Share

Bab 1

Di sebuah ruangan, tampak beberapa pria memakai baju hitam, dan beberapa muda-mudi yang tengah berkumpul untuk membahas sesuatu. Mereka menatap pada seorang gadis yang terlihat tenang dengan wajah datarnya sedang membaca sebuah berkas yang ada di tangannya. Perlahan, seulas senyum sinis terpatri di wajah cantiknya.

"Nona, apakah Anda sudah siap menjalankan tugas ini?" tanya salah satu pria bertubuh kekar di sana.

"Kapan saya berangkat?" Gadis itu berbalik tanya, menunjukkan bahwa ia siap dengan tugas yang diberikan kepadanya.

"Besok pagi, Anda harus bersiap-siap malam ini."

"Oke, saya akan berangkat sendiri besok."

"Baiklah, kami akan membantu Anda dari sini," tutur pria itu. Kemudian menutup pertemuan mereka.

Gadis tadi langsung beranjak dari sana, diikuti oleh seorang pemuda yang kini merangkul tubuhnya. Gadis itu menoleh sejenak, dengan tatapan yang lebih bersahabat. Mereka berdua tengah berjalan menuju parkiran.

"Kamu yakin, mau melakukan tugas itu sendiri? Bagaimana kalau aku menemaimu ke sana?" Gadis itu mendengus, bukan karena ia merasa kesal pemuda itu meremehkannya.

"Nggak usah sok pakai bahasa Jerman, deh, bahasa Inggris lo aja masih belepotan." Sontak pemuda tadi menampilkan cengiran khasnya, terkekeh pelan menyadari kebodohannya barusan.

"Hehehe iya, deh, percaya gue kalau lo pinter. Eh, tapi lo beneran yakin mau berangkat sendiri?" pemuda itu kembali mengulang pertanyaannya. Sekarang mereka sudah berada di mobil pemuda itu.

"Iya, gue yakin. Kenapa?" Gadis itu menatap pemuda di sampingnya yang terlihat fokus menyetir.

"Gue takut lo kenapa-napa. Izinin gue ikut, ya? Biar gue bisa jagain lo, gue juga bakal bantu lo cari solusinya. Gue yakin, oma lo juga nggak akan biarin lo pergi sendiri." Gadis ini menghela napas panjang. Apa yang diucapkan pemuda ini ada benarnya juga.

"Oke, lo boleh ikut."

"Nah! Dari tadi, kek," gerutu pemuda itu. Gadis ini tertawa geli mendengarnya.

"Kita beli makanan dulu, ya? Kasihan, oma pasti belum makan," ucap gadis itu. Pemuda itu bergumam untuk menjawabnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 8 malam. Setelah berputar untuk mencari restoran, sampailah mereka di rumah yang cukup megah. Rumah itu berwarna biru muda dengan beberapa tanaman hias yang terdapat di sisi kanan. 

"Oma, kita pulang!" seru keduanya saat memasuki rumah itu. Tak lama munculah seorang wanita lanjut usia dan menyambut mereka dengan pelukan hangat.

"Ri, Nov, kenapa kalian baru pulang?" tanya oma sambil mengajak kedua cucunya ke ruang makan untuk menata makanan yang mereka beli.

Ya, mereka adalah Clarine Saufira dan Anovian Regar. Cucu dari Rina Pramesti Fredrick. Kalian pasti bertanya-tanya, ada hubungan Anov dengan mereka? Anov adalah kakak sepupu Ri, tetapi karena selisih mereka hanya 1 tahun Anov meminta Ri untuk memanggillnya tanpa embel-embel 'Kak'.

"Hehehe iya, oma. Tadi lumayan lama rapatnya, terus sekalian beli makanan juga. Oma belum makan, kan? Itu tadi Ri belikan makanan kesukaan oma." Ri tersenyum kecil menatap omanya.

"Wah! Terima kasih, sayang, kalian sudah makan belum?"

"Sudah, oma. Tadi sekalian di restoran," jawab Anov.

"Ya sudah, kalau gitu kalian bersih-bersih dan istirahat."

"Iya, oma." Ri dan Anov pun melangkah menuju kamar untuk membersihkan diri. 15 menit kemudian, Ri selesai dan langsung menghampiri Oma Rina. Sedangkan Anov, pemuda itu sudah tenggelam di alam mimpinya.

"Lho, kamu kenapa nggak istirahat? Kamu pasti capek," tanya wanita itu lembut. Ri menggeleng pelan dan duduk di samping beliau.

"Ri mau bicara sama oma soal tugas Ri," ucap gadis itu serius.

Ri menjelaskan secara detail tentang tugas yang akan ia jalankan di sebuah negara yang mempunyai banyak untuk dirinya.

"Kamu yakin mau lakuin tugasnya? Kalau kamu nggak sanggup ketemu mereka, kamu minta digantiin sama yang lain aja."

"Ri nggak papa, oma. Mereka dalam bahaya, dan Ri harus bantu mereka. Mungkin cuma ini yang bisa Ri lakukan buat mereka." Wanita itu menghela napas panjang.

"Kamu berangkat sama Anov, ya? Biar dia bisa jagain kamu."

"Iya, oma. Ri ajak Anov, oma tenang aja. Ri janji, akan selalu jaga diri dengan baik."

"Oma nggak tenang, Sayang. Oma takut kamu kenapa-napa," ujar beliau cemas.

"Ri kuat, oma. Anov pasti bakal jagain Ri terus," sahut Ri menenangkan.

"Ya udah, kapan kamu berangkat?"

"Besok pagi, oma. Sekitar jam 7 orang kantor jemput," jawab Ri.

"Oke, sekarang kamu istirahat. Prepare besok pagi aja, nanti oma bantu." Ri mengangguk dan kembali ke kamarnya.

