Bismillahirrahmanirrahim.
“Jangan lupa klik tombol berlangganan ya.“Baiklah mulai besok Mama mau jual gorengan. Nisa mau bantu Mama tidak?”“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang. Gadis kecil itu loncat-loncat kegirangan. Aku tersenyum lebar, kebahagiaannya pelipur lara bagiku. Hilang rasanya semua beban berat yang kupikul. Bagiku, kehadiran Nisa itu ibarat oase di gurun pasir. Menyejukkan dan menentramkan hati yang sedang gundah gulana.“Emang Nisa tidak malu punya Mama penjual gorengan?” tanyaku memastikan. Aku tidak mau nanti Nisa rendah diri, lalu mengurung diri di kamar akibat rasa malu. Apalagi bila ada temannya yang melihat pekerjaanku.Nisa menggeleng cepat. “Untuk apa malu, temanku ada yang jualan di sekolah.”“Hah! Benarkah, jualan apa?” tanyaku tidak percaya.“Itu, pembatas buku,” sahutnya menatapku, seraya mengedipkan mata.“Pembatas buku-kan beda sama gorengan, lebih bersih gak ada noda minyak.”“Kan yang jualan Mama, bukan aku, kenapa pusing, kenapa harus malu. Kalau mama mencuri, baru Nisa malu."“Eh! Iya pintar anak Mama.” Lagi aku tersenyum melihat binar di matanya.Kuelus pucuk kepala Nisa dan kuciumi pipinya tiada henti, anak yang kusayangi sepenuh hati dengan harapan besar tersemat dalam dada. Semoga putriku menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua. Menyayangiku dan juga adiknya.Sorenya aku mulai mengeluarkan meja yang ada di dapur. Diatas meja aku letakkan kertas pemberitahuan, bahwa besok aku akan jualan gorengan dan nasi uduk untuk sarapan. Biar banyak yang tahu, dengan begitu mereka datang membeli keesokan harinya.Sebenarnya beberapa tetangga sudah tahu, kalau masakanku enak. Bahkan dulu saat Nisa masih kecil, ada yang menyarankan supaya aku kerja sampingan, semacam menjual gorengan atau lauk matang. Tapi Bang Jun melarang keras niatku. Maka sekaranglah saat yang tepat, tidak boleh ditunda lagi.Pagi-pagi sekali aku sudah mulai menata berbagai macam gorengan, ada pisang goreng, bakwan, tahu, tempe, nasi uduk dan nasi kuning di meja. Tak ketinggalan kerupuk juga ada. Bagi sebagian orang, makan nasi uduk tanpa kerupuk ibarat makan tanpa garam. Sama pentingnya. Untung siang kemaren aku sudah sempatkan belanja ke pasar, membeli semua yang aku butuhkan. jadi malamnya beberapa sayuran untuk bakwan telah aku iris. Paginya tinggal mengaduk dan menggoreng serta memasak nasi uduk dan nasi kuning.Sementara Bang Jun tidak berada di rumah. Ia hanya pulang sekali dalam seminggu. Jadi ia tidak mengetahui sepak terjangku selama seminggu. Jadi aman bukan? Kecuali ada yang melaporkan aksiku padanya. Tapi aku tidak perlu takut, kalau memang saatnya dia tahu, dengan besar hati aku siap menerima konsekuensi apapun. Bahkan dicerai misalnya. Untuk apa memaksakan diri bertahan dengan lelaki pelit. Aku sudah siap dengan kemungkinan apa pun, tidak perlu ragu dan takut.Bang Jun orang yang gede gengsian, aku tidak dibolehkan bekerja. Itu adalah tugas suami katanya. Tapi uang yang ia beri tidak pernah cukup. Padahal aku selalu berhemat dan mengatur sedemikian rupa. Aku ingin membantunya membiayai rumah tangga ini, tapi tak pernah diizinkan. Sehingga pantas rasanya aku dikenal sebagai tangkai kering bagi kaum ibu yang belanja di Kang sayur. Pernah satu ketika aku dijuluki ratu pelit di depan mataku sendiri, karena memasak menu yang sama setiap hari.