Aku menjalankan kendaraan roda empat meninggalkan apartemen. Menyetir mobil sembil menyanyikan lagu kesukaanku. Tak sengaja mata ini melihat ke spion. Sebuah mobil putih seperti mengikutiku dari belakang.
Ku tepis pikiran buruk yang sempat menghantui. Sedikit positif thinking, mungkin hanya sejalan denganku. Boleh jadi tujuan sama. Bukankah mall umum untuk siapa saja?
Sandra.
Seketika pikiran buruk menyelimuti hatiku. Bisa jadi dia suruhan Sandra untuk menculikku. Atau bahkan membunuhku.Bayangan tubuh dimutilasi lalu dibuang menari-nari di pelupuk mata. Istri yang sakit hati bisa berbuat hal di luar nalar.
Tanpa berpikir panjang ku lajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi lalu membelokkan ke mall. Aku bernafas lega ketika mobil berwarna putih tak ada di belakangku.
Aku segera melangkah meninggalkan basement mall. Sedikit bernafas lega kala melihat sekeliling yang ramai. Penjahat tidak akan berani di situasi seperti ini. Jika mereka nekat tinggal teriak dan mereka akan terkena amukan masa. Benar kan?
Aku melangkah menuju restoran yang dimaksud lelaki itu. Penuh percaya diri melewati beberapa orang. Entah mengapa, semua mata menatapku dengan pandangan yang sulit untuk ku artikan.
Apa ada yang salah dengan penampilanku? Ah, ku rasa tidak. Mungkin mereka terpesona melihat wanita cantik seperti Yasmin Nabila Putri. Iya, kan?
Iya dong, Om Bagas saja sampai lupa daratan saat bersamaku. Itu bukti jika aku mempesona.
Aku masuk ke sebuah restoran di lantai satu. Aku mencari seorang lelaki berambut gondrong. Namun tak ada.
"Nabila!" Satu sentuhan di pundak membuatku tersentak.
Lelaki ini membuatku senam jantung. Pikiran sedang tak karuan dan dia membuatku terkejut. Hampir saja aku tinggal nama.
Oh, jangan dulu!
Aku tak mau Sandra bahagia mendengar kabar kematianku. Itu tidak akan terjadi! Sebelum aku menjadi nyonya Bagaskara maka itu tak boleh terjadi!"Bisa gak,gak buat orang jantungan!" Dia hanya tersenyum sembari mengusap rambutnya yang sudah tertutup topi hitam. Dasar aneh.
Dia menatapku dari atas lalu berpindah ke bawah. Bibir yang tadi tersenyum kini tertawa terbahak-bahak membuatku kebingungan.
Apa yang salah denganku?
"Apaan sih lo?" ucapku kesal.
"Lihat ke bawah! Lo gak sedang ngelindur kan? Ha ha ha...."
Spontan ku tundukkan kepala. Rona merah tegambar jelas di pipiku. Aku malu! Pantas saja semua mata menatapku sambil tertawa. Lha, aku pakai sepatu dengan warna berbeda.
Aku memang memiliki dua sepatu dengan model yang sama tapi warna berbeda.Namun kenapa juga sampai salah sepatu. Kanan warna putih dan kiri warna hitam. Ya ampun, sungguh memalukan.
Aku belum tua, tapi sudah lupa seperti ini.
"Ini fashion terbaru. Memang kamu gak tahu?" ucapku menutupi rasa malu.
"Bilang saja salah sepatu. Ha ha ha...." Tawa lelaki itu kembali pecah. Menyebalkan!
"Mana ponsel gue!" ucapku mengalihkan pembicaraan. Lelah menjadi bahan gunjingan. Bisa turun pamor aku gara-gara sepatu.
"Masuk dulu, gue laper!" Aku berjalan mengikuti Gilang.
Ku kuatkan mental menghadapi tatapan julid para pengunjung restoran. Anggap saja ini fashion terbaru. Dan akulah pencetusnya. Bisa jadi akan muncul tren baru seperti ini.
Aku duduk tepat di hadapan Gilang. Lelaki yang mengenakan kaos putih itu meletakkan paper bag di atas meja. Aku yakin isinya ponsel.
Seorang pelayan datang sembari membawa daftar menu dan memberikannya pada kami.
"Lo mau apa?"
"Samaain aja."
"Steak dua, orange juice dua." Pelayan mencatat pesanan Gilang.
"Sudah lama?" tanyanya basa-basi. Entah kenapa sikapnya sedikit lembut dari kemarin.
"Baru," jawabku singkat dan padat.
"Galak amat neng. Cantik-cantik mengerikan lho. Awas nanti gak ada cowok yang mau."
Dia belum tahu saja jika aku pacaran dengan suami orang. Jam terbangku jauh lebih tinggi dari dia. Tapi tidak mungkin kan aku jelaskan padanya.. Nanti dia meminta lebih lagi.
"Terserah lo mau bilang apa. Ponselku mana!"
"Sabar, kita makan dulu. Laper gue."
Sambil menunggu pesanan datang kami mulai berbincang. Rasa canggung dan kesal yang sempat menghampiri perlahan hilang. Gilang tidak semenyebalkan seperti awal bertemu. Lelaki berambut gondrong itu justru lucu dan humoris.
