Aku mendadak terkejut dan langsung membuka mata. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Tanganku meraba-raba ke bawah bantal, tempat di mana aku biasa menyimpan ponselku.
Kulihat waktu menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Ah, ternyata aku ketiduran. Padahal tadi niatku hanya akan menemani Erin dan Erlan sampai tidur. Dan setelah itu mau keluar menunggu Bang Roni pulang yang tadi izin ke rumah Mas Indra. Namun ternyata aku justru ikut terlelap. Mungkin saking lelahnya setelah beraktivitas seharian.Aku beringsut pelan dan turun dari tempat tidur. Aku mau mengecek apakah Bang Roni sudah pulang? Sebab biasanya dia kalau sudah nongkrong di tempat Mas Indra, bisa sampai menjejak ke subuh.Aku keluar dan kulihat Bang Roni sudah tertidur pulas di depan TV. Entah kapan ia pulang, aku tak mendengarnya. Ia pun tak membangunkanku.Aku duduk di samping ia tidur sambil memandangi Bang Roni lekat. Kejadian tadi siang mulai dari telepon dari Riya hingga kejadian saat shalat Isya tadi berulang di kepalaku.Aku jadi bertanya-tanya. Apakah ini semua terjadi karena kesalahanku? Karena aku yang sudah tak menarik lagi di matanya? Atau karena dia memang sebenarnya sudah lama menaruh hati pada Riya?Mungkinkan Bang Roni berselingkuh karena hubungan kami selama beberapa tahun ini merenggang? Tak lagi mesra seperti dulu?Aku akui, sejak memiliki anak kedua, kami memang semakin jarang berkomunikasi. Bang Roni yang bekerja dari pagi sampai malam, membuat kami jarang bicara berdua karena aku kadang sudah tidur setiap kali ia pulang kerja. Kami bahkan sudah tak tidur seranjang lagi sejak aku melahirkan Erlan, anak keduaku. Dan jujur saja, beberapa bulan belakangan, kami sudah sangat jarang berhubungan badan. Entah kenapa, aku seperti tak memiliki hasrat untuk itu.Rasa sepi karena jauh dari orang tua, kesulitan ekonomi yang belum juga membaik bahkan sejak awal menikah hingga sekarang, ditambah lagi kelelahan mengurus anak dan rumah membuatku stres dan sering marah-marah dengan Bang Roni.Setiap kali ia mendekatiku untuk bermesraan, aku selalu menepis tangannya dan menjauh, seolah jijik pada suamiku sendiri. Jadi, apakah karena itu? Apakah ini semua salahku?Aku berbaring di samping Bang Roni. Mengambil lengannya dan kemudian melingkarkannya di pinggangku.Bang Roni tersadar, ia langsung memeluk erat sambil memasangkan selimut ke tubuhku hingga ke batas leher. Hangat sekali. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami berada dalam satu selimut seperti ini. Dan sekarang, aku mau tidur nyenyak di sampingnya. Tak peduli apa yang akan terjadi hari esok.***Aku baru saja pulang setelah mengantar Erin ke sekolah. Erlan dan Bang Roni masih tidur. Sengaja tak kubangunkan karena memang sekarang baru pukul 7 kurang. Jadi aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaanku di dapur terlebih dahulu.Saat sedang menyusun piring, mendadak aku merasa ingin melakukan sesuatu. Aku mendatangi Bang Roni yang masih terlelap. Ia tampak nyenyak sekali. Pandanganku tertuju pada ponsel miliknya yang berada tepat di atas kepala suamiku itu.Perlahan kuambil dan kubuka layar ponselnya. Kami memang saling mengetahui kode ponsel masing-masing, agar tak ada rahasia di antara kami. Tapi ternyata tetap saja ada celah yang bisa dipakai.Ku buka aplikasi W******p miliknya. Yang kucari tentu saja nomor Riya. Dan benar saja, nama Riya bertengger di daftar chat paling atas Bang Roni. Tapi anehnya, semua pesan dihapus. Padahal Riya pasti adalah yang terakhir kali chat dengannya. Tapi kosong tak ada apa pun.Hatiku tak karuan. Kalau memang mereka Cuma chat biasa, untuk apa dihapus? Kalau dihapus, bukankah itu berarti ada yang disembunyikan?Otakku bergerak cepat. Kukembalikan ponsel Bang Roni ke tempat semula. Kini aku mengambil HP milikku dan berlari ke luar. Aku mencari tempat sepi untuk menelepon seseorang. Aku butuh pertolongan.