“Rin, gak bosan apa makan tempe tahu mulu, jangan pelit-pelitlah untuk keluarga sendiri,” ujar seorang ibu yang berbadan kurus kering. Dia yang selalu makan enak saja, buktinya badannya tetap kurus kering juga. Dengusku dalam hati.Emang makanan bisa membuat badan gemuk. Gemuk atau kurus tergantung dari sananya. Bukan semata pengaruh dari makan enak atau tidak enak. Selera kan tergantung masing -masing orang. Boleh jadi bagi sebagian orang makan tempe itu serasa makan daging atau sebaliknya."Lama-lama kamu dijuluki dan dipasangi mahkota ratu pelit seantero komplek." Sambung Bu Lisa bicara tanpa ampun. Aku meringis mendengar perkataannya. Terserah kalianlah mau berpikir apapun tentangku.Beberapa ibu-ibu yang belanja terkekeh pelan. Sedangkan aku menunduk karena malu. Siapa sih yang tidak ingin menyuguhkan makanan bervariasi dan tentu enak untuk keluarganya, tapi keuanganku tidak memungkinkan untuk itu. Aku harus mengubur keinginanku dalam-dalam. Aku lebih memilih makan sederhana daripada membeli semuanya dengan cara berhutang. Itulah prinsip hidupku, bebas dari hutang piutang. Hidup tenang tidurpun nyenyak.“Orang kalau sudah hobi, gak ada kata bosan, ya, Jeng Arini.” Timpal Bu Atik membelaku. Bu Atik perempuan yang sangat mengerti kondisi keuanganku. Dan beliau tak pernah sekali pun menghina dan merendahkan keluargaku.“Iya Bu Atik, kebetulan tempe tahu menu kesukaan Nisa dan Dio.” Sahutku kalem seraya menimang tahu tempe di tanganku.“Halah! Kamu bilang tahu tempe menu kesukaan Nisa dan Dio. Kemaren Nisa makan ayam sama Ara lahab banget. Terus dia bilang bosan tempe tahu mulu.” Sahut Bu Lisa sengaja mempermalukanku.Astaga, benar adanya lidah tidak bertulang, keluar saja dengan mulus dari mulut tanpa memikirkan orang tersinggung atau tidak.Mataku spontan terbelalak sempurna. Tidak mungkin Nisa berkata seperti itu. Ini pasti ada yang mencurigakan. Aku tahu Nisa anak yang baik, tidak pernah mengeluh. Tak mungkin perkataan itu keluar dari mulutnya. Pasti bu Lisa hanya mengarang cerita. Setelah diselidiki, ternyata itu hanya bualan Bu Lisa saja, mempermalukan ku di tengah ibu-ibu. Sungguh tega dia, berkata seperti itu.Lamunanku pupus, ketika para pembeli mulai berdatangan, untungnya Nisa sudah bisa berangkat sendiri ke sekolah. Jadi aku bisa berjualan tanpa khawatir sekolah Nisa terganggu. Sedangkan Dio jam segini masih tidur, itu keuntungan sendiri buatku. Kalau Dio terjaga, pasti aku kesulitan melayani pembeli.“Nasi uduk 2 Bu Arini” ucap Mang Kosim sambil meraih bakwan lalu duduk sembari menunggu pesanan.“Tunggu sebentar ya Mang, setelah ini saya siapkan pesanannya.”Mang Kosim hanya mengangguk sambil meraih bakwan lalu memakannya dengan lahap. Sampai habis 5, bayangkan betapa enaknya bakwan buatanku. Aku tersenyum melirik Wak Kosim yang sudah kenyang duluan sebelum nasi uduk selesai aku buatkan.“Wah bakwanmu enak benar Bu Arini, kenapa baru jualan sekarang? Harusnya dari dulu. Setiap hari pasti aku beli di sini.” Ucapnya seraya mencomot bakwan satu lagi.“Iya Mang, baru kepikiran. Ini pesanannya Mang,” lalu kusodorkan 2 bungkus nasi uduk ke tangan Mang Kosim.