Bismillahirrahmanirrahiim.
Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah jarak. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahnya. Ada saja yang mereka katakan. Untungnya Nisa tidak bicara mengenai usahaku. Sedangkan Dio, aku tidak perlu khawatir, karena Dio belum mengerti apa-apa.“Kenapa kamu diam, apa yang kamu pikirkan.” tanya Bang Jun menatapku curiga.“Tidak ada.”“Kamu berubah, sekarang lebih banyak diam, tidak kayak biasanya.”“Bila aku tanya. Kamu hanya menyahut seperlunya.” Sambungnya lagi. Pria itu kembali menatapku dengan heran.“Benar Bang, tidak ada apa-apa. Udah ya Bang, aku mau ke kamar mandi,” elakku segera. Daripada ditanya terus, mending pergi tanpa mendengar sahutannya lebih dulu.Hari pun berganti siang, saatnya kami makan. Nisa dan Dio telah berkicau bilang lapar dari tadi. Anak-anak telah rapi di meja makan. Begitu juga dengan Bang Jun. Piring telah tertata di meja, tempat cuci tangan juga telah tersedia.Aku segera menyingkap tudung saji dan meletakkan bersandar di tembok. Seketika aku kaget mendengar kehebohan Nisa dan Dio.“Asyiik, kita makan pakai ayam dan ikan,” seru mereka kegirangan. Aku tersenyum senang melihat tingkah mereka.“Kamu dapat uang dari mana, bisa masak semewah ini. Sementara uang yang aku berikan kamu tolak, kamu kerja?”Degh..Spontan lidahku kelu. Kenapa tidak terpikirkan tadi sebelum belanja. Ini semua gara-gara sindiran Bu Lisa, aku jadi kepancing membeli ayam dan ikan. Bagaimana aku harus menjelaskan pada Bang Jun, tak mungkin aku bilang, kalau aku sekarang punya uang banyak dari hasil dagang. Yang ada Bang Jun marah besar karena aku tidak mendengar larangannya.Otakku berpikir keras, alasan apa yang hendak kukatakan.“Kok diam, dapat uang dari mana?” tanyanya lagi.“Maaf Bang, kemaren ibu datang bawa ayam dan ikan. Katanya untuk Nisa dan Dio. Mereka dalam masa pertumbuhan, jadi harus makan yang bergizi.” jawabku berbohong. Semoga saja Bang Jun mengerti dan tidak bertanya lebih jauh, apalagi ini di depan anak-anak.“Jadi selama ini menurut ibumu, mereka makan tidak mengandung gizi. Tahu tempe itu justru banyak mengandung gizi dan vitamin. Gimana sih pikiran ibumu itu.”Ops, aku salah bicara, tak seharusnya aku bilang Nisa dan Dio dalam masa pertumbuhan. Makanya mereka harus makan ayam dan ikan. Kok jadi salah paham gini.“Apa kamu pikir aku tidak sanggup beli ayam dan ikan. Pakai bilang mereka dalam masa pertumbuhan. Ibu seharusnya tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kita.”“Maaf Bang, ibu tidak punya maksud lain kok. Wajar seorang ibu datang bawa oleh-oleh.”Kulihat rahang Bang Jun mengeras, mungkin tersinggung dengan perkataanku tadi. Baguslah, supaya dia bisa berpikir. Secara tak langsung, perkataanku tadi mungkin menyinggung hatinya. Lagian kasih uang belanja minim, padahal untuk pertumbuhan anaknya sendiri.Inilah akibat dari berbohong, semua jadi salah paham.“Tapi kan bosan Yah, makan tahu tempe setiap hari. Untung sekarang Mama punya uang banyak, jadi bisa makan enak.” Tiba-tiba tanpa disangka dan diduga, Nisa bicara.“Apa? Kamu punya uang banyak, kok bisa. Kamu miara tuyul,” tuduh Bang Jun sarkas.“Nisa bicara apa sayang, Nisa lupa ya kemaren nenek kasih Nisa dan Dio uang, uang itu yang Mama gunakan untuk membeli ayam dan ikan. Bukan miara tuyul, seperti yang Ayah tuduhkan.”“Miara tuyul, maksudnya apa Ma, Yah,” tanya Nisa ingin tahu.“Tuyul itu anak kecil berkepala botak, suka mencuri uang.Tadi ayah cuman bercanda bilang Mama miara tuyul. Gak mungkin-kan Mama miara tuyul. Emang Nisa ada lihat bocah kecil berkepala botak berkeliaran di sini.”“Tidak ada Yah,” sahut Nisa memindai area. Mungkin penasaran, aku tertawa sendiri melihatnya.