Share

Bab 3

Dua hari sebelum perlombaan dimulai, seluruh murid Fredrick Senior High School diminta untuk masuk ke sekolah. Mulai dari dekor aula yang digunakan untuk tampil, membersihkan lapangan basket dan futsal, serta menyiapkan stan-stan untuk berjualan pernak-pernik kerajinan tangan, dan beberapa makanan. Ternyata, sekolah menjadikan acara lomba besok sebagai acara pentas seni, yang akan dihadiri oleh setiap orangtua murid, dan donatur sekolah.

Rio menghela napas panjang, sangat malas jika ia harus bertemu ayahnya di sekolah. Selain itu, pasti beliau juga akan bertemu dengan orangtua Dea. Pasti semua murid dan guru yang ada di sini akan mengetahui statusnya dan juga Dea.

"Kenapa, kak? Kok, kusut gitu mukanya?" tanya Ri yang baru saja selesai membuang sampah.

"Besok ayah pasti datang, dan gue males ketemu dia. Apalagi ada orangtua Dea, mereka pasti akan bahas status gue yang udah tunangan sama Dea dan semua orang bakal tahu."

"Oh iya, besok orangtua bakal hadir. Berarti gue juga bakal ketemu ayah, dong?" Ri menatap Rio.

"Iya, Ri. Ayah juga belum tahu 'kan, kalau lo udah pulang? Lo tenang aja, gue sama yang lain nggak akan biarin ayah ganggu lo." Ri tersenyum berterima kasih.

"Iya," ucap Ri. Kemudian mereka pun kembali bekerja.

“Ri!” panggil Alvin dari kejauhan. Ri menoleh dan mendapati pemuda itu sedang berlari kecil ke arahnya.

“Iya, ada apa?” tanya Ri saat pemuda itu sudah berdiri di sampingnya.

“Habis ini kita latihan nyanyi dipanggung, yuk? Kak Rio juga ikutan, kuy?” ajak Alvin.

“Gue selesain ini dulu, Ify suruh siap-siap aja nanti. Lo berdua ke sana duluan,” jawab Rio.

“Oke!” Alvin dan Ri meninggalkan Rio sendiri. Keduanya berjalan ke samping panggung, terlihat ada Deva yang sedang bernyanyi bersama kekasihnya, Acha.

Tiba-tiba, satu orang gadis duduk di sebelah mereka. Alvin menoleh, tatapan keduanya beradu beberapa detik. Alvin sedikit terpana melihat senyuman gadis itu, tatapannya pun terasa menenangkan hatinya.

“Alvin, yuk? Sekarang giliran kita,” ucap Ri tiba-tiba.

“Eh? Oke, ayo.” Alvin menggandeng Ri ke arah panggung, sejenak ia menggelengkan kepalanya samar saat wajah gadis tadi memenuhi benaknya.

“Siap, Ri?” tanya Alvin seraya berdiri di depan piano. Ri mengangguk, gadis itu berdiri di samping Alvin. Pemuda itu mulai memainkan intro lagunya, kemudian memberi kode Ri untuk mengambil part pertama.

[RI]

Awalnya ku merasa

Cinta kita tak bisa

Tapi apa daya

Ingin hati mencoba hm yeah

[ALVIN]

Kau dan aku berbeda

Itu kata mereka

Kututup telinga

Denganmu akan kuhadapi segalanya

[ALVIN+RI]

Meski badai datang

Dan kau merasa

Dunia tak restukan kita semua

Kita hadapi berdua oh-oh

Selama bintang menari

Bulan mentari beri cahaya

Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita ho-oh

Selama kita berdua

[ALVIN]

Kau dan aku berbeda (oh berbeda)

Itu kata mereka uh

Kututup telinga

Denganmu akan kuhadapi segalanya oh

[RI]

Meski badai datang

Dan kau merasa

Dunia tak restukan kita semua

Kita hadapi berdua oh-oh

[ALVIN]

Selama bintang menari

Bulan mentari beri cahaya (ku yakin takkan ada)

Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita ho-oh

Selama kita berdua

Tak ada yang bisa kalahkan cinta kita

Selama semua dihadapi berdua (wo-wo-wo-ho)

[ALVIN+RI]

Pipi langit jingga merona

Melihat kita bersama bersama

[RI]

