Share

BAB 7. Masih Memberi Kesempatan

Kepalaku pusing bukan kepalang. Sakit hatiku terasa memuncak. Kini, tak ada lagi alasan bagiku untuk meragukan kata-kata Riya. Semua benar adanya. Bang Roni main gila di belakangku.

Ku tutup layar laptopku. Aku tak mampu lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang baru kuterima beberapa hari yang lalu itu. Otakku sudah tak bisa berpikir. Penuh akan pikiran tentang ini.

Aku memilih untuk tidur siang demi mendinginkan hati. Tapi semakin aku mencoba untuk memejamkan mata, semakin aku tak bisa tidur karena menangis.

Tapi sungguh, aku menangis bukan karena takut kehilangan Bang Roni. Aku menangis karena sedih telah dibohongi dan dibodoh-bodohi oleh dua orang yang begitu sangat kupercaya. Seandainya mereka memang saling menyukai, kenapa tak bilang langsung di depanku? Pasti akan aku ikhlaskan.

Aku memang mencintai suamiku, tapi aku bukanlah orang bodoh yang hanya menggantungkan diri pada satu orang. Aku masih bisa mencari laki-laki yang seribu kali lebih baik darinya di luar sana. Duniaku masih luas dan hidupku masih panjang. Sungguh aku tak pernah takut kehilangan laki-laki pengkhianat seperti dia.

Waktu berjalan tak terasa. Entah sudah berapa lama aku hanya bolak-balik di atas tempat tidur. Kudengar suara motor Bang Roni berhenti di depan rumah. Kulirik jam dinding, baru jam setengah empat sore. Kenapa awal sekali ia pulang kerja?

“Sayank tidur kah?” tanyanya begitu ada di depan pintu kamar.

“Nggak, Cuma lagi rebahan.” Jawabku malas.

“Sayank tetap di dalam kamar ya, nggak usah keluar dulu.”

“Kenapa?”

“Ada orang mau pasang TV kabel di rumah kita.”

“Beneran? Ada uangnya?” aku terkejut sebab memang sudah lama sekali kami tak menonton TV karena tak punya receiver sendiri. Dan kini Bang Roni bilang kami akan berlangganan TV kabel. Padahal biaya pasang dan bulanannya lumayan mahal.

“Ada lah. Supaya ada hiburan. Demi sayank biar makin semangat nulisnya.”

“Biar aku semangat nulis atau biar aku asyik nonton TV sampai nggak sadar kalau Sayank berbuat aneh-aneh?” sindirku. Tapi Bang Roni hanya tertawa.

“Mulai lagi deh. Dah, di dalam aja ya. Kalau udah beres nanti kupanggil keluar kok.”

Aku hanya mengiyakan. Selama kurang lebih sejam aku di dalam kamar bersama Erin dan Erlan, menunggu TV selesai dipasang.

“Asyik... Kita udah bisa nonton TV mulai malam ini.” Erin tertawa riang, dan Erlan ikut melompat girang. Aku hanya tersenyum melihat mereka.

Tak lama kami dipanggil keluar. Bang Roni memamerkan TV baru yang telah tersambung beragam channel TV, baik dari dalam maupun luar negeri. Anak-anak terlihat begitu senang karena bisa menonton acara kartun kesukaan mereka. Tapi tidak denganku, hatiku merasa biasa saja karena merasa apa yang dilakukan Bang Roni ada maksud terselubung.

“Malam ini aku ada pengajian ya Sayank. Jadi aku izin keluar.”

“Di mana?”

“Di tempat Paman Asdi. Paling jam 8 udah pulang.”

“Iya, pulang ya jam 8. Ada yang mau aku omongkan.” Kataku.

“Soal apa?”

“Nanti aja. Aku mau lipat baju, abis itu mandi. Lebih enak ngomong nanti malam.”

“Tentang apa sih?” Bang Roni penasaran.

“Nanti malam aja.” Kataku sambil berlalu.

***

Aku menyeringai kecil. Sejak tadi aku telah membaca chat mesra mereka berdua. Meski sakit, tapi aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.

[ Dari pada nggak ngapa-ngapain, mending nanti pas adzan Isya datang ke sini. Rapi-rapi wangi-wangi... ]

Lagi-lagi Riya yang selalu mengawali chat mereka. Suka sekali dia dengan suamiku. Sayangnya pengecut. Padahal kalau ia meminta langsung, pasti aku hibahkan laki-laki kere itu untuknya.

[ Nggak bisa. Malam ini aku ada pengajian. Libur dulu lah ya ciumannya. Ngerti kan? ]

[ Nggak mau. Tadi sore terlalu sebentar... ]

DEGGG...

Tadi sore kapan? Setahuku Bang Roni Cuma datang ke sana kalau adzan Maghrib atau Isya.

