Share

Bab 2

Keesokan harinya, kondisi Rio sudah membaik dan mereka berangkat ke sekolah bersama. Sikap Ri pagi ini terlihat berbeda, ia sangat dingin, bahkan saat disapa teman-temannya dia tak membalasnya. Entahlah, mungkin moodnya sedang buruk.

"Lo kenapa?" tanya Alvin saat mereka sedang di kantin. Mereka baru saja menyelesaikan pelajaran olahraga.

"Nggak papa," jawab Ri seadanya.

"Gue ke toilet dulu." Ri pun melangkah keluar kantin, diiringi tatapan heran Alvin.

"Kok, gue ngerasa Caristy beda, ya?" Rio menggeplak kepalanya sadis.

"Lo kira adik gue apaan berubah? Sama aja, kok!" Rio berkata pelan.

"Ya maaf," cibir Alvin seraya mengusap kepalanya.

"Perasaan lo aja kali," ucap Ify. Alvin terdiam, sibuk dengan pikirannya lagi.

Sementara di toilet, Ri tampak berbicara dengan seseorang. Nada bicaranya terdengar malas, seakan apa yang dibicarakan oleh orang itu tidak penting. Setelah itu ia memutuskan panggilan secara sepihak.

"Bawel banget," keluhnya. Ia menatap pantulannya di cermin. Sebuah senyum terukir di pipinya.

"Sebentar lagi, semua akan berjalan sesuai rencana gue."

"Gue harus bahagia, apapun caranya gue akan mengubah semua kehidupan ini." Tangannya terkepal kuat, seiring dengan tatapannya yang kian menajam.

"Dia apa kabar, ya?" Ia menyeringai, saat wajah seseorang terlintas dalam benaknya.

"Bodoh," gumamnya pelan. Kemudian ia keluar dari kamar mandi dan berniat kembali ke kantin. Namun, saat sampai di dekat taman, ia melihat seseorang yang sangat familiar di matanya. Orang tersebut sedang berbincang dengan seorang pemuda yang ia yakini kekasih orang itu.

"Well, misi dimulai." Ri bersembunyi di balik pilar, kemudian mengambil gambar kedua orang itu ketika mereka sedang bermesraan.

"Ngapain lo?" tanya seorang seraya menepuk pundaknya. Ri berusaha mengontrol ekspresinya untuk tetap datar.

"Bukan urusan lo," jawabnya santai. Ia menoleh, mendapati seorang pemuda yang menatapnya penuh selidik. Dalam hati ia tersenyum melihat pemuda di hadapannya ini.

"Gue cuma berdiri, natap ke arah taman yang kelihatannya ramai. Gue tadinya mau ke sana, tapi nggak jadi," jelasnya. Gadis itu melirik samar ke arah objeknya tadi, menghela pelan saat sudah tak ada orang di sana.

"Gue permisi." Ri berjalan santai melewati pemuda itu.

'Devandra Biyan Edward' Nama itu kini telah tersimpan rapi di otaknya. Sesampainya di kantin, ia pun kembali duduk di sebelah Anov dan sibuk dengan ponselnya. Hal itu membuat pemuda bermata sipit itu kesal.

"Sibuk banget, sih," gumam Alvin setengah berbisik. Ia membenamkan wajahnya di lipatan tangannya.

"Kenapa dia?" tanya Ri yang heran dengan sikap Alvin.

"Kesel karena lo cuekin," sahut Ray. Ri menghela napas panjang. Ia berdiri dan mendekati Alvin.

"Ikut gue, yuk?" ajak Ri. Alvin mendongak, lalu mengangguk pelan. Ia menggandeng Ri keluar dari kantin.

"Mau ke mana?" tanya Ri saat mereka hanya berjalan-jalan di koridor. Pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Ke basecamp mau?" Alvin berhenti sejenak, kemudian menatap Ri dalam.

"Rooftop," ucapnya pelan. Ri tersenyum kecil melihat Alvin yang tampak menggemaskan. Ia mengacak-acak rambut pelan.

"Yuk!" Mereka pun berjalan ringan menuju rooftop. Tatapan keirian mengiringi langkah keduanya. Tak banyak yang gigit jari melihat sepasang muda-mudi itu, mereka terlihat serasi.

Hembusan angin menerpa keduanya saat mereka membuka pintu rooftop. Alvin mengajak Ri duduk di bangku yang ada di sana. Ri menatap sekelilingnya, menikmati udara yang kini memenuhi paru-parunya.

"Maaf," ucap gadis itu tiba-tiba.

"Nggak papa, kok. Lo pasti sibuk nyusun rencana, kan? Gue ngerti," balas Alvin.

"Vin, gue boleh tanya?" Ri menatap Alvin dari samping.

"Tanya apa?" Pemuda itu tampak penasaran.

"Seandainya, orang yang lo sayang itu nggak sempurna. Apa lo masih mau sama dia?" Alvin terdiam sejenak.

"Nggak sempurna gimana?"

"Misal, dia sakit keras atau punya kekurangan lainnya. Apa lo masih nerima keadaannya?" Tatapan Ri tak lagi ke arah Alvin. Ia menatap gedung-gedung yang menjulang di depannya.

"Gue nggak peduli gimana kondisi lo, karena gue tulus sayang sama lo. Gue nerima lo apa adanya," tutur Alvin. Ri tersentak, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresinya menjadi biasa.

"Emang kenapa?" tanya Alvin penasaran.

