Share

Bab 4

Hari ini adalah hari perlombaan ekstrakurikuler di Fredrick Senior High School. Seluruh siswa-siswi yang berpartisipasi pun telah siap menunjukkan bakatnya, para guru juga telah siap untuk menjadi juri. Pertandingan basket dilaksanakan pada siang hari saat jam istirahat, hal ini dapat di manfaatkan supaya peserta lain untuk turut menyaksikan pertandingan tersebut.

Saat ini Ri, Alvin, Anov, Oliv, Ray, Karin sedang duduk di bangku penonton sembari menunggu giliran mereka. Kondisi Anov sendiri sudah pulih, hal itu membuat Ri merasa lega. Tak lama, Ri dan Alvin dipanggil untuk tampil.

“Semangat!!” seru Rio dan lainnya. Alvin dan Ri tersenyum mendengarnya, kemudian mereka mulai menyanyikan lagu milik Tiara Andini yang berjudul Hadapi Berdua. Siswa-siswi lainnya sangat menikmati mereka.

“Dunia tak restukan kita semua. Kita hadapi berdua ho-oh ….” Ri mengakhiri nyanyiannya dengan merdu. Suara riuh tepuk tangan terdengar di aula. Ri akan turun dari panggung, tetapi tangannya di tahan oleh Alvin.

“Ri, ada yang mau gue omongin sama lo.” Alvin berdiri menghadap Ri, gadis itu terdiam menatap Alvin bingung. Semua yang ada di ruangan tersebut juga bingung, apa yang akan dilakukan oleh Alvin.

“Vin, lo mau ngomong apa? Gue malu dilihatin mereka,” bisik Ri pelan. Alvin tersenyum, ia mengusap rambut Ri pelan, lalu menggenggam kedua tangan gadis itu.

“Gue minta waktu sebentar. Gue mau bilang, kalau gue sayang dan cinta sama lo. Udah dari SMP, sampai sekarang perasaan itu semakin besar dan gue udah nggak bisa mendam semuanya lagi.” Semua terdiam menunggu kelanjutan dari Alvin, sedangkan Ri sudah panas dingin di tempatnya. Alvin menghela napas panjang, kemudian ia berlutut di depan Ri dan kembali bersuara.

“Ri, apa lo mau jadi pacar gue?” Pernyataan Alvin membuat semua orang berteriak heboh, mereka menyerukan kata ‘Terima! Terima!’ dengan lantang. Muka Ri merah padam, tak menyangka jika Alvin mengungkapkan perasaannya saat ini.

“Iya, gue mau ….” Ri menjawab dengan malu-malu.

“Lo serius?” tanya Alvin memastikan. Ia sudah berdiri di hadapan Ri. Gadis itu mengangguk sembari memperlihatkan senyum manisnya. Alvin bersorak kegirangan lalu memeluk Ri erat.

“CIEEE!!!!!” seru semuanya.

“KARIN!” teriakan seseorang menghentikan seruan gembira tersebut. Kini perhatian mereka tertuju pada seorang gadis yang sudah tak sadarkan diri di pelukan seorang pemuda.

“Nov, bawa Karin ke UKS sekarang!” Angeline menyadarkan Anov yang masih terlihat terkejut di tempatnya. Pemuda itu tersadar lalu menggendong Karin ke UKS bersama Angeline.

“Anak-anak, harap tenang semuanya! Mari kita rehat 15 menit, persiapkan diri bagi peserta yang akan tampil setelah ini.” Salah satu juri pun berdiri di panggung dan menatap ke arah murid-muridnya.

“Baik, pak.” Keempat guru tersebut segera pergi menuju UKS untuk melihat kondisi Karin.

“Vin, kita ke UKS juga, yuk?” ajak Ri. Alvin mengangguk, kemudian menggandeng Ri menuju UKS untuk menyusul teman-temannya yang lain.

“Karin gimana, Kak?” tanya Alvin kepada Agni. Ani pun menggeleng, pertanda ia belum mengetahui  keadaan gadis itu. Sedangkan Ri, gadis itu menghampiri Anov yang duduk di kursi dengan kepala tertunduk.

“Lo kenapa?” tanya Ri dengan nada lembut. Anov menoleh, kemudian menggeleng.

“Nggak papa, kok.” Ia menyenderkan kepalanya di pundak Ri.

“Jangan bohong. Lo khawatir sama Karin? Apa lo ada rasa sama dia, hm?” Ri mengusap kepala Anov.

“Gue sayang sama dia, Ri. Dia orang yang baik, gue nyaman berteman sama dia. Kita nggak ada hubungan apa-apa, kok. Lagian dia udah punya cowok,” jawab Anov. Ri mengangguk paham.