[ Nanti aku kasi waktu yang lebih lama. Biar kamu puas... ]

[ Eh, tapi kok bisa? Tadi sore senekat itu? ]

[ Oh, tadi ada orang yang pasang TV kabel di rumah. Jadi aku pura-pura minjam remote TV ke rumah Sayank.. Sekalian lah... ]

[ Alah, bilang aja pengen minta cium kan? Biar semangat.. Kalau dicium istrinya kan nggak bisa dapat semangat .. ]

[ Dia nggak mau cium, mending cium Sayank... ]

Aku beristighfar berkali-kali dalam hati. Bang Roni yang sedang asyik di kursi teras sambil berbalas chat tak sadar kalau aku sedang susah payah menahan agar air mataku tak jatuh. Dadaku terasa sesak.

Ternyata tadi sore di saat aku berada di dalam kamar bersama anak-anak, dia pergi melesat ke sebelah dan berciuman?

[ Aku juga malam ini mau keluar sih? ]

[ Ke mana? ]

[ Ada aja. Ada perlu sama seseorang ]

[ Siapa? ]

[ Rahasia... ]

[ Hmmm... Ya udah. Sayank udah makan belum? Mau kubelikan mie ayam kayak kemarin? ]

Aku memutar bola mata. Bang Roni menawarkan wanita itu untuk membelikannya makanan? Padahal untuk aku saja ia tak pernah belikan kecuali aku yang minta.

[ Boleh. Mie ayam yang malam itu Sartika antar ke rumah ya. Enak ]

[ Oke. Udah dulu ya, kita sambung nanti malam lagi ]

Berkali-kali aku membuang napas yang terasa menyesakkan dada. Bagaimana tidak, aku baru teringat kalau tiga malam yang lalu, saat Bang Roni baru pulang sekitar jam setengah sebelas malam, ia memintaku untuk mengantarkan sebungkus mie ayam ke rumah Riya.

Dia bilang, Riya meneleponnya dan meminta tolong untuk dibelikan mie ayam karena lapar. Saat itu gerimis hampir hujan, dan aku berlari mengantar mie ayam itu ke rumah Riya.

Ketika Riya memberi uang untuk mengganti biaya beli mie ayam, aku menolaknya. Ku pikir, Riya selama ini sudah memberiku banyak makanan enak. Tak ada salahnya kalau sesekali kami yang mentraktirnya.

Tak ku sangka, ternyata malam itu aku yang bodoh ini hanya sekedar mengantarkan mie ayam ke rumah selingkuhan suamiku. Ternyata malam itu Bang Roni yang berinisiatif membelikan Riya mie ayam kesukaannya. Aku jadi merasa kalau aku ini hanya seorang kurir, seorang babu.

“Sayank, aku pergi pengajian dulu ya.” Suara Bang Roni mengagetkanku. Ternyata ia sudah berada di depan pintu kamar.

“Iya,” sahutku pendek.

Bang Roni yang baru saja hendak membalikkan badan kupanggil lagi. Hal ini akan kubicarakan sekarang. Aku tak mau menunggu lagi sampai ia pulang pengajian.

“Sayank, sini dulu....”

Ia mendekat. “Kenapa? Aku nggak lama kok, nanti langsung pulang.” Katanya, langsung duduk di dekatku.

“Ada yang mau Sayank omongkan?” tanyaku.

“Nggak ada.”

“Bilang aja, selagi aku masih memberikan kesempatan.”

“Kesempatan apa? Sayank mulai lagi. Coba bilang ada apa?”

“Sayank yang bilang. Kalau nggak mau ngaku juga, jangan salahkan kalau aku mengambil tindakan.”

“Aku nggak tahu salahku di mana.”

Ya Allah, masih saja nggak mau ngaku, masih mengelak.

“Oke. Gini aja. Aku Cuma mau tanya. Sayank masih sayang dengan aku? Masih mau aku jadi istri Sayank?”

“Ya iyalah.”

“Sayank, aku cinta sama Sayank. Aku ingin sekali menghabiskan sisa hidupku selamanya dengan Sayank. Tapi kalau hati Sayank udah terbagi, maaf aku mundur. Aku akan pulang.”

Aku berkata dengan mata yang mulai berair. Sungguh, aku hanya masih ingin memberinya kesempatan. Karena mengingat sejauh ini perjalanan kami.

“Aku nggak ngerti....”

“Biarkan aku selesaikan omongan!” sergahku.

“Oke. Lanjutkan.”

“Aku beri kesempatan sampai malam ini. Putuskan hubunganmu dengan siapa pun itu perempuan yang sedang menjalin hubungan gelap denganmu sekarang! Kalau Sayank nggak mau bilang nggak apa. Karena aku sebenarnya juga udah tahu siapa orangnya. Jadi, kalau sampai aku tahu sampai malam ini Sayank masih belum mengakhirinya hubungan itu. Siap-siap!”

“Siapa yang Sayank maksud...”

“Udah. Pergi sana! Silakan berpikir dan putuskan. Saat pulang nanti aku pasti akan memberi tahu ke mana arah hubungan kita!”

Bang Roni tampak bingung. Ku pikir kalau ia memang pintar, dia akan langsung mengakhiri hubungannya dengan Riya malam ini. Itu pun kalau ia memilihku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status