"Kanker otak stadium 2," aku Ri.

"Ma-maksudnya? Lo sakit kanker otak?" tanya Alvin tak percaya. Ri mengangguk pelan, ia menatap Alv tenang. Ia terkejut saat Alvin memeluknya.

"Jangan khawatir, gue kuat hadapi semuanya. Lo cukup stay di samping gue, karena lo adalah alasan kenapa gue bertahan." Alvin mengangguk mantap. Ia tidak akan meninggalkan gadis ini sendiri.

"Mulai sekarang, lo harus berbagi rasa sakit lo ke gue. Gue nggak akan biarin lo tersiksa sendiri," kata Alvin tak terbantahkan. Ri mengangguk pelan, ia memejamkan matanya saat tangan pemuda itu bergerak mengusap kepalanya.

"Thanks." 

"Ri …."

"Hm?"

"Gue seneng banget, lo udah balik ke sini. Pokoknya gue nggak akan biarin lo pergi lagi dari gue," ucap Alvin penuh keyakinan. Ri hanya tersenyum menanggapinya.

"Kenapa diem aja? Lo nggak ada niatan buat ninggalin gue, kan?" tanya Alvin takut-takut.

"Gue nggak bisa janji untuk itu. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok," jelas Ri pelan.

"Yang penting selagi gue masih ada di samping lo, lakuin aja hal-hal yang bisa bikin kita bahagia." Alvin menghela napas, ia tak tahu harus senang atau sedih setelah tahu Ri sakit.

"Ri, lo sakit sejak kapan?" Ri terdiam, seolah ia teringat akan sesuatu.

"Hm … 1 tahun yang lalu," jawab Ri. Alvin mengangguk-ngangguk.

"Lo pasti sembuh, kan?"

"Gue akan berusaha," sahut Ri sembari menatap Alvin lembut. Pemuda itu tersenyum, ia mencium kening Ri yang tertutup poni.

Tanpa mereka sadari, seseorang diam-diam mengambil gambar mereka. Orang itu tersenyum misterius. Setelah itu ia segera pergi dari sana.

"Lo beneran nggak tahu alasan keluarga kita musuhan?" Alvin menatap Ri seraya menggeleng cepat.

"Nggak tahu. Yang gue heran, di sini yang mulai musuhin itu om Obiet. Tiba-tiba, ayah dipecat sama om Obiet dari perusahaan."

"Anov juga belum dapat info, sih. Nanti gue bantu dia," ucap Ri.

"Tapi lo nggak boleh capek-capek," pinta Alvin.

"Iyaa!" Ri menatap Alvin gemas. Kemudian mereka tertawa bersama.

"Ayah dan bunda lo belum tahu tentang kepulangan lo?" Alvin menatap Ri penasaran.

"Belum. Mungkin mereka nggak perlu tahu, itu akan lebih baik. Lo tahu sendiri, gimana reaksi mereka kalau tahu kondisi gue."

"Tapi, Ri. Siapa tahu mereka nyesel? Iya, kan?"

"Entahlah." Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat. Kemudian mereka memutuskan untuk kembali ke ke kelas.

"Dari mana?" tanya Ray kepada Ri yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Rooftop." Ray mengangguk, tak lagi bertanya dan membiarkan Ri tertidur. 

Usai sekolah, mereka berdelapan memutuskan untuk pergi ke mall yang ada di Jakarta. Sekadar bersantai dan melupakan sejenak permasalahan yang ada. Mereka pun berpencar menjelajahi mall itu, Rio-Ify, Alvin-Ri, Ray-Oliv, Cakka-Agni, dan tentu saja Anov sendirian.

"Aish! Kesel gue," gerutu Anov. Ia memutuskan untuk memasuki toko alat musik.

Di sisi lain, Alvin mengajak Ri ke toko yang menjual barang-barang berbau Korea. Ia sangat tahu jika gadis itu sangat menyukainya. Ri menatap sekelilingnya, tertawa kecil dalam hati saat menyadari ke mana Alvin mengajaknya.

"Lo mau beli apa? Gue tebak, lo pasti mau bilang borong semuanya. Ya, kan??" Ri tertawa kecil mendengarnya. Kemudian ia tersenyum penuh arti.

"Gue lagi nggak pingin beli. Kita lihat-lihat aja, ya?" katanya.

"Tumben, biasanya lo semangat banget kalau udah di ajak ke sini."

"Iya, tapi sekarang gue lagi nggak mau. Jadi kita keliling aja, oke?" Alvin mengangguk saja. Lantas mereka mengelilingi toko tersebut.

"Ify, lo mau cari apa? Boneka? Makan? Cemilan? Atau baju?" tanya Rio bersemangat. Ify tersenyum melihat pemuda itu, sepertinya moodnya sedang baik.

"Kita ke toko buku, yuk? Gue lagi pingin cari novel," ajak Ify. Rio mengangguk cepat, lalu menggandeng Ify menuju toko buku.

"Liv, kita mau ngapain?" tanya Ray bingung.

"Ntah. Timezone aja, kuy?"

"Kuylah, kita main basket wkwkwkak!" kelakar Ray. Oliv tersenyum tipis, mengikuti langkah kaki pemuda itu.

"Kka, kita ke toko olahraga aja gimana?"

"Boleh-boleh. Yuk!" Cakka merangkul Agni menuju toko olahraga.

Setelah puas berjalan-jalan, mereka kembali bertemu di sebuah restoran yang ada di mall itu. Sembari menunggu pesanan, mereka pun berbincang-bincang santai. Canda tawa menyelimuti mereka.

