Share

SSUM Part 04

Bismillahirrahmanirrahim.

“Jangan lupa klik tombol berlangganan ya.

“Baiklah mulai besok Mama mau jual gorengan. Nisa mau bantu Mama tidak?”

“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang. Gadis kecil itu loncat-loncat kegirangan. Aku tersenyum lebar, kebahagiaannya pelipur lara bagiku. Hilang rasanya semua beban berat yang kupikul. Bagiku, kehadiran Nisa itu ibarat oase di gurun pasir. Menyejukkan dan menentramkan hati yang sedang gundah gulana.

“Emang Nisa tidak malu punya Mama penjual gorengan?” tanyaku memastikan. Aku tidak mau nanti Nisa rendah diri, lalu mengurung diri di kamar akibat rasa malu. Apalagi bila ada temannya yang melihat pekerjaanku.

Nisa menggeleng cepat. “Untuk apa malu, temanku ada yang jualan di sekolah.”

“Hah! Benarkah, jualan apa?” tanyaku tidak percaya.

“Itu, pembatas buku,” sahutnya menatapku, seraya mengedipkan mata.

“Pembatas buku-kan beda sama gorengan, lebih bersih gak ada noda minyak.”

“Kan yang jualan Mama, bukan aku, kenapa pusing, kenapa harus malu. Kalau mama mencuri, baru Nisa malu."

“Eh! Iya pintar anak Mama.” Lagi aku tersenyum melihat binar di matanya.

Kuelus pucuk kepala Nisa  dan kuciumi pipinya tiada henti, anak yang kusayangi sepenuh hati dengan harapan besar tersemat dalam dada. Semoga putriku menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua. Menyayangiku dan juga adiknya.

Sorenya aku mulai mengeluarkan meja yang ada di dapur. Diatas meja aku letakkan kertas pemberitahuan, bahwa besok aku akan jualan gorengan dan nasi uduk untuk sarapan. Biar banyak yang tahu, dengan begitu mereka datang membeli keesokan harinya.

Sebenarnya beberapa tetangga sudah tahu, kalau masakanku enak. Bahkan dulu saat Nisa masih kecil, ada yang menyarankan supaya aku kerja sampingan, semacam menjual gorengan atau lauk matang. Tapi Bang Jun melarang keras niatku. Maka sekaranglah saat yang tepat, tidak boleh ditunda lagi.

Pagi-pagi sekali aku sudah mulai menata berbagai macam gorengan, ada pisang goreng, bakwan, tahu, tempe,  nasi uduk dan nasi kuning di meja. Tak ketinggalan kerupuk juga ada. Bagi sebagian orang, makan nasi uduk tanpa kerupuk ibarat makan tanpa garam. Sama pentingnya. 

Untung siang kemaren aku sudah sempatkan belanja ke pasar, membeli semua yang aku butuhkan. jadi malamnya beberapa sayuran untuk bakwan telah aku iris. Paginya tinggal mengaduk dan menggoreng serta memasak nasi uduk dan nasi kuning.

Sementara Bang Jun tidak berada di rumah. Ia hanya pulang sekali dalam seminggu. Jadi ia tidak mengetahui sepak terjangku selama seminggu. Jadi aman bukan? Kecuali ada yang melaporkan aksiku padanya. Tapi aku tidak perlu takut, kalau memang saatnya dia tahu, dengan besar hati aku siap menerima konsekuensi apapun. Bahkan dicerai misalnya. Untuk apa memaksakan diri bertahan dengan lelaki pelit. Aku sudah siap dengan kemungkinan apa pun, tidak perlu ragu dan takut.

Bang Jun orang yang gede gengsian, aku tidak dibolehkan bekerja. Itu adalah tugas suami katanya. Tapi uang yang ia beri tidak pernah cukup. Padahal aku selalu berhemat dan mengatur sedemikian rupa. Aku ingin membantunya membiayai rumah tangga ini, tapi tak pernah diizinkan. 

Sehingga pantas rasanya aku dikenal sebagai tangkai kering bagi kaum ibu yang belanja di Kang sayur. Pernah satu ketika aku dijuluki ratu pelit di depan mataku sendiri, karena memasak menu yang sama setiap hari.

“Rin, gak bosan apa makan tempe tahu mulu, jangan pelit-pelitlah untuk keluarga sendiri,” ujar seorang ibu yang berbadan kurus kering. Dia yang selalu makan enak saja, buktinya badannya tetap kurus kering juga. Dengusku dalam hati.

Emang makanan bisa membuat badan gemuk. Gemuk atau kurus tergantung dari sananya. Bukan semata pengaruh dari makan enak atau tidak enak. Selera kan tergantung masing -masing orang. Boleh jadi bagi sebagian orang makan tempe itu serasa makan daging atau sebaliknya.

