Keesokan harinya, Raka tampak bersemangat. Dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Lana, dan kali ini dia memiliki rencana yang jelas. Ketika dia mengajak Lana untuk mengelilingi Paris, dia tahu itu adalah kesempatan bagus untuk mendekati wanita itu.
Lana awalnya menolak, tetapi Raka tidak begitu saja menyerah. Dia memahami bahwa Lana masih merasa tidak nyaman dengan situasi ini, tetapi dia bertekad untuk mengubah pendapatnya. Dia ingin Lana melihatnya sebagai seseorang yang bisa memberinya pengalaman baru dan mungkin mengubah pandangan Lana tentang hubungan mereka.
“Sampai kapan kamu akan tetap di sini?” tanya Lana dengan kesal.
“Sampai kamu setuju untuk pergi sama saya,” balas Raka.
“Oke, tapi setelah ini jangan ganggu saya dan anggap kita nggak kenal,” ketus Lana dengan tatapan tajamnya.
“Kita lihat nanti, karena bisa jadi kamu yang akan berubah pikiran,” ujar Raka sambil tersenyum.
“Itu nggak akan terjadi,” gumam Lana dengan sinis.
Akhirnya setelah Raka berhasil membujuk Lana untuk pergi bersamanya. Mereka mulai berjalan-jalan mengelilingi Paris, mereka berjalan-jalan di sepanjang Seine River, melintasi jembatan indah yang menghubungkan berbagai tempat ikonik. Awalnya, Lana merasa enggan, tetapi Raka berbicara dengan penuh semangat tentang keindahan Paris, dan itu membuat Lana merasa sedikit lebih santai.
Setelah puas berkeliling, Raka mengajak Lana untuk mengunjungi taman hiburan terkenal yang ada di Paris.
“Kamu yakin bawa saya ke sini?” tanya Lana dengan ekspresi tak tertarik.
“Memangnya kenapa?” tanya Raka sambil mengangkat satu alisnya.
“Saya rasa saya sudah terlalu dewasa untuk menghabiskan waktu di sini. Saya rasa tempat ini nggak cocok untuk saya,” jawab Lana dengan tegas.
“Nggak ada kata terlalu dewasa untuk melakukan hal yang menyenangkan,” ucap Raka lalu menggenggam tangan Lana dan membawanya masuk ke dalam.
Lana masih terlihat tidak tertarik oleh keramaian dan kerumunan orang di taman hiburan ini. Dia merasa canggung di tengah kerumunan anak-anak dan keluarga yang sedang menikmati liburan mereka.
Sementara Raka, yang tampaknya menikmati setiap momen, terus berusaha mengajak Lana untuk menaiki berbagai wahana dan berpartisipasi dalam berbagai atraksi. Dia dengan antusiasme mencoba meyakinkan Lana untuk mencoba wahana-wahana ekstrem yang menakutkan. Raka terus berusaha menggoda dan membujuk Lana untuk menaiki wahana-wahana yang diajukan. Awalnya, Lana tetap teguh pada penolakannya, tetapi seiring berjalannya waktu, dia mulai merasa bahwa mungkin ini adalah saatnya untuk melepaskan perasaan frustasinya dan mencoba bersenang-senang.
“Ayo coba satu wahana lagi. Saya yakin kamu pasti suka," kata Raka dengan ramah, mencoba merayu wanita itu.
Lana hanya menghela napas dan akhirnya menyerah pada tekanan Raka. "Oke, satu wahana lagi. Tapi setelah itu, saya mau pulang."
Raka tersenyum puas dan membimbing Lana ke wahana tersebut. Mereka mengantri bersama dengan pengunjung lainnya, dan Lana merasa semakin tidak nyaman. Tetapi Raka terus berusaha mengalihkan perhatian wanita itu dan membuatnya nyaman.
Setelah berjam-jam menghabiskan waktu di taman hiburan itu, Lana merasa kelelahan dan ingin istirahat. Dia duduk di sebuah bangku sambil menatap ke sekeliling, mencoba untuk meresapi suasana taman hiburan tersebut. Raka duduk di sebelahnya, tampak sangat senang dan puas dengan hari itu. Raka memberikan es krim kepada Lana.
Lana menerima eskrim itu dengan senyum tipis, tetapi dia merasa tidak nyaman dengan tatapan Raka yang intens. Pria itu terus menatapnya dengan penuh perhatian, membuatnya merasa seperti objek perhatian yang sedang diperiksa dengan seksama.
"Ada sesuatu di wajah saya?" Lana bertanya dengan ragu, mencoba mencari tahu apa yang membuat Raka begitu terpesona dengannya.
Raka menggeleng pelan, senyumnya tetap lembut. Dia menggunakan jari-jarinya yang lembut untuk mengusap sisa es krim yang ada di sudut bibir Lana, membuat wanita itu terpaku di tempatnya.
Setelah mereka selesai dengan eskrim mereka, Raka tiba-tiba berjongkok di hadapan Lana dan mulai melepaskan sepatunya. Lana merasa bingung dan heran oleh tindakan ini.