"Rii bagi ayamnya," pinta Anov. Ri memberikan potongan ayam ke piring pemuda itu.

"Thank you!" Ri mengangguk dan kembali menikmati makanannya.

"Habis ini mau ke mana?" tanya Cakka.

"Keliling Jakarta? Ya, muter-muter aja gitu." Rio menatap mereka satu-persatu.

"Boleh, udah lama juga kita nggak pergi bareng gini." Alvin menyetujui pendapat Rio.

"Lo mau ikut?" Ri menatap Anov yang terlihat tidak bersemangat.

"Nggak! Gue pulang aja dari pada jadi nyamuk," jawab pemuda itu dengar bibir manyun. Semua tergelak mendengarnya.

"Ututu … kacian banget sepupu gue," ujar Ri seraya mengusap-usap kepala Anov.

"Udah, nggak usah manyun. Nanti gue beliin pizza 3 box." Anov menatap Ri selidik.

"Bener, ya? Awas lo bohong," ancam Anov. Ri mengangguk serius.

"Ya udah, yuk berangkat sekarang?" Mereka pun meninggalkan mall tersebut. Sedangkan Anov memilih untuk pulang, karena dia sebenarnya sudah lelah dan ingin beristirahat.

Mereka berkeliling kota Jakarta, membeli beberapa cemilan. Saat sore hari tiba, mereka berhenti di sebuah pantai. Menuruti permintaan Ri yang ingin melihat matahari terbenam.

"Ri," panggil Alvin pelan. Ia menoleh ke arah gadis itu yang tengah bersandar di pundaknya.

Tidak ada jawaban dari gadis itu. Ia menghela napas saat menyadari gadis itu terlelap, ketika matahari sudah kembali ke peraduannya. Sejenak ia menatap wajah itu, gadis itu tampak polos seperti bayi.

"Vin, Ri kenapa?" tanya Rio khawatir.

"Dia tidur," jawab Alvin pelan.

"Ya udah, kita pulang aja sekarang. Ri pasti capek." Rio berkata seraya menatap adik bungsunya.

"Iya, yuk." Mereka pun mengantarkan Ri pulang terlebih dahulu.

"Lho, Ri kenapa?" tanya Anov dengan nada panik. Ia terkejut melihat Ri berada digendongan Alvin.

"Dia ketiduran. Lo nggak perlu khawatir," balas Agni menenangkan sepupunya. Sedangkan Alvin sudah membawa gadis itu ke kamarnya.

"Oh iya, ini titipan lo." Rio menyodorkan satu kantung plastik berisi 3 box pizza.

"Thanks." Anov menerimanya dengan senang hati.

"Kita balik, ya? Besok libur, mungkin kita bakal ke sini lagi." Anov tersenyum seraya mengangguk.

"Iya, kalian boleh datang ke sini kapan aja."

"Bye, Nov!" Anov melambaikan tangannya. Setelah itu ia kembali menonton tv, tak lupa mulutnya mengunyah pizza yang sudah tertata rapi di meja.

Sedangkan di kamar, Ri terbangun dari tidurnya. Ia memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah itu ia meminum obatnya, dan kembali berbaring sembari membaca email di ponselnya.

'Ting!'

Ri membuka pesan yang baru saja masuk. Sebuah senyum terukir di wajahnya saat membaca pesan dari Alvin. Ia segera membalas pesan tersebut.

'Night and nice dream too, Vin!'

"Cyahh! Senyam-senyum mulu," celetuk Anov seraya melompat ke tempat tidur Ri.

"Ngagetin aja, sih? Kok, belum tidur?" Ri menatap kesal ke arah Anov.

"Belum ngantuk. Btw, makasih pizzanya." Ri mengangguk-ngangguk. Ia menyandarkan kepalanya ke dada Anov.

"Nov," panggil Ri dengan posisi yang sama. Anov bergumam, tangannya mendekap tubuh mungil tersebut.

"Kayaknya gue suka sama Alvin, deh." Anov terdiam beberapa saat, kemudian berdeham pelan.

"Bagus, dong. Gue lihat, Alvin juga suka sama lo." Ri menghela napas pelan.

"Serius?" Ri menatap Anov dari posisinya. Anov menunduk dan membalas tatapan Ri.

"Yap. Bisa dilihat dari sikapnya yang perhatian banget sama lo. Sayang banget sama lo," ucap Anov lembut seraya menoel hidung Ri. Membuat gadis itu tersenyum senang.

"Hmm … tapi kondisi gue, gimana? Gue takut kalau bakal nyusahin dia," lirih Ri. Tatapannya berubah menjadi sendu.

"Lo pasti sembuh. Kalau dia tulus, dia bakal nerima lo apa adanya." Ri menghela napas panjang.

"Udah, jangan dipikirin. Sekarang lo tidur lagi." Ri mengangguk lalu merubah posisinya menjadi berbaring di sebelah Anov. Pemuda itu menemani Ri hingga terlelap.

'Gue kenapa?' Batin Anov bertanya-tanya.

Sekitar pukul 9 pagi, Rio dan kedua adiknya telah tiba di rumah Ri. Kini mereka sudah berkumpul di ruang tengah seraya mengobrol ria. Suasana rumah ini menjadi ramai dan menyenangkan hati Ri.

"Kak Rio, sekolah suka adain lomba-lomba atau event gitu nggak?" tanya Anov penasaran.

