Share

Bab 6

Suara notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Sebuah pesan dari nomor baru. 

[Tiga hari lagi. Gilang]

Apa maksud pesan ini? Siapa yang pengirimnya? Jangan-jangan dia suruhan Sandra untuk mengusir ku dari sini. 

Ya, ampun! Jangan sampai itu terjadi. Aku tidak ingin kembali terlunta-lunta di jalan. Angan kembali menerawang masa silam. 

*flashback on

"Keluar kamu dari sini! Rumah ini sudah menjadi milikku!" ucap lelaki dengan perut membuncit itu. 

"Ini rumahku, bukan rumahmu!" ucapku lantang. Namun seketika menciut saat melihat dua orang bodyguard menatapku nyalang. 

"Baca!" Lelaki tambun itu melempar secarik kertas tepat mengenai wajahku. 

Dengan dada bergemuruh ku baca setiap kata yang tertulis di sana. Kakiku terasa lemas hingga menopang tubuhku tidak kuat. 

"Ini tidak asli kan?" 

Aku masih mengelak meski sudah ku lihat tanda tangan papa di atas materai. Rasanya tak percaya jika papa dan mama meninggal lalu mewariskan hutang yang begitu besar padaku. 

Kenapa selama ini aku tak tahu jika mereka telah menggadaikan sertifikat rumah serta ruko. Bahkan kontrakan melayang untuk melunasi hutang yang lain. Sebenarnya untuk apa mereka hutang sebanyak itu? 

Ku pijit pelipis yang terasa berdenyut. Belum genap satu bulan mama dan papa meninggal dan sekarang aku harus kehilangan rumah beserta isinya. 

"Ku beri waktu sepuluh menit untuk mengemasi barang-barangmu. Atau kamu angkat kaki hanya dengan baju yang melekat itu!"

Segera ku kumpulkan kekuatan. Aku berjalan lesu menuju kamar di lantai atas lalu mengambil koper dan memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Ya, hanya pakaian karena perhiasanku pun teleh ludes untuk membayar hutang. 

Ku tarik koper sambil menggendong ransel. Keluar rumah dengan perasaan yang entah, tak bisa ku gambarkan. 

"Lelet!" ucapnya lalu menarik koper ditangan dan melemparkannya ke luar rumah. Untung saja koper itu tidak terbuka. 

Air bah yang berusaha ku bendung akhirnya jebol juga. Aku terisak, menangisi nasib yang menyakitkan. Rasa di tinggal orang tua tak semenyakitkan ini. Sekarang aku harus ke mana? 

Aku melangkah gontai ke luar rumah. Ku tarik koper. Mata masih tertuju ke bangunan bertingkat yang selama ini ku tinggali. Rasanya tak tega meninggalkan rumah itu. Namun mau apa lagi, aku tak punya daya untuk memilikinya.

Ya Tuhan, kenapa Engkau berikan masalah yang tak habis-habisnya padaku. Selama ini aku selalu memujamu. Namun bukan kebahagiaan yang ku dapat. Engkau selalu memberiku duka dan lara. Haruskah aku terus memuja-Mu? 

Tak hentinya aku merutuki nasib. Tuhan seolah mempermainkan hidupku. Dari kehilangan kedua orang tua hingga tak memiliki apa-apa. 

Lalu lalang kendaraan begitu ramai. Aku berjalan melewati beberapa orang yang tengah asyik bersenda gurau sambil menikmati makanan. Tidak ada rasa simpati,semua seolah mentertawakan nasibku. 

Lalu untuk apa aku hidup jika seperti ini? Tak ada saudara dan teman yang membantu. Semua menghilang ketika aku tak memiliki harta. Mereka tertawa melihat penderitaanku. 

Untuk apa aku hidup, Tuhan?

Aku lelah. 

Ku lihat jalanan yang ramai kendaraan berlalu lalang. Entah kenapa aku ingin ke sana. Berjalan di tengah-tengah lalu disambut truk atau mobil. Pasti menyenangkan. Aku bisa langsung ke surga tanpa harus merasakan siksa dunia. 

Ya, aku akan ke sana. 

"Woy, lihat-lihat kalau jalan!"

"Mau cari mati!"

"Wanita gila!"

Suara sahut menyahut terdengar jelas di telinga. Tak aku hiraukan. Aku lebih tertarik berada tepat di tengah jalan. Ya, sebentar lagi aku sampai. 

Tiiin... Tiiin.... 

Suara klakson mengiringi langkah kematianku. Mereka menyambut ku bukan? Ini yang mereka inginkan, aku hilang dari muka bumi ini. 

BRUUG

Sebuah tarikan membuat tubuhku terjatuh tepat di tepi jalan.Siapa yang menarik tanganku? 

"Sadar lo, Yas! Jangan bunuh diri!" ucap wanita berambut pirang seraya mengguncang-guncangkan tubuhku.

Ku tatap lekat wanita itu. Cindy, ya, dia Cindy temanku. Tanpa bicara ku peluk tubuhnya. Menangis dalam pelukannya. 

***

Dua bulan aku menumpang hidup di kos Cindy. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari. Namun tetap saja tidak ada hasil. Mengandalkan ijazah SMA tak ada yang menerima.  Aku belum lulus kuliah, baru semester enam dan harus ku lepas karena tak ada biaya untuk melanjutkan. 

Miris, hidup yang ku jalani saat ini. Sudah bisa makan saja masih untung. Kadang aku hanya makan satu kali sehari. Semua karena tak ada uang. 

"Lo mau hidup begini terus, Yas?" tanya Cindy sambil menghisap rokok dari tangannya. Seketika kepulan asap rokok menyeruak ke seluruh kamar. Aku sampai terbatuk dibuatnya. 

