Bab 5
"Papa tidak mau tahu bagaimana caranya Brian, kamu harus segera menikah dan berikan papa keturunan. Usiamu sudah tidak lagi muda Brian, apa yang kamu tunda lagi? Atau jangan-jangan …." Frans melempar tatapan matanya ke arah Marco, yang kebetulan Marco masih ada di ruangan yang sama dengan Brian. Lalu Frans melanjutkan ucapannya dengan berkata, "Kalian berdua tidak ada hubungan serius kan?"
Sontak Brian dan Marco saling lempar tatapan, dan dengan spontan keduanya tertawa berbarengan.
Kenapa tidak lucu dirasa oleh Brian, saat Frans sang papa justru menebaknya ada hubungan dengan asisten pribadi yang tidak lain sahabatnya sendiri.
Hahahaha
"Papa ini, sudahlah Pa. Aku pasti akan memberikanmu cucu," kata Brian pada akhirnya.
"Baiklah, Papa pegang ucapanmu itu Brian."
"Hmmmm, aku harus pergi Pa. Hari ini aku mendapat kiriman beberapa wanita untuk dijadikan wanita penghibur Pa. Apa Papa mau wanita seperti itu yang aku jadikan istri, Pa?"
"Kamu jangan bercanda Brian, bagaimana bisa kamu memasukkan wanita yang statusnya tidak jelas ke dalam keluarga kita, Brian. Papa gak mau."
"Hahahaha, sudah aku tebak. Ayo kita berangkat Marco. Oh iya aku lupa, bukankah kamu aku perintahkan untuk mencari keberadaan Kinanti, Marco?"
"Iya Brian, apa aku boleh pergi sekarang?" tanya balik Marco.
"Silahkan," jawab Brian, sehingga Brian terpaksa berangkat dengan para anak buahnya yang lain.
Sementara di tempat lain, di penampungan tenaga kerja wanita (TKW) yang katanya akan dikirim ke luar negri, dan salah satu diantara wanita itu ada Kinanti.
Kinanti yang tidak tahu tujuan keberangkatannya, karena dalam hatinya Kinanti berpikiran yang penting lolos dulu dan tidak berada di kawasan tempat tinggalnya. Sebab Kinanti yang takut kalau dia dipenjarakan oleh pamannya. Hingga tidak banyak tanya yang keluar dari mulut Kinanti.
Namun seorang wanita berkata pada seorang temannya, "Aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka tadi, aku dengar kalau kita semua akan dikirim ke Amerika untuk dijadikan wanita penghibur, bukan ditempatkan menjadi asisten rumah tangga (ART) di sana."
Sontak yang satu jadi gemetaran, karena setahunya dia dikirim untuk dipekerjakan di sebuah rumah milik salah satu warga Amerika, yang katanya gajinya mencapai 15 JT sebulan. Siapa yang tidak tertarik dengan gaji segitu dan hanya lulusan SMA saja? Wajar jika para wanita cantik yang seksi dan masih muda tergiur untuk bekerja di luar negeri. Tapi mereka tidak tahu pasti apa yang akan terjadi pada mereka.
Kinanti yang mendengar obrolan para wanita itu berencana ingin membatalkan keberangkatannya tapi tidak bisa, karena pesawat mereka sebentar lagi tiba di bandara Amerika.
Dalam hatinya Kinanti bergumam, "Aku tidak mau bekerja sebagai pelayan komersial atau psk, nggak. Aku gak mau. Bagaimanapun caranya aku harus kabur. Aku tidak peduli apapun caranya aku harus kabur."
Sontak mata Kinanti liar menatap kiri dan kanan, hingga keberadaan mereka sampai di tanah Amerika, tapi yang lucunya pesawat itu tidak berhenti di bandara. Melainkan di sebuah tanah yang luas dan Kinanti tidak tahu di mana tempatnya kini. Yang ada seorang pria datang dan meminta mereka semua untuk segera turun dari dalam pesawat.
Jumlah mereka kurang lebih sebanyak lima puluh orang, dan mereka semua seperti wanita pilihan yang cantik-cantik dan bisa memikat para pria mata keranjang.
Di saat seperti itulah Kinanti mencari kesempatan untuk kabur, dia tahu kalau ini berbahaya untuknya, bisa jadi kalau dia tertangkap yang ada nyawanya akan menjadi taruhan. Tapi bagi Kinanti kematian lebih baik daripada menjadi wanita yang hina.
Selangkah demi selangkah Kinanti gerakkan berjalan mundur ke belakang, di saat mereka tengah lengah dan melakukan pengecekan kepada beberapa wanita itu.
Kinanti memang sengaja mengambil barisan belakang, tujuannya agar dia bisa kabur.
Benar saja apa yang Kinanti pikirkan, ketika mata Kinanti melihat beberapa pria dengan wajah sangar, Kinanti bisa menebak kalau para pria itu bukan pria biasa. Melainkan mereka merupakan kawanan bandit yang melakukan pekerjaan secara ilegal. Buktinya kenapa pesawat mereka tidak berhenti di bandara justru tiba di sebuah tanah kosong yang sepi dan tidak berpenghuni.
"Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus pergi," gumamnya kembali ke dalam hati.
Kinanti mulai mengambil kesempatan untuk berlari ke belakang, tapi sayangnya aksinya itu di lihat oleh dua preman yang ikut berjaga di tempat itu.
"Kejar dia! Bisa-bisanya dia ingin kabur!" kata seorang pria yang merupakan pimpinan bandit, suaranya terdengar garang dan menakutkan. Menambah rasa cemas dan takut di hati Kinanti.
Nafas Kinanti tersengal-sengal, dia tidak kuat tapi dia harus tetap berlari sejauh mungkin. "Ah hah ah," erangan suara Kinanti yang kecapean bercampur takut.
"Mau kemana kamu, kembali sini!" sorak seorang pria.
Sesekali Kinanti menoleh ke arah belakang, yang mana jaraknya dengan dua pria itu tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, karena tidak ingin tertangkap Kinanti menambah laju larinya.
"Tidak, aku gak mau. Aku gak mau!" pekik Kinanti sambil berlari.
"Kejar dia!" sahut pria yang berada di belakang.
Sedikit lagi Kinanti sampai di jalan umum, dan kebetulan sebuah mobil lewat, hingga hampir saja Kinanti tertabrak. Beruntung sang supir dengan cepat mengerem mobilnya dengan mendadak.
"Ada apa sih?" gusar penumpang yang ada di dalam mobil. "Kamu," lanjut pria itu.
Kinanti sempat menoleh ke dalam mobil, bahkan saling beradu pandang dengan pria yang tidak lain Brian yang baru sampai untuk melakukan pengecekan pekerjaan para anak buahnya. "Kinanti," kata Brian antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Kinanti tidak mau meminta tolong dengan pemilik mobil, apalagi melihat mobil itu berjumlah lima mobil. Sudah bisa ditebak kalau pemilik mobil itu bukan orang biasa, dan yang ada di dalam pikiran Kinanti pria itu tidak lain masih orang yang sama dengan orang yang hendak menjualnya. Apalagi keberadaannya di negeri orang. Membuatnya untuk tidak mudah percaya pada orang yang baru ia temui.
"Tunggu!" kata Brian yang sempat turun dari dalam mobil.
Sebenarnya samar mata Kinanti melihat Brian, hingga Kinanti tidak begitu mengenal Brian. Padahal Kinanti sudah pernah bertemu dengan Brian beberapa kali, tapi pertemuan kali ini tidak berarti bagi Kinanti, berbeda halnya dengan Brian.
Dua pria itu menghampiri Brian dan berkata, "Maaf Bos, kami harus mengejarnya. Dia kabur Bos."
Melihat Kinanti yang ngos-ngosan karena takut membuat Brian memberikan isyarat agar dua pria itu tidak mengejar Kinanti lagi, justru memerintahkan satu anak buahnya untuk mengawasi Kinanti dari kejauhan. "Laporkan padaku apapun yang terjadi padanya, pastikan dia aman dan tidak ada yang mengganggunya."
"Baik Bos," jawab sang anak buah.
"Kenapa bisa kamu di sini, Kinanti?" gumam Brian bertanya di dalam hatinya, dan tidak berselang lama pimpinan para bandit itu menghampiri Brian sebagai bos besarnya.
"Kenapa dia ada di sini?" pertanyaan pertama yang Brian ajukan, hingga pria itu pun berkata, "Dia datang padaku untuk mencari pekerjaan, aku lihat tampang ok dan menarik. Makanya aku ikut sertakan ke sini, Bos."
Plakkkk
Tamparan hangat yang didapat oleh pria itu, dia tidak suka kalau Kinanti dipekerjakan sebagai wanita penghibur.
"Maafkan aku, Bos. Aku tidak mengenal wanita itu Bos," kata pria itu dengan rasa bersalah dan sedikit menundukkan kepalanya di hadapan Brian.
"Apa kamu tahu siapa wanita yang ingin kamu jual itu? Apa kamu tahu?"
"Tidak Bos, aku tidak mengenalnya Bos," jawaban pria itu membuat tangan Brian mengepal, hingga dalam hitungan detik Brian menghajar habis pria itu. Kaki Brian sampai naik ke wajah pria yang kini tersungkur badannya ke atas tanah.
Pria itu memohon untuk dimaafkan seraya berkata, "Maafkan aku, Bos. Maafkan aku, Bos. Aku tidak akan mengulanginya lagi Bos."
"Kamu tidak becus bekerja, mulai hari ini kamu aku pecat!"
"Tapi Bos, apa salahku Bos?"
"Kamu masih berani bertanya apa salahmu ha?"
Plakkkk, bedebug, bug.
Bunyi suara tangan Brian yang mengenai pria itu hingga pria itu jatuh pingsan.
"Hah, bisa-bisanya dia ingin menjual Kinanti ku."
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.