Oma Rina menatap punggung itu sendu. Sejak lulus SMP, gadis itu sudah bergabung dalam sebuah agensi yang bertugas untuk menyelidiki kasus-kasus kejahatan. Beliau tidak lagi meragukan kemampuan bela diri Ri, tetapi beliau tetap khawatir jika gadis itu kelelahan atau kenapa-napa.

"Semoga kamu baik-baik, Nak, dan semoga mereka segera sadar." Beliau pun kembali menyantap makanannya yang tinggal sedikit, setelah itu membersihkan semuanya dan beristirahat.

Sekitar pukul 4 pagi, Ri sudah sibuk untuk prepare dibantu Oma Rina. Tak banyak barang yang ia bawa, itu karena perintah Oma, dan beliau juga memberikan uang, serta kartu untuk gadis itu berbelanja bersama Anov. Ri dengan senang hati menuruti kemauan wanita itu.

"Passport udah, Ri?" tanya Oma setelah memeriksa semua bawaan Ri.

"Ada di tas kecil, oma. Semua udah beres," jawab Ri yakin.

"Ya udah, sekarang kamu bersih-bersih dulu. Biar oma yang masak buat kalian, oke?" Ri tersenyum dengan sikap hormat.

"Siap, laksanakan!" Ri pun bergegas mengambil handuk dan pakaian ganti, lalu berlari menuju kamar mandi.

Oma Rina pun beralih ke kamar Anov. Terlihat pemuda itu sudah rapi, dan tengah memeriksa barang bawaannya. Lantas beliau mengajak Anov menuju dapur.

"Anov bantu apa, oma?"

"Kamu goreng 3 telur mata sapi, ya? Biar oma bikin bumbu nasi goreng dulu," pinta beliau.

"Siap, oma!" Anov pun mulai melakukan perintah oma. Beberapa menit kemudian makanan telah siap, Anov membawa 2 piring nasi goreng ke meja makan di susul oma.

"Wah! Nasi goreng, pasti buatan oma." tanya Ri. Oma tersenyum lantas menyuruh mereka untuk segera makan.

"Kalian hati-hati di sana, ya? Oma sudah suruh orang buat menyiapkan mobil untuk kalian ambil di bandara. Tenang, mereka sudah oma peringati untuk tidak memberitahu siapa-siapa tentang keberadaan kalian."

"Iya, oma. Terima kasih," balas Ri. Oma tersenyum. Kemudian beliau mengantar kedua cucunya ke depan, membiarkan mereka pergi.

Selama perjalanan menuju bandara, tak ada percakapan di sana. Ri dan Anov tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Ri asik melihat ke luar jendela, dan Anov yang sedang mendengarkan musik seraya bersandar pada Ri.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di bandara. Ri dan Anov kini sudah berada di dalam pesawat. Ri memejamkan matanya, saat pesawat mulai bergerak.

"Lo ngantuk, Ri?" Ri mengangguk pelan. Anov pun menarik Ri supaya bersandar ke bahunya. Ri menyamankan posisinya dan terlelap.

"Gue yakin ini berat buat lo menginjakkan kaki di sana. Dan gue nggak akan biarin mereka menyakiti lo lagi." Setelah berkata demikian, Anov pun menyusul Ri ke alam mimpi.

Beberapa jam kemudian, mereka telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ri dan Anov segera mengambil mobil yang sudah dititipkan oleh orang suruhan Oma Rina. Mereka memutuskan untuk berbelanja terlebih dahulu.

"Nov, gue dapat info dari oma kalau rumah yang bakal kita pakai sudah siap. Jadi, sepulang belanja kita langsung ke rumah itu. Gue nggak akan tinggal di rumah dia." Anov mengangguk saja, ia tidak akan memaksa gadis itu.

"Oh, ya. Untuk penyamaran kita, lo ada rencana apa?" tanya Anov. Ri membisikkan rencananya kepada Anov, dan pemuda itu langsung menyetujuinya. Tak lama mereka sampai di sebuah mall.

"Kita beli keperluan dulu, pakaian, buku dan lainnya. Oh, ya, sekolah kita gimana?"

"Tenang, Nov, semua udah beres. Kita satu kelas, jadi nggak bakal repot untuk jalanin misi." Ri berucap santai.

Sembari mengobrol, mereka pun membeli beberapa barang keperluan mereka. Saat memasuki jam makan siang, mereka memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Ri terkekeh melihat Anov yang tampak lahap sekali.

"Laper, Pak?" Ri mengusap bekas saus di sudut bibir Anov.

"Banget, Ri. Enak banget makanannya."

"Dasar, kayak nggak pernah makan aja lo. Habis ini kita ke salon," ucap Ri mengingatkan. Anov mengangguk-ngangguk saja.

Selesai makan, mereka langsung menuju salon yang ada di sana. Kini penampilan mereka sudah berubah. Selesai mengubah penampilannya, Anov mengajak Ri untuk pulang karena semua kebutuhan yang diperlukan sudah lengkap. 

"Huft," keluh Ri sembari menjatuhkan tubuhnya ke kasur empuknya. Tak lama ia terlelap.

Keesokan harinya, Ri sudah rapi dengan balutan seragam Fredrick Senior High School. Yah, dia akan bersekolah di sekolah milik keluarganya. Ri segera keluar dari kamar menuju ruang makan, di mana Anov sudah menunggunya untuk sarapan.

Selesai sarapan, mereka segera berangkat ke sekolah. Jam masih menunjukkan pukul 06.15, sekolah masih sangat sepi. Anov dan Ri memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi sekolah.

"Lumayan luas, Ri. Ada keuntungannya juga kalau target kita juga bersekolah di sini, kan?" kata Anov berbisik. Mereka sedang melangkah menuju ruang guru karena bel masuk sebentar lagi berbunyi.

"Yoi. Gue juga makin nggak sabar ketemu mereka," balas Ri bersemangat. Anov terkekeh dan mengusak poni gadis mungil itu.

Sekolah sudah mulai ramai, sehingga Anov dan Ri menjadi pusat perhatian. Ri tampak santai dengan wajah datarnya. Berbeda dengan Anov yang sibuk tebar pesona ke siswi-siswi yang menyapanya.