"Lomba pastinya ada, ekskul antar sekolah biasanya. Terus ada event peringatan hari-hari besar, ulang tahun sekolah juga biasanya ngadain event gitu." Anov mengangguk paham. Sedangkan Ri terlihat diam, seperti sedang memikirkan banyak hal.

"Ri, lo mikirin apaan? Ngelamun aja," tegur Ray.

"Hah? Enggak, kok. Kenapa?"

"Nggak papa, lagian lo ngelamun mulu." Ri hanya tersenyum menanggapi.

"Yakk!! Apaan, sih, Cakka?" pekik Agni. Sontak membuat perhatian tiga orang di sampingnya tertuju kepadanya.

"Kenapa, kak?" tanya Ri penasaran.

"Nanti malam Cakka mau ngajakin gue ketemu. Padahal niatnya gue mau tidur awal," gerutu gadis itu.

"Terima aja. Ngapain malming tidur awal-awal? Mending jalan-jalan," timpal Anov.

"Feeling gue bakal ada kabar baik," celetuk Rio.

"Jangan bilang, kak Rio mikir kak Cakka bakal nembak kak Agni?" tanya Ri.

"Yap, betul banget. Lo suka sama Cakka, Ni?"

"Apaan? Ngaco," elak gadis itu.

"Ngaco apaan? Itu pipi merah banget, bu! Huahahaha!" tawa Ri menggelegar melihat Agni tersipu.

"Cyaaat gue tunggu PJ-nya!" seru Ray dan Anov serempak. Agni menghela napas pasrah.

Hari itu mereka habiskan untuk family time. Saat sudah menunjukkan pukul 5 sore, mereka membantu Agni bersiap-siap untuk menemui Cakka. Sedangkan Agni terlihat malas-malasan, lebih tepatnya dia berusaha menghindar untuk menutupi rasa malunya.

"Ayo, kak. Lo harus dandan yang cantik," ujar Ri memaksa.

"Nggak, gue nggak mau dandan. Cuma ketemu doang, Ri, ngapain dandan segala?"

"Biar kak Cakka makin klepek-klepek sama lo." Ri mulai menjalankan tugasnya. Agni pasrah saja, sesekali ia protes saat Ri memakaikan bedak banyak sekali.

"Finish! Simple, kan?" tanya Ri kepada Agni yang tengah menatap pantulan wajahnya di cermin. Bedak tipis, lipglos dan sedikit blush on di pipinya.

"Not bad," ujar Agni santai. Ia tersenyum dan berterima kasih kepada adiknya ini.

"Tapi gue menolak pakai gaun," sambung Agni saat mendapati Ri yang berniat mengambil gaun.

"Oke-oke, lo pakai ini aja." Ri memberikan blouse berwarna tosca lengan panjang dengan pernak-pernik yang terlihat seperti kalung.

"Oke, gue pakai ini." Agni mengambil baju itu dan melangkah menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Sedangkan Ri memilih menunggu bersama para lelaki.

"Gimana Agni?" tanya Rio.

"Beres, lagi ganti baju." Ri berucap tenang. Beberapa saat kemudian Agni menghampiri mereka.

"Gue udah siap," ucap Agni kaku. Semua menoleh kepada Agni. Terlihat cantik dengan make up tipis, blouse tosca yang terlihat elegan meski sederhana. Serta rambutnya yang digulung ke atas, menyisakan helaian tipis di sebelah kanan dan kirinya.

"Perfect!" seru mereka. Setelah itu mereka berangkat menuju tempat di mana Cakka sudah menunggu.

Saat ini mereka telah tiba di sebuah tempat yang Agni kenal. Basecamp lama mereka, kenapa Cakka mengajaknya ke sini? Tanpa disadari oleh Agni, ketiga saudaranya telah meninggalkannya sendiri.

"Lho, aish! Bener-bener gue ditinggalin!" dumel Agni. Ia kembali melangkah, entah kenapa kakinya menuntun dirinya menuju lapangan basket yang terletak di samping basecamp.

"Cakka? Dia ngapain?" tanya Agni kepada dirinya sendiri saat melihat pemuda itu duduk termenung memandangi si orange.

"Kka?" panggil Agni saat sampai di samping pemuda itu. Cakka menoleh dan tersenyum kecil, ia berdiri di hadapan Agni.

"Main bentar, yuk?" Agni menyetujui saja. Mereka pun memainkan si orange dengan lincah. 20 menit kemudian Cakka mengajak Agni duduk di tengah lapangan.

"Ag." Gadis itu menoleh dan menatapnya.

"Hm?"

"Gue mau tanya sesuatu sama lo," ucap pemuda itu pelan. Agni mengangguk pelan. Cakka menghela napas panjang, kemudian menyodorkan bola basket yang masih terbungkus tas.

"Coba lo buka, pertanyaannya ada di dalam situ." Agni menurut dan menerima bola itu. Ia membuka tasnya perlahan dan melihat sebuah kertas yang menempel di bola itu.

"Kalau lo terima, lempar bolanya ke ring. Kalau nggak, lo buang aja ke sembarang arah." Agni terdiam beberapa saat sembari menatap bola ditangannya.

Tak lama Agni berdiri dan berjalan ke arah lain. Cakka hanya diam, memperhatikan Agni yang bersiap membuang bola itu. Cakka memejamkan matanya, menerima segala keputusan yang gadis itu buat.

