benar orang itu belum jauh.Aku segera berlari mengecek ke luar, mau lihat siapa yang berani menguping percakapanku dengan Bu Marni. Sesampainya di pintu tidak ada siapa-siapa. Tapi kembang dekat teras
Bismillahirrahmanirrahim.Ucapan terakhir Bu Mita menyentil hatiku. Apa mungkin Bang Jun juga punya wanita lain di kota. Bukan tidak mungkin bukan? Karena sifatnya jauh berbeda. Mana ada lelaki yang tahan hasratnya tidak tersalurkan. Mendadak hatiku sakit dan hancur, bila kenyataan itu benar. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang ada.“Bu Arini kok melamun? Apa perkataan saya menyinggung ibu.”Aku segera tersadar dari lamunan. “Oh, eh tidak Bu Mita. Maaf tadi saya sempat kaget dengar perkataan ibu, kalau suami ibu selingkuh. Benarkah itu? Atau hanya gosip miring belaka,” ucapku menyangsikan. Aku ragu dengan perkataan bu Mita.Rasanya kok tidak percaya, orang yang sudah mengikat janji suci berani menodai ikatan pernikahan dengan perselingkuhan. Apakah mereka tidak berpikir dua kali apa dampak terhadap keluarga kedua belah pihak, apalagi bagi mereka yang memiliki keturunan. Semudah itukah menikah kemudian cerai lalu menikah lagi. Tak bisakah memiliki pasangan seumur hidup. Walla
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ouh pantes saja pelangganku lari ke sini semua, pelet apa yang kamu gunakan Arini, sehingga semua orang berkerumun kayak semut begini.” Tanpa kuduga, seorang wanita berteriak dan mengeluarkan tuduhan tidak masuk akal padaku. Aku jelas terpana dan terperanjat kaget.Aku yang tengah membungkus pesanan Bu Ratna mengernyitkan kening. Sesaat pergerakan tanganku terhenti, netraku mengarah pada perempuan yang sedang berkacak pinggang itu.Kulihat napasnya menderu kencang, rambut awut-awutan diterbangkan angin. Matanya melotot tajam padaku. Rasanya ingin kuberlari menghindar, bila perlu sembunyi ke lubang semut, dari pada dapat amukan tidak jelas begini.“Apa maksud Bu Nuri,” tanyaku dengan wajah bingung. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku dongakkan kepala menatapnya.“Kamu masih nanya apa maksudku?” balas perempuan itu sengit. Sekarang matanya melotot tajam, seakan hendak melahapku hidup-hidup.Beberapa pembeli yang masih antri, sebagian tengah memakan bakwan
Bismillahirrahmanirrahim.“Cukup Bu Lisa, sudah cukup ibu mempermalukanku. Sebenarnya apa kesalahanku pada ibu, sehingga ibu berani memfitnahku.” Napasku menderu cepat, seakan dadaku mau sesak, karena kehabisan pasokan oksigen.Siapa sih orang yang mau direndahkan dan dipermalukan terus. Aku manusia yang punya hati dan perasaan. Kini aku tak bisa diam saja, kali ini aku harus melawan agar tidak terus dihina dan dipermalukan. Apalagi di depan umum kayak begini, siapa yang tidak gondok dibuatnya. Aku menarik napas panjang sebelum mengeluarkan kata-kata berikutnya."Selama ini aku diam saja, tapi ibu selalu ingin membuatku tidak punya muka. Bahkan ibu sering bilang, bahwa aku ini ibu yang pelit, suka memberi asupan tempe tahu saban hari pada anak-anakku.""Ada masalah apa ibu sama aku?" Kutatap wanita di depanku ini dengan amarah yang kini tak bisa lagi aku bendung.Tampak Bu Lisa kaget dan membelalak mendengar ucapanku. Biarkan saja, sesekali orang seperti Bu Lisa harus diberi pelajaran
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu tenang saja, wanita itu tidak pernah melihat saya langsung. Biasanya yang mengambil pesanan, selalu asisten saya, tapi kali ini ia berhalangan ikut karena sakit. Jadi tidak masalah-kan.” Ucap perempuan itu mengedikkan bahu, seraya mengangkat kedua tangan ke udara."Baiklah, kalau begitu aku tenang jadinya. Aku tidak mau menambah masalah baru. Kemaren saja rasanya sungguh menyakitkan dituduh sembarangan. Maaf apa ibu tidak takut rumor yang beredar," tanyaku tak lama kemudian sekedar memastikan."Kalau saya takut, saya tidak akan memesan untuk saya makan. Ibu jangan cemas gitu dong, rezeki ibu tidak akan kemana. Percaya sama saya,” ucapnya tersenyum. Lesung Pipit tampak nyata menghiasi pipi wanita itu.Wanita di depanku ini terlihat berwibawa, tidak mudah terpengaruh rumor yang beredar. Tidak tampak raut bingung di wajahnya. Syukurlah, paling tidak masih ada orang yang mempercayaiku, bahwa daganganku halal. Tidak ada campur ilmu goib atau ilmu pelet dan pe