"Pagi, bu." ucap Ri saat mereka sudah di kantor guru. Seorang guru pun menghampiri mereka dan menanyakan identitas mereka.

"Perkenalkan saya Ibu Ira, saya yang akan menjadi wali kelas kalian. Mari ikut saya," ucap beliau ramah. Ri dan Anov tersenyum tipis, mereka pun mengikuti wanita itu berjalan menuju kelas.

Di sebuah kelas, terlihat siswa-siswi telah duduk di kursi masing-masing. Suasana terlihat ramai, karena belum ada guru yang masuk. Di sudut ruangan, tampak 2 muda-mudi yang terlihat malas-malasan.

"Kak Agni, gue bosen banget. Bolos, yuk? Bodo amat kalau dihukum lagi," ucap seorang pemuda kepada seorang gadis yang satu tahun lebih tua darinya.

"Jangan cari masalah, Ray, turutin dulu aja. Dari pada nanti dilaporin ke ayah sama bunda, lo mau?" Ray menggeleng lesu. Ia lantas membenamkan wajahnya dilipatan tangan.

"Andai aja ada--"

"Selamat pagi, anak-anak!" sapa seorang guru memotong ucapan Ray.

"Pagi, Bu!" koor semuanya.

"Hari ini kalian kedatangan teman baru. Silakan masuk," ucap Bu Ira seraya tersenyum kecil. Tak lama seorang gadis cantik berambut pendek memasuki kelas, disusul oleh pemuda tampan di belakangnya.

"Silakan perkenalkan diri kalian." Keduanya mengangguk.

"Nama saya Caristy Saufika, asal Bandung." Gadis itu berucap dengan nada dingin.

"Saya Novian Rendra, pindahan dari Bandung."

"Risty dan Vian, silakan duduk di bangku yang kosong." Mereka mengangguk dan duduk di sebelah Agni dan Ray, karena hanya bangku do samping mereka yang kosong.

"Baik, kalau begitu silakan gunakan waktu bebas kalian sebaik mungkin. Guru-guru akan rapat, kalian diperbolehkan pulang pukul 12 siang. Saya permisi," ujar bu Ira lalu meninggalkan kelas. Semua murid berhamburan keluar kelas, menyisakan 4 orang di sudut ruangan.

"Lo nggak berubah, masih aja malas kalau di suruh sekolah." Agni menatap heran ke arah gadis yang duduk di depannya. Siapa dia? Apakah dia kenal dengan Ray?

"Lo siapa? Kenal sama adik gue?" tanya Agni. Gadis itu menoleh dan menatap Agni penuh arti.

"Huahh!! Lo siapa?" tanya Ray terkejut sekaligus takut. Ri meletakkan telunjuknya ke depan bibir Ray, setelah pemuda itu tenang ia pun menjelaskannya.

"Gue kangen sama lo. Pokoknya lo nggak boleh ninggalin gue lagi," lirih Ray. Ri membalas pelukan itu tak kalah erat. Agni pun turut memeluk kedua adiknya.

"Seneng boleh, sih. Guenya jangan dianggurin juga kali," celetuk Anov. Mereka bertiga terkekeh mendengarnya.

"Ya udah, kita bicarain ini di basecamp. Ray, lo ajak mereka, biar gue jemput Rio dulu." Ray mengangguk, lalu mengajak Ri dan Anov ke basecamp.

Yah, mereka memiliki ruangan khusus untuk berkumpul dan tidak sembarang orang boleh masuk ke sana. Bahkan guru-guru dan murid-murid di sini juga tidak ada yang diizinkan masuk. Apalagi ruangan ini dekat dengan rooftop, sesuai dengan peraturan yang tidak mengizinkan anak-anak menginjakkan kaki di sini.

"Nah, ini dia basecamp kita." Ri dan Anov berdecak kagum melihat ruangan ini yang mirip seperti hotel.

"Wih! Bagus juga, enak buat bolos." Ri memutar kedua matanya malas. Sedangkan kedua pemuda di hadapannya tengah bertos ria.

"Serah lo pada," ucap Ri malas. Ia pun memilih duduk di sofa yang tersedia di sana. Anov dan Ray pun ikut  duduk di sebelah kanan kiri Ri. Sehingga posisi mereka saat ini Anov-Ri-Ray.

"Ri!" seruan seorang pemuda diiringi pintu yang dibuka secara kasar. Mereka sontak menoleh, mendapati Rio yang tampak mengatur napas setelah berlari. Di belakangnya ada Agni yang menutup pintu dengan santai.

"Kak Rio kenapa?" Ri menatap ke arah kakak tertuanya. Penampilan berantakan, bekas luka dan lebam menghiasi wajahnya.

"Gue tadi cari dia, ternyata lagi berantem sama anak kelas 12. Untung gue cepet panggil guru, jadi mereka langsung dilerai." Agni menjelaskan pelan. Ia yakin, Ri akan marah saat mengetahui kehidupannya selama ini.

"Berantem? Kenapa? Apa masalahnya?" Ri mengusap punggung Rio yang kini tengah memeluknya erat. Agni menjelaskan semuanya, tentang sikap kedua orangtua mereka selama ini.

"Sialan! Kenapa mereka nggak berubah, sih? Gue nggak masalah mereka buang gue, tapi gue nggak akan biarin mereka perlakuin kalian kayak gini!"

"Ri, lo tenang dulu jangan emosi. Kita cari solusi sama-sama, oke? Itu misi kita, kan?" Anov pun mencoba menenangkan Ri.

"Misi? Misi apa?" tanya Rio. Ia mengubah posisinya menjadi duduk di karpet tepat di dekat kaki Ri. Ri, Anov, Ray dan Agni memutuskan untuk ikut duduk di bawah. Setelah itu Anov menjelaskan rencana mereka.

"Kita bakal bantu kalian," ucap Rio yakin.