Meski badai datang

Dan kau merasa

Dunia tak restukan kita

Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita

[ALVIN+RI]

Meskipun badai datang

Dan kau merasa

Dunia tak restukan kita semua

Kita hadapi berdua ho-oh

Selama bintang menari

Bulan mentari beri cahaya (ku yakin takkan ada)

Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita ho-oh

Selama kita berdua

[RI]

Takkan ada yang bisa kalahkan cinta kita ho-oh (ho-oh-wo)

Selama semua dihadapi berdua (oh-oh-ho-ho)

Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita

Selama kita berdua

“Wuiihhh … kereeeen!!!” seru Anov. Alvin dan Ri senyum kecil, keduanya turun dari panggung dan menghampiri pemuda itu.

“Lo mau latihan juga, Nov? tanya Ri. Anov mengangguk seraya menatap ponselnya yang menampilkan lirik lagu.

“Solo?” Kini giliran Alvin yang bertanya.

“Gue itu mau lomba, Vin, bukan mau ke Solo.” Refleks Alvin menggeplak keras kepala Anov hingga si empunya meringis kesakitan.

“Lo nyanyi sendiri apa duet?” sewot Alvin. Anov cengengesan sambil mengusap kepalanya yang panas. Ri geleng-geleng saja melihat kelakuan kedua pemuda di hadapannya.

“Berdua, dong,” ucap Anov bangga.

“Widih, sama siapa?” tanya Rio yang baru saja datang bersama Ify.

“Karin,” jawab Anov sembari meraih tangan gadis yang sejak tadi diam di sampingnya. Gadis itu refleks tersenyum canggung.

“Ahh … lo anak baru yang ikut lomba dance juga, ya?” tanya Ri yang baru ingat siapa gadis itu.

“Hehe … iya,” jawabnya seadanya.

“Wah … keren, lo ikut apa aja emang?” tanya Alvin.

“Dance sama musik aja.” Alvin dan Ri mengangguk kompak.

“Kenapa mau diajak duet sama Anov? Dia rese, lho,” celetuk Ray tiba-tiba, membuat semuanya terkejut.

“Ngagetin aja lo,” ketus Ri.

“Eh? Hehehe iya nggak papa, sih, kebetulan juga gue lagi nyari partner duet dan dia nawarin.” Ri tertawa canggung menjawabnya, takut-takut salah bicara nantinya.

“Ya udah, yuk, Rin? Kita latihan dulu, yee,” kata Anov sembari merangkul Karin ke panggung.

“Mereka cocok, ya?” Rio menatap Karin dan Anov yang tengah bersiap-siap.

“Iya, Yo,” sahut Ify. Ri dan yang lainnya turut mengangguk menyetujui.

Anov mengambil gitarnya dan duduk di samping Karin, Kini mereka akan bernyanyi dengan iringan gitar akustik dari Anov. Anov mulai memetik senar gitarnya, dan Karin mulai bernyanyi dengan suara lembutnya.

[KARIN]

Terakhir

Kutatap mata indahmu

Di bawah bintang-bintang

Terbelah hatiku

Antara cinta dan rahasia

‘DEGH!’

‘Suara ini … kenapa suara ini nggak asing buat gue? Dia … di sini?’ batin seseorang bertanya-tanya.

[ANOV] 

Kucinta padamu

Namun kau milik sahabatku

Dilema hatiku

Andai ku bisa

Berkata sejujurnya

[KARIN]

Jangan kau pilih dia

Pilihlah aku

Yang mampu mencintamu

Lebih dari dia

[KARIN]

Bukan kuingin merebutmu

Dari sahabatku

Namun kau tahu

Cinta tak bisa

Tak bisa kau salahkan

[ANOV]

Kucinta padamu

Namun kau milik sahabatku

Dilema hatiku

Andai ku bisa

Berkata sejujurnya

[ANOV]

Jangan kau pilih dia

Pilihlah aku

Yang mampu mencintamu

Lebih dari dia

Bukan kuingin merebutmu

Dari sahabatku

Namun kau tahu

Cinta tak bisa

Tak bisa kau salahkan

[KARIN+ANOV]

Jangan kau pilih dia

Pilihlah aku

Yang mampu mencintamu

Lebih dari dia

Bukan kuingin merebutmu

Dari sahabatku

Namun kau tahu

Cinta tak bisa

Tak bisa kau salahkan

Tak bisa kau salahkan

“Gila, suaranya lembut banget,” gumam Ray dengan wajah terpana.

