Lana merasa dunia seakan berputar saat dia membuka matanya. Kepalanya terasa sangat berat, dan dorongan pusing akibat efek alkohol yang dia minum semalam masih membayangi dirinya. Dia meremas kepalanya yang sakit, mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Lana memejamkan mata sejenak, berusaha untuk mengingat lebih banyak tentang malam yang ia lalui.
Saat Lana mulai memperhatikan sekitarnya, ia merasa lega karena menyadari dirinya berada di kamar hotelnya bukan di tempat asing yang tidak dikenal. Sekali lagi, Lana memalingkan pandangan ke sekeliling kamar, mencari-cari tanda-tanda apa yang sebenarnya telah terjadi semalam. Kemudian, ia memperhatikan bahwa pakaiannya sudah berganti dari yang ia kenakan semalam.
Ingatan akan momen-momen mabuk semalam mulai kembali kepadanya. Tapi tiba-tiba, bayangan dirinya yang mencium Raka dengan penuh gairah tiba-tiba melintas dalam benaknya, dan itu membuatnya merasa cemas. Lana meremas selimut dengan kuat, mencoba menyingkirkan bayangan itu. Tapi semuanya terasa begitu samar dan kabur.
Pikiran Lana terasa kacau ketika suara langkah kaki mulai terdengar mendekat. Lana menoleh, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Raka, pria yang ia temui di bar semalam, berjalan ke arahnya.
Raka tersenyum lembut saat melihat Lana yang terbangun. Dia terus memerhatikan Lana sambil membawa sebuah nampan sarapan di tangannya. Dia menaruh nampan itu di atas meja dengan penuh perhatian. "Selamat pagi. Saya harap kamu tidur dengan nyenyak."
Lana meraih kepala dengan satu tangan, mencoba meredakan pusingnya. "Apa yang terjadi? Bagaimana kamu bisa ada di sini?"
Raka tersenyum menggoda, Ia mendekati Lana dan duduk di sisi tempat tidur. “Apa kamu benar-benar nggak ingat apa yang terjadi semalam? Padahal semalam adalah malam yang sangat indah bagi saya”
Lana mengernyitkan dahinya, mencoba untuk mencerna kata-kata Raka. "Apa yang kamu bicarakan? Apa yang terjadi semalam?"
“Kamu benar-benar nggak ingat?” tanya Raka lagi dengan menatap Lana lebih dalam.
Lana menatap Raka dengan tatapan tajam, mencoba untuk mengingkari apa yang terjadi. "Nggak. Saya nggak ingat."
Raka terkekeh pelan. "Sepertinya kita benar-benar menghabiskan banyak waktu semalam."
“Apa maksud kamu?” tanya Lana dengan tatapan tajamnya.
Dengan cepat, Raka mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Lana dengan lembut. Ingatan semalam seketika kembali dalam benak Lana, bagaimana dia mencium Raka dengan gairah yang luar biasa. Dia merasa malu dan terkejut dengan dirinya sendiri.
Lana mendorong tubuh Raka dengan cepat, nafasnya tersengal. "Kenapa kamu melakukan itu?"
Raka hanya tersenyum dengan tenang. "Kamu yang memulainya."
Lana menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk meredakan perasaannya yang berkecamuk. "Kamu harus pergi sekarang."
“Bagaimana saya bisa pergi setelah apa yang kamu lakukan? Bahkan setiap melihat wajah itu rasanya saya ingin mendekat,” ucap Raka dengan nada menggoda.
"Berhenti!" teriak Lana dengan nada tegas. "Apa yang kita lakukan semalam adalah kesalahan. Jadi berhenti sekarang juga!"
“Saya masih ingat bagaimana kamu menyebut nama saya semalam, saya rasa semua itu bukan kesalahan. Semalam—”
Lana tidak membiarkan Raka menyelesaikan kalimatnya. Dengan kesal dan malu, ia memotong dengan tegas, "Semua yang terjadi semalam hanya efek minuman. Ini tidak akan terjadi kalau saya nggak mabuk. Jadi, pergilah!"
“Tapi sepertinya kamu sangat menikmatinya,” balas Raka dengan seringainya.
Lana merasa semakin kesal, dan dia ingin Raka keluar dari hidupnya secepat mungkin. Dia meraih tasnya yang ada di samping tempat tidur dan mengambil selembar cek kosong.
"Ambil ini," kata Lana sambil menyerahkan cek itu pada Raka. "Kamu bisa menuliskan berapa pun nominal yang kamu inginkan. Tapi setelah itu, saya ingin kamu pergi dari sini dan jangan pernah ganggu hidup saya."