"Makasih, kak. Tumben yang lain nggak ikut?" tanya Ri.

"Yang lain lagi ada ulangan dadakan dari wali kelasnya sebelum guru rapat. Nanti nyusul," sahut Agni. Ri mengangguk paham.

"Di sini ada P3K? Biar gue obatin kak Rio."

"Tunggu bentar." Ray mengambil kotak tersebut di laci, lalu menyerahkannya kepada Ri.

"Thanks." Gadis itu mulai membersihkan luka-luka Rio.

"Kalian mau pesan apa? Gue mau ke kantin dulu," tawar agni. Anov dan Ray berdiri serempak.

"Kita ikut!" seru keduanya.

"Samain aja, kak. Yang penting punya gue pedes," ucap Ri yang masih fokus mengobati Rio.

"Oke, deh. Kita tinggal dulu." Agni pun meninggalkan basecamp diikuti Ray dan Anov.

"Jangan berantem lagi, ya?" Ri mengusap pipi Rio lembut.

"Kalau mereka nggak berulah, gue nggak akan serang mereka Ri. Gue muak sama orang-orang yang usik kehidupan kita, padahal mereka nggak tahu apa-apa. Gue sebenarnya capek, tapi gue nggak bisa berbuat apa-apa." Ri menghela napas pasrah.

Matanya meneliti pemuda di hadapannya, memastikan jika tak ada lagi luka yang belum diobati. Hingga pandangannya tertuju pada lengan Rio, terlihat bekas luka di sana. Ri meraih tangan Rio, menyingkap lengan jaket itu, ia terkejut ketika menemukan banyak bekas sayatan di sana.

"Kak, i-ini?" Rio menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap Ri, gadis itu pasti marah besar mengetahui hal ini.

"Jelasin ke gue, kenapa lo lakuin ini? Yang lain tahu soal ini, hah?!" Ri bertanya dengan setengah membentak.

"Ayah sama bunda nggak tahu," jawab Rio pelan.

"Mereka alasan lo lakuin ini?" Ri bertanya lagi, kali ini nadanya sedikit melembut. Rio mengangguk pelan. Ia menceritakan kepada Ri tentang kondisinya.

"Astaga! Sejak kapan, kak?"

"Sejak ayah usir lo …."

"Gue mohon, jangan lakuin ini lagi. Sekarang gue ada di sini, lo nggak perlu khawatir."

"Gue akan coba."

"Harus. Kalau lo ada masalah, lo bagi ke gue dan yang lain. Jangan dipendam sendiri, gue nggak mau lo sakit karena nyimpan semua masalah lo sendirian." Rio tersenyum tipis.

"Sekarang lo rebahan, deh, biar enakan badan lo." Rio menurut dan merebahkan kepalanya di pangkuan Ri. Gadis itu mengusap lembut surai hitam itu.

"Lo siapa?" tiba-tiba 4 orang muncul dari balik pintu.

"Masuk dulu, gue mau cerita sama kalian. Terutama lo, Alvin." Ri menatap sahabat-sahabatnya. Meski bingung, mereka tetap mendekati Ri dan duduk di dekatnya. Ri menjelaskan secara singkat kepada mereka.

"Serius? Gue kangeen," ucap Alvin. Seorang pemuda berkulit putih dan bermata sipit.

"Gue juga. Kalian baik-baik aja, kan?" Ri tersenyum kecil.

"Kita baik, lo sendiri gimana?" tanya seorang gadis cantik.

"Baik, kak Ify." Ify tersenyum, lalu menatap Rio yang pulas dipangkuan Ri.

"Itu Rio kenapa, Ri?"

"Kata kak Agni berantem sama anak kelas 12," jawab Ri. Ify menggeleng pelan, tak heran dengan emosi Rio yang mudah terpancing.

"Lo kok penampilannya beda?" Alvin kembali bertanya. Ri tersenyum lalu menjelaskan secara singkat.

"Ooohh … pantes aja kita nggak ngenalin. Gue mau bantu lo, deh." Ri bersyukur memiliki sahabat yang baik seperti mereka.

"Boleh."

"Eh, kalian udah di sini. Kebetulan gue baru aja beli makanan. Kita makan, yuk?" tawar Agni yang baru saja sampai bersama Anov dan Ray.

"Dia siapa?" tanya seorang pemuda yang sedari tadi diam.

"Iya, gue belum pernah lihat. Anak baru juga, Ri?" tanya gadis lain yang duduk di sebelah Ify.

"Dia Anov, sepupu dari kakaknya Bunda. Dia nyamar juga kayak gue. Nov, kenalin mereka sahabat-sahabat gue. Itu yang rambutnya panjang namanya kak Ify, yang sebelahnya itu kak Oliv, terus cowok yang duduk di sofa itu kak Cakka. Dan yang sipit ini Alvin," jelas Ri seraya terkekeh menatap Alvin yang manyun.

"Hai! Gue Anov, sepupu Ri yang paling tampan sedunia." Ucapan Anov langsung disoraki Agni, Ray dan juga Ri.

"Wah, kak Cakka ada partner narsisnya."

"Nggak narsis, nggak cakep!" seru keduanya serempak. Lalu mereka tertawa, membuat Rio terbangun.

"Udah-udah, kak Rio jadi bangun ini. Sekarang kita makan aja dulu," kata Ri. Mereka pun makan bersama-sama diselingi canda tawa dari Anov, Ray dan Cakka.

Tak terasa, karena asik bercanda mereka pun tidak menyadari jika bel pulang sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Kini mereka sedang membersihkan ruangan tersebut. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju parkiran.

"Risih gue dilihatin terus," gerutu Ri.

"Risiko jadi orang cantik sama ganteng," balas Anov. Yang membuat gelak tawa tercipta di antara mereka.

"Lo pulang ke rumah, kan?" Agni menatap adik bungsunya ini.

"Gue tinggal di rumah gue sama Vian. Gue nggak mau tinggal sama mereka," jawab Ri saat beberapa orang melewati mereka.