“Gue kira lo suka sama dia. Terus, siapa yang lo suka, hm?”

“Ada, seseorang yang udah lama gue kagumin.” Ri tersenyum saat melihat pemuda itu tersenyum.

“Kenapa nggak lo deketin? Gue kenal?”

“Lo nggak kenal. Pokoknya ada, tapi dia udah punya cowok ternyata. Gue baru tahu tadi, dia ngabarin gue.” Senyum di wajah pemuda itu perlahan pudar, Ri menghela napas kemudian mempererat pelukannya.

“Tuhan pasti udah siapin perempuan yang lebih baik buat lo. Jadi, lo harus move on.” Anov mengangguk pelan, tetapi tidak dengan hatinya yang terus menjerit sakit.

“Iya, Ri.”

“Dokter, gimana keadaan Karin?” pertanyaan Angelin mengalihkan perhatian mereka.

“Kondisi pasien sudah stabil, dia hanya kelelahan saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jelas dokter tersebut.

“Syukurlah. Terima kasih, dokter.” Dokter yang dipanggil oleh pihak sekolah tadi segera pergi dari sana.

“Kalian mau masuk juga?” tawar Angeline.

“Gue ikut,” ucap Anov.

“Kita tunggu di sini aja.” Rio tersenyum kepada gadis itu. Angelin mengangguk, lalu masuk ke uks bersama Anov.

“Anov kenapa peduli banget sama dia? Khawatir banget,” celetuk Cakka.

“Anov peduli karena dia udah deket sama Karin. Mereka cuma sahabatan, dan Anov emang tipe  orang yang peduli banget sama sahabatnya apalagi cewek.” Ri menjelaskan sama seperti jawaban Anov tadi.

“Apa Anov suka sama dia?” tanya Rio yang masih tidak yakin, apalagi melihat Anov yang sangat perhatian sekali dengan gadis bernama Karin itu.

“Enggak, kak. Anov bilang dia udah suka sama orang lain, dan Karin sendiri udah punya pacar.” Rio mengangguk percaya.

“Rio, Ify, kalian dipanggil sama Pak Duta. Giliran kalian tampil sekarang,” kata seorang pemuda yang tiba-tiba datang.

“Oh, oke-oke. Thanks, Yan.” Rio berterima kasih kepada rekannya di tim basket yang bernama Septian.

“Yoi, sama-sama.” Pemuda itu tersenyum lalu kembali beranjak menuju aula.

“Yuk, Fy. Kalian mau di sini atau ikut?” tanya Rio.

“Ikut aja, deh.” Mereka pun kembali ke aula.

Sesampainya di aula, Rio dan Ify segera berjalan ke arah panggung. Rio akan bermain gitar, dan Ify bermain piano, keduanya akan menyanyikan lagu milik Agni Tri Nubuwati yang berjudul sahabat. Ri, Alvin, dan keempat kakaknya pun duduk di tempat semula.

Sejenak mereka terpana dengan suara lembut milik Rio. Alunan gitar dan piano yang mereka mainkan terdengar harmonis. Mereka mampu menghipnotis semua orang yang ada di sini.

[RIO]

Kuciptakan sebuah lagu untukmu

Sahabat yang selalu ada bersamaku

Walau kini kita telah terpisah jauh

Antara ruang dan waktu

Membuatku semakin tak menentu

[IFY]

Mengenang masa indah bersama denganmu

Hal itu selalu ada di dalam memoriku

Mengukir kenangan lalu tuk dapat kembali

Hal itu menjadi asal langkahku

[RIO+IFY]

Sahabatku kaulah segalanya

Membuatku selalu tersenyum dan buatku bahagia

[IFY]

Sahabatku kaulah nafas dihidupku 

Yang selalu ada untukmu

Dan kau yang sangat berarti dihidupku

[RIO]

Mengenang masa indah bersama denganmu

Hal itu selalu ada di dalam memoriku

[IFY]

Mengukir kenangan lalu tuk dapat kembali

Hal itu menjadi asal langkahku

[IFY]

Sahabatku kaulah segalanya

Membuatku selalu tersenyum dan buatku bahagia

[RIO+IFY]

Sahabatku kaulah nafas dihidupku 

Yang selalu ada untukmu

Dan kau yang sangat berarti dihidupku

Rio dan Ify maju ke depan kemudian membungkuk untuk memberi hormat kepada orang-orang yang ada di sana. Kemudian, mereka kembali ke tempat duduknya. Kini  giliran Ray dan Oliv yang akan tampil, pemuda itu akan bermain gitar lalu bernyanyi bersama Oliv.