“Coba Bu Arini sedia kopi juga tambah top markotop ini,” canda Mang Kosim tak berhenti melahap bakwan di tangannya. Setelah meraih bungkusan nasi uduk di tanganku, mang Kosim berlalu pergi. Tentu saja tak lupa membayar pesanannya.Benar juga, kenapa aku tidak jualan kopi sekalian. Justru bakwan, pisang goreng itu makin enak ditemani secangkir kopi.Baiklah, itu nanti aku pikirkan. Sekarang fokus saja dengan dagangan yang ada di depan.Jam baru saja menunjukkan pukul 09.30. semua daganganku telah habis terjual. Dengan begini aku bisa memenuhi semua kebutuhanku tanpa tergantung lagi pada Bang Jun. Aku bisa memberi ibu uang dari keringatku sendiri, atau membelikan baju untuk ibu. Aku tersenyum lega. Indah benar rasanya hidup ini.Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis bahkan cenderung kurang. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain, bila ingin menambah dagangannya. Baiklah! Itu aku pikirkan nanti saja.Next..Bismillahirrahmanirrahim.“Kenapa ya Mit, Bang Juna melakukan ini padaku.”“Tentu saja ia ingin hidup enak denganmu. Sejarah, sekarang ini kamu wanita karier berpenghasilan besar. Tentu rugi bagi Juna itu berpisah denganmu."“Tapi, apa harus dengan cara mengambil paksa Nisa dariku, sehingga membuatku urung bercerai darinya. Itu membuatku semakin ilfil dan benci padanya.”“Jangan heran, uang bisa mengubah perilaku orang Rin, termasuk suamimu itu.”Aku mengangguk menanggapi perkataan Mita, ada benarnya juga sih. Aku tak heran, sejak ibu tahu aku memiliki usaha kafe itu, sifatnya mulai berubah. Percuma ibu mengambil hatiku sekarang, karena sudah tidak ada gunanya. Ibarat kata orang, sudah terlambat. Hatiku terlanjur sakit dan mati rasa.Suasana hening sejenak, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.“Eh Arini, aku ada ide. Bagaimana kalau sementara ini, kita biarkan saja Nisa tinggal sama ayahnya. Paling juga tidak bertahan lama, sejarah lelaki itu pasti akan terbebani dengan mengurus N
Bismillahirrahmanirrahim.Hampir setengah jam aku berdiri terpaku di depan mobil, namun Nisa tidak kelihatan juga batang hidungnya. Kenapa lama sekali anak itu muncul, apa ia sedang menangis lagi di kelas? Kayak waktu itu, batinku dalam hati. Sementara anak-anak yang lain sudah pulang dari tadi. Sekolah juga sudah mulai sepi. Aku jadi khawatir dibuatnya. Salahku juga sih tadi, datang terlambat. Bukan disengaja, tapi saat akan berangkat, Dio ingin pipis lebih dulu. Aku hanya telat 10 menit, kok bisa-bisanya Nisa tidak ada di sekolah. Aku semakin gelisah tak karuan.Apa Bang Juna yang menjemputnya lalu membawanya kabur. Kepanikan melandaku sesaat. ‘Ya Allah lindungi anakku.’ Bisikku dalam hati.Dengan langkah cepat seakan hendak berlari, aku meluncur ke gerbang sekolah. Lalu terus berjalan menuju ruang kelas, sesampainya di sana ruangan itu kosong melompong tanpa penghuni. Terus Nisa di mana? Tidak ada siapa pun tempat untuk bertanya. Aku beralih ke ruang guru dan menanyakan keberadaa
Bismillahirrahmanirrahim.Hari demi hari terus berganti, tak terasa tiba saatnya bagiku melakukan tes DNA ulang terhadap bayi Mbak Zara dan Bang Juna. Aku sendiri yang turun tangan, biar lebih yakin. Supaya tidak ada lagi kecurigaan dan keterangan yang berbeda. Jangan sampai kali ini ada kekeliruan. Itu tidak akan kubiarkan terjadi, kudu hati-hati.Setengah jam yang lalu, aku telah berada di sini. Memastikan semuanya berjalan lancar. Mbak Zara juga sudah aku beritahu, sekalian sharelok tempat tes dilaksanakan. Begitu juga dengan Bang Juna. Pasangan yang bertolak belakang itu kini seperti orang kayak musuhan saja. Padahal sebelumnya mereka telah melewati malam yang dingin untuk saling menghangatkan.Apa salahnya mereka membesarkan bayi itu dengan kasih sayang yang melimpah seperti layaknya orang tua lain pada anaknya. Bukan mengingkari keberadaan bayi itu, seperti yang dilakukan Bang Juna. Habis manis sepah dibuang, begitulah ibarat peribahasa. Aku datang lebih awal dibandingkan yan