"Shoot!" seru Agni tiba-tiba. Cakka membuka matanya dan terkejut saat melihat bola basketnya masuk dengan mulus.

"Makasih, Agni." Cakka langsung merengkuh tubuh Agni dan membisikkan kata terima kasih.

"I love you," lirih Cakka.

"Love you too, Cakka." Mereka tersenyum di bawah sinar bulan.

"PJ PJ PJ YUHUUUU!!!" seru beberapa orang saat mereka telah melepaskan pelukan satu sama lain

"Lho, kalian di sini dari tadi?" tanya Agni heran.

"Hehehe … kita ngumpet, dung." Ucapan Ri membuat Agni menggeleng-gelengkan kepalanya.

"PJ-nya jangan lupa, Ri tunggu besok di sekolah!"

"Baweeeel!!" Cakka dan Agni langsung menyerbu Ri dengan gelitikan di pinggang.

"HUAHAHAHAHAHAHA!" tawa Rio, Ray, Ify dan kedua adiknya membahana di sana.

"Huaaa ampoooon!!!" seru Ri berusaha menghindari Cakka dan Agni. Setelah aksi itu mereka memutuskan untuk pulang.

"Huaaaahh … capeeek!" Gadis itu baru saja membersihkan diri, dan langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur untuk pergi ke alam mimpi.

Suasana di Fredrick Senior High School hari ini tampak ramai. Hari ini sekolah tidak ada jadwal belajar karena guru-guru memberi pengumuman, jika sekolah akan mengadakan lomba ekskul antar kelas. Saat ini, Ri bersama keempat saudaranya, dan juga teman-temannya tengah berkumpul di basecamp untuk berdiskusi tentang lomba ini.

"Aduhh! Gue bingung mau ikut lomba apa," keluh Ri sembari menatap melas orang-orang yang ada di sana.

"Lo duet aja sama gue, gimana? Kita nyanyi, nanti gue yang main musik." Alvin pun mulai menjalankan aksi modusnya.

"Yee ... maunya," cibir Rio. Alvin hanya cengengesan mendengarnya.

"Hmm ... boleh, deh. Mau nyanyi lagu apa, Vin?" Alvin tersenyum puas saat Ri menyetujui.

"Lagunya Tiara Andini aja, Hadapi Berdua. Gimana?" Ri mengangguk setuju.

"Oke, kebetulan itu lagu favorit gue. Kita mau akustik, nih?"

"Mendingan besok lo main piano aja, Vin, jarang-jarang, kan?" usul Cakka.

"Wokee, nanti gue coba bikin aransemen."

"Lo berdua mau ikut 1 perlombaan aja?" Ri dan Alvin mengangguk kompak, mereka tahu jika Alvin memang malas mengikuti acara sepeti ini. Namun, biasanya Ri sangat bersemangat dan akan mengikuti banyak lomba. Akan tetapi, kali ini gadis itu memilih 1 perlombaan saja.

"Tumben, Ri, biasanya kalau ada acara gini lo semangat dan ikut banyak perlombaan. Kenapa?" tanya Agni.

"Eh? Hehehehe ... nggak papa, kak. Gue sejak di Jerman jarang ikut kompetisi. Biar nanti nggak kacau, makanya gue ikut satu dan kebetulan gue cuma ikut ekskul musik bareng Alvin," jawab Ri. Mereka pun mengangguk paham.

"Oke, pokoknya semangat untuk kita semua!" seru Anov.

"SEMANGAT!" sahut lainnya serempak, dan mereka tertawa bersama.

"Ke kantin, yuk? Gue laper, sekalian kita lihat persiapan teman-teman yang lain. Siapa tahu ada kabar terbaru juga untuk lomba besok," ajak Ri.

"Oke, let's go!" Mereka pun beranjak dari basecamp menuju kantin. Di sepanjang koridor, tampak murid-murid yang lain sedang mempersiapkan diri untuk lomba yang diadakan minggu depan. Ada yang berlatih menari, juga ada yang sedang bernyanyi bersama.

Sesampainya di kantin, mereka pun memesan nasi goreng, jus lemon dan beberapa makanan ringan. Ri memilih duduk di samping Rio, gadis itu tampak makan dengan lahap membuat yang lain gemas melihatnya. Rio mengusap kepala Ri lembut, tersenyum bahagia melihat adik yang telah lama pergi akhirnya kembali.

"Rio sayaaaaang!" seru Dea sembari berjalan menghampiri kekasihnya. Sontak saja, nafsu makan mereka semua hilang melihat kehadiran gadis itu.

"Minggir lo! Gue mau duduk di samping tunangan gue," ucap Dea seenaknya sembari menatap Ri sinis. Ri tidak menggubris Dea, ia tetap fokus menyantap makanan di hadapannya.

"Dih, apa-apaan lo usir Ri? Baru tunangan aja belagu," sambur Anov.

"Emang dia siapa, sih? Lo juga siapa, ha?"

"Dea! Asal lo tahu, Ri itu a--" ucapan Rio terputus oleh suara gebrakan meja.

'BRAKK'

"Bisa diem nggak, sih? Gue dan Anov itu sahabat kecilnya Kak Rio! Kenapa? Nggak suka gue deket-deket Kak Rio? Perlu lo tahu, Kak Rio nggak pernah cinta sama lo," ujar Ri dengan nada datar.

"Kurang ajar!" Tangan Dea sudah terangkat dan siap menampar wajah Ri, tetapi dengan gesit Ri menahan tangan Dea. Ia memelintir tangan Dea membuat gadis itu meringis.

