Raka merasa kehangatan tangan Lana yang lembut seakan-akan memberinya sedikit ketenangan di tengah-tengah kekacauan emosinya. Matanya yang tadinya penuh dengan kebingungan dan keputusasaan, kini mencoba mencari pengertian dalam sorot mata hangat Lana. Dia bisa merasakan denyut nadi yang berdetak cepat di telapak tangan wanita itu, seolah-olah merasakan getaran emosi yang sama di dalam hatinya.Lana duduk di samping tempat tidur, tetapi matanya masih terlihat ragu dan penuh pertanyaan. Dia membiarkan Raka menggenggam tangannya, tidak menghindar atau menariknya.Raka duduk dengan perlahan, mencoba mengusir rasa pusing yang masih mengganggunya. Dia melepaskan tangannya dari Lana dan memandang wajah wanita itu dengan ekspresi yang tampak bersalah."Maaf, Lana," katanya dengan suara lembut, penuh penyesalan. "Aku tidak seharusnya melampiaskan amarahku seperti tadi. Itu tidak adil untuk kamu. Aku... aku kehilangan kendali diri. Tapi aku tidak bermaksud menyakiti kamu."Raka menatapnya denga
Lana melangkah keluar dari bangunan proyek hotel yang sedang dibangun, merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai. Proyek ini adalah salah satu yang cukup penting bagi perusahaannya, dan melihat perkembangannya membuatnya merasa yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar.Lana melangkah keluar dari bangunan proyek dan menuju tempat mobilnya terparkir. Sinar matahari menyinari wajahnya, dan angin sejuk membuatnya merasa lebih baik. Lana membuka pintu mobil dan duduk di dalam, bersiap untuk kembali ke kantor. Namun, ketika dia menyalakan mesin mobilnya dan berbalik untuk meninggalkan tempat itu, pandangannya tertangkap oleh sesuatu yang sangat tak terduga.Rudi baru saja keluar dari salah satu toko perhiasan yang terletak tidak jauh dari tempat ia berada. Dia tidak sendirian; di belakangnya terlihat Sandra, sekretarisnya yang cantik, yang mengikuti langkahnya. Mata Lana melebar dalam ketidakpercayaan saat dia memandang pemandangan itu. Lana tahu bahwa Rudi sedang melakukan
Lana duduk di ruangannya dengan fokus penuh pada pekerjaannya. Dia menandatangani beberapa dokumen yang sebelumnya tertunda dan menjawab beberapa email penting. Tak lama, Rudi masuk ke ruangan Lana dengan senyum yang manis, dan begitu bibirnya menyentuh bibir Lana dalam ciuman tiba-tiba, wanita itu langsung merasa terkejut. Lana membiarkan dirinya terbawa dalam momen kejutan itu, terkejut oleh kehangatan yang hilang dalam beberapa waktu belakangan.Ketika Rudi melepaskan ciumannya, Lana masih terengah-engah, mencoba mengembalikan nafasnya. Dia menyadari bahwa dia sudah merindukan keintiman seperti itu. “Kenapa nggak bilang kalau mau datang?” Rudi tersenyum dan mencubit perlahan hidung Lana. "Aku cuma mau kasih kamu kejutan, sayang. Sekalian aku mau bawa istriku yang cantik ini makan siang.” jawab Rudi dengan santainya.Lana merasa senang mendengar itu. Selama beberapa waktu terakhir, hubungan mereka terasa dingin dan tegang, dan sekarang Rudi kembali seperti dulu. "Terima kasih, Rud.