Bismillahirrahmanirrahim.“Beberapa hari yang lalu, saat jemput Nisa di sekolah. Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan seorang perempuan yang mengatakan bahwa aku ini, wanita yang tidak pandai berterima kasih, sudah ditolong malah sok jual mahal. Kalau boleh tahu, apa maksud perkataanmu waktu itu ya.” Arini memandang tak sabaran perempuan di depannya dengan rasa kepo tingkat tinggi. Wanita itu terdiam. Tak menyangka mungkin akan bertemu denganku di sini. Apalagi dengan pertanyaan to the poin yang aku lontarkan. Waktu itu jelas sekali mukanya tampak marah dan kesal. Apa ia tidak salah orang? Bagaimana bisa perkataannya itu dialamatkan padaku. Apa salahku? Jadi wajar bukan? Kalau aku bertanya. “Bisa jelaskan! Biar aku tidak kepikiran.” Sambungku lagi karena wanita ini tetap bungkam tanpa berkomentar apa pun. Sedangkan aku, sudah tak sabaran ingin mendengar langsung penjelasannya.Dret, dret.Tiba-tiba ponsel wanita itu berbunyi. Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita itu langsu
"Baiklah, jika itu yang kamu mau. Kita lakukan tes ulang, di mana tempatnya?" ucap ibu yakin. Tidak terlihat gentar dan takut, bila hasilnya tidak memihak padanya. Ibu sangat percaya diri nampaknya. Gantian aku yang gelisah, akibat terlanjur berjanji akan menerima Bang Juna seutuhnya bila hasil tes itu negatif. Sedangkan aku sangat berharap kali ini hasilnya positif. “Oh iya mengenai tempat tesnya biar ibu yang cari, kamu sangat sibuk, tentu tidak mungkin sempat—“ perkataan ibu langsung aku potong begitu saja. “Tidak Bu, tempat tes sudah aku tentuin. Pagi hari sebelum ke sana, aku info in tempatnya.”“A-apa,” tanya ibu terbata-bata.“Iya Bu, mengenai tempatnya ibu tidak perlu repot, aku sudah ada tempat untuk itu.”“Di mana?”“Pada hari H, aku akan sharelok ke ibu atau Bang Juna,” kataku datar.“Apa tidak bisa sekarang?”Aku menatap sejenak perempuan yang ada di hadapanku. Apa katanya tadi, minta share tempatnya sekarang? Yang benar saja, mana mungkin aku kasih tahu saat ini. Bisa-b
Bismillahirrahmanirrahim.Dengan kedua bukti di tangan, aku pergi sendiri ke rumah sakit, membuktikan keabsahan kedua surat itu. Untung Pak Andra memberitahuku tempat yang bisa dipercaya dan tidak mudah termakan sogokan.Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku. Katanya kedua surat keterangan itu sah tanpa ada pemalsuan. Kok bisa anak yang dilahirkan itu memiliki dua hasil tes yang berbeda. Rasanya kok aneh, siapa yang bisa aku percaya sekarang? Mbak Zara atau Bang Juna. Mereka berdua menunjukkan bukti yang benar.“Tidak salah apa yang dokter sampaikan, jadi kedua surat keterangan itu sah, bukan hasil rekayasa.”“Tentu saja kedua surat keterangan itu sah. Saya bisa pastikan tidak ada kekeliruan dari hasil tes itu.” Jelas Dokter seraya tersenyum ramah.“Itu tidak mungkin Dok? Satu anak memiliki dua hasil tes yang berbeda.” Ucapku menyangsikan keterangan yang dokter berikan.Dokter itu nampak mengernyit bingung, seraya berpikir.“Begini saja, tolong ceritakan lebih detail mengenai du