“Selamat pagi semua, kali ini saya dan Oliv akan menyanyikan lagu ciptaan saya sendiri yang berjudul ‘Tanda Tanya’. Semoga kalian suka,” ucap Ray. Semua memberi tepuk tangan untuk menyemangati keduanya. Tak lama suara instrumen yang diputar oleh panitia mulai mengalun disusul suara merdu Ray yang membuka penampilan mereka.

[RAY]

Ku menunggu kabarmu hari ini

Menunggu seharian dibuatnya bertanya-tanya

Apa yang sedang kamu lakukan

Ini sudah lewat sehari

[OLIV]

Tak ada satu hari pun ku tak memikirkanmu

Maka aneh rasanya jika begini

Apabila esok hari kau masih seperti ini

Tolong jangan lama-lama

Saat akan memasuki Reff, suara Ray mulai terdengar bergetar. Oliv yang mengerti pun segera menggenggam tangannya, sembari bernyanyi ia menatap Ray yang juga menatap. Ri menatap mata Ray yang berkaca-kaca, ia mulai mengerti dan menangkap isi dari lagu yang mereka bawakan.

[RAY+OLIV]

Kurindu hari-hari indah kita

Selalu ada canda bersamamu

Namun kemana semua itu

Aku menunggu hari itu

[OLIV]

Tiap melihat foto-foto kita berdua

Saat ingin rasanya cepat bertemu

Oh fikiran buruk selalu menghampiriku

Namun senyummu sembuhkanku

[RAY+OLIV]

Kurindu hari-hari indah kita

Selalu ada canda bersamamu

Namun kemana semua itu

Aku merindukan dirimu

[RAY]

Tetap ku rindu

Suara Ray semakin lirih, dan Oliv pun terus mengimbangi hingga akhir. Baik juri, maupun penonton turut terbawa suasana. Beberapa di antara mereka sudah menitikan airmata sejak bagian reff pertama dinyanyikan.

[RAY]

Kurindu hari-hari indah kita

Selalu ada canda bersamamu

Namun kini kemana semua itu pergi

Aku menunggu hari itu

[RAY+OLIV]

Aku merindukan dirimu

Yang kutunggu hanyalah kamu

Mereka mengakhiri lagu tersebut dengan nada yang amat lembut. Suara tepuk tangan kembali memenuhi gedung ini, mereka menyerukan kata-kata penyemangat bagi keduanya. Ray terenyuh, ia pun membalasnya dengan senyuman manisnya, kemudian ia turun dan kembali ke tempat duduknya bersama Oliv.

“Oke, karena kondisi Karin yang masih beristirahat di UKS, maka acara hari ini akan dilan--”

“Kami di sini, Pak Duta. Saya sudah baik-baik saja, dan saya akan tetap tampil bersama Anov.” sebuah suara memotong ucapan Pak Duta, salah satu juri yang tadi mengambil alih acara.

“Apa kamu yakin?” tanya seorang wanita yang juga menjadi juri di sana. Karin mengangguk, ia menampilkan senyuman manisnya guna meyakinkan semua orang. Akhirnya mereka diberi kesempatan untuk tampil. Sama seperti Ray, mereka menggunakan iringan aransemen yang sudah mereka buat sebelumnya.

“Kami akan menyanyikan sebuah lagu milik Anneth Delliecia yang berjudul ‘Mungkin Hari ini, Esok atau Nanti’. Semoga kalian menyukainya,” tutur Karin. Kemudian ia menatap Anov yang sedari tadi menatapnya. Gadis itu tersenyum, ia menggenggam tangan pemuda itu lalu mulai bernyanyi dengan suara merdunya.”

[ANOV]

Kuhampiri jalan yang kita lewati

Setiap hari kita di sini

[KARIN]

Ku menanti hadirmu 'tuk kembali

Hanya kenangan yang tersisa di sini

[ANOV]

Namun sekarang kau 'lah pergi

Dan kuyakini kau takkan kembali

[KARIN+ANOV]

Mungkin hari ini hari esok atau nanti

Berjuta memori yang terpatri dalam hati ini

Mungkin hari ini hari esok atau nanti

Tak lagi saling menyapa

Meski ku masih harapkanmu

[KARIN]

Ku menanti hadirmu 'tuk kembali

Hanya kenangan yang tersisa di sini (namun sekarang)

[ANOV]

Namun sekarang kau t'lah pergi (pergi)

Dan kuyakini kau takkan kembali

[KARIN+ANOV]