"Yah, kita masih kangen sama lo." Ri menatap Ray lembut.

"Kalian boleh main ke sana. Nih, alamat rumah gue." Ri menyodorkan 2 kertas kecil kepada Agni dan Ify.

"Gue ikut lo, ya?" Rio tiba-tiba bersuara. Ia menatap Ri dalam, seolah sedang berbicara melalui tatapan itu.

"Gue juga mau pulang ke rumah lo dulu," sambung Ray. Ri menghela sejenak.

"Ya udah."

"Kalau gitu gue sama yang lain balik dulu, kapan-kapan kita mampir ke rumah lo." Ri mengangguk kepada Cakka. Lalu mereka pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya di rumah, Ri mengajak keempat kakaknya ke ruang santai. Sedangkan Anov sedang menyiapkan minum dan cemilan untuk mereka. Setelah itu Anov dan Ri meminta izin untuk mengganti pakaian terlebih dahulu.

"Lo masih ngantuk?" Ri bertanya kepada Rio yang tampak lelah.

"Lumayan, sih, tapi ntar aja nggak papa."

"Kalian kapan sampai? Pasti kalian sudah persiapin semua jauh-jauh hari," tanya Agni. Ri tersenyum kecil.

"Rumah ini gue beli seminggu sebelum keberangkatan, gue minta orang suruhan oma buat urus semua."

"Kita baru sampe tadi malam," imbuh Anov.

"Kok, nggak kasih tahu kita dari awal? Seenggaknya kita nggak kaget-kaget amat," celetuk Ray.

"Mana ada surprise ngomong-ngomong, Bambang!" seru Ri dan Anov. Ray nyengir kuda seraya mengacungkan telunjuk dan jari tengah pertanda damai.

"Ngomong-ngomong, kak Oliv cantik juga." Ri menyikut pinggang Anov.

"Apa, sih? Sakit tahu!" sungut Anov.

"Nggak lihat, Ray udah mau berubah jadi macan? Gebetan dia, tuh." Anov beralih ke arah Ray yang sudah menatapnya tajam.

"Hehehe canda, Ray, cuma muji doang."

"Modus!" sembur Ray.

"Kelamaan jomblo," timpal Ri.

"Ngaca, neng!" Ri tergelak. 

"Ri, tahu nggak ka--"

"Nggak," potong Ri. Ray menggeram gemas.

"Ihh! Gue belum selesai," keluh Ray.

"Lanjut-lanjut," kata Ri.

"Selama lo di Jerman, Alvin mikirin lo terus. Nanyain lo kapan pulang, pokoknya frustasi banget. Sampai-sampai dia nekat nemuin ayah buat tanya-tanya tentang lo," jelas Ray.

"Hah? Serius? Gila …."

"Sama ayah nggak dikasih tahu, terus hampir kena pukul pula. Untung kita ada di rumah, jadi bisa bantuin Alvin." Ri menggeleng tak percaya.

"Tapi waktu ketemu lo tadi, dia keliatan seneng banget. Emang dia nggak banyak omong, tapi tatapannya nggak lepas dari lo." Rio menambahkan.

"Gue juga ngerasa, sih, kalau dia merhatiin gue terus."

"Kalian deket banget?" tanya Anov. Ri mengangguk mengiyakan.

"Wajar kalau sampai Alvin nekat, pasti dia khawatir lo diapa-apain juga."

"Eh, bentar-bentar. Ayah nelpon," ucap Rio tiba-tiba. Mereka semua langsung diam.

"Halo," sapa Rio saat tidak ada suara dari seberang sana. Ia juga sudah mengaktifkan loudspeaker.

"Kamu sama adik-adikmu di mana? Kenapa belum pulang?"

"Kita masih di basecamp. Males mau pulang."

"Banyak alasan! Sekarang kalian pulang, kamu nggak lupa 'kan, kalau kita bakal ketemu sama keluarga Dea?"

"Ck! Rio nggak akan pulang kalau ayah masih bersikeras jodohin Rio." ucap Rio kesal. Ri mengusap punggungnya pelan.

"Kamu berani lawan ayah? Cepat pulang sekarang! Atau ayah hukum kalian semua!"

"Rio nggak peduli, terserah ayah!" Rio memutuskan panggilan sepihak.

"Kenapa ayah lakuin itu, sih? Nggak tahu aja keluarga si Dea itu licik banget," timpal Ri.

"Nah, ayah dan bunda nggak tahu pasti kalau diem-diem Dea udah punya pacar." Semua lantas menatap Agni penasaran.

"Iya, gue pernah mergokin dia di club waktu gue mau jemput si Rio yang mabuk di sana."

"Ya udah, kalian pulang aja dulu. Gue nggak mau kalian dihukum sama ayah." Rio menggeleng pelan.

"Gue nggak mau ketemu Dea. Mending gue di sini," ucap pemuda itu.

"Kak, nanti lo boleh ke sini lagi kapan aja. Sekarang lo turutin ayah dulu, sambil kita cari solusi sama-sama buat batalin perjodohan itu."

"Ya udah." Ri tersenyum menenangkan. Kemudian Rio, Agni dan Ray berpamitan pulang meninggalkan Ri dan Anov.

"Gue nggak tega sama mereka. Gue beneran nggak percaya, ayah sama bunda nggak pernah perlakuin mereka dengan baik setelah apa yang mereka lakuin ke gue."

"Ck, om Obiet sama tante Osa kenapa jahat banget? Apa coba mau mereka? Lo yang sabar, kita harus atur strategi buat selidiki dan bongkar semua." Anov mengusap kepala Ri lembut.

"Makasih, lo udah mau bantu gue."

"Sama-sama, kita itu saudara jadi wajib saling bantu." Ri tersenyum tipis. Tiba-tiba ia memejamkan matanya, saat rasa nyeri menyerang kepalanya.

"Ri, lo kenapa?" tanya Anov khawatir.

"Kepala gue sakit, Nov," lirih Ri.

"Tahan dulu, lo tadi udah minum obat belum?" Ri menggeleng lemah.

"Gue nggak mau mereka khawatir, makanya gue mutusin buat nggak minum tadi." Anov menghela napas panjang.

"Sekarang minum obat dulu." Anov mengambil obat di tas gadis itu. Ri meminumnya satu persatu.

"Gimana? Masih sakit?"

"Masih sakit, Nov."

"Ya udah, kita ke kamar aja biar lo bisa istirahat. Gue temenin lo," ucap Anov. Ri mengangguk pasrah, membiarkan Anov menggendongnya ke kamar gadis itu. Ia menemani gadis itu hingga terlelap.

Di tempat lain, terlihat seorang pemuda yang tampak tak suka dengan suasana di sekitarnya. Meski demikian, pemuda itu pandai menyembunyikan ekspresinya dan hanya menampilkan wajah datar dan aura dingin sangat terasa di sekitarnya. Ia sangat membenci tempat dan orang-orang yang ada di situ.

"Jadi, bagaimana dengan rencana pertunangan Rio dan juga Dea? Kapan pertunangan itu dilaksanakan, Biet?" tanya seorang pria kepada Obiet.

"Mungkin setelah ujian? Biarkan mereka fokus ujian terlebih dahulu," jawab Obiet menyarankan.

"Boleh juga, kasihan kalau nanti sekolah mereka terganggu." Osa menyetujui ucapan suaminya.

"Bagaimana Rio, Dea?" Bukannya menjawab, Rio malah pergi dari sana. Sungguh ia muak dengan semua perintah ayahnya.

"RIO KAMU MAU KE MANA?!" seru Obiet.

"Maafkan putraku, Sion. Biar aku yang bicara dengannya. Mungkin seperti itu saja dulu rencana kita, pertemuan ini dilanjutkan lain kali saja."

"Tidak masalah, Biet. Mungkin Rio masih canggung, atau belum siap makanya dia seperti itu. Baiklah, mari kita pulang?" Mereka pun pulang ke rumah masing-masing.

"Rio!" Obiet memanggil putra sulungnya yang sedang berada di ruang santai bersama kedua adiknya. Rio menoleh sekilas, kemudian kembali memusatkan pandangannya ke acara tv yang sedang mereka tonton.

"Dasar! Sini ikut ayah!" Dengan kasar Obiet menarik tubuh jangkung itu supaya berdiri di hadapannya.

"Ada ap--"

'PLAK!'

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rio. Rio memejamkan matanya, menahan gejolak emosinya yang bisa meledak kapan saja.

"Mau sampai kapan ayah perlakuin Rio kayak gini?!"

'PLAK'

"Apa nggak cukup dulu Ri yang jadi korban?"

'PLAK'

"APA KALAU RIO NGGAK NURUTIN AYAH, AYAH JUGA AKAN MEMBUANG RIO SEPERTI AYAH MEMBUANG RI?!"

"BERANI KAMU BENTAK AYAH?! SEJAK KAPAN KAMU JADI TIDAK SOPAN SEPERTI INI?"

'PLAK'

Rio merasakan panas menjalar di kulit pipinya, entah sudah berapa tamparan yang ia terima malam ini.

"Ayah, cukup! Kasihan kak Rio," ucap Agni seraya menarik tubuh Rio mendekat ke arahnya. Ia tak tega melihat Rio yang kacau seperti ini.

"Gue nggak papa, Ag." Rio mencoba menenangkan adik-adiknya. Ia pun melangkah melewati Obiet dan Osa.

"Rio kamu mau ke mana?" tanya Osa seraya menahan tangan Rio.

"Pergi." Rio menepis kasar tangan sang Bunda.

"Rio! Jangan berani-berani kamu pergi dari sini! Ini sudah malam! Lebih baik kamu tidur, ayah nggak mau dapat laporan lagi dari pihak sekolah karena kalian terlambat dan membolos!" Ucapan Obiet tak digubris. Rio pun keluar dari rumah, mengendarai motornya dengan kecang. Tak peduli rintik hujan yang mulai jatuh dari langit.

"Ini semua gara-gara ayah! Kalau ayah dan bunda nggak egois, kak Rio nggak akan kayak gini! Itu juga berlaku untuk Ri!" bentak Ray.

"Jangan pernah sebut anak sial itu lagi!"

"RI BUKAN ANAK PEMBAWA SIAL!" sanggah Agni.

"Udahlah, kak. Percuma kayaknya ngomong sama mereka," kata Ray. Ia menggandeng Agni ke kamar mereka.

"Aish!" desis Obiet kesal. Ia pun melangkah menuju kamarnya diikuti sang istri.

"Kak Agni, kak Rio gimana? Ini hujan, gue takut kak Rio nekat terus kenapa-napa," ucap Ray khawatir.

"Gue juga bingung, kalau mau nyusul ke mana coba?"

"Apa dia ke rumah Ri?" tanya Ray kali ini sedikit berbisik saat mendengar derap langkah ayahnya menuju ke kamar beliau. Agni mengangkat bahunya lesu.

"Gini aja, gue bakal tunggu sampai dia balik. Kalau malam ini dia nggak pulang kemungkinan besar iya." Ray mengangguk setuju.

Mereka pun memutuskan untuk menunggu Rio pulang. Namun, hingga jam 2 lebih Rio tak kunjung datang. Merasa apa yang mereka pikirkan benar, mereka pun memutuskan untuk tidur.

Keesokan harinya, seperti biasa Ri selalu bangun pagi dan baru saja selesai masak. Sembari menunggu Anov mandi, ia pun berniat untuk menyiapkan mobil yang akan mereka pakai.

"Kak Rio?!" pekik Ri. Ia terkejut saat melihat Rio tidur di bangku yang ada di terasnya.