"Lama-lama kamu dijuluki dan dipasangi mahkota ratu pelit seantero komplek." Sambung Bu Lisa bicara tanpa ampun. Aku meringis mendengar perkataannya. Terserah kalianlah mau berpikir apapun tentangku.

Beberapa ibu-ibu yang belanja terkekeh pelan. Sedangkan aku menunduk karena malu. Siapa sih yang tidak ingin menyuguhkan makanan bervariasi dan tentu enak untuk keluarganya, tapi keuanganku tidak memungkinkan untuk itu. Aku harus mengubur keinginanku dalam-dalam. Aku lebih memilih makan sederhana daripada membeli semuanya dengan cara berhutang. Itulah prinsip hidupku, bebas dari hutang piutang. Hidup tenang tidurpun nyenyak.

“Orang kalau sudah hobi, gak ada kata bosan, ya, Jeng Arini.” Timpal Bu Atik membelaku. Bu Atik perempuan yang sangat mengerti kondisi keuanganku. Dan beliau tak pernah sekali pun menghina dan merendahkan keluargaku.

“Iya Bu Atik, kebetulan tempe tahu menu kesukaan Nisa dan Dio.” Sahutku kalem seraya menimang tahu tempe di tanganku.

“Halah! Kamu bilang  tahu tempe menu kesukaan Nisa dan Dio. Kemaren Nisa makan ayam sama Ara lahab banget. Terus dia bilang bosan tempe tahu mulu.” Sahut Bu Lisa sengaja mempermalukanku.

Astaga, benar adanya lidah tidak bertulang, keluar saja dengan mulus dari mulut tanpa memikirkan orang tersinggung atau tidak.

Mataku spontan terbelalak sempurna. Tidak mungkin Nisa berkata seperti itu. Ini pasti ada yang mencurigakan. Aku tahu Nisa anak yang baik, tidak pernah mengeluh. Tak mungkin perkataan itu keluar dari mulutnya. Pasti bu Lisa hanya mengarang cerita. Setelah diselidiki, ternyata itu hanya bualan Bu Lisa saja, mempermalukan ku di tengah ibu-ibu. Sungguh tega dia, berkata seperti itu.

Lamunanku pupus, ketika para pembeli mulai berdatangan, untungnya Nisa sudah bisa berangkat sendiri ke sekolah. Jadi aku bisa berjualan tanpa khawatir sekolah Nisa terganggu. Sedangkan Dio jam segini masih tidur, itu keuntungan sendiri buatku. Kalau Dio terjaga, pasti aku kesulitan melayani pembeli.

“Nasi uduk 2 Bu Arini” ucap Mang Kosim sambil meraih bakwan lalu duduk sembari menunggu pesanan.

“Tunggu sebentar ya Mang, setelah ini saya siapkan pesanannya.”

Mang Kosim hanya mengangguk sambil meraih bakwan lalu memakannya dengan lahap. Sampai habis 5, bayangkan betapa enaknya bakwan buatanku. Aku tersenyum melirik Wak Kosim yang sudah kenyang duluan sebelum nasi uduk selesai aku buatkan.

“Wah bakwanmu enak benar Bu Arini, kenapa baru jualan sekarang? Harusnya dari dulu. Setiap hari pasti aku beli di sini.” Ucapnya seraya mencomot bakwan satu lagi.

“Iya Mang, baru kepikiran. Ini pesanannya Mang,” lalu kusodorkan 2 bungkus nasi uduk ke tangan Mang Kosim.

“Coba Bu Arini sedia kopi juga tambah top markotop ini,” canda Mang Kosim tak berhenti melahap bakwan di tangannya. Setelah meraih bungkusan nasi uduk di tanganku, mang Kosim berlalu pergi. Tentu saja tak lupa membayar pesanannya.

Benar juga, kenapa aku tidak jualan kopi sekalian. Justru bakwan, pisang goreng itu makin enak ditemani secangkir kopi.

Baiklah, itu nanti aku pikirkan. Sekarang fokus saja dengan dagangan yang ada di depan.

Jam baru saja menunjukkan pukul 09.30. semua daganganku telah habis terjual. Dengan begini aku bisa memenuhi semua kebutuhanku tanpa tergantung lagi pada Bang Jun. Aku bisa memberi ibu uang dari keringatku sendiri, atau membelikan baju untuk ibu. Aku tersenyum lega. Indah benar rasanya hidup ini.

Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis  bahkan cenderung kurang. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain, bila ingin menambah dagangannya. 

Baiklah! Itu aku pikirkan nanti saja.

Next..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status