“Halo Sartika....” suara seorang wanita terdengar begitu panggilan telepon dariku diangkat. “Kenapa?” Tanyanya.“Anu Mbak Yanti, ada Bang Iwan nggak?”“Bang Iwan lagi kerja. Baru aja berangkat.”“Saya boleh minta tolong nggak sama Bang Iwan?”“Minta tolong apa? Kalau memang ada perlu, kamu telfon langsung aja ke nomornya. Nggak ada nyimpan kah? Nanti aku kirim.”“Ada sih, Cuma aku mau izin ke Mbak dulu. Soalnya aku nggak enak kalau langsung nelfon Bang Iwan.” Kataku. Karena biar bagaimanapun, kalau aku langsung menghubungi suami orang tanpa seizin istrinya, itu pasti adalah sesuatu yang sangat tidak sopan. Bisa menimbulkan fitnah dan merusak rumah tangga orang lain.Bang Iwan dan Mbak Yanti adalah mantan rekan kerjaku dulu waktu masih bekerja di salah satu supermarket di kota kami. Aku dan Mbak Yanti bagian administrasi, sementara Bang Iwan bagian gudang. Kami cukup akrab. Dan yang aku tahu, Bang Iwan mahir di bidang IT.“Emangnya mau minta tolong apa Sar?”“Mbak, dulu Bang Iwan pernah nyadap WA Yuni kan? Anak baru yang pernah kita curigai nggak bener itu.”“He eh. Emangnya kenapa?”“Mbak, aku mau minta tolong ajarin gimana caranya nyadap WA.” Sampai di sini aku mulai menangis.“Kenapa Sar? Kamu pasti mau nyadap WA suami kamu kan?”“Iya Mbak.” Kataku sambil menangis pelan, takut Bang Roni bangun.Mbak Yanti sempat terdiam. Namun kemudian ia berkata. “Yang sabar ya Sar. Kalau memang kamu mau mengetahui dan mencari kebenarannya, lakukan aja apa yang menurut kamu harus dilakukan. Mbak sebenarnya tahu caranya nyadap WA, tapi lebih baik kamu hubungi Bang Iwan aja. Soalnya kalau Mbak yang jelasin takut kamu nggak ngerti.”“Iya Mbak. Aku minta izin nelfon Bang Iwan ya.”“Iya nggak pa-pa. Semoga masalah kamu bisa diatasi ya. Mbak Cuma bisa kasih doa dan support.”“Makasih Mbak.”Aku langsung menutup telepon. Dan kini aku menghubungi Bang Iwan untuk meminta bantuannya.Setelah kuceritakan sekilas, Bang Iwan bersedia membantuku untuk menyadap WA Bang Roni. Langkah demi langkah ia ajarkan. Benar saja, kalau Mbak Yanti yang mengajarkan, aku pasti akan pusing tujuh keliling. Bang Iwan saja sampai berkali-kali memberitahu caranya, aku baru paham.“Gimana? Udah bisa Sar?” tanya Bang Iwan.“Bisa Bang. Sekarang chat yang masuk ke HP Bang Roni, juga masuk ke HP ku. Makasih ya Bang.”“Iya sama-sama. Sebaiknya kamu cepat kembalikan HP suami kamu ke tempatnya. Takut dia curiga.”“Makasih banyak ya Bang. Sampaikan terima kasihku juga untuk Mbak Yanti.”Aku mematikan panggilan telepon. Dan dengan perlahan ku kembalikan ponsel Bang Roni. Semoga saja ia tidak sadar kalau HP nya ku sadap.Aku kembali melanjutkan tugasku sebagai ibu rumah tangga. Setelah selesai memasak, aku membangunkan Bang Roni, karena dia memang harus pergi bekerja.Aku juga terburu-buru berkemas, karena harus melanjutkan menulis naskah yang semalam sempat terbengkalai.Saat Bang Roni sarapan, aku sibuk mengetik di laptopku, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal ponsel stand by di dekatku. Kalau Bang Roni kelihatan membuka HP, maka aku juga membuka akses sadapan WA. Namun sejauh ini hanya ada chat biasa dari teman-teman kerja atau orang lain yang sebagian besar tak kukenal.Selesai sarapan Bang Roni pamit keluar. Aku pun melanjutkan menulis sambil mataku tak lepas menatap HP. Aku menunggu dengan hati berdebar.Sekitar setengah jam, Bang Roni datang lagi. Kali ini ia membawa sebuah meja kayu kecil setinggi setengah betisku.