Kami menikmati makanan sambil berbincang ringan. Keramahan Gilang membuatku merasa nyaman. Tak butuh waktu lama kami semakin akrab. Mungkin orang lain kira kami ini teman dekat. Mereka tidak tahu saja kalau kami baru kenal. Itu pun karena kecelakaan.
"Ini ponsel kamu. Maaf untuk yang kemarin," ucapnya seraya memberikan paper bag padaku.
Aku membuka paper bag berwarna coklat itu. Sebuah ponsel dengan tipe dan warna yang sama seperti milikku. Ternyata dia hafal betul.
"Berapa nomor rekeningmu? Akan ku ganti kerusakan mobil tempo hari."
"Tak perlu, semua sudah beres kok." Aku mengangguk. Tak ada niat memaksanya untuk menerima uang ganti rugi. Justru aku bahagia tak harus kehilangan uang.
"Terima kasih."
"Sama-sama. Ngomong-ngomong gak ada yang marah kan jika kita makan berdua seperti ini?" tanyanya sembari mengaruk kepala.
Itu kepala kenapa selalu digaruk? Ada kutu atau ketombe? Ganteng-ganteng kok kutuan. Ih, memalukan!
"Maksudnya?"
"Em ... Itu ... Anu, maksudnya kamu sudah punya pacar? Aku tidak enak jika pacar kamu marah karena makan bersamaku."
Pacar? Aku dan Om Bagas lebih dari pacar. Bahkan sudah seperti suami istri. Entah hubungan macam apa yang aku jalani? Kami hanya mencari kepuasan tanpa dasar sebuah hubungan serius. Ya, walau sebenarnya aku menginginkan itu.
"Kalau menurut kamu,aku sudah memiliki kekasih belum?"
"Sudah, mana ada wanita secantik kamu tidak memiliki pacar. Orang yang baru bertemu saja bisa langsung suka. Termasuk a...." Gilang segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Termasuk kamu?"
Gilang kembali salah tingkah. Rona merah terlihat di wajah tampannya. Lucu. Namun sayang, bukan tipikalku. Aku tak suka lelaki muda karena kebanyakan mereka belum mapan. Tidak seperti lelaki berumur, seperti Om Bagas.
Hampir semua lelaki yang mengenalku seperti itu. Memuja,merayu agar aku luluh dan masuk ke dalam perangkapnya.
Apa yang diharapkan seorang lelaki pada lawan jenis kalau bukan untuk memenuhi nafsunya. Cinta? Adakah cinta yang tulus? Ku rasa tidak. Seperti Om Bagas. Berulang kali dia mengatakan cinta tapi kenyataannya dia tak kunjung memberiku kepastian. Dia hanya mencari kesenangan dariku saja.
Apa karena aku seorang wanita simpanan? Hingga sebuah ikatan pasti tak kunjung ku dapat.
"Em, iya. Jadi benar kan, jika kamu telah memiliki kekasih?" Aku tersenyum melihat tingkah konyolnya.
"Aku sesuai apa yang kamu pikirkan saja. Jika kamu berpikir aku punya kekasih. Berarti aku memiliki kekasih. Dan begitu sebaliknya." Gilang menyatukan dua alis, berusaha mencerna setiap kata yang aku ucapkan.
"Tak usah dipikirkan."
Tak terasa satu jam berlalu begitu cepat. Berbincang dengan Gilang membuatku lupa waktu. Berkali-kali ponselku bernyanyi. Tentu panggilan dari Om Bagas. Kali ini aku mengabaikannya. Entahlah,tiba-tiba rasa jenuh menghampiri. Ada rasa lelah saat aku menjalani hubungan tanpa status.
"Sepertinya sibuk. Aku pulang dulu, Bil. Lain kali boleh kan jika kita bertemu seperti ini lagi?" tanyanya seraya berdiri.
"Tentu."
Gilang melambaikan tangan lalu berjalan meninggalkanku. Aku masih melihatnya hinga menghilang di balik pintu.
Aku berjalan dengan senyum merekah. Aku sampai lupa dengan masalah besar yang ada di depan mata. Bersama dengan Gilang membuat jiwa mudaku bersemi kembali.
"Habis jalan dengan siapa, Yasmin?" Ku hentikan langkah saat mendengar suara seseorang yang ku kenal.
Aku membalikkan badan. Sebuah senyuman kuberikan untuk menyambutnya.
"Sayang, kenapa bisa ada di sini?" tanyaku sambil menyentuh pundaknya.
"Sejak kapan kamu menduakan aku? Apa kurangnya diri ini hingga kamu tega berpaling!" ucapnya lantang dengan sorot mata menatapku nyalang.
Aku justru kebingungan dengan ucapannya. Mendua? Siapa yang mendua? Bukankah dia sendiri yang mendua? Tapi kenapa aku yang dikira selingkuh?
"Kamu kenapa sih sayang, gak ada hujan gak ada badai kamu marah padaku."
"Siapa lelaki itu?" Om Bagas mencengkeram pundakku hingga membuatku meringis kesakitan.
"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?"
"Apa sih Om, aku gak ngerti."
"Aww ... Sakit Om."
Om Bagasnya kenapa ya?
Jangan lupa tinggalkan jejak.
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se