"Aaarrgghh! Lepasin gue! Rio tolongin akuuu," ucap Dea dan diakhiri rengekan kepada Rio. Sayangnya, pemuda itu hanya diam dan sibuk dengan ponselnya.

"See? Sadar diri, De." Ri berkata dengan nada penuh penekanan, kemudian ia mendorong Dea dan membiarkan gadis itu pergi diiringi sorakan penghuni kantin.

"Huahahahahahaha! Pasti malu banget dia," kelakar Cakka yang sejak tadi sudah menahan tawanya. Mereka pun melanjutkan acara makan yang sempat tertunda beberapa saat.

Setelah kenyang, mereka memilih untuk berkeliling menonton beberapa anggota ekskul yang akan tampil sebagai selingan saat acara besok. Sejauh ini, anggota ekskul yang sudah mulai mempersiapkan diri hanya ekskul dance. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk menonton anggota yang sudah bersiap di ruang latihan dance.

"Nggak begitu ramai, mau duduk di mana?" tanya Ray seraya menatap sekeliling.

"Depan aja, pojok sana," sahut Ri sembari menunjuk tempat yang ia tuju. Rio dan yang lain mengangguk, kemudian mereka berjalan menuju tempat pilihan Ri. Tak lama muncul seluruh anggota ekskul ini dan mulai menari dengan iringan musik yang nyaman didengar.

"Ekskul dance biasanya jadi pembuka, dan mereka selalu nunjukkin penampilan yang berbeda. Salut gue," puji Rio.

"Iya, kak. Gerakan mereka simpel, tapi bisa gitu narik perhatian orang." Alvin menambahkan. Kemudian musik berhenti, para anggota mulai menyingkir dan hanya menyisakan 2 orang gadis di depan. 

"Udahan, kah?" tanya Ri bingung.

"Mungkin gantian sama yang mau ikut lomba, Ri." Ri mengangguk paham saat Agni menjelaskan.

"Lha? Mereka anak baru, ya?" Oliv yang sedari tadi diam pun bersuara.

"Iya, lo bener. Gue belum pernah lihat muka mereka soalnya," imbuh Ray. Mereka pun kembali terdiam saat musik kembali mengalun.

All the underdogs in the world

A day may come when we lose

But it is not today

Today we fight

Suara gadis berwajah tirus pun mulai terdengar mengalunkan kata-kata dari intro lagu itu. Tak lama suara musik mulai mengalun dengan tempo yang cepat, kini giliran gadis berpipi chubby yang menyanyikan bagian rapp dengan baik dan kefasihannya dalam melantunkan lirik dalam bahasa Korea.

"Wihh ... lagu favorit lo, Ri," bisik Ray. Ri hanya tersenyum dan fokus melihat penampilan kedua gadis itu.

No not today

Eonjenga kkocheun jigetji

But no not today

Geu ttaega oneureun aniji

No no not today

Ajigeun jukgien

Too good day

No no not today

No no not today

Geurae urineun extra

But still part of this world

Extra + Ordinary

Geugeotto byeol geo anyeo

Oneureun jeoldae jukji mara

Bicheun eodumeul ttulko naga

Sae sesang neodo wonhae

Oh baby yes I want it

Bagian ini, keduanya menyanyikannya dengan nada lembut dan sedikit penekanan di bagian akhirnya, mereka menggunakan suara falsetnya. Membuat semua orang yang masih ada di sana berteriak kagum.

"Kyaakkkkkkkkk Angeline, Kariin kereeen!!"

Naragsu eopseum ttwieo

Today we will survive

Ttwieogal su eopseum georeo

Today we will survive

Georeogal su eopseum gieo

Gieoseorado gear up

Gyeonwo chong! jojun! balsa!

Not not today! Not not today!

Hey baepsaedeura da hands up

Hey chingudeura da hands up

Hey nareul mitneundamyeon hands up

Chong! jojun! balsa!

Jukji ana mutji mara soli jileo

Not not today

Kkulchi mara ulji ana soneul deureo

Not not today

Hey Not not today

Hey Not not today

Hey Not not today

Chong! jojun! balsa!

Urin hal suga eopseotdanda shilpae

Seoroga seorol jeonbu mideotgie

What you say yeah (say yeah)

Not today yeah (day yeah)

Oneureun an jugeo jeoldae yeah

Neoye gyeote nareul mideo

Together we won’t die

Naye gyeote neoreul mideo

Together we won’t die

Hamkkeraneun mareul mideo

Bangtaniran geol mideo

Gyeonwo chong! jojun! balsa!

Not not today! Not not today!

Hey baepsaedeura da hands up

Hey chingudeura da hands up

Hey nareul mitneundamyeon hands up

Chong! jojun! balsa!

Jukji ana mutji mara sori jilleo

Not not today

Kkulchi mara ulji ana soneul duleo

Not not today

Hey Not not today

Hey Not not today

Hey Not not today

Chong! jojun! balsa!

Kini Karin --gadis berdagu tirus-- akting seperti orang yang tertembak oleh gadis berpipi chubby, tak lupa rapp yang ia nyanyikan sangat sesuai dan tepat. Keringat mulai membasahi tubuh keduanya, meski begitu mereka sangat pintar mengatur napasnya. Apalagi di bagian pre-chorus sampai akhir, mereka kembali bernyanyi dan menari dengan beat yang lebih cepat dan menyiratkan emosi yang sangat sesuai dengan lirik lagunya.