Lana merasakan detak jantungnya semakin cepat saat melihat jam di dashboard mobilnya menunjukkan waktu yang semakin mendekati acara ulang tahun ayah mertuanya. Jalanan Jakarta yang macet membuatnya semakin gelisah. Sudah sejak tadi Rudi menelponnya, menawarkan untuk menjemputnya, tetapi Lana memilih menolak. Pikirnya, jika Rudi harus mengambilnya, mereka berdua akan terlambat, membuat ayah mertuanya kecewa karena putra semata wayangnya terlambat dalam momen bersejarah ulang tahun yang ke-60.Ponselnya berdering lagi, menandakan panggilan dari Rudi. Dengan cepat, Lana mengangkat telepon."Hey, sayang. Kamu sudah sampai?" tanya Rudi dengan suara hangatnya."Belum, Rud. Aku masih stuck di jalan. Maaf, ini luar kendaliku," jawab Lana, mencoba menyembunyikan kecemasannya.“Apa acaranya sudah dimulai?” tanya Lana dengan sedikit cemas.“Papa masih menunggu kamu, belum mau mulai kalau menantunya belum datang. Tapi kamu tenang aja, aku akan kasih pengertian sama Papa,” balas Rudi.“Maaf ya, Ru
Setelah acara selesai, beberapa anggota keluarga Rudi masih berkumpul dan mengobrol bersama di ruang keluarga. “Katanya kemarin kalian liburan ke Paris. Masih belum ada kabar apa-apa?” tanya Liza sambil menatap ke arah Lana.Sementara, Lana hanya diam, ia sangat mengerti kemana arah pembicaraan Liza. Jika bukan karena Rudi, mungkin Lana sudah menyiramkan segelas jus di sampingnya ke arah wanita itu. Rasanya tingkat kesabaran Lana sudah habis, tapi ia tidak boleh tersulut emosi karena hubungannya dengan Rudi sudah membaik.“Belum, Tante. Masih usaha,” balas Lana dengan datar.“Bagaimana mau ada kabar kalau dia selalu sibuk bekerja. Mungkin di sana dia hanya melakukan perjalanan bisnis,” timpal Maya dengan sengit. “Cukup, Ma! Mau sampai kapan Mama menyerang Lana seperti ini?” bentak Rudi sambil menggebrak meja membuat semua orang terkejut, tak terkecuali Lana yang menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. “Sudah berani kamu membentak Mama?” kesal Maya sambil menatap Rudi dengan t
Ruang kerja Lana terasa sunyi setelah Lia menutup pintu, meninggalkannya dengan bayang-bayang masalah yang menghantuinya. Sejak rapat pagi, ketidaknyamanan dan keragu-raguan merajai pikirannya. Lana merasa pusing dan lelah, berusaha keras untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin ia mencoba mengusir bayangan tentang Rudi dan Sandra, semakin kuat pula mereka mendera benaknya.Sudah berjam-jam Lana duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputernya. Pikirannya melayang ke peristiwa-peristiwa yang membuat hatinya gelisah. Ia merasa seperti terperangkap dalam suatu masalah yang tidak tahu bagaimana caranya keluar.Ketika pintu ruangannya terbuka dengan pelan, Lana segera menoleh. Lia memasuki ruangan dengan ekspresi cemas, mencoba memahami keadaan bosnya. "Maaf, Bu. Saya sudah memberitahunya untuk tidak mengganggu Ibu, tapi...," ucap Lia dengan suara pelan.Lana mengangkat tangannya untuk menghentikan Lia sejenak. "Tidak apa-apa, Lia. Biarkan Raka masuk," kata Lana dengan sua
Lana duduk di ruangannya, fokus pada dokumen-dokumen yang tersebar di atas meja. Ia sedang sibuk memeriksa dan menjawab beberapa email yang masuk. Suasana kantornya begitu tenang sampai pintu terbuka dan Lia, sekretarisnya, memasuki ruangan sambil membawa amplop besar berwarna cokelat.Lana mengangkat pandangannya dari dokumen yang tersebar di atas meja saat Lia mendekatinya. Ia menempatkan amplop itu di atas meja Lana dengan cermat."Ada apa, Lia?" tanya Lana, suaranya tenang meskipun rasa penasaran terlihat di matanya.Lia menghampiri Lana, menatapnya dengan penuh kehati-hatian. "Maaf mengganggu, Bu Lana. Ada kiriman paket untuk Ibu dari seseorang, saya tidak tahu siapa yang mengirimnya karena paket itu sudah ada di meja saya saat saya tiba," jelas Lia seraya memperlihatkan amplop cokelat itu.Lana mengangguk, rasa penasaran muncul di wajahnya. "Terima kasih, Lia. Kamu bisa pergi sekarang."Setelah Lia pergi, ia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di atasnya terdapat tulisan "Untuk
Raka tersenyum sinis, tatapannya menusuk tajam ke dalam mata Lana. "Mungkin, sebaiknya kamu menerima kenyataan, Lana. Rudi sudah berselingkuh."Lana menggelengkan kepalanya dengan keras, menolak untuk mempercayai kata-kata Raka. "Saya tidak percaya padamu. Ini pasti hanya trikmu untuk menghancurkan rumah tangga saya!"Raka tertawa, suara tawanya bergema di ruangan. "Lana, aku nggak perlu melakukan trik untuk menghancurkan sesuatu yang sudah hancur dengan sendirinya. Rudi tidak setia padamu, dan kamu harus tahu.""Raka, lepas!" teriak Lana dengan penuh kekesalan, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Raka.Namun, Raka tetap tak bergeming. Ia mencengkram pinggul Lana dengan kuat, membuatnya sulit untuk bergerak. "Kamu harus mendengarkan, Lana. Rudi sudah melanggar kepercayaanmu, dan kamu berhak tahu kebenaran."Lana menatap Raka dengan tatapan tajam. "Sialan, apa yang kamu tahu? Kamu hanya mencoba menghancurkan semuanya!"Tak lama kemudian, ponsel Raka berdering. Raka tersenyum sambi