“Iya. Suara mereka nyatu dan feel-nya ngena banget,” sambung Rio.

Karin turun terlebih dahulu dari panggung untuk menghampiri Angeline setelah berbicara sebentar dengan Anov. Sedangkan pemuda itu memilih untuk merapikan  gitarnya yang ia pakai tadi. Setelah itu, ia menghampiri keempaat saudaranya dan sahabatnya, lalu mereka beranjak ke kantin.

“Habis ini free kan?” tanya Anov saat mereka sudah ada di kantin dan memakan pesanan mereka.

“Iya, kenapa?” tanya Rio.

“Gue mau balik duluan sama Karin, ada urusan terkait persiapan lomba besok. Gue udah izin sama guru,” jelas Anov.

“Lo sekarang deket, ya, sama dia?” tanya Ri sembari tersenyum.

“Biasa aja, sih, kita cuma temen.” Anov menjawab seadanya. Entah kenapa dia tak nyaman saat Ri menanyakan hal itu kepadanya.

“Oooh ….”

“Ya udah, gue balik dulu. Karin udah nunggu gue di kelas,” pamit Anov. Setelah mendapat persetujuan mereka, pemuda itu segera pergi menghampiri Karin yang menunggunya bersama Angeline. Setelah itu mereka pergi ke suatu tempat.

“Ri, habis ini mau latihan lagi atau mau nyantai?” Alvin menatap Ri lembut.

“Nyantai dulu aja, Vin. Badan gue udah mulai nggak karuan soalnya,” jawab Ri.

“Lo kambuh?” tanya Ray khawatir.

“Cuma pusing dikit, kalian tenang aja.”

“Ya udah, kita istirahat dulu di sini. Lo kalau nggak kuat bilang, biar nanti kita izin pulang atau bawa lo ke UKS.” Ri mengangguk mendengar petuah Rio.

“Oh ya, kak, persiapan basket kalian gimana?” Ri menatap Rio, Agni dan Cakka yang mengikuti ekskul basket.

“Aman, semuanya lancar. Lo wajib nonton kita pokoknya,” kata Rio. Ri tertawa kecil sambil mengangguk.

Mereka pun memilih berkumpul di sana hingga hari mulai sore, lalu mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Ri, gadis itu baru saja tiba di rumah dan ia segera membersihkan diri. Setelah mandi, ia memilih menunggu Anov di ruang tengah sembari menonton tv.

Namun, hingga waktu menunjukkan pukul 12 malam, pemuda itu belum juga terlihat batang hidungnya dan itu membuat Ri khawatir. Gadis itu mencoba menghubungi pemuda itu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemudian, ia mencoba mencari kontak Karin di grup chat kelasnya, setelah itu ia menghubungi gadis itu.

“Semoga lo belum tidur,” gumamnya sembari menunggu panggilan tersambung.

‘Halo, ini siapa?’

“Ah … halo, Karin. Ini gue Ri, sepupu Anov. Lo masih sama Anov nggak? Soalnya dia belum pulang dari tadi,” tanya Ri khawatir.

‘Lho? Gue kira dia udah pulang, Ri. Tadi kita pergi urus kostum buat besok sampai jam 5 sore, habis itu dia pamit pulang. Gini, deh, gue coba bantu hubungi dia oke?’ ucap gadis itu mencoba menenangkan Ri.

“Oke, Rin. Makasih sebelumnya, maaf udah ganggu lo malam-malam.”

‘Sama-sama, Ri.’ Ri mematikan panggilan tersebut, kemudian kembali menghubungi Anov.

“Nov, lo ke mana sih …?” Ri mematikan televisinya lalu berjalan menuju ruang tamu.

Tak lama suara mobil terdengar dari luar. Ri yang menyadari hal itu pun segera keluar rumah. Helaan napas lega terdengar dari mulutnya, ia segera menghampiri Anov.

“Nov, lo dari-- Anov!” pekik Ri. Ia menahan tubuh Anov yang limbung, kemudian gadis itu memapah pemuda itu ke dalam rumah dan mendudukkannya ke sofa ruang tamu.

“Nov, lo kenapa?” tanya Ri khawatir. Ia belum pernah melihat Anov dalam kondisi seperti ini. Pemuda itu tampak kacau, lemas, dan terlihat pucat.

“Gue nggak papa, Ri. Maaf udah bikin lo khawatir,” jawab Anov pelan. Ri membawa Anov ke dalam pelukannya. Berharap ia bisa membuat pemuda itu tenang, karena yang dia lihat Anov seperti tertekan dan takut.

Anov memejamkan matanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi dengan pemuda itu, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Ri tak berani memaksa pemuda itu untuk bercerita, karena pemuda itu memang sulit untuk terbuka jika bukan keinginannya.

“Kita ke kamar, yuk? Lo harus istirahat,” kata Ri dengan nada lembut.

“Iya, Ri. Lo mau temenin gue?”

“Iya, ayo.” Keduanya pun melangkah ke kamar Anov. Tak lupa Ri menyuruh Anov untuk mengganti pakaiannya.

Tak lama, Anov selesai membersihkan diri, lalu ia membaringkan tubuhnya di samping Ri dan memeluknya. Ri mengusap lembut surai Anov, memperhatikan wajah pemuda yang tampak gelisah itu. Ri pun beralih mengusap punggungnya, kemudian menyusul Anov yang perlahan mulai tenang dalam tidurnya.

‘Siapapun dapat berbuat jahat, maka dari itu kita harus berhati-hati. Mereka ada di mana-mana, bahkan orang-orang terdekat kita salah satunya.’

Keesokan harinya, Ri memilih untuk menemani Anov di rumah. Pemuda itu mengatakan jika ia sedang tak enak badan. Beruntungnya sehari sebelum perlombaan mereka diliburkan, sehingga Ri dapat bersantai seraya merawat Anov.

Seperti saat ini, ia sedang membantu Anov menghancurkan obatnya untuk diminum setelah sarapan. Pemuda itu sulit untuk menelan pil ataupun kapsul. Setelah itu, ia meninggalkan Anov ke dapur untuk mencuci alat makan yang digunakan tadi.

“Ada yang mau lo ceritain ke gue? Semalam lo ke mana dan kenapa?” tanya Ri saat ia sudah kembali ke kamar Anov.

“Gue belum bisa cerita sekarang … nggak papa, kan?” Anov menatap Ri penuh harap. Ri mengangguk paham.

“Iya, nggak papa. Apapun masalahnya, lo harus kuat dan coba selesaikan dengan kepala dingin. Lo nggak sendiri, karena gue dan lainnya pasti akan bantu lo.” 

Anov tersenyum pedih, ia memeluk Ri dan membenamkan wajahnya. Rasa takut, marah, dan kecewa semua berkecamuk dalam hatinya. Ri membalas pelukannya, ia mencoba menenangkan Anov saat merasakan tubuh pemuda itu bergetar.

“Nangis aja, jangan ditahan biar hati lo tenang. Luapin apapun itu yang mengganggu hati dan pikiran lo.” Benar saja, setelah Ri berkata demikian, suara isakkan mulai terdengar dari bibir Anov. Sebenarnya apa yang membuat pemuda itu menangis? Apa yang sebenarnya terjadi? Kata-kata itu terus berputar dalam pikiran Ri sejak semalam.

Tiba-tiba, ponsel Ri berdering dan tertera nama Alvin di sana. Ia pun menjauh dan mengangkat panggilan tersebut. Anov memperhatikan Ri yang sedang berbicara dengan Alvin, tak lama Ri kembali dengan raut bingung.

“Kenapa, Ri?” tanya Anov pelan.

“Gue harus pergi sama Alvin, dia mau ajak gue studio musik buat latihan.” Ri menjawab dengan nada tak enak.

“Ya udah, lo pergi aja sama Alvin. Gue nggak papa, kok, nanti gue juga harus ke rumah Karin.”

“Lo di rumah aja, ya? Lo masih sakit, lho,” tegur Ri.

“Gue udah mendingan, Ri. Lo nggak usah khawatir,” balas Anov dengan nada meyakinkan. Ri mengangguk pasrah, lantas ia pamit untuk bersiap-siap.

“Huft ….” Helaan napas gusar kembali terdengar dari bibir pemuda itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status