“Nih, buat sayank.”“Apa ini?” tanyaku heran.“Buat meja laptop. Biar Sayank enak ngetiknya, kerja pun jadi mudah. Aku bikin sendiri tadi, numpang di mebel Kang Wardi.”“Cepat sekali...” kataku takjub. Bang Roni memang punya banyak bakat, dan cepat selesai setiap mengerjakan sesuatu.Aku tak menyangkal, kalau aku sangat senang diberi meja ini. Bang Roni memang kadang suka memberiku kejutan-kejutan kecil yang membuat aku bahagia. Ia sebenarnya memang suami yang perhatian. Tapi untuk meja kecil ini, kenapa tiba-tiba membuatkannya untukku? Apa ini hanya untuk menutupi kesalahannya?“Aku nggak ada maksud apa-apa ya bikinin itu. Jangan bilang kalau aku buatin Sayank meja itu, karena aku lagi melakukan kesalahan.” Kata Bang Roni, seolah bisa menebak jalan pikiranku.“Aku nggak ada bilang loh. Sayank merasa kah?” sindirku.“Nggak. Takutnya kamu mikir gitu.”“Iya dalam pikiranku emang kayak gitu, sih. Sayank pasti ada sesuatu kalau tiba-tiba baik sama aku.”“Jangan bilang gitu lah. Aku baik karena aku sayang.” Katanya.Aku mencibir. Tapi ia justru tertawa. Dikiranya aku sedang bercanda kali.“Aku pergi kerja dulu ya.”Bang Roni mencium tanganku, dan aku membalasnya. Kini bagiku, itu hanya sebuah sekedar formalitas belaka. Yang entah kapan masih bisa bertahan.Kudengar suara sepeda motor Bang Roni yang menjauh. Ia sudah pergi. Kini aku bisa dengan bebas memantaunya. Ponsel sengaja kuletakkan di samping laptop, jadi aku bisa langsung melihat setiap kali ada chat yang masuk ke HP Bang Roni.Tak lama, ada chat masuk dari perempuan murahan itu, Riya.[ Ayank udah pergi kerja ya? Jahat, nggak mau nelfon dulu. Nggak mau pamitan ke aku. Masak Cuma pamitan sama istrinya ]Aku menarik bibir kanan atasku. Ia memanggil Bang Roni dengan sebutan Ayank? Dasar perempuan nggak punya harga diri!Bang Roni mengetik. Aku menunggu apa jawaban yang diberikan lelaki bangsat itu buat gundiknya.[ Sayank pasti ngintip dari jendela ya? Maaf lah, soalnya udah terlambat pergi kerja. Aku tadi habis buatin istriku meja kecil untuk dia nulis. Biar dia nggak curiga... ]AN***G!!! Bang Roni memanggilnya dengan sebutan Sayank?! Nggak boleh! Itu adalah panggilan untukku. Hanya untukku! Tega sekali dia. Laki-laki tak tahu malu itu, memberikan panggilan sayang milikku untuk orang lain.[ Ayank so sweet... Mau juga dong dibuatin sesuatu... Mau juga dapat kejutan... ]Hatiku panas. Perempuan itu tanpa tahu malu berani meminta dimanja oleh suamiku. Dan lagi-lagi, kepalaku seakan meledak saat membaca balasan dari Bang Roni untuk Riya.[ Ya udah, untuk Sayank nanti aku buatin anak ya... Kita bikin sama-sama ... Mau nggak? ]Kepalaku pusing bukan kepalang. Sakit hatiku terasa memuncak. Kini, tak ada lagi alasan bagiku untuk meragukan kata-kata Riya. Semua benar adanya. Bang Roni main gila di belakangku.Ku tutup layar laptopku. Aku tak mampu lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang baru kuterima beberapa hari yang lalu itu. Otakku sudah tak bisa berpikir. Penuh akan pikiran tentang ini. Aku memilih untuk tidur siang demi mendinginkan hati. Tapi semakin aku mencoba untuk memejamkan mata, semakin aku tak bisa tidur karena menangis.Tapi sungguh, aku menangis bukan karena takut kehilangan Bang Roni. Aku menangis karena sedih telah dibohongi dan dibodoh-bodohi oleh dua orang yang begitu sangat kupercaya. Seandainya mereka memang saling menyukai, kenapa tak bilang langsung di depanku? Pasti akan aku ikhlaskan.Aku memang mencintai suamiku, tapi aku bukanlah orang bodoh yang hanya menggantungkan diri pada satu orang. Aku masih bisa mencari laki-laki yang seribu kali lebih baik darinya di lua
“Eh Say, jangan ngelamun!”Suara Riya mengagetkanku. Entah sejak kapan ia datang. Aku yang sedang termenung di kursi teras sampai tak menyadari kedatangannya.“Eh, tumben ke sini?” tanyaku dengan sedikit senyum, berusaha untuk tetap terlihat ramah. Padahal rasanya aku ingin mencakar wajah memuakkan perempuan itu.“Kan aku bilang, nanti mau ke sini buat cerita. Roni nggak ada kan?” tanya Riya sambil celingukan.“Nggak ada, aman.” Riya duduk di sampingku. Ia terlihat tak sabar untuk memuntahkan segala cerita busuknya.“Jadi gini Say, kamu tahu nggak kalau suami kamu tuh tergila-gila sama aku. Dia bucin banget. Roni bilang, sejak dekat sama aku dia nggak mau lagi ngelirik cewek lain. Dia Cuma mau fokus ke aku. Makanya, biarin aja dia berhubungan sama aku. Daripada dia selingkuh dengan cewek lain di luar sana, kan mending sama aku. Aku nggak mungkinlah merebut dia, karena aku udah punya suami. Kalau cewek lain, pasti nanti kamu dibikin cerai. Aku tuh bukan
Aku menangis tanpa suara. Sakit sekali rasanya. Rasa marahku seakan sudah sampai batas. Bang Roni benar-benar sudah tak bisa diselamatkan lagi.Padahal sebelum ia pergi, aku sudah memberi pilihan dan kesempatan padanya untuk mengakhirinya hubungan dengan Riya. Meski secara tersirat, seharusnya dia mengerti. Tapi kini aku mengetahui kalau ia masih saja menggoda Riya lewat chat.Kepalaku sakit berdenyut karena membaca chat mesra mereka yang masuk di ponselku. Bayangkan saja, mereka chat an sejak jam 9 malam tadi sampai kini hampir jam 2 pagi.Bang Roni sempat meneleponku, meminta izin untuk pulang larut malam, karena katanya ia sedang lembur tempat Mas Indra. Ternyata itu hanya alasan, agar ia bisa lebih leluasa chat an dengan Riya.[ Sayank tahu nggak, kalau sebenarnya Sayank itu jodoh aku, tapi untuk di akhirat nanti ]Itu adalah salah satu kalimat godaan yang dilontarkan Bang Roni untuk Riya, membuat hatiku sedih bukan kepalang.
“Jadi dia sendiri yang mengaku dan cerita ke Sayank? Dia ceritakan semua, tentang apa yang kulakukan, sampai sedetail itu?” tanya Bang Roni.“Menurutmu?! Kau dengar sendiri kan? Kalau dia nggak punya perasaan sama sekali padamu. Dia Cuma butuh kau untuk menyalurkan nafsunya. Makanya dia ceritakan semua padaku, mengadukan semua kelakuanmu. Karena setelah dia bosan denganmu, dia tinggal pergi melenggang mencari selingkuhan baru. Aku heran dan nggak habis pikir, kok bisa-bisanya kau mempertaruhkan masa depan rumah tangga kita, anak-anak kita, hanya demi seorang perempuan yang lebih murahan dari pada lon**? Lebih jahat dari pada pencuri? Ke mana akalmu Roni? Seharusnya kau pakai akal sehat, pakai logika! Jangan nafsu aja yang kau kedepankan!”BRAKKK...!!!Bang Roni meninju meja kecil yang ia buat untukku tadi. Untung saja tak ada laptop di atasnya, karena meja itu terbelah menjadi dua. “Dan satu lagi, kau bilang sekarang tak lagi bahagia hidup denganku, apalagi seja
Ponsel Bang Roni kini aku yang pegang. Dia sudah menyerahkan semua padaku dan menunggu apa pun itu instruksi dariku. Semua rencana sudah kusematkan di dalam kepala. Mulai hari ini, aku yang akan mempermainkan perasaan mereka.[ Ayank, kok tumben nggak ada nge-chat? ][ Yank, telfon sebentar dong. Pengen dengar suaranya ][ Ayank marah atau lagi sibuk? ]Berkali-kali chat masuk dari Riya sengaja tak ku balas. Tapi aku sengaja membukanya agar ia melihat dan merasa dicuekin. Sementara dari awal pagi, aku sudah menyuruh Bang Roni untuk pergi bekerja, tentunya tanpa membawa ponsel. Kini aku yang pegang kendali. Sejak kejadian semalam, aku sudah buat perjanjian dengan Bang Roni agar ia tak protes dengan apa pun yang akan aku lakukan. Dan tentu saja, ia mau tak mau harus setuju.“Kau jangan mengatakan apa pun pada Riya. Jangan bilang kalau aku sudah mengatakan semuanya padamu. Anggap saja tak terjadi apa-apa malam ini. HP kamu aku yang pegang, dan aku yang ak
“Say, semalam Roni bilang kalau dia nggak bisa lagi datang ke rumahku.” Kata Riya.Ia tiba-tiba saja duduk di sampingku yang sedang bersantai di teras rumah. Aku memang suka sekali menghabiskan waktu di kursi sofa butut pemberian mertuaku yang memang sengaja kami letakkan di teras. Selain karena rumah kami yang sempit, juga karena agar kami bisa menghirup udara segar di sore hari. Aku bahkan betah berlama-lama duduk di situ, kadang sampai malam.“Oh ya? Kok gitu? Kalian berantem apa gimana?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku suka melihat keadaannya kini yang mulai kalang kabut.“Nggak ada. Malah malam sebelumnya kami masih video call sambil chat an. Tahu-tahu besoknya dia nggak datang ke rumah seperti biasa. Pas aku tanyain, katanya dia nggak mau lagi ke rumahku diam-diam.”“Trus?”“Dia bilang, mau ngomong sesuatu sama aku. Pengen ketemuan di luar. Tapi mau ajak kamu juga.”“Loh kok gitu? Berani banget dia.”“Dia bilang, dia mau ngaku aja s
Aku sedang memakaikan bedak di wajah Erlan saat Bang Roni datang dan mengatakan kalau mobil yang akan kami pakai malam ini sudah siap. Mobil itu baru saja ia ambil dari rumah orang tuanya sebelum Maghrib tadi. Dan kini kami sedang bersiap-siap untuk pergi.Riya dan kedua anaknya belum datang. Dia pasti sedang bersolek di sana. Dan aku bisa menebak bagaimana penampilan dia malam ini. Pasti ia akan berdandan habis-habisan, untuk menunjukkan kalau ia jauh lebih cantik dan menarik dari pada aku. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri memikirkannya.“Sayank dandan kan nanti?” Tanya Bang Roni pelan. Mungkin dia heran melihatku yang belum tersentuh bedak sama sekali. Aku memang selalu mendahulukan penampilan anak-anak setiap mau bepergian. Setelah mereka rapi, baru aku mengganti baju dan berdandan.“Kenapa? Takut matamu keseleo karena melihat kecantikan Riya? Sementara pas liat istrimu sendiri tampak layu seperti bunga kering?” sindirku pedas.“Bukan gitu. Takut Riya keburu
“Serius loh, nggak tahu suamiku malam ini kena apa, tiba-tiba ngajak jalan pake mobil sama anak-anak.”Aku bersandiwara. Tapi, entah siapa di sini sebenarnya yang sedang dipermainkan? Atau sesungguhnya kami ini saling mempermainkan?Ya, mungkin awalnya Bang Roni dan Riya mempermainkan aku dengan hubungan terlarang mereka. Kemudian aku yang membohongi Bang Roni dengan sempat pura-pura tak mengetahui perihal perselingkuhannya. Sekarang, giliran Riya yang kami bodohi. Yang mana aku dan Bang Roni kini bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, padahal kami bersekongkol untuk menjatuhkannya. Atau sebaliknya, apakah saat ini Riya yang sedang mempermainkan aku dan suamiku?Entahlah. Yang jelas, sekarang akulah yang pegang kendali. Aku yang akan mengarahkan ke mana haluan ini akan menuju. Aku yang akan menorehkan kisah untuk kami bertiga ke depannya.“Mungkin ada yang mau dia omongkan, Say.” “Mungkin. Mau ngomong apa emangnya, Sayank?” aku memandang Bang Roni yang kini