“Sudah! Sudah, sekarang lanjutkan makannya. Jangan bicara lagi.” Ucapku seraya mendelik ke Bang Jun, enak saja bicara sembarangan di depan Nisa. Untung Nisa tidak bertanya lagi.Setelahnya, hanya dentingan piring dan sendok beradu yang terdengar. Semua fokus dengan makanan masing-masing. Seperti ada yang memperhatikanku. Segera saja kutolehkah mata ke arah Bang Jun.Bang Jun sejenak menatapku sekilas. Mungkin masih penasaran dengan perkataan Nisa. ***“Benar kamu menolak uang ini, tidak menyesal.” Imbuh Bang Jun menatapku bingung.“Ini kali kedua kamu menolak uang yang aku berikan.” ujar Bang Jun sekali lagi, sebelum melangkah ke pintu. Hari ini saatnya ia kembali ke kota. Tapi langkahnya seakan berat meninggalkan kami tanpa uang yang ia berikan. Tapi aku ngotot menolak. Untuk apa, kalau hanya dianggap menghabiskan jerih payahnya, bahkan aku dibilang boros. Padahal aku belanja sedemikian irit, sampai Ratu pelit sudah melekat di kepalaku.“Tidak Bang, kamu simpan saja sendiri.”“Baiklah, awas saja kalau sampai Nisa dan Dio kelaparan dan jatuh sakit. Maka kamu harus tanggung jawab.”Aku hanya tersenyum sekilas, melihatnya memeluk Nisa dan Dio sebelum pergi.“Nisa, Dio, ayah berangkat sekarang ya, baik-baik di rumah.”“Iya ayah,” sahut mereka memeluk lelaki panutan mereka. Mana tega aku memisahkan mereka dari ayahnya. Biarlah aku menderita, asal mereka bahagia.Setelah kepergian Bang Jun, aku pun bersiap-siap untuk belanja semua kebutuhan dagangan. Mumpung hari Minggu, sekarang saja aku pergi belanja ke pasar. Aku minta Nisa menjaga adiknya, selama aku pergi.Biasanya belanja di siang hari begini harga barang lebih miring, bisa menambah modal usahaku biar semakin berkembang.Satu jam kemudian, aku kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan keberadaan ibu mertua yang tengah menyuapi Dio makan.Duh! Bagaimana ini? Mendadak langkahku terhenti.BersambungBismillahirrahmanirrahim.“Kenapa ya Mit, Bang Juna melakukan ini padaku.”“Tentu saja ia ingin hidup enak denganmu. Sejarah, sekarang ini kamu wanita karier berpenghasilan besar. Tentu rugi bagi Juna itu berpisah denganmu."“Tapi, apa harus dengan cara mengambil paksa Nisa dariku, sehingga membuatku urung bercerai darinya. Itu membuatku semakin ilfil dan benci padanya.”“Jangan heran, uang bisa mengubah perilaku orang Rin, termasuk suamimu itu.”Aku mengangguk menanggapi perkataan Mita, ada benarnya juga sih. Aku tak heran, sejak ibu tahu aku memiliki usaha kafe itu, sifatnya mulai berubah. Percuma ibu mengambil hatiku sekarang, karena sudah tidak ada gunanya. Ibarat kata orang, sudah terlambat. Hatiku terlanjur sakit dan mati rasa.Suasana hening sejenak, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.“Eh Arini, aku ada ide. Bagaimana kalau sementara ini, kita biarkan saja Nisa tinggal sama ayahnya. Paling juga tidak bertahan lama, sejarah lelaki itu pasti akan terbebani dengan mengurus N
Bismillahirrahmanirrahim.Hampir setengah jam aku berdiri terpaku di depan mobil, namun Nisa tidak kelihatan juga batang hidungnya. Kenapa lama sekali anak itu muncul, apa ia sedang menangis lagi di kelas? Kayak waktu itu, batinku dalam hati. Sementara anak-anak yang lain sudah pulang dari tadi. Sekolah juga sudah mulai sepi. Aku jadi khawatir dibuatnya. Salahku juga sih tadi, datang terlambat. Bukan disengaja, tapi saat akan berangkat, Dio ingin pipis lebih dulu. Aku hanya telat 10 menit, kok bisa-bisanya Nisa tidak ada di sekolah. Aku semakin gelisah tak karuan.Apa Bang Juna yang menjemputnya lalu membawanya kabur. Kepanikan melandaku sesaat. ‘Ya Allah lindungi anakku.’ Bisikku dalam hati.Dengan langkah cepat seakan hendak berlari, aku meluncur ke gerbang sekolah. Lalu terus berjalan menuju ruang kelas, sesampainya di sana ruangan itu kosong melompong tanpa penghuni. Terus Nisa di mana? Tidak ada siapa pun tempat untuk bertanya. Aku beralih ke ruang guru dan menanyakan keberadaa
