Dewa terduduk dengan napas memburu serta keringat yang membanjiri tubuhnya. "Dewa? Kamu kenapa, Sayang?" tanya Magdalena yang berada di sampingnya. Dewa masih sibuk mengatur napas yang masih memburu. Matanya masih sibuk melihat keadaan dan dia baru menyadari kalau dirinya berada dalam kamar sang majikan."Sayang?" Magdalena berusaha merebahkan kembali tubuh Dewa yang sedang terduduk hingga tubuh jangkungnya kembali terbaring dengan tatapan yang masih ragu. Sesungguhnya apa yang terjadi? Batin Dewa saat tubuhnya sudah kembali terbaring nyaman dengan pelukan dari Magdalena. "Andra itu siapa?" tanya Magdalena sesaat Dewa yang seolah masih belum seratus persen sadar dari mimpinya. "Andra?" Dewa malah kembali bertanya. "Hu'um, tadi kamu berteriak menyebut namanya." Magdalena menyangka nama Andra merupakan seorang laki-laki. Makanya dia bertanya pun dengan bahasa yang santai.Sepasang mata Dewa membulat, dia tidak menyangka kalau istrinya masuk dalam mimpi buruknya. Untung saja cuma m
Cepat-cepat Dewa berlari ke arah pintu dan membukakannya sebelum istrinya melihat siapa yang datang. "Siapa, Mas?" teriak Diandra yang masih di kamar mandi. Dewa tidak menjawab karena dia pun belum mengetahui siapa tamu yang berada di balik pintu, dengan jantung yang berdegup kencang, Dewa membuka pintu dan berharap bukan Magdalena yang mengunjungi rumahnya. "Ibu? Bapak?" Kepanikan Dewa berganti senyum. Dia merasa lega karena yang datang ternyata mertuanya bukan Magdalena. "Gimana kabarmu, Dewa?" tanya Teo dengan seulas senyum."Baik, Pak. Bapak sama Ibu gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, kami baik-baik saja." "Syukurlah, mari, silahkan masuk." Dewa membuka pintu lebar mempersilahkan mertuanya masuk. "Sayang, lihat, nih, siapa yang datang?!" Sengaja Dewa berteriak agar istrinya cepat-cepat keluar dari toilet.Teo dan Amira duduk di sofa ruang tamu dan tidak menunggu waktu lama, Diandra pun menyusul ke ruang tamu. "Ibu? Ayah?" Diandra mematung saat melihat orang tuanya mengunjung
Satu Minggu berlalu semenjak hari pemecatan itu, Dewa hanya menganggur di rumah tanpa memberitahukan Diandra. "Ibu dan ayah pulang dulu, ya?" Amira memeluk Diandra sebelum mereka pergi ke stasiun. "Iya. Ibu dan ayah sehat-sehat, ya? Mungkin lain kali Andra dan Mas Dewa yang ke Surabaya." "Kalian juga sehat-sehat, ya?" Amira membingkai wajah putrinya dan menatapnya lekat. Seperti biasa, matanya berkaca-kaca ketika hendak meninggalkan putri semata wayangnya.Diandra mengangguk dan kembali memeluk ibunya. Entah pelukan hangat itu akan ia rasakan kapan lagi. Perlahan tangan yang melingkar di pinggang ibunya mengendur dan dengan berat hati harus Diandra lepaskan karena takut mereka telat sampai di stasiun nantinya. "Mari, Bu, kita berangkat." Teo mengusap pundak Amira dan istrinya itu pun menurut. "Maaf, Pak, Bu, aku enggak bisa anter karena mobil masih di bengkel," ucap Dewa."Enggak apa-apa. Tolong jaga baik-baik Andra, ya, Dewa." Teo berpesan. Teo, Amira, Dewa dan Andra sama-sama
Dahayu menceritakan satu hal, di mana Magdalena yang tidak lain majikannya tengah menangis dan menyebutkan tentang perasaannya pada Dewa. Tidak ada yang tahu akan keadaan yang dialami oleh Magdalena, hanya saja dia menangis dan menyebut kalau Dewa telah membohonginya. "Memang apa yang Nona Shu katakan?" tanya Dewa di sela Dahayu berbicara. "Aku cuma dengar kalau ternyata Mas Dewa udah menikah dan hal itu yang membuat Nona Lena kecewa pada dirinya." "Hanya itu?" Dewa memastikan. "Hu'um." Dahayu mengangguk. Siapa yang menyangka obrolan mereka berdua malah bercerita tentang keadaan masing-masing. Dewa yang sedang bertengkar dengan istrinya dan Dahayu yang bercerita tentang hidupnya. Ada rasa kasihan pada diri Dewa yang mengetahui kalau ternyata gadis belasan tahun ini telah menjadi tulang punggung bagi ibu dan juga kedua adiknya yang sedang sekolah. "Sabar, ya?" Spontan Dewa mengusap pundak Dahayu dan hal tersebut membuat Dahayu sedikit salah tingkah. Maklum saja, dari awal bertem