"Gue udah cari kerja tadi tak dapat-dapat. Kalau begini gue nyesel. Kenapa tidak jadi bunuh diri sekalian. Kalau mati hilang beban hidup gue. Gue juga gak bakalan nyusahin lo!"

Cindy menghembuskan nafas kasar. Netranya menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak berapa lama ia tersenyum menyeringai ke arahku. 

"Lo mau dapat uang cepat dan mudah kan? Semalam lima juta, mau?"

Semalam lima juta? Jelas mau. Siapa yang bisa menolak uang sebanyak itu. Jika dalam semalam lima juta, seminggu tiga puluh lima juta. Wow... 

"Gue mau,Cin. Emang kerja apaan?" 

Cindy beranjak dari duduknya. Membuka almari lalu melemparkan sebuah dress berwarna hitam padaku. 

"Pakai, setelah itu kita berangkat!" 

Aku menggelengkan kepala melihat dress kurang bahan yang ia berikan padaku. Bagaimana bisa aku memakai baju seperti ini? Memegangnya saja baru sekali seumur hidup. 

"Mau kaya gak lo? Sudah gak usah protes!" 

Dengan sedikit ragu ku pakai dress itu. Hampir semua lekuk tubuhku terlihat jelas. Ya ampun! Pekerjaan macam apa yang dia tawarkan padaku. 

Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Cindy segera memesan sebuah taksi online. Entah dibawa ke mana aku ini? Apa aku akan menjadi kupu-kupu malam? 

Sebuah taksi berwarna biru berhenti di depan kos. Aku segera menyambar jaket jeans. Menutupi bagian pundak yang terekspos. Cindy hanya tersenyum dengan pandangan mata yang sulit untuk ku artikan. 

Di dalam taksi tak hentinya driver melirik ke bagian pahaku. Segera ku tutup dengan tas. Aku begitu risih memakai pakaian ini. Namun mau bagaimana lagi,aku sangat membutuhkan uang. Ku tepis rasa takut dan malu yang menyelimuti hati. Saat ini uang lebih penting dari sebuah harga diri. Percuma menjunjung tinggi itu jika pada akhirnya dipandang sebelah mata karena tak memiliki materi. 

Kejam. Kehidupan memang kejam. Itu yang membuat aku memilih mengakhiri hidup. Sayang cindy menggagalkan rencanaku. 

"Ayo turun!" ucapnya seraya membuka pintu mobil. 

"Yakin ke sini?" Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat bangunan dengan lampu menyala pada tulisan di atas. Ini diskotik. 

"Ingin uang banyak kan? Ini cara tercepat. Menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang." 

Ada rasa ragu yang menyelimuti hati. Namun segera ku tepis jauh-jauh. Uang segala-galanya. 

Setelah menata hati ku putuskan masuk ke dalam. Bau minuman beralkohol menyambut kedatanganku.

"Minum!" Cindy memberikan gelas kecil berisi minuman beralkohol. 

Ku ambil dengan tangan gemetar. 

PYAAR.... 

Gelas itu terjatuh dan pecah saat seorang pria menyenggolku.

"Maaf saya tidak sengaja," ucapnya lalu menatap ke arahku. 

Untuk beberapa saat dia diam melihatku dari setiap sudut. Hingga akhirnya kami berkenalan. Bagaskara nama lelaki itu. 

*flashback off

Kriiingg.... 

Suara ponsel menyentak ku dari lamunan kelam masa lalu. Satu nama yang membuatku rindu tertera di layar ponsel. 

"Sayang, kenapa pesanku tidak di balas. Kamu masih marah?" ucapnya tanpa mengucapkan hallo terlebih dahulu. 

"Aku tadi betemu istri kamu, sayang. Hiks... Hiks...."

"Sandra ngapain kamu?" tanyanya panik. 

Saatnya mempermainkan hati. Membuat Om Bagas membenci istrinya dan semakin tergila-gila padaku. 

"Dia mau mengusirku dari apartemen ini, Om. Tadi saja aku mendapat kiriman pesan ancaman. Dia bilang tiga hari lagi aku harus meninggalkan apartemen ini. Aku harus tinggal di mana, Om?" ucapku dengan suara parau. 

Untuk sesaat kami diam. Aku yakin Om Bagas tengah kebingungan. Mana mungkin dia tega menglihatku terlunta-lunta di jalan. 

"Sayang... aku harus bagaimana?"

"Akan ku urus semuanya. Kamu tidak usah khawatir baby."

Benar kan apa yang aku bilang. Om Bagas pasti termakan dengan hasutanku. Tinggal tunggu bom mana yang akan meledak lebih dulu. 

***

[Gue nunggu jam tiga di restoran lantai satu mall kemarin. KTP gue jangan lupa di bawa!]

Aku mengernyitkan dahi. Astaga, tenyata Gilang bukan suruhan Sandra. Melainkan orang yang telah menghancurkan ponselku. 

Ya ampun. Aku salah sangka. Tapi ini belum tiga hari. Tapi kenapa dia memintaku bertemu? Untung apa aku memikirkan itu. Yang terpenting ponsel berada di tangan. 

Aku diam, bingung harus membalas apa. Om Bagas akan kemari pukul lima sore. Namun ponsel itu juga penting. Selisih waktu dua jam. Cukuplah untuk bertemu lelaki itu. 

[Oke.]

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Segera aku mengganti hotpants dengan celana jeans panjang. Memakai jaket untuk menutupi tank top yang ku kenakan. 

Ku jalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang. 

Siapa ya yang mengikuti Yasmin? 

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen sayang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status