Mungkin hari ini hari esok atau nanti

Berjuta memori yang terpatri dalam hati ini

Mungkin hari ini hari esok atau nanti

Tak lagi saling menyapa

Meski ku masih harapkanmu

[KARIN]

Sesungguhnya hatiku tak sanggup menerima

Dan lupakan segalanya

[KARIN+ANOV]

Mungkin hari ini hari esok atau nanti

Berjuta memori yang terpatri dalam hati ini

[ANOV]

Mungkin hari ini hari esok atau nanti

Tak lagi saling menyapa

[KARIN]

Meski ku masih harapkanmu (harapkanmu), ooh

[ANOV]

Meski ku masih harapkanmu, ooh

[KARIN+ANOV]

Ku relakanmu

Semua juri dan seluruh penonton yang ada di sana pun berdiri sembari bertepuk tangan. Lagi, mereka dibuat menangis karena pesan dari lagu yang mereka bawakan mampu tersampaikan dan meresap di hati semua orang yang ada di sini. Anov dan Karin pun berpelukan sejenak sebelum kembali ke tempat duduk mereka, entah apa arti pelukan tersebut, tetapi suara tepuk tangan dan seruan heboh terdengar keras di penjuru gedung ini.

“Karin, lo tadi kenapa? Kok, bisa pingsan gitu?” tanya Ri saat mereka sedang melangkah menuju lapangan Basket.

“Agak pusing gue, soalnya aulanya rame dan gue nggak terbiasa di tempat rame. Pasti ujung-ujungnya bakal pusing, sesak, dan pingsan.” Mereka pun mengangguk paham.

Sesampainya di lapangan basket, Ri mengajak Alvin, Ify, Oliv, Anov, Karin, dan Ray duduk di tribun penonton bagian tengah.

“Oh, iya, lomba dance diadain kapan, Rin?” tanya Ify sembari menatap ke arah Karin.

“Besok, kak. Setelah pertandingan final basket,” jelas Karin dan diakhiri senyum manisnya.

“Ri, Nov, gawat!” seru Ray tertahan. Kedua remaja yang dipanggil pun menoleh dengan panik, mereka menatap Ray seolah bertanya ‘ada apa?’.

“Ada ayah, bunda, sama orang tua Dea, mereka duduk di tribun paling depan.” Ray menunjuk ke arah di mana orang tua mereka duduk.

“Lo tenang aja, semoga dia nggak macam-macam. Gue curiga, dia mau mantau Kak Rio, lo tahu sendiri ‘kan statusnya sekarang? Pasti ayah mau pamer,” ucap Ri pelan. Mereka pun terdiam, kemudian memilih menonton pertandingan sembari sesekali mengawasi gerak-gerik ayah mereka.

Sedangkan di lapangan, Rio sedang mendribble si oranye dengan matanya yang tajam mencari partnernya. Setelah itu, ia mengoper bola itu ke arah Cakka dan kembali berlari ke depan. Cakka menangkap bola itu dengan sigap lalu mendribblenya ke arah ring dan melempar kembali ke pada Rio dan langsung di terima dengan baik.

“Shoot!!” Rio berseru saat bola basket itu dengan mulus masuk ke dalam Ring. Cakka dan rekan se-timnya langsung menghampiri Rio dan bersorak bahagia bersama.

“GO RIO GO RIO GO!!!!”

Rio tersenyum ke arah adik-adik dan teman-temannya. Sontak saja hal itu membuat seluruh penggemarnya berteriak terpesona. Rio dan teman-temannya kembali memainkan si bulat oranye teresebut, skor mereka pun saling berkejaran.

Pertandingan berlangsung dengan sengit, ketika sudah di detik-detik terakhir tim Rio tertinggal satu angka. Rio dijaga ketat oleh tim lawan, sehingga sedikit sulit baginya mengoper bola ke lawannya. Namun, saat merasa lawannya sedikit lengah, ia pun segera berlari dan bersiap menembak dari jarak three-point.

“AARGGHS!!” Tiba-tiba Rio mengerang kesakitan.

“KAK RIO/RIOOO!!” pekik mereka. Ri beserta kakak dan teman-temannya pun segera berlari menuruni tribun, lalu menghampiri Rio yang tengah diangkat ke tepi lapangan menggunakan tandu.

“Waduh, Yo, kaki lo lumayan parah ini. Mending lo ke rumah sakit, deh.” Semuanya menatap ke arah Agni yang tampak memeriksa kaki Rio.

“Iya, Rio. Sebaiknya kamu ke rumah sakit saja, pertandingan juga sudah selesai. Dan akan dilanjutkan dengan pertandingan basket putri.”