Bismillahirrahmanirrahim.Hari demi hari terus berganti, tak terasa tiba saatnya bagiku melakukan tes DNA ulang terhadap bayi Mbak Zara dan Bang Juna. Aku sendiri yang turun tangan, biar lebih yakin. Supaya tidak ada lagi kecurigaan dan keterangan yang berbeda. Jangan sampai kali ini ada kekeliruan. Itu tidak akan kubiarkan terjadi, kudu hati-hati.Setengah jam yang lalu, aku telah berada di sini. Memastikan semuanya berjalan lancar. Mbak Zara juga sudah aku beritahu, sekalian sharelok tempat tes dilaksanakan. Begitu juga dengan Bang Juna. Pasangan yang bertolak belakang itu kini seperti orang kayak musuhan saja. Padahal sebelumnya mereka telah melewati malam yang dingin untuk saling menghangatkan.Apa salahnya mereka membesarkan bayi itu dengan kasih sayang yang melimpah seperti layaknya orang tua lain pada anaknya. Bukan mengingkari keberadaan bayi itu, seperti yang dilakukan Bang Juna. Habis manis sepah dibuang, begitulah ibarat peribahasa. Aku datang lebih awal dibandingkan yan
Bismillahirrahmanirrahim.“Beberapa hari yang lalu, saat jemput Nisa di sekolah. Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan seorang perempuan yang mengatakan bahwa aku ini, wanita yang tidak pandai berterima kasih, sudah ditolong malah sok jual mahal. Kalau boleh tahu, apa maksud perkataanmu waktu itu ya.” Arini memandang tak sabaran perempuan di depannya dengan rasa kepo tingkat tinggi. Wanita itu terdiam. Tak menyangka mungkin akan bertemu denganku di sini. Apalagi dengan pertanyaan to the poin yang aku lontarkan. Waktu itu jelas sekali mukanya tampak marah dan kesal. Apa ia tidak salah orang? Bagaimana bisa perkataannya itu dialamatkan padaku. Apa salahku? Jadi wajar bukan? Kalau aku bertanya. “Bisa jelaskan! Biar aku tidak kepikiran.” Sambungku lagi karena wanita ini tetap bungkam tanpa berkomentar apa pun. Sedangkan aku, sudah tak sabaran ingin mendengar langsung penjelasannya.Dret, dret.Tiba-tiba ponsel wanita itu berbunyi. Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita itu langsu
"Baiklah, jika itu yang kamu mau. Kita lakukan tes ulang, di mana tempatnya?" ucap ibu yakin. Tidak terlihat gentar dan takut, bila hasilnya tidak memihak padanya. Ibu sangat percaya diri nampaknya. Gantian aku yang gelisah, akibat terlanjur berjanji akan menerima Bang Juna seutuhnya bila hasil tes itu negatif. Sedangkan aku sangat berharap kali ini hasilnya positif. “Oh iya mengenai tempat tesnya biar ibu yang cari, kamu sangat sibuk, tentu tidak mungkin sempat—“ perkataan ibu langsung aku potong begitu saja. “Tidak Bu, tempat tes sudah aku tentuin. Pagi hari sebelum ke sana, aku info in tempatnya.”“A-apa,” tanya ibu terbata-bata.“Iya Bu, mengenai tempatnya ibu tidak perlu repot, aku sudah ada tempat untuk itu.”“Di mana?”“Pada hari H, aku akan sharelok ke ibu atau Bang Juna,” kataku datar.“Apa tidak bisa sekarang?”Aku menatap sejenak perempuan yang ada di hadapanku. Apa katanya tadi, minta share tempatnya sekarang? Yang benar saja, mana mungkin aku kasih tahu saat ini. Bisa-b
Bismillahirrahmanirrahim.Dengan kedua bukti di tangan, aku pergi sendiri ke rumah sakit, membuktikan keabsahan kedua surat itu. Untung Pak Andra memberitahuku tempat yang bisa dipercaya dan tidak mudah termakan sogokan.Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku. Katanya kedua surat keterangan itu sah tanpa ada pemalsuan. Kok bisa anak yang dilahirkan itu memiliki dua hasil tes yang berbeda. Rasanya kok aneh, siapa yang bisa aku percaya sekarang? Mbak Zara atau Bang Juna. Mereka berdua menunjukkan bukti yang benar.“Tidak salah apa yang dokter sampaikan, jadi kedua surat keterangan itu sah, bukan hasil rekayasa.”“Tentu saja kedua surat keterangan itu sah. Saya bisa pastikan tidak ada kekeliruan dari hasil tes itu.” Jelas Dokter seraya tersenyum ramah.“Itu tidak mungkin Dok? Satu anak memiliki dua hasil tes yang berbeda.” Ucapku menyangsikan keterangan yang dokter berikan.Dokter itu nampak mengernyit bingung, seraya berpikir.“Begini saja, tolong ceritakan lebih detail mengenai du