"Kak Rio, bangun," ucap Ri pelan. Ia menepuk-nepuk pipi Rio yang merah dan terasa hangat. Tak lama tubuh itu menggeliat pelan.

"Sshh" desis Rio saat Ri menyentuh pipinya yang masih terasa sakit.

"Eh, pipi lo kenapa? Astaga! Pipi lo bengkak, kak!" seru Ri.

"Nanti gue jelasin," jawab Rio pelan. Ri tak tega melihatnya, ia memapah Rio menuju kamarnya.

"Lo nggak usah sekolah dulu," kata Ri.

"Gue nggak papa, Ri. Jangan khawatir," lirih Rio.

"Nggak! Lo di sini aja," ucap Ri tegas. Rio pasrah saja.

"Lho, kak Rio di sini? Sejak kapan?"

"Semalaman," jawab Rio seadanya.

"Kenapa nggak ngomong? Lo pasti kedinginan, mana semalam hujan deras lagi." Ri menatap Rio kesal.

"Gue nggak mau ganggu kalian, makanya gue milih tidur di bangku. Maaf," lirihnya lagi.

"Ya udah. Lo tunggu di sini," ujar Ri. Ia berjalan ke dapur untuk membuatkan Rio bubur.

"Lo sarapan aja, Nov. Gue nggak papa," kata Rio pelan.

"Ya udah, gue sarapan bentar. Lo tidur lagi aja." Anov menepuk pelan pundak Rio, lalu berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Rio memilih untuk mengistirahatkan badannya lagi.

"Ri lo udah makan?" tanya Anov saat melihat Ri yang baru saja selesai membuat bubur.

"Udah barusan sebelum masak bubur. Oh ya, gue kayaknya nggak masuk sekolah. Gue mau nemenin kak Rio," ucap Ri.

"Ya nggak papa, sih, nanti gue izinin ke guru."

"Thanks." Ri tersenyum tipis.

"Sekarang lo makan, terus berangkat ke sekolah."

"Siap, Ri!" Anov pun segera menghabiskan sarapannya, lalu berangkat ke sekolah. Ri membawa nampan berisi bubur, obat, dan air putih ke kamar Rio.

"Kak?" Ri menepuk pelan pundak Rio.

"Enggh …." Rio menggeliat pelan seraya membuka matanya. Ri membantu Rio duduk, merapikan bantal supaya Rio bisa bersandar.

"Kenapa nggak sekolah?" tanya Rio.

"Mau nemenin lo," balas Ri. Rio tersenyum kecil, mengusap kepala gadis itu.

"Maaf udah ngerepotin."

"Nggak ngerepotin, nih, makan dulu." Ri mulai menyuapi Rio sedikit demi sedikit.

"Semalam, kenapa ayah nampar lo?" Rio menelan buburnya sejenak, lalu menceritakan kepada Ri tentang kejadian semalam.

"Lo yang sabar, ya? Secepatnya gue akan ungkap semua fakta soal keluarga Dea," ucap Ri prihatin. Rio mengangguk pelan.

"Ya udah, lo minum obat dulu soalnya badan lo udah mulai panas. Habis itu tidur." Rio menurut saja.

"Lo di sini aja, gue pingin nyender di pundak lo."

"Gue beresin ini dulu," ucap Ri lembut. Ia membawa mangkuk kotor ke dapur dan mencucinya. Beruntung dia masih mengenakan pakaian santai.

"Sini." Ri duduk di samping Rio, membiarkan pemuda itu bersandar ke bahunya.

"Gue capek, Ri." Ri hanya diam dengan tangan yang tak berhenti mengusap kepala Rio.

Ia membiarkan Rio menumpahkan semua perasaan yang selama ini dipendam.

Sedangkan di sekolah, Ray sedang berkumpul di basecamp bersama Agni dan teman-temannya. Mereka sedang mencari solusi untuk membantu Ri dan Anov memecahkan masalah. Anov tampak memperhatikan foto yang dikirim oleh rekannya yang ada di Jerman.

"Ray, Agni, kalian kenal sama orang ini?" tanya Anov saat dirinya benar-benar buntu. Agni dan Ray menatap foto yang ada di ponsel Anov.

"Ini Deva, ketua kelas di kelas kita. Kenapa, Nov?" Agni menatap Anov penasaran.

"Keluarga dia juga korban dari keluarga Dea," ujar Anov.

"Ah, gue baru inget. Pacar Deva adiknya Dea, kan?" Ray menatap Agni.

"Acha? Oh iya! Gila!" Agni menggeleng tak percaya.

"Terus rencana lo apa, Nov?" Alvin bertanya dengan penasaran.

"Gue bagi tugas sama Ri. Dia urus bagian Deva, gue urus bagian kak Rio. Nah, jujur gue bingung mau lakuin apa buat bantu kak Rio. Om Obiet keterlaluan banget," keluh Anov.

"Pelan-pelan kita cari solusi. Oh ya, gue sampai sekarang masih bingung. Sebenarnya kenapa ayah benci banget sama om Patton?" Ray menatap Ify dan ketiga adiknya heran.

"Gue juga nggak tahu, Ray." Cakka menggendikan bahunya lesu.

"Papa juga nggak pernah cerita sama kita," imbuh Ify.

"Runyam banget," celetuk Anov dan diangguki lainnya.

"Balik, yuk? Sepi nggak ada Ri, bosen."

"Sekuy, Ray," sahut Anov.

"Jangan ada yang bolos hari ini," cegah Agni.

"Kenapa?" tanya Ray tak terima. Agni menujukkan pesan dari Ri.

"Yah, Ri kenapa larang-larang?" Ray mengacak rambutnya frustasi.

"Udah-udah, balik ke kelas aja sekarang. Ri ngelakuin ini biar kita nggak kena omel juga dari ayah," ajak Agni. Dengan berat hati mereka kembali ke kelas masing-masing.