Throw it up! Throw it up!

Ni nun soge duryeoum ttawineun beoryeo

Break it up! Break it up!

Neol gaduneun yuricheonjang ttawin buswo

Turn it up! (turn it up!)

Burn it up! (burn it up!)

Seungniye nakkaji (fight!)

Mureup kkulchi ma muneojijima

That’s (do) not today!

Not not today! Not not today!

Hey baepsaedeura da hands up

Hey chingudeura da hands up

Hey nareul mitneundamyeon hands up

Chong! jojun! balsa!

Jukji ana mutji mara sori jilleo

Not not today

Kkulchi mara ulji ana soneul deureo

Not not today

Hey Not not today

Hey Not not today

Hey Not not today

Chong! jojun! balsa!” Karin dan Angeline mengakhiri tarian dan nyanyiannya dengan sempurna. Tak lama suara tepuk tangan meriah menggema di ruangan ini.

"WOAAAHH!!!! KEREN BANGEEEEEEEEET!!!!" seru seluruh orang yang ada di sana. Kedua gadis itu tersenyum sembari mengucapkan terima kasih.

Tepat setelah itu, bel pulang pun berbunyi. Seluruh siswa-siswi mulai berhamburan meninggalkan lingkungan sekolah. Ri dan Anov pun pulang bersama, sedangkan Rio dan yang lain pulang ke rumah masing-masing.

Rio dan kedua adiknya telah tiba di rumah, mereka pun segera berganti pakaian. Ray mengajak kedua kakaknya berkumpul di balkon kamarnya. Tiba-tiba ponsel Agni berbunyi, terlihat ada pesan masuk dari Osa.

"Bunda kirim pesan, katanya hari ini mereka berangkat ke Singapore. Mereka pergi kurang lebih 2 bulan karena ada beberapa urusan bisnis," ucap Agni.

"Azeeeeeeeeekk!! Gimana kalau sekarang telpon Ri dan Anov buat nginap di sini??" cetus Ray semangat.

"Ide yang bagus, buruan telpon." Tanpa banyak tanya, Ray segera menghubungi Ri supaya menginap di rumahnya. Tak lama ia tersenyum puas sembari mematikan panggilan tersebut.

"Gimana, Ray? Mereka mau?" tanya Agni.

"Mau, dong. Asik, dah, bisa ngumpul di sini lagi," ucap Ray antusias.

20 menit kemudian, Ri dan Anov sampai di rumah keluarga Fredrick. Anov merasa bahagi, saat melihat Ri tersenyum menatap rumah lamanya. Tak ada yang berubah dari rumah itu, tetap kokoh, dan taman bunga milik Osa yang sangat terawat.

"Yeay! Welcome back Clarine!" sambut Ray bahagia.

"Lebay, deh. But, thanks udah undang gue buat tinggal di sini untuk sementara."

"Sama-sama, Risayaaang." Ri tertawa kecil mendengarnya.

Kini mereka sudah berkumpul di ruang tengah. Ri sibuk berkutat dengan tab, ponsel dan laptopnya, ia sedang meneliti bukti-bukti yang berhasil ia dapatkan. Sesekali ia berdecak kesal, lalu tiba-tiba bergumam sinis.

“Lagi ngapain sih, Ri?” tanya Rio.

“Hft, gue lagi cek bukti tentang keluarganya Dea yang kemarin gue dapat, kak.” Ri menyandar ke bahu Rio, menghela napas panjang.

“Kak, kalian tahu kenapa ayah dan bunda selalu berantem?” Tanya Ri seraya menatap Rio, Agni, Anov dan Ray. Sontak mereka menggelengkan kepalanya. Ri menegakkan badannya lagi, ia membuka file yang berisi keadaan keuangan perusahaan ayahnya. Mereka semua terkejut saat membaca keseluruhannya.

“Apa? Ayah rugi sebanyak itu? Kok bisa?” tanya Agni kaget.

“Keluarga Dea yang bikin semuanya berantakan, kak.” Ri terdiam sejenak, ia menenangkan hatinya yang bergejolak menahan amarahnya.

“Ri … coba jelasin, ini sebenarnya titik dari pemasalahan ini apa? Lalu itu, lo dapat semua data-data itu dari mana? Lo nggak lagi ngarang, kan?” tanya Ray masih tak percaya, sedangkan Rio dan Anov masih tenang menunggu kelanjutan cerita dari Ri.

“Ray, lo tenang dulu ….” Anov menepuk-nepuk pundak sepupunya itu.

“Gue akan ceritain semuanya, tapi kalian harus janji buat nggak kasih tahu semua ini ke ayah dan bunda, ya?” Rio, Agni, Ray, dan Anov kompak mengangguk.

“Gue nggak mau, mereka yang selama ini nggak pernah menganggap keberadaan gue di keluarga ini tiba-tiba berubah jadi baik karena gue menolong mereka.” Ri berucap lirih meski pandangannya datar namun jika diselami mata itu tampak sayu.

“Lo ngomong apa, sih Ri? Mereka menganggap lo anaknya, haruslah mereka berterima kasih,” tanggap Rio. Ri menatap semuanya sendu dan tersenyum miris, matanya mulai berkca-kaca dan sekuat tenaga ia tahan. Ri menjelaskan secara singkat apa alasan ia dikirim ke Jerman, dan kenapa orangtua mereka sering bertengkar.