Raka menatap cek itu dengan dingin, lalu menolaknya dengan tenang. "Saya tidak membutuhkan uang.”
“Terus apa yang kamu mau?” tanya Lana dengan kesal dan frustrasi.
Raka tersenyum santai. "Saya hanya ingin kita menghabiskan waktu bersama, saya ingin kamu menemani saya."
"Saya perlu waktu untuk berpikir," katanya dengan nada tegas.
“Jadi, sekarang kamu harus pergi dari sini. Kalau kamu nggak pergi, saya akan memanggil keamanan."
Raka tidak tampak terpengaruh. Ia mengangkat bahu dengan santai. "Silakan.”
Lana merasa semakin frustrasi, dan dengan kesal ia menghubungi keamanan melalui telepon. Beberapa saat kemudian, beberapa petugas keamanan datang ke kamarnya.
Lana dengan tegas meminta mereka untuk membawa Raka pergi. Namun, orang-orang keamanan itu tampak segan dan tidak bergerak mendekati Raka.
Raka dengan tenangnya mendekati petugas keamanan yang berdiri tegak di depan pintu kamar Lana. Sementara, Lana hanya memperhatikan Raka dari kejauhan. Pria itu berbicara dalam bahasa Prancis dan ia tidak mengerti apa yang Raka ucapkan.
“Halo, Tuan. Saya dan pacar saya sempat berselisih paham. Dia sedang sedikit marah kepada saya saat ini. Mohon maafkan saya atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan.”
Petugas keamanan yang mengetahui bahwa Raka adalah anak pemilik hotel merasa segan. Ia mengangguk hormat dan menjawab dengan sopan, “Tentu saja, tuan. Kami akan meninggalkan Anda dengan pasangan Anda. Jika Anda membutuhkan bantuan tambahan, jangan ragu untuk menghubungi kami.”
“Terima kasih. Terima kasih atas pengertian Anda.”
Petugas Keamanan itu mengangguk sebagai tanda penghormatan dan kemudian pergi dari kamar hotel Lana, meninggalkan Raka dan Lana berdua.
“Sepertinya kamu nggak bisa menyingkirkan saya,” bisik Raka dengan senyuman penuh kemenangan.
Pada akhirnya Lana hanya bisa pasrah dan membiarkan Raka berada di kamarnya, meskipun kesal ia mencoba untuk menghadapi Raka dengan tenang.
“Lakukan semua yang mau kamu lakukan,” ujar Lana dengan dingin lalu ia melangkah masuk ke kamar mandi.
***
Setelah mandi dan mengganti pakaian, Lana keluar dari kamar mandi, berharap Raka telah pergi atau setidaknya memberinya ruang untuk bernapas. Namun, ketika ia melangkah keluar, ia melihat Raka masih duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya, dengan senyum lembut di wajahnya.
“Ayo sini. Saya sudah mengganti makanan yang sudah dingin tadi dengan yang baru. Ini masih hangat."
Dengan pasrah, Lana mendekati meja dan duduk di dekat Raka. Dia berusaha untuk tidak mempedulikan pria itu dan menyantap makanannya dengan tenang. Rasanya, dia tidak ingin memberikan Raka kepuasan dengan menunjukkan betapa terganggunya dirinya.
Mereka mulai menyantap makanan dengan diam. Lana berusaha untuk tidak memperhatikan Raka, fokus pada makanannya. Namun, keheningan di antara mereka tidak bisa bertahan lama.
Tiba-tiba, Lana merasa sentuhan lembut di bibirnya saat jari-jari Raka menyapu sisa makanan yang ada di mulutnya. Ia menatap Raka dengan tajam, mata mereka saling bertemu dalam keheningan.
Raka tersenyum lembut, matanya penuh dengan ketertarikan. "Kamu terlihat sangat cantik ketika sedang makan."
Lana menghempaskan tangan Raka dengan keras, memindahkan dirinya sendiri lebih jauh dari pria itu. "Saya sudah bilang, hentikan semua ini karena itu nggak akan berhasil. Saya sudah menikah dan nggak tertarik dengan anak kemarin sore seperti kamu.”
Raka tersenyum lembut, seolah-olah ia menikmati permainan ini. Ia merenung sejenak sebelum menjawab, "Kamu berbeda dari wanita lain yang pernah saya temui. Bahkan ketika marah, kamu tetap cantik."
Raka masih menatap Lana dengan tatapan dalam yang membuatnya merasa tidak nyaman. "Saya tahu kamu sudah menikah dan saya juga sangat tahu kalau kamu tidak bahagia dengan pernikahan itu. Jadi, kita lihat saja nanti siapa yang akan menang karena saya tidak berniat untuk menyerah."
