Bab 2
San Francisco 12:30 am
Di bawah derasnya hujan, tiga pria yang menutupi diri mereka menggunakan mantel hujan berjalan ke arah seorang pria yang langkah kakinya terhenti.
Pria itu bingung harus lari kemana lagi, tempat yang didatanginya buntu tidak ada jalan lain selain kembali ke depan. Sementara tepat di hadapannya kini sudah berdiri tiga pria yang berpenampilan sangar layaknya pencabut nyawa.
Tiga pria itu memegang pistol di tangan mereka, dan bersiap untuk melepaskannya. "Aku mohon jangan, jangan bunuh aku. Tolong ampuni aku." Pria itu berlutut dan berharap mendapat belas kasihan.
"Iya Bos, kami sudah menemukannya! Baik Bos," kata salah satu dari tiga pria itu, yang melaporkan hal ini ke pimpinan mereka. "Kita disuruh menunggu," lanjutnya kepada kedua temannya.
Disaat bersamaan pria itu mencoba berlari untuk menghindari ketiganya, tapi tidak berhasil setelah salah satu dari ketiga pria yang berpenampilan mafia itu melepaskan tembakannya tepat di kaki pria itu. "Aaaaah, arghkk ahhhh," erangnya kesakitan.
Senyum sinis terpancar dari wajah ketiganya, setelah mendengar erangan suara dari sang musuh. "Arghkk ahhhh sakit, sakit," kata pria itu, dan dia mencoba menyeret kakinya sambil bersandar di tembok yang tidak jauh dari tempatnya berada saat ini. "Tolong jangan membunuhku, aku mohon. Tolong ampuni aku."
Bagaimanapun pria itu memohon tidak ada yang memperdulikannya, apalagi setelah sebuah mobil yang berwarna hitam berhenti tepat di sebelah pria yang tengah terluka kakinya.
Seorang anak buah berlari dan langsung membuka pintu untuk sang bos, tidak ketinggalan salah satu dari mereka membuka payung agar sang bos tidak kehujanan.
"Dia orangnya Bos, dia yang sudah membocorkan misi rahasia kita, Bos."
Pria yang dimaksud bos itu tidak lain Brian, seorang pria dingin yang begitu kejam. Tidak akan ada belas kasihan di hatinya pada musuh-musuhnya. Apalagi kalau sudah berurusan dengan penghianatan. Jadi hukuman yang pantas adalah kematian.
Seperti yang akan terjadi pada musuhnya kini, sekalipun pria itu bersimpuh dan mencium kaki Brian, tetap saja tidak ada kata ampunan untuknya.
"Hah," tawa sinis melihat pria itu mencium kakinya.
"Aku mohon tolong maafkan aku Bos, aku mohon Bos. Aku tidak tahu apa-apa Bos. Aku berani bersumpah Bos. Maafkan aku yah, Bos."
"Cuih." Air liur Brian langsung mengenai wajah pria itu, karena jijik mendengar ucapan kebohongan yang keluar dari mulut pria itu.
Brian tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan, dan dia tidak akan gegabah membunuh seseorang kalau belum tentu bersalah.
Sudah jelas Brian mendapatkan laporan dan bukti-bukti kalau pria itu adalah penghianat yang sudah lama dia cari. dan sudah saatnya Brian mengambil tindakan. Namun sebelum itu Brian bertanya satu hal padanya. "Berapa kamu dibayar oleh si Jecky?"
"Bos, aku tidak ada hubungan dengannya dan aku selalu setia padamu, Bos."
"Sekali lagi aku tanya, berapa kamu dibayar oleh si Jecky?"
"Bos, aku berani bersumpah Bos. Kalau aku tidak tahu menahu soal itu Bos, aku hanya bekerja denganmu Bos. Aku selalu setia padamu Bos!"
Brian kesal karena pria itu tetap saja tidak mengaku, dan sebagai resikonya Brian menginjak kaki pria yang terkena peluru. "Aaaaaaah!" jerit kesakitan pria itu.
"Kamu masih belum mau mengakuinya ha?!" bentak Brian yang tidak kalah marahnya.
"Maafkan aku Bos, maafkan aku. Aku menyesal Bos. Aku sangat menyesal Bos!"
Tanpa banyak bicara Brian langsung mengeluarkan pisau dari samping celananya, dan pisau itu Brian tusukkan ke mata dan kepala pria itu berulang kali. "Aaaah! Aku sudah bilang jangan macam-macam denganku! Aaaah!" teriak Brian sembari pisau itu masih menghujam kepala sang pria.