“Dulu, waktu kecil gue sering sakit-sakitan dan mereka ninggalin gue di Jerman. Mereka nitipin gue di rumah oma, mereka tidak pernah menghubungi gue. Apa itu yang disebut nganggap gue anak, kak? Kenapa gue bisa tahu? Gue diem-diem dengerin pembicaraan oma dan ayah di telepon." Ri menghela napas panjang sebelum melanjutkan penjelasannya.

"Sebulan sebelum gue dan Anov ke sini, gue divonis kena kanker otak sama dokter. Hancur? Pasti.” Ri menjelaskan semuanya, ada setitik airmata yang menetes namun dengan segera ia hapus. Semuanya tercengang mendengar penjelasan Ri, terlebih Rio dan Millen yang tidak menyangka jika adiknya semenderita itu dulu.

“Ri … kenapa lo nggak bilang, kalau lo sakit? Kenapa lo diam dan nggak hubungi kami? Lo masih punya kami, kakak lo!” bentak Rio yang memang terlihat emosi. Agni? Ia berusaha menenangkan Ri yang terkejut karena bentakan Rio.

“Kak, udah jangan bentak Ri. Sekarang kita fokus selesain masalah keluarga ini, dan jagain Ri, oke?” ucap Anov menenangkan Rio.

“Maafin gue Ri, tadi gue shock dan khawatir sama lo ….” Rio berujar lirih sambil menggenggam tangan Ri lembut. Ri tersenyum tipis dan membalas genggaman tangan Rio.

“Lo nggak salah, gue yang salah karena nggak cerita dari awal.”

“Lo nggak usah khawatir, Ri. Mulai sekarang kita harus saling jaga," ucap Rio menenangkan.

"Oh ya, untuk masalah keluarga Dea. Apa aja bukti yang udah lo dapat?" tanya Anov.

Ri menjelaskan kembali tentang profil keluarga Dea, kemudian apa yang dilakukan oleh ayah Dea di perusahaan Obiet dan Osa. Rio dan ketiga adiknya menyimak penjelasan dari Ri. Ia juga menjelaskan suatu hal yang mengganjal di hatinya.

"Untuk itu, kalian tenang aja, Besok biar gue cek CCTV, semoga aja belum mereka hapus."

"Lo yakin, Yo?" tanya Agni. Rio mengangguk yakin.

"Oke. Oh iya, Ri, siapa aja yang tahu soal penyakit lo?" tanya Ray penasaran.

"Oma, Anov, dan hari ini Alvin ...." Mereka berempat menghela napas pelan.

"Maaf, ya?" ucap Ri natap mereka sendu.

"Kita maafin, kok. Tapi lo harus janji sama kita, jangan pernah sembunyiin apapun lagi dari kita, oke?" Ri mengangguk cepat, mereka tersenyum melihatnya. Setelah itu, mereka pun memilih untuk istirahat.

Keesokkan harinya, Rio sudah pergi ke kantor pagi-pagi. Lalu Agni, ia sudah pergi bersama Ray menemui Ify dan yang lain untuk mempersiapkan lomba. Sedangkan Anov, ia harus menemani Ri yang akan menjalankan fisioterapi.

Sebenarnya Rio, Agni, dan juga Ray ingin ikut menemani. Namun, Ri melarang mereka dan meminta mereka untuk fokus pada tujuan awal. Kini keduanya sudah berada di ruang fisioterapi, Anov dengan setia mendampingi adik sepupunya ini.

"Nov ... sakit," lirih Ri saat obatnya mulai bereaksi. Anov menggenggam tangan Ri erat, satu tangannya mengusap kepala Ri lembut.

"Tahan, ya? Sebentar lagi selesai, lo pasti bisa lewatin semua ini." Anov berbisik lembut. Ri memejamkan matanya, mencoba menahan segala rasa sakit yang menghantam tubuhnya, terutama kepalanya.

Beberapa saat kemudian, fisioterapi Ri sudah selesai dan gadis itu tampak lemas. Anov meminta Ri untuk tidur, ia duduk di kursi samping brangkar Ri sembari memainkan ponselnya. Tak lama, ada sebuah pesan dari Alvin yang menanyakan kondisi Ri, terbesit rasa tak suka ketika ia membaca pesan itu.

"Nanti aja, deh," ucapnya pelan, ia kembali menyimpan ponselnya dan memilih untuk tidur.

Di lain tempat, tampak 2 orang gadis tengah bersantai usai berlatih menari. Ya, mereka adalah Angeline dan Karin. Keduanya tengah menyantap camilan yang telah mereka siapkan sebelumnya.

"Rin, kemarin lo liat tatapan mereka? Gue ngerasa tatapan mereka itu antara bangga sama kagum, deh, menurut lo gimana?" tanya Angeline.

"Iya, Ngel, gue juga ngerasa sama." Angel mengusap punggung sahabatnya itu, turut prihatin dengan kondisi Karin selama ini.

"Kondisi lo, gimana?" tanya Angeline.

"Sejauh ini stabil, udah beberapa minggu ini jarang kambuh." Karin tersenyum menenangkan. Angeline menghela napas lega.

"Syukurlah, gue seneng dengernya. Tapi gue masih takut, kalau lo kecapean gimana? Masih ada waktu buat batalin perlombaan ini, Rin," ujar Angel khawatir.

"Gue nggak kenapa-napa, Ngel. Lo nggak perlu khawatir." Angelin menghela napas panjang, ia sudah tidak bisa memaksa Karin lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status