Lana mengernyitkan dahinya, tidak yakin apa yang dimaksudkan oleh Raka. Apa yang pria ini inginkan darinya, dan mengapa dia begitu percaya diri.
Keesokan harinya, Raka tampak bersemangat. Dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Lana, dan kali ini dia memiliki rencana yang jelas. Ketika dia mengajak Lana untuk mengelilingi Paris, dia tahu itu adalah kesempatan bagus untuk mendekati wanita itu.Lana awalnya menolak, tetapi Raka tidak begitu saja menyerah. Dia memahami bahwa Lana masih merasa tidak nyaman dengan situasi ini, tetapi dia bertekad untuk mengubah pendapatnya. Dia ingin Lana melihatnya sebagai seseorang yang bisa memberinya pengalaman baru dan mungkin mengubah pandangan Lana tentang hubungan mereka.“Sampai kapan kamu akan tetap di sini?” tanya Lana dengan kesal.“Sampai kamu setuju untuk pergi sama saya,” balas Raka.“Oke, tapi setelah ini jangan ganggu saya dan anggap kita nggak kenal,” ketus Lana dengan tatapan tajamnya.“Kita lihat nanti, karena bisa jadi kamu yang akan berubah pikiran,” ujar Raka sambil tersenyum. “Itu nggak akan terjadi,” gumam Lana dengan sinis.Akhirnya setelah Raka berhasil membuju
Lana merasa tubuhnya lelah setelah seharian menghabiskan waktu dengan Raka. Setelah sampai di kamar hotelnya, dia segera bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan diri dan berganti pakaian. Air hangat yang mengalir di pancuran terasa begitu menyenangkan, hampir seperti pelukan lembut yang meredakan tegangnya.Namun, meskipun tubuhnya merasa lelah, pikirannya tetap aktif. Perkataan-perkataan Raka masih berputar-putar dalam benaknya seperti lagu yang terus berputar tanpa henti.Dalam kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu tidurnya, Lana berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya dari Raka. Dia tahu bahwa dia harus melupakan pria itu dan fokus pada pernikahannya yang semakin hambar dengan Rudi.Ketika Lana sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau, tiba-tiba terdengar suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Lana, yang begitu terkejut dengan suara itu, langsung berjalan ke arah pintu dengan hati yang berdebar kencang. Dia membuka pintu dengan perasaan yang be
Suasana kamar hotel terasa sejuk, lampu kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya yang lembut. Lana duduk santai di sofa empuk sambil menonton acara TV yang berlangsung begitu monoton. Dia mencoba menekan perasaan kesepian yang menghantuinya. Sementara itu, Rudi, suaminya, tenggelam dalam dunianya sendiri, sibuk memperhatikan panggilan bisnis yang tampaknya tak pernah berakhir.Lana merasa tidak puas. Dia ingin perhatian Rudi, ingin merasakan sentuhan dan kehangatan suaminya. Setelah memutuskan bahwa cukup sudah berdiam diri, dia mengambil langkah nekat. Dengan gerakan lincah, dia mendekati Rudi, menggugurkan kain tipis yang melilit tubuhnya dengan penuh ketegasan.Lana memandang Rudi dengan mata berkilauan, mencoba untuk memancing perhatian suaminya yang tampak sangat sibuk dengan ponselnya. Lana merebut ponsel Rudi dengan tiba-tiba, membuat pria itu menoleh dengan kening berkerut. "Kapan kamu bangun, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut.Rudi mencoba meraih ponselnya yang direbut
Suasana di hotel itu gemerlap dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Gaun malam Lana yang elegan menyapu lantai dengan anggun setiap kali ia melangkah. Setiap mata memandanginya, tetapi Lana hanya fokus pada lengan Rudi yang ia genggam erat. Sebuah senyuman dipaksakan terpasang di wajahnya, tetapi matanya menyiratkan kekecewaan yang sulit disembunyikan.Seiring langkah mereka mendekati meja perjamuan bisnis yang penuh dengan orang-orang berjas dan wanita-wanita berdandan mewah, Lana merasakan kekecewaan membeku di dalam dirinya. Apa yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan berdua dengan suaminya berubah menjadi malam yang membosankan dan formal.Ketika Rudi berhenti sejenak untuk berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya, Lana melihat peluang untuk melepaskan diri. Dia mengelus pergelangan tangannya yang mulai terasa kaku karena genggaman Rudi yang terlalu kuat. "Maaf, aku harus ke kamar mandi sebentar," ucapnya, berusaha tersenyum lebar.Tanpa