Bel pulang baru saja berbunyi. Ketujuh muda-mudi ini sedang berkumpul di parkiran. Tak lama beberapa pria berbaju hitam dan berbadan besar menghampiri mereka.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Ify tak suka. Mereka adalah anak buah ayah mereka.

"Kami diutus Tuan Patton untuk menjemput kalian."

"Kita masih ada urusan. Bilang sama papa!" bentak Alvin.

"Tidak bisa, tuan muda. Tuan memerintahkan kalian untuk pulang sekarang juga."

"Udah, Vin. Kalian ikut aja mau mereka," ucap Ray.

"Ck. Ya udah." Alvin pun pulang bersama ketiga kakaknya, dikawal oleh anak buah ayah mereka.

"Yuk, jadi ikut ke rumah 'kan?" tanya Anov memastikan. Agni dan Ray mengangguk, mereka pun pulang ke rumah Ri.

Saat sampai di rumah Ri, mereka bingung karena rumah tampak sepi. Mereka berpikir jika Ri dan Rio sedang tidur. Namun, tak lama mereka dikejutkan suara benda pecah dari kamar Ri.

"Rio/kak Rio?!" pekik mereka saat melihat Rio yang berdiri dengan tangan membawa serpihan beling.

"Yo, lo kenapa? Buang belingnya!"

"Diem lo! Jangan ada yang halangin gue, kalau lo nggak mau gue gores pakai ini!"

"Ri mana, sih? Kok, kak Rio ditinggalin? Aduh, kumat deh dia." Ray menarik-narik lengan Agni.

"Yo, sadar! Lo kenapa kayak gini, sih? Jangan sakitin diri lo sendiri!" bentak Agni.

"BIARIN! BIARIN GUE MATI SEKALIAN! UDAH NGGAK ADA YANG PEDULIIN GUE! GUE CAPEK HIDUP KAYAK GINI!" Rio berteriak seraya menggenggam beling itu. Darah pun mulai menetes ke lantai.

"KAK RIO JANGAN GILA!" Kini giliran Anov yang bersuara.

"NGGAK USAH SOK PEDULI SAMA GUE!! AAAARRRGGHH!!" Rio membanting apa saja yang ada di kamar Ri. Ia menjambak rambutnya kasar.

"KAK RIO!" pekik Ri. Ia terkejut melihat kamarnya yang seperti kapal pecah itu.

"Ri lo dari mana?" tanya Anov khawatir.

"Gue beli makanan di depan, kak Rio kenapa?"

"Rio kambuh, Ri," bisik Agni.

Ri meletakkan kantung yang dia bawa ke meja. Perlahan ia mendekati Rio, mencoba menenangkan pemuda itu. Rio terperanjat saat ponselnya berbunyi dan menampilkan nama ayahnya.

"Ayah telpon, ya? Lo angkat aja," pinta Ri tenang.

"Nggak! Gue nggak mau denger suara dia!" Rio melempar asal ponselnya. Ia jatuh terduduk, ia menyeret badannya untuk bersandar ke tembok. Ri menghela napas panjang, ia menyamakan tingginya dengan rio.

"Jangan takut, lo nggak sendirian di sini. Kita akan lindungi lo dari ayah," ucap Ri lembut. Gadis itu meraih tangan Rio dan menggenggamnya.

Rio menunduk, badannya bergetar dengan bibir yang terus bergumam tak jelas. Ri khawatir menatap Rio, ia langsung membawa Rio ke dalam pelukannya. Mencoba membisikkan kata-kata penenang untuk pemuda ini.

"Ergh hiks …." Erangan dan isakkan kecil terdengar dari bibir Rio.

"Kak, udah jangan nangis terus. Atur napasnya." Rio mencoba mengikuti aba-aba Ri. Namun, napasnya masih tak kunjung teratur dan kian memberat. Hingga tiba-tiba semua menjadi gelap.

"Astaga, kak Rio!" Ri menepuk pipi pemuda yang kini telah tak sadarkan diri.

"Nov, panggil dokter cepat!" Anov mengikuti perintah Ri. Ia menghubungi dokter keluarganya yang memang sudah dipersiapkan untuk Ri. Kemudian, ia mengangkat tubuh Rio ke kasur dibantu Ray.

Sembari menunggu dokter, Agni pun mengobati luka di tangan Rio. Sedangkan Ri memilih untuk mengompres kening pemuda itu. Ia baru sadar, jika pemuda itu masih demam.

"Kalian makan aja dulu, gue udah beliin lauk tadi." Ri menatap mereka satu-satu.

"Lo gimana?" tanya Anov.

"Gue udah makan. Gih, kalian makan dulu." Agni, Ray dan Anov pun menurut saja.

"Huft …." Ri menghela napas panjang. Ia menatap Rio dengan pandangan yang sulit diartikan. Tangannya masih setia mengusap surai hitam itu, dan sesekali mengganti kompres Rio.

Tak berselang lama, seorang dokter datang dan mulai memeriksa tubuh Rio. Ri hanya diam memperhatikan. Sedangkan ketiga saudaranya pun mengintip dari luar kamar.

"Bagaimana, dok?" tanya Ri ketika pria itu selesai memeriksa Rio. Dokter tadi menjelaskan kondisi Rio yang ternyata terkena serangan panik.

"Terima kasih, dokter." Dokter tersebut mengangguk, lalu meninggalkan rumah Ri.

"Kalian mau nginap di sini?" tanya Ri.

"Kalau boleh, gue juga mau jagain Rio." Agni menjawab dengan ragu.

"Boleh, kok, kalian nginap aja. Biar nanti gue siapin kamar tamunya," ucap Ri. Agni dan Ray tersenyum berterima kasih.

Ri melepaskan genggaman tangannya dari Rio, kemudian melangkah keluar untuk menyiapkan kamar Agni dan Ray. Sedangkan Agni, Anov dan Ray masih berdiam diri di sana. Menatap Rio sedih, pemuda yang biasanya terlihat kuat harus terbaring lemah seperti ini.

Semoga suka! Maaf jika typo bertebaran :)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status