Share

BAB 6. Menyadap WA Roni

Aku mendadak terkejut dan langsung membuka mata. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Tanganku meraba-raba ke bawah bantal, tempat di mana aku biasa menyimpan ponselku.

Kulihat waktu menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Ah, ternyata aku ketiduran. Padahal tadi niatku hanya akan menemani Erin dan Erlan sampai tidur. Dan setelah itu mau keluar menunggu Bang Roni pulang yang tadi izin ke rumah Mas Indra. Namun ternyata aku justru ikut terlelap. Mungkin saking lelahnya setelah beraktivitas seharian.

Aku beringsut pelan dan turun dari tempat tidur. Aku mau mengecek apakah Bang Roni sudah pulang? Sebab biasanya dia kalau sudah nongkrong  di tempat Mas Indra, bisa sampai menjejak ke subuh.

Aku keluar dan kulihat Bang Roni sudah tertidur pulas di depan TV. Entah kapan ia pulang, aku tak mendengarnya. Ia pun tak membangunkanku.

Aku duduk di samping ia tidur sambil memandangi Bang Roni lekat. Kejadian tadi siang mulai dari telepon dari Riya hingga kejadian saat shalat Isya tadi berulang di kepalaku.

Aku jadi bertanya-tanya. Apakah ini semua terjadi karena kesalahanku? Karena aku yang sudah tak menarik lagi di matanya? Atau karena dia memang sebenarnya sudah lama menaruh hati pada Riya?

Mungkinkan Bang Roni berselingkuh karena hubungan kami selama beberapa tahun ini merenggang? Tak lagi mesra seperti dulu?

Aku akui, sejak memiliki anak kedua, kami memang semakin jarang berkomunikasi. Bang Roni yang bekerja dari pagi sampai malam, membuat kami jarang bicara berdua karena aku kadang sudah tidur setiap kali ia pulang kerja. Kami bahkan sudah tak tidur seranjang lagi sejak aku melahirkan Erlan, anak keduaku. Dan jujur saja, beberapa bulan belakangan, kami sudah sangat jarang berhubungan badan. Entah kenapa, aku seperti tak memiliki hasrat untuk itu.

Rasa sepi karena jauh dari orang tua, kesulitan ekonomi yang belum juga membaik bahkan sejak awal menikah hingga sekarang, ditambah lagi kelelahan mengurus anak dan rumah membuatku stres dan sering marah-marah dengan Bang Roni.

Setiap kali ia mendekatiku untuk bermesraan, aku selalu menepis tangannya dan menjauh, seolah jijik pada suamiku sendiri. Jadi, apakah karena itu? Apakah ini semua salahku?

Aku berbaring di samping Bang Roni. Mengambil lengannya dan kemudian melingkarkannya di pinggangku.

Bang Roni tersadar, ia langsung memeluk erat sambil memasangkan selimut ke tubuhku hingga ke batas leher. Hangat sekali. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami berada dalam satu selimut seperti ini. Dan sekarang, aku mau tidur nyenyak di sampingnya. Tak peduli apa yang akan terjadi hari esok.

***

Aku baru saja pulang setelah mengantar Erin ke sekolah. Erlan dan Bang Roni masih tidur. Sengaja tak kubangunkan karena memang sekarang baru pukul 7 kurang. Jadi aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaanku di dapur terlebih dahulu.

Saat sedang menyusun piring, mendadak aku merasa ingin melakukan sesuatu. Aku mendatangi Bang Roni yang masih terlelap. Ia tampak nyenyak sekali. Pandanganku tertuju pada ponsel miliknya yang berada tepat di atas kepala suamiku itu.

Perlahan kuambil dan kubuka layar ponselnya. Kami memang saling mengetahui kode ponsel masing-masing, agar tak ada rahasia di antara kami. Tapi ternyata tetap saja ada celah yang bisa dipakai.

Ku buka aplikasi W******p miliknya. Yang kucari tentu saja nomor Riya. Dan benar saja, nama Riya bertengger di daftar chat paling atas Bang Roni. Tapi anehnya, semua pesan dihapus. Padahal Riya pasti adalah yang terakhir kali chat dengannya. Tapi kosong tak ada apa pun.