Hingga derasnya air hujan yang mengalir itu berubah warna menjadi darah segar si pria.
Setelah puas membunuh pria dengan tangannya sendiri, lantas Brian memutuskan untuk meninggalkan lokasi tempat dia membunuh pria itu.
Brian dibawa menuju kediamannya, di sebuah villa yang begitu megah di salah satu kota San Francisco.
"Bereskan sisanya, aku mau istirahat!" Sebuah pesan yang Brian tinggalkan sebelum Brian masuk ke dalam rumahnya.
Di dalam Brian disambut oleh banyaknya pekerja, dan yang anehnya semua pekerja di dalam rumahnya wanita cantik yang usianya tidak lebih di bawah 35 tahun. Wanita-wanita muda yang harus tampil seksi dan depan matanya. Dan mereka tidak boleh menggoda ataupun menginginkan Brian. Karena Brian tidak akan memberikan tubuhnya begitu saja kepada wanita itu.
Khusus untuk menemaninya tidur Brian sudah ada pilihan sendiri, dan mereka ditempatkan di lantai atas.
Mungkin ini menjadi satu alasan kenapa Brian tetap menolak dijodohkan dengan wanita manapun, sebab dia sudah mendapatkan kenikmatan yang dia inginkan.
Walaupun begitu Brian selalu dihantui oleh ucapan papanya yang mengatakan. "Kapan kamu menikah Brian? Apa kamu tidak ingin memberikan papa cucu?"
Ucapan itu selalu hadir setiap kali Brian mendapatkan telepon dari sang papa, seperti saat ini. "Ah papa, aku malas mengangkatnya, tapi kalau tidak aku angkat? Baiklah …." Dengan berat hati Brian menjawab panggilan masuk dari sang papa.
"Halo Pa, ini sudah malam loh. Kenapa Papa masih menelponku?"
[Papa hanya ingin memastikan, apa kamu sudah di rumah?]
Brian menunjukkan posisinya kini yang berada di kamar. "Aku sudah di kamar Pa, sudah aku bereskan si penghianat Pa."
[Bagus, apa kamu tidak kesepian di kamar sendiri, Brian?]
"Jangan mulai deh Pa, aku sudah bilang tidak akan menikah sebelum aku menemukan yang pas untukku, Pa."
[Memangnya baju Brian? Makanya mencari yang pas Brian, jangan yang aneh-aneh deh Brian. Kalau kamu tidak menemukan menantu yang cocok untuk Papa. Maka Papa sendiri yang akan mencarinya untukmu, Brian!]
"Cari aja Pa, nanti aku jadikan pajangan di lemari Pa. Aku musiumkan di dalam lemari Pa setelah aku bunuh Pa."
Frans hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Brian, sudah kepala tiga Brian belum sekalipun membawa wanita ke hadapan Frans. [Bagaimana dengan Alexa teman kecilmu itu, Brian? Apa kamu tidak tertarik padanya?]
"Stop Pa, jangan sampai si Alexa menjadi korban di tanganku Pa. Sudahlah Pa, aku mau istirahat. Good night."
[Tunggu dulu Brian, Brian …]
Tut Tut Tut
Panggilan itu diakhiri sepihak oleh Brian, dan Brian tidak habis pikir dengan papanya yang sangat menginginkan seorang pendamping hidup untuk Brian.
Memikirkan itu semua membuat Brian teringat pada Kinanti, Brian teringat dengan senyum manis Kinanti. Sampai-sampai Brian bergumam sendiri dengan berkata, "Aku akan menikah, tapi dengan wanita itu. Sedang apa kamu nona cantik. Kenapa kamu selalu datang dalam ingatanku? Hahh … kamu berhasil mencuri hatiku nona cantik. Aku tidak sabar untuk segera bertemu denganmu lagi. Dan seharusnya tadi aku mengejarnya. Ini semua karena mama. Kalau tidak aku sudah tahu di mana wanita itu tinggal. Tapi apa yang terjadi padanya? Kenapa dia menangis …?"
Brian terbayang dengan pertemuannya dengan Kinanti, yang mana Kinanti sempat menatap ke arah Brian sebelum kedatangan mamanya. "Aku harus meminta mereka untuk mencari wanita itu lagi, aku tidak bisa tenang sebelum menemukan wanita itu!"
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.