Lana memasuki ruang rapat dengan langkah tegas, mengenakan setelan bisnis yang sempurna dan tatapan mata yang penuh otoritas. Sebagai wakil direktur utama dalam perusahaan besar ini, dia telah menghabiskan banyak waktunya di ruangan seperti ini. Semua karyawan tampak sangat menghormati Lana karena pembawaan wanita itu dengan kemampuan dan kecerdasannya yang membuatnya layak menjabat sebagai wakil direktur utama. Mata-mata para karyawan melirik saat Lana melintasi koridor menuju ruangannya, tetapi dia tidak memberikan perhatian lebih dan hanya memberikan senyuman ramah sebagai sambutan.Hari ini adalah hari pertama Lana kembali bekerja setelah liburan singkat yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Meskipun dia sempat merasa terganggu dengan perasaan bercampur aduk yang melibatkan Rudi dan Raka, Lana sekarang bertekad untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan lagi waktunya untuk memikirkan berbagai perasaan dan masalah pribadi yang menghampirinya. Lana ingin m
Lana telah menciptakan suasana yang sempurna untuk malam itu, memilih gaun yang memancarkan keanggunan dan kepribadian yang kuat. Setiap detailnya diperhatikan, rambutnya diatur dengan indah, riasan wajahnya menyempurnakan penampilannya. Dia ingin menampilkan diri terbaiknya dalam pertemuan ini.Ketika tiba saatnya, Lana melangkah keluar dari kamarnya dan melihat sebuah mobil mewah yang sudah menunggunya. Pengemudi dengan santainya membuka pintu untuknya."Selamat malam, Nyonya," kata pengemudi dengan ramah saat Lana masuk ke dalam mobil.Lana tersenyum dan membalas salam. Selama perjalanan ke restoran, Lana merenung tentang Rudi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria itu akan mengatur malam yang begitu istimewa baginya. Lana yang telah mengenal Rudi selama hampir lima belas tahun belum pernah melihat sisi romantisnya seperti ini sebelumnya.Angin sepoi-sepoi menyibak rambut halus Lana saat dia turun dari mobil mewah itu. Sentuhan dinginnya membuatnya merinding meskipun gaun malamn
Dalam gemuruh malam yang sunyi, Lana melangkah gontai menuju kamarnya, langkahnya tidak lagi seindah ketika dia tiba di restoran tadi. Rasa hangat dari alkohol yang merasuki tubuhnya mulai memudar, digantikan oleh kekosongan hatinya yang dalam. Begitu pintu kamar terbuka, sinar tipis lampu di ruangan itu menyilaukan matanya yang lelah. Rudi telah tidur, lengkap dengan tatanan rambut cokelatnya yang kusut dan wajahnya yang damai saat dia tertidur.Sayangnya, damai bukanlah kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan Lana saat ini. Dia merasa terjebak dalam labirin emosionalnya sendiri, dan malam ini alkohol telah menjadi penyelamat sementara dari kenyataan yang sulit dia terima. Lana melihat bingkai foto pernikahan mereka yang selalu berada di meja nakasnya. Tatapan mereka dalam foto itu terlihat bahagia, ceria, dan penuh cinta. Pandangannya terpaku pada foto itu ketika senyuman mereka yang dulu begitu riang kini terasa seperti kenangan yang jauh.Dalam ledakan emosi, Lana me
Lana melangkah dengan penuh percaya diri menuju kantornya. Setelah seminggu berlalu sejak malam yang penuh gairah dan kasih sayang, kehidupan pernikahan Lana dan Rudi semakin membaik. Suasana hatinya jauh lebih cerah daripada sebelumnya, dan dia merasa seperti hubungan mereka akhirnya bisa dipulihkan.Ketika Lana tiba di kantor, ia merasa seperti ada atmosfer yang berbeda. Sejumlah wajah baru tampak sibuk di sekitarnya, dan beberapa karyawan baru tampak bersemangat menyambutnya. Lana tersenyum dan membalas sapaan beberapa karyawan yang menyapanya, merasa senang dengan semangat dan antusiasme mereka. Ia merasa bahwa semuanya berjalan dengan baik, hingga pandangannya tertuju pada seorang pria di tengah kerumunan, yang tampaknya menjadi pusat perhatian.Pria itu adalah Raka. Ia berdiri di tengah kumpulan karyawan baru, tersenyum cerah, dan terlihat sangat percaya diri. Pria itu tersenyum hangat ketika melihat Lana memasuki ruangan. Lana terdiam, dan hatinya berdegup lebih cepat. Lana te