Perlahan mata Diandra terbuka dengan rasa pusing yang semakin membuat Diandra tidaklah merasa nyaman. Sepasang mata Diandra berputar melihat langit-langit kamar berwarna putih serta melihat ke sekeliling kamar yang tertutupi oleh kain berwana senada. "Aku di mana?" ucap Diandra dengan nada pelan. Seketika itu kain penutup ruangan tersingkap. Sosok wanita cantik menghampirinya. "Kamu siapa?" tanya Diandra saat wanita tersebut datang menghampirinya. "Aku, Lena," ujar wanita tersebut. "Maaf, kamu tadi ketabrak mobilku karena menyeberang dengan terburu-buru sehingga aku tidak dapat membelokkan stir mobil ke arah lain." Diandra tidak menjawab, kepalanya masih terasa begitu pusing dan setelah sedikit membaik, kini giliran kakinya yang terasa sakit. Diandra melihat bagian betisnya dengan mata membulat yang sudah terpasang gips terbungkus oleh plester putih di bagian betis kanannya."Kakiku?" gumam Diandra saat melihat ke bagian tubuh bawah. "Kakimu patah, dokter sudah memasang gips dan
Diandra merasa senang karena Dewa kini telah kembali seperti dulu. Dia merasa dimanja dan sayang itu seolah kembali seperti awal mereka pertama menikah. "Udah malam, Mas. Apa Mas enggak pulang? Besok, kan, harus kerja katanya," ucap Diandra seolah menjadi angin segar untuk Dewa. "Mas masih menunggu perawat yang akan jagain kamu." Bagaimana Diandra tidak merasa melambung ke awan dengan ucapan Dewa barusan? Dia merasa dipedulikan dan diutamakan. Bukankah wanita memang suka menjadi prioritas yang utama dalam rumah tangga? Rasa ini lah yang dirasakan Diandra malam itu. Tidak berselang lama seorang wanita yang diperkirakan berusia sekitar dua puluh enam tahun masuk ke kamar inap tersebut. "Permisi!" Wanita itu menyapa ketika dia mendorong pintu kamar inap, tetapi tidak masuk. Dia hanya berdiri di pintu setelah terbuka. "Nah, datang juga," ucap Magdalena karena dialah orang yang menyuruh wanita ini untuk menjaga dan menemani Diandra. "Maaf, tadi perjalanan cukup macet, jadi saya telat
Sinar mentari menelusup ventilasi kamar. Sedangkan kaca jendela masih tertutup rapat sehingga kamar terasa panas. Magdalena menggeliat dari dekapan Dewa karena perutnya yang telah lapar. Sepasang mata sipit Magdalena terbuka. Di hadapannya telah disuguhkan oleh pemandangan indah yang belum pernah dia rasakan meskipun dulu pernah melakukannya dengan Dewa. Jarinya mulai usil mengusap lembut area wajah Dewa. Mulai dari pipinya, dahinya, hidungnya serta mulutnya yang membuat tidur Dewa menjadi terusik. Magdalena tersenyum. "Nona, Anda iseng sekali," ucap Dewa kala sepasang matanya baru saja terbuka. "Habisnya kamu enggak bangun-bangun," ucap Magdalena yang masih terbaring di sampingnya. Mereka masih ada dalam selimut yang sama. "Bilang saja Nona ingin lagi, bukan? Sehingga membuat mataku terbuka dan membuat––" Dewa tidak meneruskan ucapannya. "Hmm ... sebenarnya perutku lapar," ujar Magdalena. "Baiklah, kita cari sarapan." Dewa bangkit dari kasur dan Magdalena melihat tubuh kekar D
Di dalam ruangan bercat putih, Dewa menemani Diandra. Canda tawa kembali menghiasi bibir keduanya hingga saat ini Diandra merasakan hal indah itu telah kembali padanya. Bukankah sudah biasa dalam rumah tangga selalu ada pertengkaran? Bukankah pertengkaran itu merupakan bumbu rumah tangga yang akan membuat kehidupan mereka menjadi kaya akan rasa? Bukan hanya rasa manis saja yang akan mengecap di lidah. Rasa pahit, pedas dan asin akan melengkapi dalam sebuah rasa. Begitu pun dengan kehidupan, tidak melulu berjalan manis, bukan? Rasa-rasa yang lain pasti akan menghampiri. "Mas enggak kerja? Ini, kan baru jam satu lewat," tanya Diandra. "Mas ingin menemanimu. Maaf, ya, Mas enggak bisa mengurusmu seutuhnya." "Enggak apa-apa, yang penting Mas sehat-sehat, ya? Oh, iya, apa Mas udah makan?""Udah, sebelum berangkat Mas udah makan sekalian tadi habis ngojek," bohong Dewa. "Oh ... syukurlah." Tidak berselang lama, seorang petugas memberikan makan siang untuk setiap pasien inap yang ada d