Hatiku tak karuan. Kalau memang mereka Cuma chat biasa, untuk apa dihapus? Kalau dihapus, bukankah itu berarti ada yang disembunyikan?

Otakku bergerak cepat. Kukembalikan ponsel Bang Roni ke tempat semula. Kini aku mengambil HP milikku dan berlari ke luar. Aku mencari tempat sepi untuk menelepon seseorang. Aku butuh pertolongan.

“Halo Sartika....” suara seorang wanita terdengar begitu panggilan telepon dariku diangkat. “Kenapa?” Tanyanya.

“Anu Mbak Yanti, ada Bang Iwan nggak?”

“Bang Iwan lagi kerja. Baru aja berangkat.”

“Saya boleh minta tolong nggak sama Bang Iwan?”

“Minta tolong apa? Kalau memang ada perlu, kamu telfon langsung aja ke nomornya. Nggak ada nyimpan kah? Nanti aku kirim.”

“Ada sih, Cuma aku mau izin ke Mbak dulu. Soalnya aku nggak enak kalau langsung nelfon Bang Iwan.” Kataku. Karena biar bagaimanapun, kalau aku langsung menghubungi suami orang tanpa seizin istrinya, itu pasti adalah sesuatu yang sangat tidak sopan. Bisa menimbulkan fitnah dan merusak rumah tangga orang lain.

Bang Iwan dan Mbak Yanti adalah mantan rekan kerjaku dulu waktu masih bekerja di salah satu supermarket di kota kami. Aku dan Mbak Yanti bagian administrasi, sementara Bang Iwan bagian gudang. Kami cukup akrab. Dan yang aku tahu, Bang Iwan mahir di bidang IT.

“Emangnya mau minta tolong apa Sar?”

“Mbak, dulu Bang Iwan pernah nyadap WA Yuni kan? Anak baru yang pernah kita curigai nggak bener itu.”

“He eh. Emangnya kenapa?”

“Mbak, aku mau minta tolong ajarin gimana caranya nyadap WA.” Sampai di sini aku mulai menangis.

“Kenapa Sar? Kamu pasti mau nyadap WA suami kamu kan?”

“Iya Mbak.” Kataku sambil menangis pelan, takut Bang Roni bangun.

Mbak Yanti sempat terdiam. Namun kemudian ia berkata. “Yang sabar ya Sar. Kalau memang kamu mau mengetahui dan mencari kebenarannya, lakukan aja apa yang menurut kamu harus dilakukan. Mbak sebenarnya tahu caranya nyadap WA, tapi lebih baik kamu hubungi Bang Iwan aja. Soalnya kalau Mbak yang jelasin takut kamu nggak ngerti.”

“Iya Mbak. Aku minta izin nelfon Bang Iwan ya.”

“Iya nggak pa-pa. Semoga masalah kamu bisa diatasi ya. Mbak Cuma bisa kasih doa dan support.”

“Makasih Mbak.”

Aku langsung menutup telepon. Dan kini aku menghubungi Bang Iwan untuk meminta bantuannya.

Setelah kuceritakan sekilas, Bang Iwan bersedia membantuku untuk menyadap WA Bang Roni. Langkah demi langkah ia ajarkan. Benar saja, kalau Mbak Yanti yang mengajarkan, aku pasti akan pusing tujuh keliling. Bang Iwan saja sampai berkali-kali memberitahu caranya, aku baru paham.

“Gimana? Udah bisa Sar?” tanya Bang Iwan.

“Bisa Bang. Sekarang chat yang masuk ke HP Bang Roni, juga masuk ke HP ku. Makasih ya Bang.”

“Iya sama-sama. Sebaiknya kamu cepat kembalikan HP suami kamu ke tempatnya. Takut dia curiga.”

“Makasih banyak ya Bang. Sampaikan terima kasihku juga untuk Mbak Yanti.”

Aku mematikan panggilan telepon. Dan dengan perlahan ku kembalikan ponsel Bang Roni. Semoga saja ia tidak sadar kalau HP nya ku sadap.

Aku kembali melanjutkan tugasku sebagai ibu rumah tangga. Setelah selesai memasak, aku membangunkan Bang Roni, karena dia memang harus pergi bekerja.

Aku juga terburu-buru berkemas, karena harus melanjutkan menulis naskah yang semalam sempat terbengkalai.

Saat Bang Roni sarapan, aku sibuk mengetik di laptopku, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal ponsel stand by di dekatku. Kalau Bang Roni kelihatan membuka HP, maka aku juga membuka akses sadapan WA. Namun sejauh ini hanya ada chat biasa dari teman-teman kerja atau orang lain yang sebagian besar tak kukenal.

Selesai sarapan Bang Roni pamit keluar. Aku pun melanjutkan menulis sambil mataku tak lepas menatap HP. Aku menunggu dengan hati berdebar.

Sekitar setengah jam, Bang Roni datang lagi. Kali ini ia membawa sebuah meja kayu kecil setinggi setengah betisku.

“Nih, buat sayank.”

“Apa ini?” tanyaku heran.

“Buat meja laptop. Biar Sayank enak ngetiknya, kerja pun jadi mudah. Aku bikin sendiri tadi, numpang di mebel Kang Wardi.”

“Cepat sekali...” kataku takjub. Bang Roni memang punya banyak bakat, dan cepat selesai setiap mengerjakan sesuatu.

Aku tak menyangkal, kalau aku sangat senang diberi meja ini. Bang Roni memang kadang suka memberiku kejutan-kejutan kecil yang membuat aku bahagia. Ia sebenarnya memang suami yang perhatian. Tapi untuk meja kecil ini, kenapa tiba-tiba membuatkannya untukku? Apa ini hanya untuk menutupi kesalahannya?

“Aku nggak ada maksud apa-apa ya bikinin itu. Jangan bilang kalau aku buatin Sayank meja itu, karena aku lagi melakukan kesalahan.” Kata Bang Roni, seolah bisa menebak jalan pikiranku.

“Aku nggak ada bilang loh. Sayank merasa kah?” sindirku.

“Nggak. Takutnya kamu mikir gitu.”

“Iya dalam pikiranku emang kayak gitu, sih. Sayank pasti ada sesuatu kalau tiba-tiba baik sama aku.”

“Jangan bilang gitu lah. Aku baik karena aku sayang.” Katanya.

Aku mencibir. Tapi ia justru tertawa. Dikiranya aku sedang bercanda kali.

“Aku pergi kerja dulu ya.”

Bang Roni mencium tanganku, dan aku membalasnya. Kini bagiku, itu hanya sebuah sekedar formalitas belaka. Yang entah kapan masih bisa bertahan.

Kudengar suara sepeda motor Bang Roni yang menjauh. Ia sudah pergi. Kini aku bisa dengan bebas memantaunya. Ponsel sengaja kuletakkan di samping laptop, jadi aku bisa langsung melihat setiap kali ada chat yang masuk ke HP Bang Roni.

Tak lama, ada chat masuk dari perempuan murahan itu, Riya.

[ Ayank udah pergi kerja ya? Jahat, nggak mau nelfon dulu. Nggak mau pamitan ke aku. Masak Cuma pamitan sama istrinya ]

Aku menarik bibir kanan atasku. Ia memanggil Bang Roni dengan sebutan Ayank? Dasar perempuan nggak punya harga diri!

Bang Roni mengetik. Aku menunggu apa jawaban yang diberikan lelaki bangsat itu buat gundiknya.

[ Sayank pasti ngintip dari jendela ya? Maaf lah, soalnya udah terlambat pergi kerja. Aku tadi habis buatin istriku meja kecil untuk dia nulis. Biar dia nggak curiga... ]

AN***G!!! Bang Roni memanggilnya dengan sebutan Sayank?! Nggak boleh! Itu adalah panggilan untukku. Hanya untukku! Tega sekali dia. Laki-laki tak tahu malu itu, memberikan panggilan sayang milikku untuk orang lain.

[ Ayank so sweet... Mau juga dong dibuatin sesuatu... Mau juga dapat kejutan... ]

Hatiku panas. Perempuan itu tanpa tahu malu berani meminta dimanja oleh suamiku. Dan lagi-lagi, kepalaku seakan meledak saat membaca balasan dari Bang Roni untuk Riya.

[ Ya udah, untuk Sayank nanti aku buatin anak ya... Kita bikin sama-sama ... Mau nggak? ]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status