“Jadi, kelas saya kalah, pak?” tanya Rio ditengah rasa sakitnya.

“Iya, Rio. Pertandingan ini dimenangkan oleh adik kelas kalian.”

“Kak Agni, mending lo siap-siap dulu sekarang. Biar Kak Rio kami yang urus,” ucap Ray.

“Oke, kalau ada apa-apa kabarin pokoknya.” Ray mengangguk, kemudian Pak Duta dan Agni keluar untuk melanjutkan pertandingan.

“Gue siapin mobil dulu. Anov, Alvin, sama Kak Cakka bantu papah Kak Rio,” kata Ray.

“Rin ….” Anov menatap Karin seraya berbisik samar. Gadis itu mengangguk, lalu menyuruh Anov ikut mengantar Rio.

“Gue masih ada latihan dance. Kak Rio cepet sembuh, ya?” Gadis itu tersenyum kepada Rio. Rio mengangguk pelan dan tersenyum lirih. Kemudian ia langsung digotong menuju mobil.

“Ayo, Ngel. Kita latihan sekarang,” ajak Karin. Angeline mengangguk, mereka segera beranjak menuju ruang latihan dance.

Sedangkan di parkiran, Ify menyuruh Ri dan Anov untuk tetap di sekolah, supaya mereka bisa mendukung Agni. Namun, Alvin meminta untuk ikut menemani Ri dan Anov. Ify mengizinkan saja, kemudian segera membawa Rio ke rumah sakit terdekat bersama Cakka, Oliv dan Ray.

Sesampainya di lapangan, Anov tampak celingukan ke segala arah. Ri menyadari hal itu, kemudian ia menyuruh Anov mencari Karin yang tadi pamit untuk latihan dance bersama Angeline. Ri tersenyum dalam hati, ia yakin jika Anov menyimpan rasa kepada gadis itu.

“Anov kayaknya lagi pdkt sama Karin, ya?” tanya Alvin pelan. Ri menoleh dan mengangguk.

“Aku rasa gitu, Vin. Tapi, Anov bilang kalau Karin udah ada cowok. Masa, Anov nekat pdkt, sih?”

“Kita lihat aja dulu. Aku yakin, Anov nggak selicik itu.” Ri tersenyum, pertanda ia setuju dengan ucapan sang kekasih.

“Eh, itu udah mulai. KAK AGNI, SEMANGAAAAT!!!!” teriak Ri heboh. Alvin tersenyum geli dan mengacak rambut gadis itu.

“Lho, ayah? Dia tetap di sini? Apa dia juga mau awasin Kak Agni?” Alvin mengikuti arah pandang Ri, dan menangkap sosok Obiet masih duduk di tempat yang sama.

“Kita pantau dia aja, sayang. Kamu tenang aja, aku bakal lindungin kamu dan Kak Agni.” Ri menghela napas panjang.

Pertandingan berlangsung dengan sengit. Agni sebagai kapten pun bergerak lincah menghindari tim lawan yang selalu menghadangnya. Ia tak ingin ayahnya semakin marah karena kekalahan sekecil apapun.

Waktu terasa cepat berlalu, pertandingan basket putri berjalan dengan lancar dan dimenangkan oleh tim Agni. Agni dan timnya bersorak-sorai, begitu pula dengan adik-adiknya yang sedari tadi menonton pun turut bersorak dari tribun.

“Ri, ayo ke rumah sakit,” ucap gadis itu saat guru-guru sudah memperbolehkan semua murid pulang.

“Ri?” Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah belakang mereka. Ri menoleh dengan tenang.

“Selamat siang, Bapak Obiet yang terhormat. Apa kabar?” tanya Ri dengan nada tenang. Anov dengan sigap merangkul Ri.

“Stop. Jangan bahas masalah itu di sini, nggak enak didengar anak-anak yang lain. Ini masih di sekolah. Lebih baik sekarang kita ke rumah sakit jenguk Rio.” Agni menyela Obiet yang ingin menyahuti Ri.

“Ck. Kalian saja yang ke rumah sakit, ayah tunggu kalian di rumah bersama Rio.”

“Kita nggak akan bawa Kak Rio pulang, sebelum tahu bagaimana kondisnya sekarang. Saya minta, Anda jangan berbuat semena-mena kepada kakak-kakak saya. Cukup saya yang menderita karena Anda.” Obiet tidak mempedulikan ucapan Ri, pria itu melenggang begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata kepada mereka.

“Ayo,” ajak Anov. Mereka pun segera pergi ke rumah sakit. Angeline dan Karin pun turut ikut, karena mereka diajak oleh Anov dan Ri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status