Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s