“Kamu mau apa?” tanya Lana dengan bingung.
Raka hanya tersenyum dengan lembut, tanpa menjawab. Dia dengan lembut melepaskan sepatu Lana dan menunjukkan kaki wanita itu yang lecet di beberapa tempat. Lana benar-benar tidak menyadari kondisi kakinya yang lecet karena sepanjang hari dia telah berjalan dengan sepatu dengan hak yang cukup tinggi.
“Siapa yang ngira kalau kamu akan bawa saya ke sini,” gumam Lana dengan sangat pelan.Ketika Raka mulai menempelkan plester ke atas luka-luka kecil di kakinya, Lana merasa tidak hanya rasa sakit fisik yang hilang, tetapi juga kerumitan dan kebingungannya.
Setelah selesai, Raka menarik bungkusan di sebelahnya lalu mengganti sepatu Lana dengan sepatu yang lebih nyaman.
“Kapan kamu belinya?” tanya Lana dengan heran.
“Tadi,” jawab Raka singkat.
“Ayo, saya akan antar kamu ke hotel,” ujar Raka sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Lana berdiri.
***
Sebelum kembali ke hotel, Raka membawa Lana ke sebuah restoran eksklusif di Paris, yang penuh dengan lampu-lampu gemerlap dan suasana yang romantis. Mereka duduk di sebuah sudut yang indah, dengan pemandangan langsung ke Menara Eiffel yang bersinar gemerlap di malam hari.
Lana merasa terpesona oleh kecantikan tempat itu dan suasana yang begitu mewah. Meja mereka dihias dengan bunga-bunga segar, dan lilin-lilin kecil yang memancarkan cahaya lembut memberikan nuansa yang hangat dan romantis. Restoran itu penuh dengan pasangan yang sedang menikmati makan malam bersama, dan Lana merasa seperti dia berada di dalam sebuah film romantis.
Raka duduk di hadapannya dengan senyuman yang lembut. Dia dengan lembut menempatkan sebotol anggur merah di antara mereka, dan menu makanan yang sangat berkelas diletakkan di atas meja. Lana merasa tidak biasa dengan semua perhatian ini.
Ketika Raka dan Lana sedang menikmati makan malam mereka, kehadiran beberapa pria dengan setelan jas hitam tiba-tiba mengubah suasana di antara keduanya. Mereka mendekati meja Raka dan Lana dengan langkah mantap, wajah serius yang tidak mengizinkan ruangan untuk tidak memperhatikan kehadiran mereka.
Sambil terus menikmati hidangannya, Lana melirik ke arah Raka dan para pria itu. Mereka tampak serius dan terlibat dalam percakapan yang mendalam. Beberapa kali, Raka melihat ke arah Lana dengan tatapan yang penuh makna, tetapi dia tidak memberikan penjelasan.
Salah satu pria dalam setelan jas hitam tampak berbicara dengan Raka dengan suara yang rendah. Meskipun Lana mencoba untuk tidak mendengarkan dengan terlalu jelas, dia bisa mendengar kata-kata seperti "pertemuan," "masalah," dan "segera." Tatapan Raka tampak serius, dan dia merespon dengan beberapa kata pendek, yang tidak bisa didengar oleh Lana.
Setelah percakapan singkat, pria-pria itu dengan sopan mengangguk ke arah Raka dan meninggalkan restoran dengan langkah mantap. Mereka pergi dengan penuh keyakinan, meninggalkan Lana dan Raka dalam suasana yang tegang.
“Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Lana dengan sedikit khawatir.
“Bukan apa-apa, itu bukan hal yang penting. Kamu nggak perlu khawatir,” jawab Raka sambil tersenyum ke arah Lana.
“Siapa yang khawatir? Saya cuma bertanya,” gumam Lana dengan tatapan tajamnya membuat Raka semakin tersenyum.
Setelah makan malam selesai, Raka mengantarkan Lana ke taksi yang menunggu di luar restoran.
“Kamu nggak ikut?” tanya Lana ketika melihat Raka hanya berdiri dan tidak ikut masuk ke dalam taksi.
“Jujur, saya nggak mau pergi. Saya masih mau mengajak kamu berkeliling Paris. Tapi saya tahu kamu lelah, jadi kali ini saya nggak akan mengganggu kamu,” jawab Raka dengan senyuman nakalnya.
“Kamu mabuk?” tanya Lana sambil menghela napas kesal.“Kita akan bertemu sebentar lagi, setelah urusan saya selesai saya akan datang,” bisik Raka sambil mengusap puncak kepala Lana dengan lembut dan bibirnya mencium bibirnya sekilas, Lana merasa terkejut. Namun, dia tidak merasa marah seperti sebelumnya.
Taksi itu kemudian pergi, meninggalkan Raka yang berdiri di sana, menatap taksi itu pergi dengan tatapan yang dalam. Sementara, di dalam taksi, Lana merasa perasaannya berkecamuk. Dia merenungkan semua yang telah terjadi malam ini dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya antara dirinya dan Raka.
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika