Sindiran Pedas Istri Kedua "Sudah move on?" tanyaku pada Hakim ketika kami sedang berada di laboraturium komputer. "Udah, dong! Ngapain juga galau lama-lama," jawabnya enteng. Sebagai teman, tentu aku sangat prihatin atas apa yang tengah dialami Hakim. Belumlah lama dia bertunangan, tetapi sudah bubar. Namun, aku juga tidak berani banyak bertanya tentang sebab musababnya. Khawatir dia tidak berkenan untuk berbagi cerita. Konon katanya, Sandra yang memutuskan pertunangan mereka. Hakim juga tidak berusaha mempertahankan karena merasa perbedaan di antara mereka sangat mencolok. Begitulah yang terdengar olehku ketika teman-teman sedang merumpi. Kebetulan salah seorang teman di sekolah juga berteman baik dengan sepupu Hakim sehingga tingkat kevalidan cerita itu lumayan tinggi. Sandra sangat posesif, selalu curigaan, dan manja. Sedangkan Hakim adalah orang yang supel, gesit, dan banyak aktivitas. Sangat bertolak belakang memang. Memang seperti itulah kesan yang kuperoleh tatkala perte
Sindiran Pedas Istri Kedua Queen Jewellery, itulah tempat yang kutuju. Sesuai dengan inisial yang ada di kotak perhiasan tanpa nama pengirim yang menjadi sumber rasa penasaranku. Satu di antara jejeran ruko di pusat keramaian kota. Bisa dibilang di sinilah pusat perhiasan emas di kota ini. di kiri kanan jalan berjejer toko emas baik yang besar maupun sedang. Bahkan ada yang sudah puluhan tahun juga.Pernah beberapa kali aku mengunjungi toko ini. Terakhir, waktu memesan kalung untuk Rara dan Syira. Mereka menginginkan kalung kembaran. Memang, toko ini terkenal dengan model-model perhiasan yang sangat artistik serta pelayanan yang sangat ramah. Kualitas emasnya juga bagus. Tak heran jika pengunjungnya selalu ramai, sehingga harus lebih bersabar menunggu dilayani. Aku mendelik pergelangan tangan. Penunjuk waktu yang kupakai menampilkan angka empat menit menuju pukul empat sore. Aku dan pemilik toko membuat kesepakatan untuk bertemu pukul empat tepat. Untung perkiraan perjalananku tida
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Part 47 Aku berdiri di dekat pagar balkon. Menikmati malam yang disertai bulan yang malu-malu di balik awan. Anak-anak sudah tidur selepas Isya. Meskipun besok adalah hari libur, tetapi sudah menjadi kebiasaan dari dahulu, paling lama hanya setengah jam setelah menunaikan salat mereka akan segera tidur. Di teras bawah ada Mbak Nana --pengasuh Syira-- sedang duduk selonjoran sambil menelepon. Dia memang rutin menelepon kedua orang tuanya setiap hari. Entah itu di saat anak-anak telah tidur siang atau pun tidur malam. Bapak dan Ibu sedang di rumah lama. Ada kerabat dari Bapak yang berkunjung. Rumah mendadak terasa sepi. Kembali aku memperhatikan dengan saksama gelang yang ada dalam genggamanku. Aku gagal mengembalikan benda itu kepada Hakim. Nanti akan kucoba lagi. Kalau terang-terangan tidak berhasil, aku juga akan mengikuti jejaknya. Memberikannya lewat perantara atau pun dengan cara memaksa. Sungkan untuk tetap memilikinya, terlebih setelah kutahu ada
Sindiran Pedas Istri Kedua "Emangnya kenapa dengan Om Obi? Bukankah selama ini Om Obi baik banget dan sayang sama Rara? Sayang sama Syira, Kak Khalif dan sering bantuin Mama juga."Rara masih diam dan mempertahankan wajah cemberutnya. "Eh, tapi Rara kok bisa bilang Om Obi bakal jadi Papa Rara? Siapa yang bilang?" "Katanya tadi Rara mau ngobrol sekarang. Tapi kok masih diam aja?" Aku terus mencoba memancing Rara karena dia masih belum juga angkat bicara. Menghadapi Rara memang kadang susah-susah gampang."Rara nggak sengaja dengar Kakek dan Om Obi ngobrol." Akhirnya ada jawaban juga dari Rara walaupun dengan suara pelan. "Okey, memangnya Rara nggak sayang sama Om Obi?" "Rara sayang, tapi Rara maunya Om Obi tetap jadi Omnya Rara aja. Nggak mau jadi Papa. Nanti galak kayak papa barunya Kania." Aku ingat, salah seorang orang tua teman sekelas Rara pernah mengundang ke acara resepsinya. Namun, aku tidak bisa hadir. Mungkin itu yang dimaksud Rara yang punya papa baru. "Memangnya Ka
Sindiran Pedas Istri Kedua "Hakim, maaf, aku tidak bisa menerima ini." Aku meletakkan kotak perhiasan itu di atas meja yang berada di antara aku dan Hakim. "Ada yang keberatan?" Tatapan Hakim lurus tertuju padaku. Wajah teduhnya persis berada di hadapanku. "Kenapa pemberianku kali ini ditolak? Apa yang salah? Tidak ada, kan?" Hakim berbicara dengan intonasi yang sangat tertata. Dia manampakkan ekspresi yang sangat tenang. "Apa karena nilai barangnya atau karena aku memberinya dengan rasa? Atau ... ada alasan yang lainnya?" Aku mengalihkan pandangan. Mencoba menenangkan pikiran agar bisa merangkai kata dengan baik. "Aku berharap tidak akan pernah berada pada situasi seperti ini, Hakim. Ini ... ini teramat rumit." "Tidak akan rumit dan tidak perlu dibikin rumit," jawab Hakim tanpa menjeda terlalu lama. "Aku mengungkapkan apa yang ada di hatiku. Aku mengekspresikannya lewat tindakan. Tak ada yang salah, kan?" Lagi-lagi pernyataan Hakim berujung pembenaran. "Benar, tidak ada y
Sindiran Pedas Istri Kedua"Bagaimana dengan Rara?" Aku mencoba menyela di antara kesibukan Obi dengan notebook-nya. "Masih jaga jarak." Obi menjedakan jarinya sejenak. "Sebelum-sebelumnya dia tidak pernah begitu," keluhku. "Wajarlah. Rara sudah mulai beranjak dewasa. Rasa sensitifnya sudah mulai berkembang. Meskipun, jika dihitung akumulasi waktu, intensitas Rara bersamaku jauh lebih banyak dibanding Bang Hendi. Akan tetapi, yang namanya anak ke bapak kandungnya pasti tetap ada keterikatan." Obi kembali menghadap ke notebook-nya. Sebelum dia menempelkan jari ke keyboard, dia kembali berucap, "Hanya butuh waktu dan pendekatan saja. Jangan risau kan itu. Semua akan kembali seperti sedia kala." Obi mengulas senyum padaku. Seolah memberikan keyakinan padaku bahwa semua akan baik-baik saja. Tak perlu memelihara risau. "Kamu nggak ngerasa gimana-gimana, Bi?" "Aku harus ngerasa gimana? Jangan merasa bersalah begitu. Aku akan lebih sering lagi jalan sama Rara. Seperti dulu-dulu," uc
Sindiran Pedas Istri Kedua "Assalamualaikum, Mama!" Terdengar sahutan Rara. Aku menengok keluar. Dia sudah berdiri di balik pagar. Aku bergegas membukakan pagar yang tadi memang dikunci . Hendi pun ikut turun dari mobil, membawakan tas Rara. Dari arah berlawanan, terlihat Obi dan Syira juga menuju ke arah kami. "Terima kasih sudah menjemput Rara," ujarku berbasa-basi. "Iya," jawab Hendi pelan. "Kakak Ra ...!" panggil Syira sambil melambaikan tangan. Dia mempercepat langkahnya meninggalkan Obi yang mendrible bola sambil berjalan. Rara yang sudah melewati pagar mundur kembali lalu menyongsong Syira. "Udahan aja mainnya?" Aku bertanya pada Obi begitu dia sampai. "Malah asyik ngejar kucing," ungkap Obi. "Syira dari mana?" Hendi berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Syira. "Habis olah raga, ya, Om," balasnya sambil menengadah ke Obi. "Iya, olah raga. Udah mau mandi, kan, sekarang? Udah kecut banget nih!" lanjut Obi. "Iya, deh, tapi Om jangan pergi dulu, ya! Tungguin Syira," p
Sindiran Pesas Istri Kedua Mendadak moodku berubah drastis. Rasa kesal mulai menjalari. Kutaruh kembali ponsel ke meja di samping tempat tidur. Aku menyibakkan kain gorden berwarna abu-abu muda. Seperti biasa, di luar sepi. Hanya kucing-kucing liar yang menjadi pengguna jalan. Berlari, berkejaran ke sana-sini. Sesekali mengeong dan meraung sebagai kode untuk lawan jenis yang menjadi incarannya. Langit juga tak begitu terang. Hanya ada bulan sabit dan beberapa bintang berkelip menghiasi cakrawala. Aku berdecak, mencoba mengusir gusar yang kian memeluk erat. Aku meninggalkan kamar. Mendatangi kamar anak-anak satu per satu. Rara sudah tertidur pulas. Aku tutup kembali pintu kamarnya setelah mengganti lampu tiduryang lupa digantinya. Di sebelahnya adalah kamar Syira. Kamar ini jarang sekali dipakainya. Dia lebih sering tidur bersamaku. Entah itu di kamar bawah maupun kamar utama yang ada di lantai atas. Tadi dia meminta tidur di kamarnya. Kutinggalkan dia bersama Mbak Nana setelah